Suara benda jatuh terdengar begitu keras, Zidan dan mamanya yang sedang di ruang tamu langsung berlari ke sumber suara.
"Astaga! Kamu bisa kerja nggak, sih! Lama-lama bisa habis semua barang di rumah," teriak Mama Riana.
"Kamu enggak apa-apa, kan?" tanya Zidan yang menghampiri istrinya.
"Enggak apa-apa, Mas. Maaf, aku nggak sengaja nyenggol vas bunga punya mama," ucap Deswita.
Mama Riana semakin bertambah geram ketika melihat Zidan yang bersikap biasa saja.
"Kamu lihat sendiri, kan. Bagaimana kelakuan istri kamu yang nggak becus ini? Tiap hari kerjaannya cuma buat ulah dan bikin mama naik darah," ketus Mama Riana.
"Mah, udah. Deswita nggak sengaja nyenggol vas bunga Mama, nanti biar Zidan beliin yang baru."
"Terus aja belain istri kamu, biar makin besar kepala dan berbuat seenaknya."
Mama Riana berlalu pergi meninggalkan Zidan dan Deswita yang tertunduk dengan menahan tangisnya.
Zidan yang mengerti akan perasaan sang istri langsung memeluknya. Dua tahun menikah, mamanya sama sekali tak pernah bersikap baik pada Deswita.
Entah alasan apa yang membuat mamanya begitu membenci Deswita. Karena sejak dia memutuskan untuk menikah dengan sang istri, orang pertama yang menentang adalah mamanya.
"Kamu duduk dulu! Biar aku bersihin pecahan vasnya," ucap Zidan, tapi ditolak oleh Deswita.
"Biar aku yang bersihin, Mas. Kamu temenin mama aja di ruang tamu."
"Ya sudah. Hati-hati kena pecahan vas!"
"Iya, Mas."
Setelah Zidan kembali ke ruang tamu, Deswita segera ke belakang mengambil sapu dan pengki. Dia segera membersihkan lantainya, agar tak ada orang yang terluka karena menginjak pecahan vas bunga.
Sementara itu di ruang tamu, Zidan mendekati mamanya yang masih terlihat memendam amarah.
"Mah! Mau sampai kapan Mama benci Deswita?" tanya Zidan dengan nada pelan.
"Sampai mati mama nggak akan pernah menganggap wanita itu sebagai menantu. Lagi pula, apa yang kamu lihat dari wanita itu? Asal-usul keluarganya aja nggak jelas."
"Cukup, Mah! Selalu saja itu yang Mama ungkit. Untuk apa keluarga jelas, tapi akhlak dan sifatnya tak baik? Jangan hanya karena Zidan menolak perjodohan dari Mama, Mama menjadikan Deswita sebagai pelampiasan."
Setelah mengatakan itu, Zidan beranjak pergi menuju kamarnya. Sementara sang mama, diam menahan amarah dengan kedua tangan yang terkepal kuat.
"Aku harus bisa menyingkirkan wanita si*lan itu dari hidup Zidan. Aku sama sekali nggak rela Zidan memiliki istri dari keluarga yang tak jelas," gumam Mama Riana.
**
Di balkon kamar, Zidan tengah duduk termenung sambil menghisap sebatang rokok. Sebenarnya, itu bukanlah kebiasaannya, tapi di saat suasana hatinya sedang tidak baik, dia akan melampiaskannya pada benda itu.
"Mas, kamu kok ngerokok, sih!" tegur Deswita yang baru masuk, kemudian dia merebut rokok yang dipegang Zidan lalu mematikannya.
"Udah berapa kali aku bilang? Kesehatan itu lebih penting, tapi kenapa kamu malah ulangi lagi?"
Zidan merengkuh tubuh Deswita yang berada di sampingnya. Kecupan hangat di kening, dia berikan pada sang istri.
"Maaf." Hanya satu kata itu yang bisa Zidan katakan. Dia merasa gagal menjadi suami yang baik, dia tak bisa melindungi istrinya dari kedzoliman sang mama.
"Aku nggak mau lihat kamu sakit, Mas. Rasa trauma kehilangan bapak masih sangat aku rasakan. Dan aku nggak mau hal itu sampai terjadi ke kamu."
"Iya, maaf. Mas janji nggak akan ulangi lagi."
Zidan pun memeluk erat tubuh Deswita, dia sangat merasa bersalah telah membuat sang istri bersedih.
