Bijaklah dalam memilih bacaan! Cerita ini mengandung unsur dewasa.
***Happy reading***
Suara alunan musik terdengar sangat keras memekakkan telinga. Namun anehnya orang-orang yang ada di dalam Bar itu sangat menikmatinya.
"Sudah, jangan minum lagi, Sa."
Meldi (teman Alsa) ingin mengambil gelas yang ada di genggaman Alsa, namun tangannya langsung di tepis begitu saja.
"Jangan coba menghentikan aku. Biarkan aku minum sampai puas, bahkan kalo perlu sampai mati."
Meldi menghela napas pasrah. Sesakit itu kah yang Alsa rasakan? Sehingga membuat wanita itu sampai hilang kendali.
Alsa yang sedang sakit hati memilih bersenang-senang di Bar bersama temannya. Walaupun tidak bisa menghilangkan rasa sakit hatinya, tapi setidaknya bisa menghilangkan rasa kesedihannya sejenak.
"Drepa si*l*n! Drepa br*ngs*k! Sukanya cuma mempermainkan hatiku saja. Aaaahhrrgggg!!!." Teriaknya frustasi.
Untung saja suara musik di Bar ini cukup keras sehingga Alsa bisa berteriak sepuas mungkin untuk membuang rasa sesak di dadanya.
"Kurang apa aku padamu, Dre? Aku sudah berusaha menjadi apa yang engkau mau, tapi kenapa balasan mu seperti ini? Hiks."
Alsa menangis sesegukan meratapi nasibnya yang selalu saja sial. Dari dulu sampai sekarang nasib percintaannya tidak pernah berjalan dengan mulus.
"Katanya ingin menemuiku? Tapi mana? Ternyata kamu sudah pergi dulu. Kamu lebih mementingkan Hani ketimbang aku!."
"Hikksss... Kau anggap aku ini apa, Dre? Sebagai wanita pelarian-mu saja?."
Alsa terus menangis sambil menepuk-nepuk dadanya sendiri. Rasa sakit ini begitu menyiksanya.
"Sudahlah, Sa. Lupakan saja Lelaki brengsek seperti Drepa itu. Cari lelaki lain yang bisa mencintaimu dengan tulus." Ucap Meldi seraya memegangi tangan Alsa, supaya tidak terus menyakiti diri sendiri.
"Aku sudah cepek dengan perasaan ini, Mel, namun aku juga tidak bisa melupakannya begitu saja. Dari dulu sampai sekarang aku masih sangat mencintainya." Lirih Alsa.
"Untuk apa mencintai orang yang tidak bisa membalas perasaanmu, Sa? yang ada malah makan hati setiap hari. Aku lihat sikap Drepa kepadamu terlalu dingin dan cuek, tidak ada tatapan cinta sedikitpun untukmu."
"Dia seperti itu karena aku dulu pernah membuatnya kecewa, Mel. Setelah sekian lamanya tahun tiba-tiba dia mengajakku balikan bukankah itu membuktikan bawah sebenarnya dia masih mempunyai perasaan padaku? Aku yakin..
"Huekkkkkk!!!."
Alsa menjeda kalimatnya karena tiba-tiba perutnya merasakan mual.
"Aku yakin lambat laun pasti dia bisa mencintaiku seperti dulu lagi. Aku hanya butuh bersabar saja." Sambungnya.
"Tapi mau sampai kapan kamu akan bertahan, Sa?." Tanya Meldi mulai gregetan.
"Entahlah, Mel. Entah itu esok, tahun depan ataupun puluhan tahun ke depan, aku akan tetap menunggunya meskipun itu sangat menyiksaku. Hiks."
Meldi menghela nafas panjang. Memang susah kalo menasehati orang yang sedang cinta buta.
"Eizzttt..."
Meldi jadi kelabakan ketika tiba-tiba tubuh Alsa oleng ke samping. Untung saja dia sigap menahan tubuh Alsa, kalo tidak, Alsa pasti sudah jatuh tersungkur di lantai.
"Jangan teler dulu dong, Sa. Aku tidak kuat jika harus mengangkat tubuhmu." Keluh Meldi kebingungan.
"Sadar, woy!!."
Meldi menepuk pelan pipi Alsa untuk menyadarkannya kembali, namun gadis itu masih tetap memejamkan mata.
