NovelToon NovelToon

Pengorbanan Anak Pertama

Kecelakaan

"Nika, nanti malam Abang ke rumah ya, ada hal yang ingin abang sampaikan sama Ayah ..." pesan yang baru saja dikirimkan oleh Abrar. Kekasih hati Nika, sejak setahun lalu.

Dan sekarang disini lah, mereka. Di sebuah ruang tamu sederhana mereka duduk lesehan diatas selembar tikar yang sedikit usang.

"Jadi begitu Ayah ... Aku ingin menjadikan Nika istriku ..." seru Abrar setelah menyampaikan maksud kedatangannya.

"Ayah menyerahkan semua ini pada Nika, karena dia yang menjalani biduk rumah tangga nantinya. Jika Nika menerima, Ayah pun demikian." seru Ikram menatap putri sulungnya yang terus meremas tangannya.

"Bagaimana Nika, apakah kamu menerimanya? Jika ia, maka aku akan mengajak kedua orang tuaku untuk melamar secara resmi." papar Abrar.

Nika hanya menganggukkan kepalanya, pertanda dia menerima lamaran Abrar. Padahal, ingin ia mengutarakan beberapa patah kata. Namun, semuanya hilang entah kemana. Bahkan, hanya untuk membuka mulut saja, Nika tidak mempunyai kekuatan.

"Syukur lah ..." lirih Abrar menatap gemas pacarnya.

Firnika, gadis ayu berumur dua puluh dua tahun. Dia memiliki kulit kuning langsat, dan juga hidung mancung, serta rambut panjang bergelombang. Firnika juga mempunyai bentuk tubuh mungil, juga tidak terlalu pendek juga panjang.

"Tapi, Ayah punya beberapa syarat untukmu Abrar ..." ujar Ikram kemudian. Dia bahkan sedikit terkejut karena terlalu fokus menatap Nika.

"Katakan Ayah, akan aku lakukan apapun syarat darimu. Asalkan, aku bisa bersama Firnika." ujar Abrar penuh keyakinan.

"Nika adalah putri kesayangan ku, selain dia anak pertama. Dia juga putri yang baru hadir setelah penantian kami hampir tiga tahun. Makanya, dia kukatakan sebagai kesayangan." terang Ikram.

"Ayah juga menyayangi kalian nak, bukan kah, Ayah tidak pernah membeda-bedakan kalian?" kekeh Ikram, kala mendapatkan tatapan tajam dari dua orang putri lainnya.

Ikram dan istrinya memang memiliki empat orang anak. Firnika, Safana, Kanaya dan Amar. Jika umur Nika sudah dua puluh dua tahun, maka Safana berumur tujuh belas tahun, sedangkan Kanaya berumur Empat belas tahun dan Amar si anak bungsu, berumur sepuluh tahun.

Dikampung mereka, sebenarnya, Nika termasuk perawan tua. Karena disana, rata-rata mereka menikah begitu lulus sekolah SMA.

"Persyaratan Ayah sama dengan orang tua lainnya, hanya ingin anaknya dijaga dan dibahagiakan. Jika salah, tolong dididik dengan penuh kelembutan. Jika bosan, maka kamu kembalikan dia padaku. Jangan sesekali kamu menyakitinya, jangan sesekali kamu menduakannya. Jika suatu hari nanti kamu bosan padanya. Maka serahkan kembali Nika padaku, biar aku yang menjaganya semampuku." tutur Ikram dengan lembut.

"Baik Ayah, aku akan menjaganya segenap jiwa dan raga ku ayah. Aku akan meneruskan tugasmu. Bukan mengantikan peran Ayah, aku hanya melanjutkannya ..." tegas Abrar.

Ikram sangat puas mendengar perkataan Abrar. Dia percaya dan yakin jika Abrar memang lelaki yang pantas untuk Nika.

"Tentang orang tuamu, apakah mereka setuju?" tanya Dian lirih. Bagaimanapun ketakutan perempuan pada umumnya adalah seorang mertua.