................
Anggota keluarga Zidan kini berkumpul di ruang makan. Ada Papa Fikar, kakak Zidan beserta istrinya, sedangkan Deswita menyiapkan makan malamnya.
"Mama mana? Tumben belum ke sini," tanya Revan, kakak Zidan.
"Biasalah, mamamu masih sibuk teleponan dengan teman arisannya," jawab papa.
"Biar aku panggil mama dulu." Zhia beranjak dari kursi lalu menuju kamar Mama Riana.
Tak berselang lama, Zhia dan Mama Riana sudah datang. Mereka pun segera mengambil makanan yang sudah dihidangkan Deswita sejak tadi.
Di saat semua telah menikmati makan malam, Mama Riana justru hanya diam memandangi isi meja dengan raut wajah tak berselera.
Papa Fikar yang melihat sang istri hanya diam langsung menegur. "Jangan dilihat aja, Mah! Ayo, makan nanti keburu dingin."
"Papa aja yang makan, mama nggak berselera lihat makanannya karena sudah bisa ditebak siapa yang masak," ucap mama dengan ketus.
"Mah, jangan gitu! Hargai jerih payah Wita yang sudah masak ini semua." Zidan mencoba membujuk sang mama agar mau makan.
"Lebih baik mama makan di luar daripada makan masakan dia," ujar mama lalu beranjak pergi dari ruang makan.
Deswita hanya bisa menundukkan kepalanya, sebenci itukah ibu mertuanya. Bahkan menyentuh masakannya saja enggan.
"Maafin sikap mama, Ta. Doakan saja, mama bisa berubah." Papa Fikar meminta maaf atas nama istrinya, beliau sangat tahu betul dengan perasaan Deswita selama ini.
Usai makan malam, Deswita pun membereskan peralatan makan lalu dibawa ke dapur.
"Biar aku aja yang cuci piringnya, Ta. Kamu tadi 'kan sudah masak," ucap Zhia yang menyusul Deswita di dapur.
"Enggak apa-apa, Mbak. Biar aku saja, lebih baik Mbak Zhia buatkan teh untuk papa dan yang lain."
"Baiklah."
**
Keesokan paginya, saat tengah sarapan tiba-tiba Mama Riana meminta Zidan agar ikut ke acara pesta ulang tahun teman arisannya.
"Zi, nanti malam ikut mama ke pesta ulang tahun teman mama, ya."
"Malam ini Zidan nggak bisa, Mah."
"Kenapa? Kamu lembur?"
"Enggak, malam ini Zidan mau ke luar sama Deswita."
Mama Riana mendengus kesal, tapi beliau tak kehabisan akal untuk membujuk Zidan.
"Kamu tunda besok aja. Temen mama pengen kenal kamu, siapa tahu anak-anak mereka mau menjalin kerjasama dengan perusahaanmu."
Papa Fikar dan Revan sudah tahu maksud Mama Riana yang kekeh membujuk Zidan, apalagi jika bukan untuk dikenalkan dengan anak perempuan teman arisannya.
Sudah berulang kali Papa Fikar mengingatkan agar tak mengurusi rumah tangga Zidan, tapi sifat keras kepala sang istri yang tak bisa dilawan.
"Sudahlah, Mah. Kalau Zidan nggak bisa jangan dipaksa, lagi pula dia sudah ada acara sendiri dengan Wita." Revan berusaha menghentikan pembicaraan mamanya.
Untung saja, Deswita masih di dapur untuk menyiapkan bekal makan siang Zidan. Jika tahu sudah bisa dipastikan, dia akan memilih mengalah dengan Mama Riana.
Mendengar ucapan putra sulungnya, Mama Riana pun hanya bisa diam. Karena Revan tipe anak yang sangat tegas, meskipun itu pada keluarganya sendiri.
Revan sangat tidak suka jika ada yang memaksakan kehendak, demi kepentingan sendiri. Termasuk mamanya yang kekeh membujuk Zidan agara mau ikut ke acara pesta.
Seperti yang sudah dijanjikan Zidan sebelumnya, malam ini dia mengajak sang istri untuk makan malam di luar. Dengan penampilan sederhana, tetapi masih terlihat sangat anggun, Deswita menghampiri sang suami yang menunggu di sofa kamar.
"Aku sudah siap, Mas. Mau berangkat sekarang atau nanti?"
