NovelToon NovelToon

Pesugihan Siluman Pocong

Ada Pasar Malam

"Dung, kapan orang tuamu akan mendapatkan musang lagi?" tanya sahabatku yang bernama Amin, dia bertanya seperti itu karena orang tuaku sudah terkenal di kampung Cisuren sebagai pemburu yang begitu handal.

"Di hutan sudah tidak ada musang, mereka sudah pindah ke kota, dipelihara oleh orang-orang kaya." jawabku sekenanya sambil mengulum senyum. di dalam hidupku Tidak ada kesedihan, Meski aku berada dalam keluarga yang biasa-biasa saja.

"Aku butuh dagingnya untuk obat tradisional."

"Dirumah kebetulan Nggak ada Daging musang, Bagaimana kalau daging monyet?" jawabku memberikan saran.

"Lah kamu suka Tidak jelas kalau berbicara. orang butuh Daging musang, ini malah dikasih daging monyet. ya beda khasiatnya lah!" jawab Amin dengan sedikit mendengus.

"Iya benar pasti beda khasiatnya, Lagian daging monyet juga tidak ada. bagaimana kalau dengan daging cecunguk?" jawabku sambil mengulum senyum.

"Sudah ah kamu diajak berbicara serius malah jawabannya semakin ngelantur. mendingan Ayo kita berangkat!" jawab Amin sambil bangkit dari jongkoknya, kemudian dia membetulkan baju yang terlihat kusut.

"Ayu ke mana nih?" Tanyaku sambil menatap heran ke arah orang yang masih merapikan tubuhnya, bahkan rambutnya disisir menggunakan jari-jari tangan.

"Emangnya kamu belum tahu kalau malam ini ada Korsel, atau pasar malam kalau menurut orang kota, di kampung Tetangga."

"Emang mereka jadi, membuka lapak di kampung Jelegong?" jawabku sambil ikut bangkit, merasa tertarik dengan berita yang disampaikan.

"Pantas saja kamu masih memakai sarung, berarti kamu tidak mengetahui kalau di Jelegong ada pasar malam. bahkan menurut selentingan kabar ada acara dangdut segala,  yang artisnya juara 2 dari audisi yang berada di TV. pasti acaranya akan sangat seru." jawab Amir sambil mengulum senyum karena dia sering banyak bohongnya.

"Yang bener kalau kamu bicara Min?"

"Kalau kamu tidak percaya, kamu bisa tanya sama si Ajo!" jawabnya sambil menunjuk Ajo yang masih berjongkok sambil menghisap rokok.

"Apa itu benar Jo?"

"Benarlah Dung, kalau kamu mau ikut nonton sekarang cepetan kamu ganti baju. masa Pemuda yang gagah dan pemberani mau berpenampilan seperti ini? masih menggunakan samping sarung seperti orang yang baru disunat." jawab Ajo dengan sedikit meledek.

"Kamu kalau meledek itu suka kebangetan Jo! walau Bagaimanapun aku ini Santri nggak seperti kamu yang tidak pernah."

"Tidak pernah apa Dung?" Ajo memutus pembicaraan.

"Kamu tidak pernah mandi."

"Lah kalau ngomong itu benar-benar suka ngelantur, kamu benar-benar tidak jelas Dudung. mendingan daripada kamu nyerocos tidak ada makna, sekarang kamu pakai celana!"

"Gabah kalau ngomong! walaupun aku pakai sarung aku tetap memakai celana. tidak seperti Si Enong." jawabku sambil menunjuk salah satu perempuan yang sedang berdiri dengan perempuan lainnya.

Plak!

"Apa yang kamu bilang Kudung! Kalau ngomong itu jangan asal nguap. Kata siapa aku tidak pakai celana, walaupun aku pakai rok tapi aku memakai celana." Sahut Enong yang tidak terima.

Wanita itu terlihat sangat marah, Bahkan dia bertolak pinggang karena tetanggaku yang satu ini memang agak tomboy dan pemberani tidak ada sedikitpun ke anggunan di dalam tubuhnya.

"Yah menurutku lah, kalau beneran memakai celana, Coba angkat rokmu sekarang!"

"Kurang ajar!" jawabnya sambil mengangkat tangan hendak memukulku lagi, namun dengan segera aku pun menjauh takut mendapat Serangan yang kedua kalinya.

