NovelToon NovelToon

Klub Film Ini Bermasalah!

Gadis di Sudut Kota

Dika menghirup napas panjang di padatnya kota Jakarta. Cahaya matahari yang datang dari timur menyinari peron stasiun. Untuk sesaat, Dika memeriksa layar ponselnya.

-----

Pukul

06:45

Senin/1/7/2052

-----

Dika merasa kalau masih ada banyak waktu untuk berangkat ke sekolah barunya. Lagipula hari ini adalah semester baru dan sekolah akan dimulai pukul delapan pagi. Karena itu, Dika berniat untuk berjalan-jalan di sekitar stasiun.

Peta wilayah Indonesia mengalami banyak perubahan selama lebih dari sepuluh tahun terakhir. Selain ada banyak daerah yang tenggelam karena naiknya permukaan air laut akibat pemanasan global. Beberapa kota padat di Indonesia juga mengalami penurunan penduduk. Tidak lain dan tidak bukan karena pandemi yang melanda dunia pada dua puluh tahun lalu.

Dika tersenyum kecil melihat pemandangan kota Jakarta dari lantai dua di sebuah stasiun. Pada nyatanya, kota Jakarta masih menjadi kota padat seperti kata para orang tua yang masih diberikan kehidupan oleh tuhan.

Seusai berpetualang ke beberapa tempat terkenal di kota Jakarta. Dika menghembuskan napas panjang dengan bersantai pada taman yang sepi. Jarak dari taman menuju ke sekolah barunya tidak begitu jauh. Karena hal itu, Dika memutuskan untuk beristirahat sejenak.

Cahaya matahari yang perlahan naik membuat seluruh tubuh Dika terasa bugar. Dia jadi teringat dengan kebiasaannya di tempat tinggal dulunya. Dika sering kali memanfaatkan cahaya matahari pagi untuk menjaga tubuhnya tetap sehat.

"Tapi, ini bukan salahmu!" seru suara seorang gadis.

Mendengar itu, Dika langsung menoleh ke tempat datangnya suara tersebut. Sebab Dika berpikir ada pertengkaran antara pasangan kekasih di pagi hari.

Seorang gadis dengan rambut hitam pendek berdiri di atas gundukan pasir. Gadis itu mengenakan blazer berwarna biru dengan rok bercorak garis. Dengan alunan angin yang tipis, perlahan gadis itu berbalik dan memperlihatkan pipinya yang tirus.

Sambil memegang beberapa lembar kertas di tangan kanannya. Gadis itu mengucapkan dialognya dengan penuh semangat. Ketika sedang asyik dengan hal itu. Gadis itu kehilangan keseimbangan dan membuat terjatuh dari gundukan pasir. Beberapa lembar kertas yang gadis itu pegang langsung jatuh ke tanah terseret oleh embusan angin yang kecil.

Salah satu kertas itu jatuh mendekat ke arah Dika. Merasa penasaran, Dika memungut kertas tersebut dan melihat kalau itu adalah skenario film. Dengan segera, Dika menghampiri gadis yang kesusahan mengumpulkan lembaran skenario film dan mengantarkan salah satu halaman.

"Ini milikmu, 'kan?" Sapa Dika berniat untuk membuka obrolan.

"Ah, terima kasih. Ini sangat membantu," ucap gadis itu dengar cepat, "Ngomong-ngomong, aku belum pernah melihatmu di tempat ini sebelumnya. Apa suaraku mengganggumu?"

Dika menggelengkan kepala dengan cepat. Dia menjelaskan kalau dirinya baru saja tiba di kota Jakarta hari ini. Dika meminta maaf karena sejak tadi diam-diam memperhatikan gadis itu dari kejauhan.

"Kalau begitu, kamu seorang murid baru, ya?"

"Begitulah," jawab Dika dengan cepat, "Ngomong-ngomong apakah keberadaanku mengganggumu? Itu skenario film, 'kan?"

Mata gadis itu berbinar untuk sesaat seolah-olah senang ada orang yang bisa diajak berbicara, "Eh, tidak-tidak. Aku hanya sedang meluangkan waktuku. Perkenalkan, namaku Chika Jessica."

"Namaku Dika Ananto."