Mendengar suara sang istri, Zidan segera mengalihkan perhatiannya dari ponsel di tangannya. Dia terpaku melihat penampilan istrinya yang tak pernah membuat dia bosan untuk selalu memandanginya.
"Kayaknya kita nggak jadi pergi, deh." Zidan berdiri lalu menghampiri sang istri yang mengerutkan keningnya karena ucapannya.
"Kenapa? Padahal aku udah selesai bersiap," tanya Deswita sambil mengerucutkan bibir, layaknya anak kecil yang gagal mendapatkan mainan kesukaannya.
Zidan terkekeh lalu mendekap tubuh sang istri. "Karena kamu terlalu cantik malam ini, Sayang. Dan aku nggak mau ada pria lain yang memandangi kecantikanmu ini."
"Kamu bisa aja, sih, Mas," ucap Deswita tersipu malu.
"Jadi gimana? Nggak jadi pergi kita?" tanya Deswita.
"Jadi, dong. Yuk, berangkat." Zidan menggandeng tangan Deswita dan berlalu pergi untuk makan malam di luar.
Sementara dari balik jendela kamar yang mengarah ke luar, Mama Riana menatap kepergian Zidan dan Deswita penuh kebencian.
"Bersenang-senanglah dulu, sebelum nantinya kamu menangis darah karena Zidan akan meninggalkanmu dan membuangmu seperti sampah," gumam Mama Riana lalu menarik gorden dan menutupi jendela kamar.
Di sebuah restoran, Zidan dan Deswita sedang menikmati hidangan yang sudah tersaji. Sesekali Zidan menyuapi sang istri dengan makanan di piringnya.
"Hai, Zi." Sapaan seorang wanita mengalihkan perhatian Zidan dan Deswita. Di dekat mereka sudah berdiri seorang wanita cantik dengan penampilan sedikit terbuka.
"Silvia," gumam Zidan.
"Kamu di sini juga? Tau gitu aku ikut gabung aja tadi." Dengan sikap angkuh tanpa menghiraukan keberadaan Deswita, Silvia menarik kursi di dekat Zidan lalu duduk.
Zidan sendiri merasa tak nyaman dengan kedatangan Silvia, dia bahkan melirik sang istri yang terdiam menunduk sambil menikmati makanan di piring.
"Maaf, Sil, kita harus pergi dulu," pamit Zidan dan beranjak berdiri.
"Mau ke mana, Zi? Makanan kamu aja masih banyak," tanya Silvia mencoba menghalangi Zidan yang ingin pergi.
"Ada urusan yang harus aku selesaikan dengan istriku." Usai mengatakan itu, Zidan menarik tangan Deswita agar berdiri dan melangkah pergi mengikutinya.
Sementara Silvia terlihat sangat kesal karena diabaikan oleh Zidan.
"Awas aja kamu, Zi. Aku bakal bikin kamu bertekuk lutut di hadapanku," gumam Silvia lalu beranjak pergi dari restoran itu.
**
Di dalam mobil, Deswita tak berani bersuara karena sang suami yang terlihat sedang menahan amarah. Mobil yang dikendarai Zidan memasuki area hotel berbintang.
"Mas, kenapa ke sini?" tanya Deswita.
"Malam ini kita nginap di sini, anggap aja bulan madu," jawab Zidan seraya tersenyum.
"Tapi 'kan kita nggak pamit dulu kalau mau menginap, nanti kalau mama atau papa khawatir gimana?"
Zidan menggenggam lembut tangan sang istri. "Kamu tenang aja, Ta. Mas udah kirim pesan ke papa kalau malam ini kita menginap di hotel."
Akhirnya, Deswita mengangguk dan mengikuti kemauan sang suami. Dia tahu jika menginap di hotel hanyalah alasan Zidan untuk menghindari cecaran sang mama sekaligus menenangkan diri karena kehadiran Silvia tadi.
Setelah melakukan check in dan menerima kunci, Zidan dan Deswita bergegas menuju kamar yang dituju sesuai nomor yang ada di kunci tersebut.
Setibanya di kamar, Zidan langsung menutup pintu dan menguncinya. Dia berjalan mendekati sang istri yang berdiri di dekat jendela, melihat lalu lalang kendaraan.
"Mau main berapa kali malam ini?" tanya Zidan seraya melingkarkan kedua tangannya di perut Deswita.