Semua orang yang berada di jalan yang sudah bersiap-siap hendak menonton acara pasar malam, Mereka pun tertawa terpingkal-pingkal. Meski aku jarang melucu tapi mereka sangat antusias mengajakku untuk bergabung dengan mereka karena bisa menambah keceriaan.

Aku pun berpamitan untuk pulang ke rumah terlebih dahulu, mengganti baju sebagaimana orang-orang yang akan menghadiri acara hiburan di kampung. meninggalkan teman-temanku yang kembali asik berbicara sambil diselingi dengan canda tawa, namun ada pula yang terdiam sambil menikmati rok0knya, menimbulkan cahaya kemerahan seperti kunang-kunang yang sedang terbang.

Suara anjing tanah dan jangkrik semakin terdengar bising, di teras teras rumah terdengar suara orang yang sedang mengobrol, namun tak jarang terdengar suara tertawa terbahak-bahak Mungkin obrolan mereka ada yang terasa lucu.

Setelah aku sampai ke rumah, dengan segera aku pun mengganti sarungku dengan celana jeans panjang lengkap dengan kemejanya. tak lupa aku pun menyemprotkan minyak wangi, Siapa tahu saja nanti di tempat hiburan aku bisa bertemu dengan wanita yang mau diajak pulang.

"Mau ke mana kamu Dung? kelihatannya sangat sibuk sekali?" tanya suara seorang laki-laki dari arah pintu kamar sehingga aku pun menengok ke arah datangnya suara, ternyata itu adalah bapakku yang bernama Sukarmin.

"Mau main Pak sama teman-teman, mau nonton pasar malam yang katanya ada dangdutnya. bapak punya duit apa nggak, Mintalah buat jajan di sana." jawabku sambil mengencangkan ikat pinggang.

"Lah kamu itu sudah besar pula, masih minta sama orang tua. kalau kamu mau uang kerja dong kayak orang lain."

"Kapan Dudung mau kerja Pak? Kan setiap hari harus membantu bapak di sawah, di kebun, ngambil rumput, cari kayu bakar. dari mana aku dapat uang. Kalau kayak orang lain pergi mencari pekerjaan ke kota, mungkin aku sudah bisa kerja di pabrik atau dagang atau kuli bangunan. apapun itu yang terpenting bisa menghasilkan uang." jawabku yang tidak kalah berbicara, karena memang benar teman teman sebayaku sudah keluar dari kampung untuk mencari pekerjaan di Kota sehingga mereka sudah bisa menghasilkan uang sendiri, berbeda denganku yang dulu pernah meminta izin namun tidak diperbolehkan.

"Dung...., jawabanmu sangat benar. bapak bisa mengerti dengan apa yang kamu inginkan. namun maksud bapak, kenapa Bapak tidak memperbolehkan kamu bekerja ke kota? bukan tidak boleh bekerja, bukan melarang memiliki uang. namun di kampung kita juga pekerjaan itu tidak akan kurang, asal rajin dan mau berinovasi. kita itu orang kecil harus bisa sadar diri, Bapak takut kalau kamu pergi mencari kerja ke kota, Mending kalau kamu bertemu dengan kebahagiaan. Bagaimana kalau kamu bertemu dengan kesialan? sehingga ketika kamu pulang lagi ke kampung, kamu tidak mampu bekerja kasar seperti Kebanyakan warga di sini yang bermata pencaharian di pertanian. sehingga timbullah rasa beras karena sudah kebiasaan hidup di kota yang biasa mendapat uang dengan mudah. makanya Bapak memberikan pelajaran terhadapmu untuk bekerja membantu bapak, supaya kamu terbiasa hidup di kampung. namun Meskipun banyak pekerjaan, kita Jarang bertemu dengan uang. Karena kalau mengandalkan hasil pertanian minimal 40 hari sekali baru kita bisa panen, bahkan ada yang satu tahun sekali, namun kalau lagi beruntung itu bisa menutup kehidupan kita selama setahun bahkan lebih banyak." begitulah kata bapakku yang memegang teguh bahwa bertani itu tidak kalah dengan bekerja di kota.

Aku tidak berbicara lagi, aku mengambil jaket yang tergantung di Paku yang berada di dinding yang terbuat dari papan. kemudian aku keluar dari kamar namun sebelum pergi aku membalikkan tubuh kemudian menatap ke arah bapak.

"Ada apa lagi Dung?"

"Kalau tidak punya uang yang gede, Dudung minta Rp100.000 aja Pak."