Chika mengajak Dika untuk duduk di kursi taman dekat gundukan taman. Dia ingin menunjukkan sesuatu pada Dika. Disana ada sebuah tas dengan air botol minum yang kemungkinan besar milik Chika.

Dika langsung bersandar pada bagian punggung kursi. Melihat pemandangan taman yang sepi dengan kemarau yang hangat. Dika teringat kalau dirinya membawa sebuah kamera di dalam tasnya. Jadi, dia langsung mengambilnya dan merekam taman yang rindang.

"Tunggu, jangan mengarahkan lensa itu ke arahku!" seru Chika.

Dengan memegang kamera Dika menolehkan lensanya ke arah Chika, "Eh, memangnya kenapa?"

Wajah Chika langsung memerah setelah disorot oleh kamera. Dika tertawa kecil melihat itu. Untuk sesaat, dia mengerti mengapa wajah Chika menjadi sangat merah. Kemudian Chika langsung menoleh ke sisi lain karena malu.

Chika mengeluh pada Dika untuk memberikan aba-aba padanya jika Dika ingin merekam sesuatu secara sembarangan. Dia langsung penasaran apakah Dika merekam momen dimana dirinya sebelum bertemu tadi.

"Tenang saja. Aku bukan pria yang seburuk itu sampai merekam orang lain tanpa izin," ucap Dika sambil memberikan kameranya pada Chika.

Chika menghembuskan napas kecil sambil memeriksa kamera milik Dika. Dia menemukan banyak rekaman milik Dika.

Kameranya yang diperiksa oleh Chika. Entah kenapa membuat Dika merasa malu. Sebab selama ini belum ada yang melihat rekaman dalam kamera Dika. Dengan segera, Dika berdiri dan berjalan menuju ayunan yang terlihat berkarat.

Dika memperhatikan ekspresi Chika yang terlihat diam dalam waktu lama. Melihat Chika dengan wajah seperti itu membuat Dika menelan ludah dan bertanya-tanya apa yang terjadi.

Tidak butuh waktu lama Chika memanggil Dika. Chika mengaku kalau dia sudah memeriksa rekaman pada kameranya dan tidak ada rekaman Dika merekam Chika secara diam-diam. Chika juga meminta maaf karena sudah menuduhnya.

Dika mengangkat kedua bahunya dengan ringan, "Tidak apa. Itu adalah hal yang normal dilakukan oleh seorang gadis jika mereka merasa terancam."

"Membicarakan tentang rekaman yang ada di kamera itu. Aku cukup terkejut kalau pengambilan gambarnya sangat bagus," puji Chika.

"Aktingmu tadi juga bagus, kok."

"Ah, tolong jangan memujiku. Aku hanya ingin meluapkan emosiku dalam kehidupanku yang tidak begitu menyenangkan," keluh Chika, "Lagipula aku juga tidak terbiasa dengan kamera. Makannya sulit bagiku untuk menjadi seorang aktris."

Dika memicingkan kedua matanya, "Kamu pasti bercanda, 'kan? Melihatmu tadi. Kamu itu layak untuk menjadi seorang aktris, loh."

"Jangan bilang, kamu selanjutnya akan memintaku untuk menjadi aktris dalam film mu?"

Dika menghembuskan napas berat. Niatnya terbaca begitu cepat. Padahal Dika belum mengucapkannya. Memang mengerikan insting seorang gadis.

"Bagaimana jika kita berangkat ke sekolah bersama?" tawar Chika sambil memperlihatkan ponselnya, "Sekarang sudah pukul setengah delapan pagi."

"Eh, seragam yang kamu kenakan itu dari SMA Penerus Bangsa, ya?" tanya Dika, "Kupikir kamu berasal dari sekolah lain. Rasanya cukup kebetulan. Maaf, ya. Aku tidak tahu sama sekali tentang sekolah baruku. Jadi, tidak bisa mengenali seragam sekolah SMA baruku rasanya cukup menyedihkan."

Chika berdiri dari kursi sambil meregangkan tubuhnya. Dia mengangkat kedua bahunya sambil tertawa kecil karena melihat Dika seperti orang yang ceroboh. Kemudian Chika berkata kalau Tuhan selalu mempunyai cara yang aneh untuk menghubungkan pertemuan setiap orang.