"Main apa?" Deswita pura-pura tak tahu maksud perkataan suaminya.
Zidan melepas pelukannya kemudian membalikkan tubuh Deswita agar menghadapnya. "Ta, jangan tinggalin aku. Berjanjilah, apa pun yang terjadi tetaplah di sampingku dan percaya padaku."
Deswita menatap sang suami yang sudah berlinang air mata, dia pun segera mengusap pipi sang suami. "Bukankah, kita sudah pernah berjanji untuk selalu bertahan meski.badai menerjang? Lalu, apa lagi yang Mas khawatirkan? Aku akan tetap bersamamu, menemanimu berjuang sampai kita bisa menemukan apa itu kebahagiaan yang sesungguhnya."
Zidan merengkuh tubuh Deswita dalam pelukannya, tak hentinya dia menciumi puncak kepala sang istri yang terbalut hijab.
***
Keesokan harinya, Zidan dan Deswita sudah berada di rumah sehabis subuh. Pagi ini Zidan harus ke kantor karena ada pekerjaan yang harus diselesaikan hari itu juga.
Deswita lantas menyiapkan keperluan sang suami seperti kemeja, jas, dasi, dan celana. Selesai menyiapkan pakaian yang akan dikenakan suaminya, dia pun beranjak keluar dari kamar menuju dapur untuk membuatkan segelas susu hangat dan sepiring roti yang sudah dioles selai.
"Enak bener hidup kamu, ya. Alasan makan malam, nggak tahunya menghabiskan uang putraku hanya untuk menginap di hotel mewah. Jadi istri itu yang berguna, dong. Jangan bisanya cuma menghabiskan dan menghamburkan uang suami," hina Mama Riana yang masuk dapur dan melihat Deswita sedang membawa nampan yang berisi segelas susu dan sepiring roti.
"Wita nggak pernah minta untuk menginap di hotel, Ma. Apalagi sampai menghabiskan uang," ucap Deswita membela diri atas tuduhan dan hinaan ibu mertuanya.
"Halah, orang kampungan kayak kamu gini mana mungkin bisa dipercaya. Pantasnya kamu itu jadi pembantu, bukan nyonya di keluarga ini."
Puas melontarkan kalimat yang penuh dengan hinaan, Mama Riana langsung pergi meninggalkan Deswita yang mencoba menahan air mata agar tak jatuh.
Hinaan ibu mertuanya kali ini sudah sangat melukai hati dan harga dirinya. Dia memang berasal dari keluarga biasa, tetapi dia tak serakus dan setamak itu akan harta.
Deswita berpikir jika setelah menikah dengan Zidan, dia akan hidup bahagia dengan keluarga barunya. Namun, harapan tinggallah harapan sebab sang ibu mertua amat membencinya hingga detik ini.
Ingin rasanya Deswita menyerah, tetapi dia teringat dengan janji yang telah terucap bahwa tak akan meninggalkan sang suami apa pun yang terjadi.
"Sarapan dulu, Mas." Deswita meletakkan nampan yang dibawanya tadi di atas meja, sedangkan Zidan masih sibuk memasang dasi.
Selesai memasang dasi, Zidan langsung menghampiri sang istri yang duduk di sofa.
"Kamu habis nangis, Ta?" tanya Zidan saat menyadari mata Deswita terlihat memerah seperti habis menangis.
"Enggak, Mas. Tadi cuma kelilipan aja, kok," elak Deswita agar sang suami tak bertanya lebih.
Zidan pun mempercayai ucapan istrinya, meski dalam hati dia yakin telah terjadi sesuatu pada sang istri. Dia segera menyantap roti yang dibawa Deswita hingga habis lalu meneguk segelas susu hangat.
Setelah selesai sarapan, Zidan berpamitan berangkat ke kantor dan akan pulang saat makan siang nanti. Agar Deswita tak perlu mengantar makanan ke kantor.
"Deswita!"
Mendengar teriakan Mama Riana, Deswita menghentikan aktivitasnya menyetrika pakaian di belakang. Dengan tergopoh dia berjalan menghampiri ibu mertuanya itu.
"Ada apa, Mah?" tanya Deswita dengan napas terengah.
"Punya telinga nggak, sih? Dipanggil dari tadi nggak nyaut, ngapain aja kamu itu?" sentak Mama Riana.
"Maaf, Mah. Tadi Wita lagi setrika baju di belakang, jadi nggak dengar."