"Waduh...., kamu kalau minta itu tidak bisa ditolak." jawab bapakku yang terlihat mengalah, Dia terlihat memeriksa seluruh kantong baju kokoknya namun tidak menemukan apa-apa.

Dia menarik sarung yang dikenakan, kemudian mengambil dompet tembakau dari kantong sontognya, lalu membuka isinya, terlihatlah ada uang berwarna Ungu.

"Nih segini juga cukup kali!" ujar Bapak sambil memberikan uang itu kepadaku.

"Lah, Bapak gimana sih! aku minta 100.000 malah dikasih Rp10.000. Uang segini hanya cukup untuk jajan anak SD?"

"Asal kamu tahu Dudung, asalnya uang itu Rp100.000. namun kelamaan disimpan warnanya berubah menjadi keunguan." jawab orang tuaku sambil mengulum senyum.

"Banyak alasan, kalau tidak punya duit jujur aja bilang tidak punya duit Pak!"

"Hehehe, iya benar bapak sedang tidak punya uang." jawab bapak yang terlihat tidak ada sedikitpun raut kesedihan dengan kehidupan yang sedang dialami, Padahal kehidupan kita sangatlah susah dalam masalah uang. namun kalau dalam masalah makanan kita yang hidup sebagai petani tidak kekurangan sedikitpun.

Aku mengambil uang pemberian itu kemudian dimasukkan ke dalam kantong celana, meski hati sedikit kecewa namun aku yakin kalau bapak memiliki uang yang lebih pasti dia tidak akan pelit karena mereka benar-benar menyayangiku.

Setelah itu aku pun mengambil tangan orang tuaku yang telapaknya terasa kasar, kemudian menciumnya dengan penuh hormat. tanpa berbicara lagi aku pun turun dari rumah untuk menemui teman-temanku yang sudah lama menunggu.

Menuju Tempat Hiburan

Pov Dudung

Aku terus berjalan di jalan besar yang membelah kampung Cisuren, diiringi oleh suara jangkrik dikendangi oleh suara ciang ciang. Aku berjalan dengan tergesa-gesa dengan wajah yang cemberut merasa kesal dengan orang tuaku.

"Tega, benar-benar tega orang tuaku! sampai tidak ngasih uang." gumamku sambil mengepalkan tangan.

Namun dalam hati kecil, aku sangat memaklumi karena memang kenyataannya orang tuaku bukan tidak pelit, tapi keadaannya serba kekurangan bisa disebut orang miskin dan sederhana.

Tidak lama berjalan akhirnya aku pun sampai ke tempat teman-temanku sedang berkumpul di pinggir jalan mau pergi menonton. sudah menjadi Kebiasaan kalau ada hiburan kita akan berkumpul terlebih dahulu, untuk berangkat bersama-sama melewati jalan besar, sama seperti ketika pulangnya saling menunggu tidak pernah hidup masing-masing.

Angin Malam berhembus terasa sangat dingin, namun tidak menjadi halangan untuk kami yang masih berumur muda yang mau pergi menonton.

"Sudah siap kamu Dudung?" tanya Ajo menyambutku.

"Siap dong! ayo kita berangkat." jawabku dengan bersemangat , sangat antusias ketika ada hiburan malam seperti sekarang. menyembunyikan kesusahan dan kesedihan yang berada di dalam hati karena tidak dikasih ongkos oleh Bapak.

"Kamu tidak akan menjemput non Rara terlebih dahulu dDung? Ini kesempatan yang baik untuk mempererat hubungan Tali Kasih yang sedang terjalin. ujar Ajo dengan nada bercanda, membuat teman-teman Yang Lain terlihat menggulung senyum.

Rara adalah gadis yang berada di kampungku, Dia adalah anak orang terkaya di kampung Cisuren, hartanya melimpah, sawahnya sejauh mata memandang, mobilnya ada dua. sedangkan di kampungku tidak ada yang memiliki.

"Jangan manas-manasin lah, Jo! Aku sedang sedih nih! aku tidak memiliki uang, aku tidak berani menjemput untuk mengajaknya menonton. kalau tidak memiliki modal itu sama aja dengan bunuh diri." jawabku dengan mengulum senyum menimpali candaan, padahal hatiku sangat menginginkan sekali pergi bersama dengan wanita cantik itu, gadis yang sedang didekati namun belum pernah mengungkapkan perasaan karena untuk bertemu saja sangat jarang.