Dika dan Chika dengan cepat meninggalkan taman. Keduanya berjalan menuju jalan lebar yang melewati gang perumahan. Dika langsung melihat beberapa laki-laki yang memiliki seragam sama seperti dengannya.

"Apakah kamu orang kaya?" tanya Chika penasaran, "Maksudku, orang macam apa yang daftar ke sekolah barunya tapi tidak melihat brosur atau informasi apapun tentang sekolah barunya itu."

"Yah, ada banyak hal yang terjadi di masa lalu. Tapi, yang pasti. Aku langsung di daftarkan ke sekolah ini oleh kakekku tanpa persetujuanku."

"Oke, itu terdengar mengerikan."

"Dia bukan orang yang seburuk itu. Aku memang sudah bahagia di sekolah lamaku," jelas Dika, "Tapi, tidak ada salahnya untuk keluar dari zona nyaman."

"Terlihat dengan jelas dalam kamera itu," kata Chika, "Apa tujuanmu selanjutnya ke sekolah ini?"

"Benar juga," ucap Dika dengan pelan, "Mungkin aku akan menciptakan film terbaik yang pernah ada."

"Hahaha itu terdengar menyenangkan, wahai sutradara," Chika tertawa mendengar alasan Dika, "Jika kamu membutuhkan orang untuk menulis skenario. Tolong hubungi aku kapan saja. Lagipula halaman skenario yang kamu pungut tadi adalah tulisanku."

"Tentu saja. Aku pasti akan menghubungimu."

Kehidupan Sekolah yang Baru

"Perkenalkan, namaku Dika Ananto. Sebelumnya aku tinggal di pulau utama. Namun, karena ada banyak hal yang terjadi. Aku dipindahkan secara mendadak ke sekolah ini," ucap Dika dengan lantang di depan kelas.

Beberapa orang langsung bertepuk tangan mendengar perkenalan Dika. Ada juga yang tidak peduli. Namun, ada juga yang bergosip tentang pulau utama.

Pulau utama adalah pulau buatan yang diciptakan oleh pemerintah Indonesia pada tiga puluh tahun lalu karena kepadatan penduduk beberapa daerah di Indonesia. Letaknya di dekat pulau Kalimantan. Ada rumor kalau pulau buatan adalah pulau dengan infrastruktur yang maju. Namun, itu tidak benar. Pulau buatan tidak beda jauh dengan pulau Jawa. Hanya saja, pulau buatan diisi oleh orang-orang kalangan kelas atas.

Dengan cepat Dika diarahkan pada kursi belakang yang dekat dengan jendela. Untuk sesaat, Dika tersenyum kecil. Menurutnya kursi belakang dekat jendela sangat identik dengan posisi protagonis dalam novel jepang. Karena itu, Dika merasa tidak cocok dengan posisi duduk tersebut.

"Baiklah, karena saya ada urusan mendadak. Kalian belajar sendiri terlebih dahulu sampai jam sembilan," ucap seorang guru, "Saya ada rapat dengan komite sekolah pada pagi ini. Kalau saya tidak kembali pada jam sembilan. Saya akan menganggap kelas ini kosong. Jadi, jangan ada yang berkeliaran di kantin atau koridor. Kalian pasti sudah tahu konsekuensinya, bukan?"

"Baik, Bu."

Guru tersebut langsung mengambil spidol dan menuliskan beberapa kata di papan tulis putih, 'SILAHKAN BELAJAR SENDIRI'. Dengan segera, guru itu meninggalkan kelas.

Dika menghembuskan napas panjang sambil menyandarkan kepalanya di permukaan mejanya. Memperkenalkan diri di depan kelas sangat menguras energi Dika.

Melihat pemandangan sekolah yang cukup berbeda dengan di pulau utama sangat membuat Dika terkejut. Di SMA Penerus Bangsa ini setiap murid mempunyai kebebasannya tersendiri. Bahkan, sekolah di pulau utama memaksa muridnya untuk memiliki rambut hitam. Sedangkan di sekolah ini ada beberapa orang yang mewarnai rambutnya.