"Alesan aja." Mama Riana membuka dompet lalu mengambil beberapa lembar uang.
"Nih, kamu belanja sana. Siang nanti ada tamu penting yang mau datang, sekalian kamu masak dan siapin jamuannya."
Deswita menerima lima lembar uang seratus ribuan dari Mama Riana. Tanpa membantah, dia lantas melakukan perintah ibu mertuanya.
"Jangan lupa beli buah dan kue," imbuh Mama Riana dengan ketus.
"Iya, Mah." Setelah mengucapkan itu, Deswita segera berangkat ke supermarket membeli bahan masakan juga buah dan kue.
Di dalam supermarket, Deswita berjalan ke tempat daging kemudian berpindah ke tempat sayuran dan buah. Setelah dirasa cukup, dia segera membayar belanjaannya di kasir.
Sebelum pulang Deswita mampir ke toko kue langganan ibu mertuanya. Memesan dua box chiffon cake dan brownies coklat keju.
"Sudah semua, sebaiknya aku segera pulang dan memasak sebelum tamu mama datang," gumam Deswita setelah keluar dari toko kue.
Sesampainya di rumah Deswita langsung menuju dapur, kemudian membuka tas belanjaan dan mulai membersihkan dan mengolahnya menjadi hidangan.
Sementara di ruang depan, tamu Mama Riana sudah datang dan beliau menyambutnya dengan senang lalu mengajak duduk di ruang tamu.
"Lama banget Jeng Feni nggak ke sini," ucap Mama Riana.
"Iya, Jeng. Biasalah, harus ikut ke mana suami pergi karena memang terlalu banyak bisnis yamg dikelola."
"Wah, makin sukses aja, ya, Jeng. Ngomong-ngomong Silvia kok nggak ikut ke sini?"
"Masih di jalan, Jeng. Mungkin sebentar lagi sampai," jawab Bu Feni.
Benar saja, tak lama setelah dibicarakan Silvia datang dengan menenteng paperbag berukuran kecil.
"Siang, Tante. Apa kabar?" Silvia memeluk Mama Riana, pun dibalas hal serupa oleh Mama Riana.
"Tante baik, Sil. Kamu makin cantik aja, sih," puji Mama Riana.
"Tante bisa aja," balas Silvia dengan senyum malu-malu.
"Oh, ya, ini Silvia bawain sedikit oleh-oleh buat Tante." Silvia memberikan paperbag yang dibawanya tadi pada Mama Riana.
"Ya ampun, kamu kenapa mesti repot-repot gini. Makasih, ya," balas Mama Riana dan menerima pemberian Silvia.
Mama Riana mempersilakan Silvia duduk bersama mamanya, kemudian Mama Riana ke dalam untuk menemui Deswita yang sedang memasak di dapur.
"Heh, buatkan minuman untuk tamu saya," titah Mama Riana dengan ketus.
"Baik, Mah." Deswita yang sedang memotong daging langsung beralih membuatkan minuman setelah mencuci tangannya.
Deswita memang diperlakukan sangat berbeda dengan Zhia yang tak lain istri dari Revan, kakak Zidan. Jika dengan Zhia, Mama Riana bersikap lemah lembut bak ibu kepada anaknya. Namun, jika dengannya jangankan untuk bersikap lemah lembut, menatap dia pun enggan.
Setelah minuman jadi, Deswita segera meletakkannya di atas nampan beserta kue yang dibelinya tadi, lalu dia mengantarkan ke ruang tamu.
Ketika berada di ruang tamu, Deswita sangat terkejut karena tamu penting yang dimaksud ibu mertuanya adalah Silvia dan mamanya.
Bu Feni memandangi Deswita dari atas sampai bawah dengan sorot mata bertanya-tanya. Sementara Deswita sendiri langsung menyajikan minuman dan kue tadi di meja.
"Jeng Riana punya pembantu baru?" tanya Bu Feni yang memang tak mengetahui pernikahan Zidan.
Dengan raut wajah tak suka, Mama Riana pun menjelaskan siapa Deswita. "Dia istri Zidan."
"Istri? Berarti Zidan udah nikah? Kok, saya nggak tahu, Jeng," cecar Bu Feni.
"Hanya pernikahan biasa, saya sendiri sebenarnya juga nggak sreg punya menantu seperti dia," ujar Mama Riana seraya melirik sinis Deswita.