"Ah, kamu jadi laki-laki sangat penakut sekali. bagaimana kalau non Rara diembat oleh orang lain. mending dari sekarang kamu terus pepet, agar tidak ada orang lain yang berani mendekati." ujar Ajo memberikan saran.

"Sudahlah jangan membicarakan hal itu. Lagian Kenapa kalian memperdulikan hidupku, Biarkan saja dia tumbuh menjadi besar, supaya nanti ketika dipetik sudah dalam keadaan matang."

"Matang apanya Dudung, Bukankah dia sudah keluar dari SMA?"

"Yah Nunggu dia keluar kuliah dulu, supaya ilmunya banyak tidak bodoh sepertiku."

"Kalau nunggu sampai dia lulus kuliah, nanti bagaimana kalau dia ketika kuliah bertemu dengan laki-laki yang lebih gagah dan lebih mapan dibandingkan kamu?" Timpal Amin yang sudah tahu kalau aku sedang dekat dengan Rara.

"Kenapa kalian malah jadi ngeroyok? Biarkan saja kalau jodohnya orang lain, tapi jangan deh! hehehe," jawabku dengan tersenyum Getir merasa takut kalau apa yang disampaikan menjadi kenyataan.

"Makanya sekarang kamu ajak dia untuk pergi bersama kita, supaya hubungan kamu semakin terjalin dengan erat." ujar Ajo Kukuh dengan pendiriannya.

"Sudah ah jangan membahas itu terus mendingan sekarang kita berangkat. Nanti keburu malam." jawabku yang tidak mau memperpanjang pembicaraan tentang Rara, karena sebenarnya aku pun menginginkan hal yang sama yang diajukan oleh teman-temanku. namun aku tidak memiliki keberanian, tapi kalau diceritakan bisa menjadi milik orang lain tiba-tiba hatiku terasa berdebar seperti ada yang takut hilang dari Separuh Jiwaku.

"Berangkat ya, berangkat! Ayo semuanya, Enong, Nani, Bidin. Ayo kita berangkat!" pinta Amin sama teman-temannya.

Akhirnya para Pemuda dan Pemudi kampung cisuren yang berjumlah 11 orang, bersiap-siap untuk memulai perjalanan. kami yang tidak semua memiliki motor, memutuskan untuk menuju tempat hiburan dengan cara berjalan kaki dan ini akan menjadi kisah kenangan nanti ketika kami sudah tua.

Aku berjalan paling depan dengan penuh percaya diri, kepalaku tegak menatap ke arah depan, tidak sedikitpun memiliki ketakutan. Bahkan aku bersiul untuk menyembunyikan kalau kantong Celanaku tidak ada isinya, hanya ada uang berwarna ungu yang sudah dekil.

Teman-temanku berjalan di belakang sambil terus bercerita di selingi dengan suara canda tawa, seperti tidak ada kesusahan dalam hidupnya. mungkin mereka masih termasuk remaja yang masih senang bermain belum merasakan getirnya kehidupan.

Semakin lama kami berjalan semakin menjauhi kampung cisuren, melewati jalan desa yang besar yang di samping kanan terhampar sawah dan di samping kirinya ada pohon bambu. sampai akhirnya kami pun sampai ke jembatan, terdengar suara air yang mengalir dari arah jauh terdengar suara anjing yang menggonggong, burung gagak terdengar marah seperti tidak mau ketinggalan, menambah keangkeran suasana malam  namun itu semua tidak menjadi penghalang dengan tekad yang sudah kuat, yang hendak menikmati liburan yang sangat jarang didapatkan di daerah perkampungan.

Ketika ada jalan Setapak, kami pun berbelok memasuki jalan itu untuk memotong Kompas supaya cepat sampai ke tempat tujuan. jalan yang dilalui mulai terasa susah, Naik turun dengan berkelok-kelok yang nantinya akan tiba di kampung Jelegong, yang terhalang oleh bukit kecil dengan kampung cisuren.

"Dung, jalannya jangan terlalu cepat! Awas nanti di dekat jembatan selokan suka ada anak kecil yang botak." ujar min menakut-nakutiku yanv berjalan terpisah dengan rombongan.

"Ah Biarkan saja namanya juga anak kecil belum tumbuh rambut. kalau Bertemu Dengannya sangat beruntung, nanti kita akan tangkap untuk dijadikan tontonan, supaya dapat uang tambahan." jawabku seenaknya.