Rasanya Dika semakin penasaran mengenai alasan kakeknya menuliskan surat wasiat untuk memindahkan Dika ke sekolah ini. Tapi, karena orang tuanya sangat percaya dengan kakeknya. Mereka hanya bisa mengabulkan permintaan kakek. Awalnya Dika menolak. Apalagi dia terpaksa tinggal sendiri di kota Jakarta. Walau begitu, dia tetap dikirimi uang dari orang tuanya pada setiap bulannya.

Seorang pemuda yang duduk di depan Dika langsung mengajak Dika untuk berbicara. Dengan rambut pirang serta wajahnya yang tampan. Pemuda itu mengenakan earphone di dalam kelas. Dika merasa kalau pemuda itu sangat populer dikalangan para gadis. Sebab ada beberapa gadis yang melihat pemuda itu dari kejauhan.

"Juan Imanuel," ucap pemuda itu sambil menyodorkan tangannya ke arah Dika.

"Dika Ananto," balas Dika sambil menjabat tangan Juan.

"Pasti ada banyak pertanyaan yang ingin lu sampaikan mengenai sekolah ini, bukan?" tanya Juan sambil mengangguk kecil, "Tanyakan saja. Kebetulan gue adalah Ketua Kelas disini. Jadi, gue ingin membuat siapapun nyaman di kelas ini."

"Yah, memang ada banyak hal yang ingin kutanyakan."

Dika perlahan melirik ke seorang gadis yang berada di sebelah kanannya. Gadis itu memiliki rambut hitam bob yang terlihat layaknya boneka. Dengan tablet kecil di depannya. Gadis yang terlihat penyendiri itu terus mengetik sesuatu dengan menggunakan keyboard kecil.

"Namanya Mona," kata Juan dengan suara pelan, "Tolong jangan mengganggunya. Bisa dikatakan itu pekerjaannya. Yah, dia memang tidak pernah terbuka pada orang lain. Namun, katanya dia menulis novel di internet untuk membiayainya keluarganya."

Dika mengangguk pelan. Dia sebenarnya ingin menyapa gadis itu karena duduk di sebelah kanannya. Namun, karena gadis itu terlihat fokus dengan pekerjaannya. Dika tidak ingin mengganggu keseriusan gadis itu.

Merasa menganggu pikirannya. Dika bertanya mengapa aturan mengenai kedisiplinan para murid jauh lebih renggang dibanding di pulau utama. Dika mengeluh kalau dia harus selalu mengeluarkan uang untuk selalu memotong rambut dengan model gaya rambut yang sama.

Juan memegang dagunya. Dia menghela napas panjang kalau dia pernah mendengar rumor tentang kedisiplinan para murid selalu terjaga di pulau utama. Juan menepuk pundak Dika dan berkata kalau sekolah ini mempunyai aturan kebebasan untuk para muridnya.

"Dengan catatan, nilai ujian kita tetap terjaga," ungkap Juan, "Karena itu, sekolah ini mempunyai banyak klub. Sekolah juga membuat aturan agar para murid wajib mengikuti minimal kegiatan satu klub dalam seminggu untuk mencari potensi terjauh para murid."

"Jadi, begitu," gumam Dika, "Sekolah ini menawarkan banyak jalan kepada para murid agar menggali potensi tertinggi dalam kehidupan mereka. Apa ini yang dimaksud oleh kakek?"

"Apakah lu bawa ponsel?" tanya Imam, "Gue akan memasukkan nomor lu ke dalam grup kelas. Jika ingin menanyakan sesuatu tanyakan saja disana."

Dika langsung menyerahkan ponselnya kepada Juan. Dengan segera, grup kelas 2-B muncul di dalam ponselnya. Juan kembali menepuk pundak Dika dan mengucapkan selamat datang ke kelas 2-B.

...***...

Bel istirahat pertama berbunyi nyaring di sepanjang koridor. Dika yang menikmati pemandangan dari jendela perlahan berdiri untuk meregangkan tubuhnya. Dia berjalan menuju jendela yang berada di dekatnya.

SMA Penerus Bangsa memiliki empat gedung dengan mengelilingi lapangan serbaguna di tengah sekolah. Ada tiga gedung utama yang dipakai untuk pembelajaran para murid dengan tinggi tiga lantai. Kelas 2-B berada di lantai dua.