Mendengar hal itu, Silvia tampak tersenyum menyeringai. Dia berpikir semakin memiliki peluang besar untuk menyingkirkan Deswita, tentunya dengan bantuan mama Zidan.
"Ternyata Tante Riana membenci istri Zidan. Bagus, dengan begitu aku punya peluang untuk mendapatkan Zidan dan menyingkirkan wanita itu dari hidup Zidan selamanya," batin Silvia.
Lagi-lagi Deswita harus kembali mendengarkan ucapan menyakitkan dari ibu mertuanya. Luka yang masih basah kini kembali menganga seperti disiram air garam. Karena tak kuat menahan air mata yang siap keluar, dia pun langsung bergegas kembali ke dalam.
"Ya Allah, sampai kapan aku harus menerima kebencian dari mama? Bahkan, aku sudah berusaha menjadi menantu yang baik, tapi tak sedikitpun beliau menganggapku," batin Deswita.
***
Pukul 11.50 Zidan sudah sampai rumah, dia bergegas masuk hendak menemui sang istri tercinta. Namun, belum sampai dia bertemu Deswita, Mama Riana mneghampirinya dan mengajak duduk di ruang tengah.
"Zi, kamu masih ingat anak Jeng Feni nggak? Itu, lho, Silvia."
"Kenapa memangnya, Mah?" tanya Zidan yang sebenarnya malas menanggapi sang mama yang membahas sesuatu yang sudah bisa dia tebak.
"Sekarang dia makin cantik, lho, Zi. Seandainya kamu belum nikah, mama bakal jodohin kamu sama dia," ujar Mama Riana dengan senyum yang mengembang.
Zidan terdiam sesaat sambil menatap sang mama. "Meskipun Zidan belum menikah sekalipun, Zidan juga nggak akan menikahi dia. Karena Zidan mencari pasangan sekali seumur hidup yang bisa dituntun ke arah yang lebih baik. Dan Silvia bukanlah sosok pendamping yang Zidan mau."
Setelah mengatakan itu, Zidan beranjak pergi ke kamarnya untuk menemui sang istri. Sementara Mama Riana tampak menahan amarah karena perkataan putranya itu.
"Apa pun akan mama lakukan untuk memisahkan kamu dengan wanita kampungan itu, Zi. Karena mama nggak rela kamu memiliki istri yang tidak sederajat dengan keluarga kita. Mama yakin, istri kamu itu hanya mengincar hartamu dan setelah berhasil menguasainya, dia akan meninggalkanmu," gumam Mama Riana.
Di dalam kamar, Deswita tak menyadari kedatangan Zidan karena sibuk menata pakaian di lemari.
"Sibuk banget, sih. Sampai suami pulang pun nggak tahu." Zidan memeluk Deswita dari belakang, membuat istrinya itu berjengkit karena kaget.
"Kamu ngagetin aja, sih, Mas. Kalau aku jantungan gimana?"
"Nanti aku donorkan jantungku buat kamu."
"Kamu mau ninggalin aku?" tanya Deswita seraya membalikkan badan menghadap sang suami.
"Enggaklah, siapa yang bilang kalau aku mau ninggalin kamu?"
"Itu barusan, kamu bilang mau kasih jantung ke aku. Terus kalau jantungnya di aku, kamu pakai jantung siapa?"
Zidan pun menyadari maksud ucapan sang istri. "Aku cuma bercanda, Ta. Mas selalu berdoa, kita akan selalu bersama sampai maut yang memisahkan."
"Aku harap juga begitu, Mas. Entah apa jadinya kalau aku harus hidup sendiri tanpa kamu?"
Deswita memeluk erat tubuh sang suami, dia seperti memiliki firasat tak baik perihal rumah tangganya. Setiap malam perasaannya selalu gelisah, bahkan dia sering bermimpi berada di suatu tempat yang sunyi sepi dan tak ada seorang pun di sana.
"Kamu masak apa tadi?" tanya Zidan mengalihkan pembicaraan agar sang istri tak larut dalam kesedihan.
"Aku masak semur daging dan perkedel. Mas mau makan sekarang atau salat dhuhur dulu?"
"Kita salat dulu aja, nanti makan bersama setelah salat."
Deswita mengangguk, dia segera menyelesaikan pekerjaannya yang tertunda tadi, sedangkan Zidan menuju kamar mandi untuk membersihkan diri dan berwudhu.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!