"Mereka setuju, karena sebelumnya pun, Nika juga sudah pernah berkenalan mereka. Dan aku juga pernah mengajak Nika mampir ke rumah." papar Abrar. Nika mengangguk membenarkan ucapan Abrar.

"Syukurlah ..." balas Dian.

Setelah beberapa saat, malam pun semakin beranjak. Dan Abrar memutuskan untuk pamit pulang. Karena di daerah mereka masih tabu, jika seorang lelaki berada di rumah perempuan hingga larut malam. Makanya, untuk menghindari fitnah itu, Abrar dan Ikram melanjutkan mengobrol di teras depan.

Setelah kepulangan Abrar. Nika kembali di panggil oleh Ikram dan Dian. Sedangkan anak mereka yang lainnya, sudah tidur sejak tadi.

"Nak, emang kamu siap menikah?" tanya Dian.

"Siap Mak, bukankah, aku sudah dikatakan sebagai perawan tua?" tanya Nika lirih.

"Ah, Emak gak peduli tentang itu. Karena sejatinya pernikahan itu bukan perlombaan, bukan pula target yang harus dicapai saat umur tertentu. Pernikahan itu bukan sesuatu yang mudah nak. Kamu akan jadi seorang Ibu, disana, kamu dituntun untuk bisa sabar nak ..." terang Dian.

"Tapi, sejujurnya aku agak sedikit risih Bu, risih karena selalu ditanya kapan nikah sama teman-teman sebayaku, yang bahkan mereka sudah mempunyai duan anak. Bahkan, ada diantara mereka yang sudah menjadi janda." papar Nika.

"Nak, kamu akan menjadi tanggung jawab Abrar nantinya. Abrar memang terlihat baik dan bertanggungjawab, tapi mungkin dia bisa aja berbeda setelah menikah. Dan kamu harus siap akan hal itu. Kami berdua bukan menakuti mu nak, kami hanya ingin kamu menyiapkan mentalmu sebelum nikah nanti ..." lanjut Ikram.

Nika langsung tersenyum karena paham apa maksud dari omongan orang tuanya. Dia bangga memiliki mereka yang memberikan arahan sebelum pernikahan nanti.

"Aku siap Ayah, Mak ..." balas Nika penuh keyakinan.

Seminggu telah berlalu, malam besok, keluarga Abrar akan datang untuk melamar Nika. Jadi, pagi ini Ikram dan Dian akan ke pasar untuk membeli beberapa keperluan. Karena esok harinya diadakan masak-masak, yang tentu saja dibantu oleh beberapa orang tetangga mereka.

"Kami pergi dulu, nanti jika adikmu pulang sekolah. Katakan padanya, jika kami hanya pergi sebentar." ujar Dian. Yang dimaksudnya adalah Amar.

Amar anak bungsu, yang tidak bisa jauh dari Ibunya.

Perlu diketahui, pekerjaan Ikram adalah sebagai buruh. Dia biasanya mengangkat barang-barang di toko bangunan. Atau apapun, asalkan halal.

"Nanti jika Amar menangis, kamu jangan ikutan nangis. Malu sama umur ..." kekeh Dian lagi.

"Mungkin kami pergi agak lama, jadi kami percaya kamu bisa mengurus ke tiga adikmu itu. Ingat pesan Emak mu, jangan menangis ..." lanjut Ikram mengacak rambut Nika.

"Ayah mah ..." rajuk Nika.

"Eh, kapan lagi kan. Nanti udah nikah, dibawa ama suami ..." kekeh Ikram.

Akhirnya ke dua orang itu pergi dengan menaiki sepeda motor model lama. Dan Nika sendiri masuk ke dalam untuk memulai aksinya. Yaitu, bersih-bersih. Karena itu memang pekerjaan yang belum dilakukannya. Sedangkan untuk makan siang. Dian sudah memasaknya tadi, saat Nika mencuci pakaian.

Tak berapa lama, benar saja adik bungsunya pulang sekolah. Itu ditandai dengan teriakan Amar yang memanggil emaknya.