"Kenapa kamu Dudung, Kudung. kalau berbicara itu suka asal nguap, aku takut nih! sudah sering banyak orang yang bertemu kecil namun menyeramkan itu." Timpal Enong yang terdengar ketakutan.

"Tapi kita nggak usah takut Enong, Karena ada Dudung di sini  soalnya dia sangat pemberani, kita buktikan saja nanti bagaimana kalau bertemu dengan yang botak itu." jawab Amin menenangkan.

"Paling juga dia yang paling awal kabur meninggalkan kita. emang apa keberaniannya si Dudung, aku tahu dia sangat penakut." sahut Ajo yang terus berjalan di belakangku.

Tak lama diantaranya akhirnya kami pun tiba di jembatan kecil yang terlihat sangat angker, karena di atasnya ada rumpun bambu yang sangat lebat, bulu Kuduk mulai terasa berdiri padahal tidak ada apa-apa. suasana terasa sangat hening karena teman ke temanku, tidak ada yang berbicara hanya aku yang masih bernyanyi menghilangkan kesedihan.

Aku melirik ke arah belakang terlihatlah Anak-anak gadis yang yang ikut, mereka berjalan dengan berdempet-dempetan sambil memegang satu sama lain, membuat para pemuda merasa bahagia karena memiliki kesempatan dalam kesempitan.

"Awas kalian!" gumamku sambil menundukkan tubuh untuk mengambil batu yang barusan ketendang, kemudian aku melemparkan ke arah rumpun bambu.

Suara kemrosok yang diikuti dengan suara batu yang jatuh ke arah bawah, membuat teman-temanku terlihat terperanjat kaget. bahkan terlihat ada orang yang berlari menyusulku membuat keadaan pun semakin panik.

"Hantu.....! ada hantu.....!" terdengar teriakan Enong yang diikuti dengan suara derap kaki yang berlari menuju ke arahku, yang sudah berjalan paling depan. bahkan Amin Dan Ajo Mereka pun terbawa takut, padahal belum diketahui apa yang mereka takutkan.

Akhirnya mereka pun tiba di dekatku, terdengar suara deru nafas yang menggema. terasa ada orang yang memegang pundakku.

"Ini ada apa. Kenapa kalian sampai berlari seperti orang yang kurang kerjaan?" Tanyaku dengan nada yang meledek.

"Ada suara kemrosok Dung!" jawab Amin dengan nafas yang ngos-ngosan.

"Kenapa harus takut, Paling juga itu kadal."

"Mana mungkin ada suara kadal yang terdengar begitu kencang ketika menyentuh tanah, kamu ada-ada aja kalau berbicara itu Dudung." Timpal Enong dengan judes.

"Mungkin saja kalau kadalnya sebesar batu."

"Maksudnya batu apa, jangan-jangan kamu yang melempar batu ke arah rumpun bambu?" jawab Nong yang pandai menebak situasi.

"Nggak tahu." jawabku tidak memperpanjang perdebatan, Aku mulai berjalan kembali yang diikuti oleh-oleh dengan tetapan penuh kecurigaan.

"Dudung Kenapa kamu suka iseng, Mending kalau tidak ngerugiin orang lain?" tanya suara Amin dengan nada yang kesal.

Pasar Malam

POV Dudung

"Lah siapa yang ngerugiin orang lain, aku tidak merasa merugikan orang lain." jawabku dengan entengnya.

"Terus siapa yang menakut-nakuti?"

"Tidak tahu, aku tidak menakut-nakuti kalian. yang ada kaliannya aja yang penakut, tidak memiliki keberanian. Malu dong Sebagai laki-laki yang penakut, laki-laki itu harus memiliki keberanian." jawabku sambil Tetap tenang berjalan.

"Dudung kalau iseng itu jangan kebangetan. Bagaimana kalau ada yang celaka karena terjatuh ketika menyelamatkan diri, apa kamu berani bertanggung?" Timpal Ajo penuh nasehat.

"Tanggung jawab untuk apa. Siapa yang menyuruh kalian berlari?" Jawabku sambil menghentikan langkah kemudian menatap ke arah teman-temanku yang berjalan di belakang.

Mendapat pertanyaan seperti itu tidak ada orang yang menjawab, karena memang benar tidak ada orang yang menyuruh mereka untuk berlari, mungkin mereka berlari karena dirinya sendiri yang menjadi penakut.