Satu gedung lainnya dipakai untuk kegiatan klub sekolah. Dika berniat untuk datang ke gedung yang berisi klub sekolah. Sebab dia agak tertarik dengan konsep kebebasan yang ditawarkan oleh sekolah ini.

Dari pintu masuk kelas. Dika mendengar suaranya dipanggil oleh Juan. Merasa penasaran apa yang terjadi. Dika mendapatkan informasi kalau dia dipanggil ke ruang guru.

"Lu belum bertemu dengan wali kelas 2-B, kan?" tanya Juan, "Kebetulan Bu Indah baru saja datang ke ruang guru. Dia ingin meminta maaf karena tidak bisa berkenalan lebih awal karena dia terjebak macet. Bu Indah juga ingin memberikan rincian tentang sekolah ini."

"Kalau boleh tahu, ruang gurunya ada dimana?" tanya Dika dengan cepat.

"Ada di lantai pertama gedung klub sekolah," jelas Juan, "Mau gue antar kesana?"

Dika menggelengkan kepala. Dia sudah cukup mengerti dengan denah sekolah setelah diberitahu oleh Juan saat jam pembelajaran sebelumnya. Justru Dika menanyakan wajah wali kelasnya pada Juan agar dia bisa mengetahuinya lebih cepat saat memasuki ruang guru.

Juan membuka ponselnya. Dia menunjukkan foto kekompakan para murid bersama wali kelas. Ada seorang wanita berkacamata dengan rambut hitam panjang mengenakan kemeja putih tanpa lengan dengan rok hitam. Juan mengenalkan namanya Bu Indah.

"Oke, itu sudah cukup jelas," kata Dika sambil mengingat wajah wali kelasnya, "Dari penampilannya, dia populer dikalangan laki-laki, ya?"

Juan menggaruk-garuk bagian belakang kepalanya. Tebakan Dika itu benar. Karena itu, Juan meminta Dika untuk tidak terlalu dekat dengannya. Sebab Bu Indah sangat menarik perhatian.

Mendengarnya dari Juan membuat Dika menghembuskan napas berat. Dia tidak boleh dekat dengan orang yang merepotkan. Sebab itu hanya akan menjauhkan dari impian yang ingin Dika kejar.

Dika langsung berjalan melewati koridor dan menuruni tangga. Dia hanya bisa berharap jika wali kelasnya bukan orang yang merepotkan. Hingga tanpa dia sadari, Dika sampai di depan ruang guru.

Mengunjungi Klub

Dika memasuki ruang guru yang ramai. Selain ada para guru yang berbicara satu sama lain. Ada juga beberapa murid yang sepertinya sedang berkonsultasi dengan para guru.

"Kamu yang namanya Dika, ya?" sapa seorang wanita yang berasal dari belakang Dika.

Dika terkejut setelah melihat sosok wanita yang datang dari luar ruang guru. Dengan kacamata hitam serta rambut yang diikat menjadi ekor kuda. Dika sudah jelas mengerti kalau itu adalah wali kelasnya yang dibicarakan oleh Juan.

Wanita itu memperkenalkan dirinya sambil bersandar di dinding dekat pintu sambil memegang botol berisi kopi.

Wanita tersebut dikenal dengan panggilan 'Bu Indah'. Dikatakan umurnya masih 25 Tahun. Ketekunannya sebagai guru membuat dia naik ke jejak pendidikan yang lebih tinggi dari beberapa orang di ruang guru.

Mendengar ceritanya secara langsung. Membuat Dika merasa kagum dengan wali kelasnya itu. Biasanya orang tidak terlalu peduli dengan S2 jika mereka sudah lulus dari S1. Menurut cerita Bu Indah. Dia senang mempelajari banyak ilmu baru.

"Ayo kita ke meja saya. Jika kita berbicara di sini hanya akan menganggu orang yang keluar-masuk ke dalam ruang guru," pinta Bu Indah.

Meja Bu Indah terletak di sudut ruang guru. Tepatnya membelakangi jendela. Jadi, tanpa kipas angin. Tempat duduk Bu Indah sudah mendapat keuntungan sendiri karena mendapat udara segar dari luar ruangan.