"Mak mana Kak?" tanya Amar melihat Nika di kamarnya. Amar masih tidur bersama orang tuanya.

Karena di rumah mereka hanya ada dua kamar. Dan kamar satunya lagi, digunakan oleh Nika, Safa, dan Naya.

Dan Ikram berencana akan menambahkan satu kamar lagi di area dapur nantinya. Dan kamar depan, yang dihuninya sekarang, akan diserahkan pada Nika nanti.

"Mak lagi pergi sebentar Amar ..." sahut Nika masih menyapu dibawah ranjang orang tuanya.

"Sama Ayah? Kok gak ada kereta di depan." tanya Amar balik.

"Iya ..." karena biasanya saat kerja. Ikram tidak membawa keretanya. Dia akan di jemput oleh teman satu kampungnya. Itupun, jika bekerja di toko bangunan.

Benar saja, tangis Amar langsung pecah kala mendengar jawaban dari kakaknya.

"Jangan menangis, nanti kita beli jajan di warung depan. Mau?" tawar Nika menaik-turunkan alisnya. Dan tangis Amar langsung berhenti. Karena mendapatkan tawaran yang begitu menggiurkan.

Selang beberapa jam, Safa dan Naya juga kembali dari sekolah. Mereka berdua kembali menggunakan ojek. Karena ini masih termasuk daerah kampung. Safa dan Naya menggunakan satu ojek untuk mereka berdua. Dan itu lebih menghemat pengeluaran.

Dan tentu saja sekolah mereka berdekatan. Safa menduduki kelas tiga SMA. Dan Naya kelas tiga SMP.

Baru saja kedua adik Nika melepaskan sepatunya. Seseorang lelaki paruh baya, yang biasanya menjemput Ayah mereka, datang dengan napas ngos-ngosan.

"O-orang tu-tua ..." lelaki itu seakan seperti orang kehabisan napas. Karena dia baru saja dari tempat kerja, menurunkan besi dari mobil pengangkut untuk dimasukkan ke gudang, toko bangunan.

"Oo Ayah, sedang keluar sama Ibu. Mereka ke pasar ..." ujar Nika, dia berpikir jika lelaki ini mau menanyakan Ayahnya.

"I-iya, mereka kecelakaan ..." balas lelaki itu, setelah mengatur napasnya.

Membatalkan Lamaran

"Ke-kecelakan dimana?" tanya Nika.

"Mereka sudah dalam perjalanan pulang, karena ..."

"Katakan Wak ..." teriak Nika dengan perasaan campur aduk.

"Mereka telah berpulang ... " lirihnya.

Adik-adik Nika langsung berteriak memanggil orang tuanya. Mereka bahkan menangis tanpa malu. Sedangkan Nika langsung lemah, hingga tubuhnya jatuh. Untung, lelaki tersebut dengan sigap menangkap tubuh Nika.

Tak berapa lama, orang-orang berdatangan ke rumah mereka. Karena kabar tersebut telah tersebar begitu cepat. Bahkan di musala juga sudah diumumkan oleh marbot.

Nika sudah lebih baik, dia juga ikut membaca yasin dihadapan mayat orang tuanya, begitu juga dengan ke dua adik perempuannya. Sedangkan Amar, masih saja menangis seraya memeluk tubuh Nika.

Karena sebelumnya, dia juga sudah memeluk Ibunya, namun dilarang oleh beberapa orang, mengingat sang mayit sudah merasakan sakit akibat keluarnya nyawa dari tubuh.

"Kenapa mereka harus meninggal Kak? Kenapa, bukan orang lain aja ..." tanya Amar masih dengan isakan.

"Nak, semua yang bernyawa pasti akan merasakan mati, dan sekarang giliran mereka berdua. Mungkin esok, bisa saja Nenek, ataupun yang lainnya." ujar seorang wanita tua yang mendengar rengekan Amar.

Dan Amar menganggukkan kepalanya, karena sebenarnya tentang kematian dia juga sudah belajar di sekolah. Cuma dia tidak bisa menerimanya, jika itu terjadi pada kedua orang tuanya sekaligus.