"Duh, harus bagaimana aku, Sa? Mana aku kebelet pipis lagi!."
Melda menoleh ke kanan dan ke kiri untuk mencari bantuan, dan seketika ia mengulas senyum tipis kala melihat seorang pria yang kebetulan melintas ke hadapannya.
"Mas! Mas!.. boleh minta tolong untuk bawa temanku ke parkiran?."
Pria tersebut mengamati wajah Alsa, sebelum kemudian mengangguk.
"Tolong bawa temanku ke parkiran dulu, ya? Aku mau ke toilet sebentar."
Lagi-lagi, Pria itu hanya mengangguk tanpa berbicara sepatah katapun.
Lantas, Meldi memberikan tubuh tak berdaya Alsa kepada Pria tersebut, dan dengan senang hati, pria itu langsung membopong tubuh Alsa dalam gendongannya.
"Maaf jika saya ngerepotin. Tolong bawa dia ke mobil warna putih yang plat mobilnya *****, ya?.
Tanpa menunggu jawaban dari Pria tersebut, Meldi bergegas berlari ke toilet untuk menuntaskan hajatnya.
Pria itu tersenyum menyeringai sembari mengamati wajah Alsa yang terpejam erat.
"Cukup menarik." Desisnya pelan.
***
Di sebuah kamar hotel yang mewah, tubuh Alsa di baringkan di atas ranjang. Kemudian, seorang pria bertubuh kekar mengungkung tubuh mungilnya itu.
Ada ketertarikan tersendiri saat pertama kali melihat wajah Alsa, sehingga membuat pria tersebut ingin menikmati tubuh Alsa yang molek.
Bibir pria itu tersenyum menyeringai. Dia akan memanfaatkan ketidak sadaran Alsa untuk menciptakan malam yang panjang.
"You are beautiful. So allow me to enjoy the beauty and splendor of your body, Honey."
(Kau cantik. Maka izinkan aku untuk menikmati kecantikan dan keindahan tubuhmu, Sayang.)
Tangan kekar pria itu mengelus wajah Alsa penuh kelembutan. "Siapa pun kamu, Let's enjoy this evening with passion." Bisiknya sambil terus mengamati wajah Alsa yang masih terpejam erat.
Tanpa membuang waktu lebih lama lagi pria itu langsung melabuhkan ciuman di bibir ranum Alsa.
"Embbb.."
Alsa mendesah di bawah alam sadarnya, dan itu malah semakin membuat pria itu semakin bersemangat dan semakin bergairah.
Walaupun mereka berdua sebelumnya tak saling mengenal, tetapi pria itu sangat menikmati ciumannya.
Kedua mata pria itu sampai terpejam erat. Bibir Alsa yang manis sungguh membuatnya merasakan kenikmatan yang luar biasa.
"Oh, Good.. Baby."
Tanpa melepaskan tautan bibir mereka, tangan pria itu mulai melepaskan satu demi satu kancing kemeja yang mereka kenakan. Rasanya ia sudah tak sabar untuk segera menggagahi tubuh Alsa.
"I hope you won't regret it after having one night of love with me. Kamu tenang saja, aku akan membayarmu mahal." Ujar pria itu sebelum melakukan ke tahap yang berikutnya.
Alsa bisa merasakan kenikmatan yang pria itu berikan. Bagaikan mimpi basah, tapi rasa nikmat ini terlalu nyata untuk dirinya rasakan.
"Embbbb.."
Lagi lagi, Alsa mengeluarkan suara desahnya. Suara itu keluar dengan sendirinya dari bibir ranumnya.
"Oh, shit!."
Semakin Alsa mendesah maka semakin bergelora gairah pria itu. Tangan kekarnya sudah mulai merayap kemana-mana menjelajahi semua permukaan kulit Alsa yang putih bersih.
"Ah, l've had enough!."
Karena sudah tak tahan lagi pria itu segera melucuti pakaiannya dan juga pakaian Alsa.
"Akhhh..."
Alsa menjerit di alam bawah sadarnya, bahkan wajah cantiknya juga menampilkan ekspresi kesakitan. Tapi meskipun begitu mata wanita itu masih saja terpejam erat.
"I will make you soar to heaven of pleasure. Dan akan ku pastikan juga kalo ini akan menjadi kenangan terindah mu." Bisik pria itu di telinga Alsa.