Bu Indah menyerahkan selembar catatan untuk pengisian biodata kepada Dika. Dika merasa heran dengan itu. Karena dia sudah pernah mengisinya saat diminta oleh orang tuanya.

"Ini untuk catatan saya saja. Akan sangat merepotkan untuk mencari data murid ke ruang penyimpanan guru," jelas Bu Indah, "Yah, memang kelas lain tidak seperti ini. Tapi, setidaknya ini membantu pekerjaan saya untuk mengurus kelas."

Bu Indah langsung menyerahkan pulpennya untuk dipakai oleh Dika. Dengan cepat, Dika mengisi biodata miliknya dan menyerahkannya pada Bu Indah.

Setelah mendapat apa yang diinginkan. Bu Indah mengangguk pelan sambil memperhatikan isi dari lembaran biodata. Merasa tidak ada yang aneh. Dia memasukkan lembaran kertas itu ke dalam laci meja kerjanya.

"Kamu sudah dimasukkan ke dalam grup oleh Juan?" tanya Bu Indah.

"Sudah, Bu," jawab Dika dengan cepat, "Aku sudah berbicara dengannya saat jam pembelajaran pertama."

"Baguslah kalau begitu," ucap singkat Bu Indah.

Kemudian Bu Indah mengeluarkan ponselnya. Dia menekan layar ponselnya dengan cepat dan meminta Dika untuk memeriksa ponsel.

Tepat ketika Dika membuka ponselnya. Ada pesan dari nomor tak dikenal. Dika dikirimi file berformat pdf dengan nama 'Klub'. Dika langsung mengunduh file tersebut.

Bu Indah menjelaskan kalau Dika harus segera mencari klub yang dia inginkan. Karena SMA Penerus Bangsa mempunyai aturan kepada para muridnya. Perkataan Juan sesuai seperti yang dikatakan oleh Bu Indah.

"Nanti isi formulir ini," kata Bu Indah sambil menyodorkan dua lembar kertas berisi formulir pendaftaran klub, "Saya tunggu sore ini di ruang guru. Jika saya pulang lebih awal. Silahkan masukkan saja ke laci meja kerja saya."

"Jika boleh bertanya. Memangnya laci meja kerja Ibu tidak dikunci, ya?" tanya Dika.

"Santai saja. Laci meja saya hanya berisi tumpukan kertas. Bukan tempat untuk menyimpan barang mahal," ungkap Bu Indah, "Sudah dua tahun saya mengajar di sekolah ini. Laci meja saya tidak pernah dibuka oleh orang lain. Karena memang tidak ada hal yang berharga disana."

Mendengar perkataan Bu Indah membuat Dika mengerutkan dahinya. Dika mengerti kalau data murid sepertinya tidak berharga bagi wali kelasnya itu.

Setelah berpamitan dengan Bu Indah. Dika menghembuskan napas berat di depan ruang guru sambil memegang formulir pendaftaran klub. Dari kejauhan ada suara yang menyapa Dika.

Dika melihat ke seorang gadis yang dia lihat pagi tadi. Dengan senyum hangat, Chika bertanya apa yang dilakukan oleh Dika. Tanpa berpikir panjang, Dika memperlihatkan formulir pendaftaran klub kepada Chika.

"Mau kuantar ke setiap klub?" tawar Chika, "Yah, soalnya ada beberapa klub yang tidak ada di gedung ini. Jadi, kurasa kamu akan kesulitan mencarinya."

"Boleh saja."

"Tunggu aku," kata Chika dengan cepat masuk ke dalam ruang guru.

Dika memeriksa ponselnya dalam waktu singkat. Hal yang dia ingat tentang jam istirahat oleh Juan. Kalau jam istirahat pertama berdurasi empat puluh lima menit. Menurut pemikiran Dika. Dia masih bisa menjelajahi seluruh klub di jam istirahat pertama.

Tidak butuh waktu lama. Chika keluar dari ruang guru sambil membawa sebuah kunci di tangan kanannya. Chika menjelaskan kalau dia bergabung dengan klub perpustakaan.