Abrar yang mendengar kabar tentang orang tua Nika langsung mendatangi rumah duka. Tak lupa, dia juga mengajak Ibunya untuk ikut serta Sedangkan Ayahnya masih bekerja sebagai supir, di kantor bupati.

Rumah Nika dan Abrar masih satu kecamatan hanya berbeda kampung aja. Jadi, hanya membutuhkan waktu sekitaran sepuluh menit, jika menggunakan sepeda motor.

Begitu sampai di rumah duka. Abrar langsung berbaur dengan warga setempat. Sedangkan Ibunya yang bernama Rina, memilih duduk di samping Nika, agar Nika dan lainnya bisa tahu kedatangannya.

Abrar sendiri mendapatkan kabar jika calon mertuanya mengalami kecelakaan akibat ada satu lembu yang lari tiba-tiba ditengah jalan. Dan sampai sekarang, tidak ada yang tahu pemilik dari lembu tersebut.

Di daerah mereka memang sudah biasa, jika ada lembu ataupun kambing yang berkeliaran di jalanan. Apalagi, sekarang baru saja selesai panen. Rata-rata semua orang melepaskan hewan ternak mereka agar bisa mencari makan sendiri.

Karena fardu kifayah sudah selesai, ke dua mayat di bawakan ke kuburan. Banyak orang-orang yang mengantar mereka ke tempat peristirahatan terakhir.

Amar kembali menjerit kala melihat kedua orang tuanya dimasukan ke liang lahat. Dia bahkan harus ditahan oleh Abrar, yang berada tidak jauh dari tempat Nika berada.

Mata Abrar terus memperhatikan Nika. Tidak ada air mata disana. Namun, dia bisa melihat luka yang lebar darinya.

Safa dan Naya masih saja memeluk erat tubuh Nika. Mereka masih saja menangis tersedu-sedu mendapati kenyataan yang menyakitkan.

Satu persatu orang mulai pamit pulang. Nika dan adik-adiknya masih betah berada disana. Dan tentu saja, Abrar ikut menemani sedangkan Rina sudah pulang terlebih dahulu.

"Nika ,,, kita pulang yok ..." ajak Abrar. Karena mereka sudah berada disana hampir satu jam lamanya.

Melihat Amar yang tertidur di pangkuannya, Nika pun berdiri dengan susah payah. Dan Abrar dengan sigap mengambil alih Amar untuk digendongnya.

Safa dan Naya masing-masing memeluk lengan Nika. Mereka berjalan dengan pikiran masing-masing.

Sedangkan Nika, dia terus saja menyalahkan dirinya. Andai dia tidak menerima lamaran Abrar, mungkin hal ini tidak terjadi. Andai orang tuanya tidak ke pasar, mungkin musibah ini gak pernah ada.

Tanpa sadar mereka semua sudah sampai disana. Dan Nika langsung mendapatkan pelukan dari Abang Dian.

"Kamu yang sabar ..." bisik Samsul yang baru tiba.

Samsul merupakan saudara satu-satunya Dian. Dia berada di kota yang berbeda dengan Dian. Karena dia merantau ke tempat lain. Dan perjalanan dari kotanya ke tempat Nika menghabiskan waktu hampir enam jam lamanya. Dan Samsul, malah menyuruh orang sana untuk segera menguburkan Dian. Karena dia pun gak mau, jika adiknya berada di dunia lebih lama. Karena setahunya, orang-orang meninggal lebih membutuhkan untuk dikuburkan dengan segera.

Lagipula, sebelumnya Samsul tidak yakin bisa pulang hari ini juga. Karena dia terkendala dengan biaya. Beruntung istrinya berhasil meminjam uang dari nyonya tempat dia menjadi tukang cuci dan setrika. Karena Samsul sendiri tidak lagi bisa bekerja berat, dia hanya bisa menjaga warung kecilnya. Karena dia menderita penyakit diabetes serta sesak.