"Susah ngomong denganmu, Dung! sudah ayo lanjutkan lagi perjalanannya, Nanti keburu malam." ujar Amin yang mendorong tubuhku untuk melanjutkan perjalanan.

Dalam hati aku tersenyum menertawakan ketakutan temanku dengan bersiul dan bernyanyi seperti tidak memiliki dosa, sedangkan teman-temanku mereka terus berjalan di belakang. Namun, ketika kita sedang tenang tiba-tiba terdengar suara angin yang bergemuruh pohon-pohon bambu terlihat bergoyang-goyang ke sana kemari, menimbulkan suara kemeresek yang menakutkan, diikuti dengan bau rampe, bunga-bunga yang biasa digunakan untuk sesajen yang menyengat ke hidung, dilanjutkan dengan bau kemenyan yang terbakar.

Aku sangat terkejut melihat perubahan alam yang begitu mendadak, sehingga aku pun menghentikan langkah, kemudian menghadap ke arah teman-temanku yang terlihat mengalami kejadian yang sama.

"Ini bau apa ya?" Tanyaku sambil memindai satu persatu

"Kayaknya bau kemenyan." jawab Bidin menimpali.

"Siapa orang yang membakar menyan jam segini, dan Apa tujuannya membakar kemenyan di tengah kebun seperti sekarang?"

"Iya benar, kenapa ya?" jawab yang lain yang sama-sama tidak paham dengan kondisi yang sedang dihadapi.

Anak-anak perempuan terlihat kembali berkumpul saling memegang, bulu Kuduk mulai merinding, jantung mulai berdebar. Amin terlihat celingukan seperti sedang mencari sesuatu.

"Dung, ini Ada apa?" tanyanya dengan pelan mungkin kalau tidak dalam keadaan malam suaranya tidak akan terdengar.

"Jangan-jangan!"1

"Jangan-jangan apa Kudung? Jangan membuat suasana semakin takut." tanya Amin kembali yang terlihat semakin penasaran.

Aku tidak menjawab pertanyaan itu, mataku memindai keadaan sekitar seperti ada yang dicari. Keadaan semakin terasa mencekam dan menakutkan dari kejauhan terdengar suara burung gagak yang membuat suasana semakin terasa genting.

Semua orang tidak berani mengeluarkan suara, kami berkumpul di tengah jalan sambil memindai keadaan sekitar, takut ada makhluk yang datang. keadaan terasa dingin semangat untuk menonton seolah sirna seketika terkalahkan oleh ketakutan.

Dalam keheningan itu tiba-tiba tercium bau bangkai yang sangat menyengat, seolah menusuk ke hidung tembus ke ulu hati.

"Haduh sial...! Kenapa tiba-tiba bau bangkai seperti ini?" Umpatku dengan suara bindeng, karena hidungku ditutup tidak kuat menahan baunya.

Begitu juga dengan teman-temanku yang sama-sama menutup hidungnya, bahkan terdengar suara batuk tidak kuat menahan bau yang tidak sedap untuk dihirup, membuat Kepala terasa pening dan mengundang isi di dalam perut untuk keluar dari arah mulut. Beruntung bau yang menyiksa itu tidak terlalu lama, Sehingga kami bisa menarik nafas dalam, menikmati kebebasan Oksigen yang bisa dihirup, sambil tetap memindai keadaan sekitar. saling tatap, saling bertanya di dalam hati.

"Sangkaanku tidak salah." aku bergumam dengan lirih

"Apa yang benar itu Dung?"

"Pocong."

"Pocong." ulang Ajo yang terlihat terkejut disertai ketakutan sama dengan yang lainnya. apalagi dengan anak perempuan yang terlihat bergetar sambil saling memegang dengan teman-teman perempuan lainnya.

"Icha mendingan kita pulang lagi yuk!" ujar Enong memberikan saran.

"Pulang bagaimana? kalau yang lain tidak pulang. Emang kamu berani pulang berdua saja? kita ikuti yang banyak saja!"

"Dudung sudah aku ingatkan berulang kali, kalau berbicara itu jangan asal nguap. kamu bilang pocong, pocong dari mana? Jangan mengada-ngada! jangan menakut-nakuti orang yang penakut, nanti bisa bahaya!" ujar Amin yang terlihat menenangkan diri, Padahal aku tahu dia pun sangat ketakutan

"Kenapa kamu terus menyalahkanku Min? ini sudah ada buktinya, kalau pocong itu benar-benar ada. dengan tercium bau bangkai yang sangat menyengat. masa iya aku bisa membuat dan mendatangkan bau yang tidak enak itu?" jawabku menjelaskan dengan tenang.