Dika dan Chika perlahan berjalan menuju sudut koridor untuk menaiki anak tangga agar sampai ke lantai dua. Chika perlahan memperkenalkan beberapa klub.

Lantai Dua.

Klub Astronomi.

Klub Robotika.

Klub Petualang Alam.

Klub Berkebun.

Klub Fotografi.

Klub Penggemar Novel Misteri.

Klub Penggemar Film.

Klub Wirausaha.

Lantai Tiga

Klub Jurnalistik.

Klub Penelitian Kehidupan Manusia.

Klub Penjahit.

Klub Penggemar Komik.

Klub Majalah Dinding.

Klub Penulis.

Klub Pelukis.

Klub Kesehatan.

Lantai Empat

Klub Penggemar Game.

Klub Perpustakaan.

Ruang OSIS.

Klub Pencipta Game.

Klub Film.

Chika terhenti setelah dia menemukan teman dari klub perpustakaan. Dia menjelaskan kalau dirinya mendapat perintah dari guru untuk mengantarkan anak baru mengelilingi sekolah.

Seusai menjelaskan kepada temannya. Chika kembali ke tempat Dika dan dia ingin mengajaknya ke klub olahraga yang lokasinya berbeda dari gedung utama.

Chika menjelaskan alasan kenapa klub olahraga lokasinya jauh dari gedung utama. Karena lokasinya yang luas dan klub olahraga dipecah menjadi beberapa cabang olahraga lainnya.

Setelah melewati jalan setapak yang berada di belakang gedung klub. Dika melihat dua bangunan besar yang dikelilingi beberapa lapangan olahraga. Gedung olahraga pertama memuat banyak ruang klub olahraga.

Klub Sepak Bola.

Klub Futsal.

Klub Basket.

Klub Bulu Tangkis.

Klub Tennis.

Klub Voli.

Klub Lari.

Setelah puas mengelilingi gedung yang tersebut. Chika bertanya kepada Dika mengenai pendapat sekolah tersebut. Tentu saja, Dika sangat terpukau dengan kebebasan yang diberikan sekolah kepada para muridnya. Dika jadi mengerti mengapa sekolah ingin menggali potensi para murid.

Chika mengajak ke gedung olahraga favoritnya. Gedung yang difokuskan pada klub renang. Gedung tersebut mempunyai kolam renang dalam ruangan yang difokuskan pada kegiatan klub renang dan punya dua kolam renang diluar ruangan untuk para murid diluar klub renang.

"Kamu dapat melihat kulit teman sekelasmu yang terbuka lebar karena mengenakan pakaian renang sekolah disini," goda Chika sambil berbisik di samping telinga Dika.

Dika langsung mundur beberapa langkah mendapat bisikan seperti itu. Dika sangat lemah dengan suara bisikan di samping telinga. Efeknya dia mudah geli dan diganggu oleh teman-temannya saat di sekolah lamanya.

"Geli, tahu!" keluh Dika sambil memegangi telinganya.

Chika tersenyum jahil, "Sepertinya kita impas. Aku sudah tahu kelemahanmu, hehe."

Dika menekuk kakinya untuk beristirahat. Dia menjelaskan pandangannya pada Chika kalau sekolah ini terlalu baik karena memberikan fasilitas lengkap.

Chika mengiyakan dan setuju dengan pendapat Dika. Chika menjabarkan ini adalah sekolah favorit yang menjadi impian semua orang.

"Walau begitu, tetap saja tantangan masuk ke sekolah ini berat. Nilai ujian kamu menjadi taruhannya disini," lanjut Chika.

Dika mengangguk pelan. Dia sudah berpikiran untuk mendaftar ke satu klub yang sudah dia impikan sejak awal. Namun, karena ruang klub yang dipikirkan oleh Dika sebelumnya dikunci. Dika menjadi agak ragu dengan pilihannya.

"Jadi, kamu sudah ada pilihan untuk masuk ke klub yang mana?" tanya Chika sambil menaruh kedua tangan di pinggangnya.

"Aku ingin bergabung ke—Klub Film."

Wajah Chika berubah dengan cepat. Dia sangat terkejut mendengar apa yang dikatakan oleh Dika. Sebab dia tidak menyangka kalau Dika akan bergabung ke klub tersebut.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!