"Kamu harus kuat Nika, demi adik-adikmu ..." lanjut Samsul menyeka sudut matanya.

"Iya Wak ..." balas Nika. Dia juga memeluk istri dari waknya yang berada di samping Samsul.

Samsul dan istrinya juga melakukan hal yang sama pada ke tiga anak almarhum lainnya.

Malam harinya, setelah pengajian dan pengiriman doa kepada almarhum-almarhumah, orang-orang mulai meninggalkan kediaman Nika. Tinggallah, disana keluarga Samsul yang berniat akan menginap selama tiga hari lamanya. Karena dia tidak bisa terlalu lama meninggalkan rumahnya. Karena dia pun masih mempunyai dua orang anak yang tinggal disana. Sebab mereka tidak bisa ikut, karena terkendala biaya.

Beruntung kedua anaknya lelaki dan sudah bisa menjaga diri. Karena mereka memang di didik untuk bisa mandiri.

"Maaf perkenalkan saya Rina. Saya Ibu dari Abrar, yang mana, rencananya malam esok, akan datang kesini untuk melamar Nika ..." seru Rina membuka obrolan setelah beberapa saat mereka terdiam.

Karena sebelumnya pun, Nika berada di kamarnya, menidurkan Amar yang kembali teringat Emaknya.

"Ah iya, Dian dan Ikram sempat menelpon saya, untuk mengabarkan hal bahagia ini ..." kekeh Samsul.

"Iya ,,, dan karena musibah ini. Aku sebagai Ibu dari Abrar, membatalkan rencana tersebut ..." ucap Rina tanpa kendala.

"IBU ..." teriak Abrar tidak terima, dia bahkan sampai berdiri dari duduknya. Padahal, mereka sedang duduk lesehan di ruang tamu.

"Dengarkan Ibu dulu Abrar ..." Rina melototi Abrar yang dinilainya tidak sopan.

"Duduk lah, dan dengarkan apa yang dimaksud oleh Ibumu ..." seru Samsul dengan tegas.

Nika dan lainnya menatap penasaran ke arah Rina, yang sedang memperbaiki cara duduknya. Dan Abrar, kembali duduk di dekat Ibunya.

"Jadi begini, seperti yang kita semua ketahui. Jika orang tua Nika telah meninggal, dan meninggalkan empat orang anak. Dan tiga diantaranya masih sekolah." Rina kembali bersuara.

"Aku gak setuju jika Abrar menikah dengan Nika, karena setelah ini, pasti anakku yang akan menanggung semua kebutuhan adik-adiknya. Kecuali, Nika mau tinggal di rumahku, meninggalkan adik-adiknya disini ..." jelas Rina.

Nika langsung menatap Abrar dan Samsul bergantian. Dia gak mungkin bisa tenang meninggalkan adik-adiknya disini, sedangkan dia sendiri hidup bersama Abrar.

"Dan semua keputusan ada ditangan Nika ..." lanjut Rina.

"Bu ... Itu gak mungkin Bu ..." bela Abrar.

"Diam ..." tekan Rina, bahkan mencubit paha Abrar.

Nika, Setuju

"Bu, udah ... Nika ini pilihanku, jadi aku siap hidup bersama Nika. Walaupun harus tinggal bersama adik-adiknya." berang Abrar muak dengan Ibunya.

"Abrar ..." lirih Rina.

"Ibu melakukan semua ini untukmu Abrar, Ibu gak mau jika nanti kamu kesusahan. Kamu menyesal." balas Rina.

"Ini semua gak benar Bu, aku yakin jika nanti pasti ada aja rejekinya. Apalagi mereka anak-anak yatim piatu, dan sudah pasti rejeki yang aku dapatkan jauh lebih berkah." Abrar masih keukeh.

"Aku tetap keberatan, aku gak setuju. Karena aku gak sudi, jika kamu harus membiayai mereka semua." larang Rina.

"Cukup Bu, cukup. Seharusnya, biarkan mereka membicarakan ini berdua dulu." bela Samsul.