"Maksudnya kamu tahu dari mana, Kalau ini semua ada hubungannya dengan pocong?"

"Emang kamu belum mendengar. bahwa minggu yang lalu di kampung Cikaret ada kejadian yang menggemparkan, ada setan pocong yang berkeliaran di tengah kampung."

"Itu berita bohong Dung, jangan mudah percaya dengan cerita yang belum ada buktinya."

"Ah Itu terserah kamu. mau percaya, mau tidak. yang jelas aku sudah menjelaskan. Ya sudah daripada kita terus berdebat, mendingan kita lanjutkan perjalanan." Putuskumeninggalkan teman-teman yang masih terdiam kebingungan.

Namun tidak lama mereka pun bergerak mengikutiku, bahkan Enong yang tadi terdengar ingin pulang, Dia terpaksa ikut karena takut pulang sendirian.

"Mungkin Barusan ada musang yang lewat." Ujar Amin memecah heningnya suasana malam, mungkin sedang mengusir rasa takut dirinya dan rasa takut kami semua.

"Kalau musang itu baunya bukan bau bangkai, melainkan bau pandan, dan tidak akan menyengat." timbal Ajo menyanggah

"Mungkin musang yang mati, Bukan musang yang hidup."

"Kamu sudah ketularan si Dudung kalau ngomong tidak dipikir terlebih dahulu. mana mungkin ada musang yang mati bisa berjalan dan bisa mengundang angin yang begitu bergemuruh?" Timpal temanku yang satunya lagi.

"Iya yah! terus itu bau apa ya?" jawab Amin yang terdengar kebingungan, pembicaraannya tidak bisa dimengerti oleh akal.

"Kamu masih nanya lagi, tadi sudah aku jelaskan. bahwa bau bangkai itu berasal dari setan pocong, Untung tadi tidak kelihatan, Coba kalau kelihatan bagaimana?" jawabku dengan bergidik ngeri tidak mampu membayangkan kengerian yang akan didapat, ketika makhluk yang sangat menakutkan itu menampakan wujudnya.

"Kudung sudah Kamu jangan berbicara lagi, karena apa yang keluar dari mulutmu Terdengar sangat menakutkan." bentak suara Eong yang sudah sangat ketakutan.

"Aku menjelaskan Bagaimana kalau ada. tapi kan kenyataannya tidak ada."

"Sudah ah jangan diperpanjang lagi! sekarang kita sudah aman mendingan kita percepat langkah, supaya kita cepat sampai ke tempat hiburan." Amin memisahkanku yang sedang berdebat dengan Enong.

Akhirnya kami pun berjalan kembali dengan keadaan yang sangat berbeda, Kami sekarang berjalan dengan saling berdempetan, saling pegang, takut ketinggalan. hanya aku sendiri yang berjalan terpisah tidak sedikitpun memiliki ketakutan.

Semakin lama semakin jauh dari tempat yang menyeramkan, dari kejauhan terdengar suara anjing yang menggonggong namun akhirnya tidak terdengar lagi. Kami terus berjalan dengan tenang diiringi dengan suara hewan-hewan malam yang terdengar nyaring dari arah samping kanan kiri jalan, sampai akhirnya kami pun tiba di kampung Jelegong.

Sesampainya di tempat yang dituju. benar saja di situ terlihat sudah banyak orang yang sedang berjalan. Ada pula yang naik motor menuju titik pusat keramaian. di tempat itu ketakutan Kami menghilang seketika karena banyak orang yang terlihat berlalu-lalang. Orang yang berjalan semakin padat, di sebagian tempat ada yang berkumpul sambil berbicara diselingi dengan canda tawa.

Orang-orang yang datang dengan berbagai cara. ada yang bergerombol seperti apa yang kami lakukan, Ada pula yang berjalan berdua sambil bergandengan tangan, Ada pula yang naik motor bahkan ada yang membawa mobil dugong untuk mengangkut warga kampungnya. semua orang bekumpul mulai dari yang tua, yang muda, bahkan anak kecil. bersama-sama, berbondong-bondong menuju tempat hiburan.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!