"Oo gak bisa, aku gak mau jika nanti Nika kembali menggoda putra saya. Aku gak rela ya ..." cetus Rina.

"Nak ,,, bagaimana menurutmu?" tanya Samsul menatap Nika.

Abrar langsung mendekati Nika.

"Aku mohon, jangan dengarkan Ibu, kita berjuang sama-sama Nika, kita akan mencari jalan keluarnya sama-sama." mohon Abrar memegangi tangan Nika.

"Aku setuju Bu, aku akan membatalkan lamaran ini ..." balas Nika dengan penuh keyakinan.

Dan Abrar dengan lemah melepas genggaman tangannya.

"Nika ..." lirihnya, dengan air mata yang jatuh di pipinya.

Sakit tentu saja. Namun, dia tidak bisa menyalahkan Nika. Karena dia tahu, pasti Nika merasakan hal yang sama.

"Kamu dengar sendirikan? Ayo kita pulang ..." ajak Rina mendekati Abrar yang masih bengong.

"Gak, ini semua gara-gara Ibu. Ibu yang membuat Nika membatalkan rencana kami. Ibu yang bersalah ..." teriak Abrar.

Plak ... Rina dengan entengnya menampar pipi Abrar. Baginya, Abrar sudah sangat keterlaluan.

"Pulang lah, selesaikan masalah kalian di rumah. Karena gak baik buat keributan disini. Apalagi, disini masih berduka ..." usir Samsul.

"Wak, tolong ..." Abrar kembali mendekati Samsul. "Tolong bujuk Nika, tolong bujuk dia untuk kembali menerima ku wak. Katakan padanya, jika aku mau tinggal disini, dan berjuang bersamanya." mohon Abrar.

"Pulang lah, dulu nak. Bicarakan hal ini dengan Ibumu terlebih dahulu ..." sahut Samsul dengan tenang.

Abrar kembali menatap ke arah Nika. Namun, dengan teganya Nika memalingkan wajahnya.

Kemudian Abrar bangkit dengan lemah, dia pergi meninggalkan kediaman Nika. Beruntung, dia masih waras memboncengi Rina dibelakang sepeda motornya. Tapi, tidak ada sepatah katapun yang keluar dari bibirnya saat dalam perjalanan pulang.

Sampai di rumah. Abrar baru menatap nyalang ke arah Ibunya.

"Kenapa Bu? Kenapa Ibu tega sama aku?" tanya Abrar dengan menjaga intonasinya.

"Ya, karena Ibu menyayangimu nak, Ibu gak tega melihat kamu menderita. Ibu gak rela." ujar Rina memegangi pipi Abrar. Namun, ditepisnya.

"Terus Ibu mau aku gila?" berang Abrar.

"Gak, Ibu akan mencari seseorang yang jauh lebih cantik dari Nika. Ibu akan mencari yang lebih kaya, sehingga kamu tidak perlu capek-capek menafkahi orang lain." terang Rina.

"Aku hanya mau Nika Bu, hanya Nika. Aku mencintainya Bu ..."

"Cinta akan hilang seiring waktu Abrar. Kamu akan menemukan cinta yang lain." kembali Rina membujuk Abrar.

"Tidak Bu, jika tidak dengan Nika. Maka aku tidak akan menikah." seru Abrar dengan penuh keyakinan.

"Dia udah menolakmu. Ingat itu."

"Tapi semua gara-gara kamu Bu, kamu penyebabnya." teriak Abrar.

"Kalo gitu, kamu gak usah Nikah sekalian." seru Rina jengkel.

"Oke, jika bukan dengan Nika. Maka tidak ada lagi wanita lain di hatiku." ujar Abrar kembali melangkah pergi.

"Abrar, kamu mau kemana Abrar? Kembali!" teriak Rina.

Tetapi Abrar tidak peduli, dia malah menaiki sepeda motornya dan melaju dengan kecepatan tinggi.

"Pasti ke rumah Nika ..." gumam Rina. Dia pun menjatuhkan tubuhnya ke atas sofa.

Keluarga Abrar memang bukan tergolong keluarga kaya. Rina sendiri seutuhnya menjadi Ibu rumah tangga. Dia hanya mengandalkan gaji dari suaminya. Sedangkan Abrar, dia hanya seorang petani. Dia menanam aneka jenis sayur-sayuran, mulai dari cabe, tomat dan juga bawang. Serta aneka ragam sayuran lainnya.

Maka dari itu, dengan menjual hasil tanamannya, Abrar bisa membeli sepetak kebun sendiri. Dia yang sebelumnya menyewa kebun orang. Sudah bisa menanam di tempat sendiri.

Rina kembali menghubungi suaminya. Dia mengatakan jika esok suaminya tidak usah pulang. Karena lamarannya sudah dibatalkan. Semula Ilham, suami dari Rina keberatan tentang hal itu. Namun, Rina tetap Rina. Dia masih keukeh pada pendiriannya.

"Dia anak kita satu-satunya Bang, aku tetap gak setuju." seru Rina dan menutup panggilan dengan segera.

Kembali ke rumah Nika. Nika memasuki kamar mendiang orang tuanya. Disana, sudah ada ke tiga adiknya yang tertidur pulas. Karena kamar yang sebelumya digunakan oleh mereka. Sekarang, dihuni oleh Samsul dan istrinya.

Akhirnya, Nika menjatuhkan air matanya. Dia menangis sembari menutup mulutnya.

"Aku janji Mak Ayah, aku janji hanya akan menjaga adik-adikku." gumam Nika dalam tangisnya.

Safa yang tiba-tiba terjaga dari tidurnya. Mendengar suara tangis. Dan dia kembali memejamkan matanya, kala mengetahui jika yang menangis ialah Kakaknya.

Karena kasihan akan Nika, akhirnya Safa memilih bangun untuk memeluk kakaknya.

"Maaf, kamu terganggu karena Kakak ya?" Nika menyapu bekas air matanya. Dia juga menjaga intonasinya agar jangan terlihat menangis.

"Kakak rindu Mak sama Ayah juga ya?" Safa balik bertanya. Ia turun dari ranjang, dan mendekati Nika yang duduk lesehan di dekat ranjang.

"Sama, aku juga. Tapi, bukankah, kita harus ikhlas? Kakak nangis aja, aku tahu kok. Jika kak Nika ingin terlihat kuat sama kita. Padahal, kakak juga kehilangan mereka." ujar Safa kembali membuat Nika menjatuhkan air matanya.

Safa dan Nika pun kembali larut dalam tangis mereka.

"Kak Nika harus kuat. Karena sekarang, kami hanya punya kak Nika. kak Nika pengganti Mak sama Ayah." bisik Safa.

Dan Nika kembali mengeratkan pelukannya.

"Kita tidur, kamu kembali lah ke atas. Biar kakak tidur dibawah." ujar Nika membuat Safa mengangguk patuh.

"Ternyata pilihanku tepat. Lebih baik kehilangan orang yang dicintai. Dari pada kehilangan mereka yang sudah mencintaiku dan bersama sejak lama." batin Nika.

Nika memang menangis. Namun bukan karena kehilangan cintanya. Melainkan karena kehilangan orang tuanya.

"Tenyata aku tidak sekuat yang kalian kira ..." gumam Nika sebelum menutup matanya.

Di tempat lain, Abrar menjauh sejauh-jauhnya dari rumah. Dia hany ingin menenangkan pikirannya. Jika ingin menemui Nika kembali, rasanya percuma saja. Karena mungkin, Samsul kembali melarangnya.

Jadi sekarang, disini lah Abrar. Dia berada di tepi laut. Laut yang sangat jarang disinggahi oleh manusia.

Abrar berteriak sepuasnya. Dia meluapkan seluruh perasaannya dengan tangis yang tidak akan disembunyikan. Sampai akhirnya, dia ditemani oleh rintik-rintik dari langit, yang seakan ikut merasakan kepedihannya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!