Mata sang pria itu terpejam erat. Meskipun Alsa dalam keadaan tak sadar, tapi Alsa mampu memberikan rasa yang luar biasa.
"Oh Shit.. Ini nikmat.."
Pagi pun telah tiba..
"Di mana ini?."
Alsa di buat kebingungan dengan posisinya saat ini. Ini bukan kamar miliknya ataupun kamar milik Meldi. Lantas ini kamar milik siapa?.
"Zzzttt..."
Wanita itu mendesis hebat saat merasakan kepalanya yang sangat pusing karena efek kebanyakan minum.
"Ini seperti sebuah hotel? Tapi kenapa aku tiba-tiba bisa ada di hotel? Masa' iya, Meldi yang membawaku ke sini?." Gumamnya lirih.
Saat Alsa sedang memindai seluruh isi ruangan, tak sengaja ia melihat ke sebuah jam analog yang ada di dinding kamar tersebut.
"Ha! Jam setengah tujuh?."
Mata Alsa langsung membulat sempurna. Wanita itu mengucek matanya untuk memastikan lagi bahwa penglihatannya tidak salah.
"Si*l! Aku telat bangun, mana bentar lagi ada rapat pagi lagi!."
Dengan gerakan tergesa-gesa, Alsa segera turun dari atas ranjang. Namun tiba-tiba dia merasakan badanya lemas dan tak bertenaga, dan satu lagi, dia juga merasa nyeri di sel*k*ng*n-nya.
"Kenapa badanku rasanya letih sekali? Memangnya apa yang aku lakukan semalam?." Batinya bertanya-tanya.
Karena sedang berburu-buru, dia tidak ada waktu lagi untuk memikirkan hal itu semua. Dia harus segera pulang dan bersiap-siap ke kantor.
"Akhhh! Si*l! Ponsel dan dompetku tidak ada." Desahnya prustasi.
Ketika dirinya hendak putus asa, dia melihat sebuah tumpukan uang berwarna merah yang di atas shofa.
"Persetan ini milik siapa, yang penting aku bisa pergunakan uang ini untuk ongkos naik taksi."
Tanpa pikir panjang lagi, Alsa mengambil uang tersebut, lalu kemudian bergegas berlari keluar kamar.
Ada yang berbeda saat ia sedang berlari. Ada rasa sakit dan juga nyeri di bagian sel*ngk*ng*nya.
"Semoga saja prasangka-ku tidak benar!." Batinnya sambil terus berlari.
Ucup di cinta ulam pun tiba.. sesampainya di depan hotel, Alsa langsung menemukan sebuah taksi yang melintas.
"Pak, tolong antarkan saya ke apartemen *****. Kalo bisa agak ngebut, ya? Soalnya saya buru-buru." Ucap Alsa kepada supir taksi tersebut.
"Siap, Neng."
Alsa bergegas masuk ke dalam taksi, dan tanpa menunggu lama lagi taksi itu langsung melesat pergi ke alamat tujuan dengan kecepatan tinggi.
Di dalam mobil, Alsa terus mengigit kuku-kuku jarinya. Selain dia memikirkan ke kantornya yang kesiangan, dia juga memikirkan sesuatu.
"Semoga saja apa yang aku khawatirkan tidak benar. Mungkin apa yang aku rasakan saat ini karena efek kebanyakan minum saja." Batinnya menenangkan dirinya sendiri.
Karena saking asiknya melamun, Alsa sampai tidak sadar kalo telah sampai di depan apartemennya.
"Kita sudah sampai, Neng."
Suara dari Pak sopir menarik kembali kesadaran Alsa. "I-iya, Pak."
Alsa memberikan Pak sopir itu 2 lembar uang berwarna merah. Kemudian, ia pergi begitu saja.
"Uangnya kebanyakan, Neng!."
Teriakkan dari supir taksi tersebut tidak di hiraukan oleh Alsa. Wanita yang berpenampilan acak-acakan itu terus berlari sampai akhirnya masuk ke dalam lift.
Huh!
Alsa menarik napas sebanyak-banyaknya. Dengan napas yang masih ngos-ngosan wanita itu mengamati penampilannya dari pantulan lift.
Deg!
Tiba-tiba saja badan Alsa bergetar hebat dengan ke-dua mata yang memanas. Dia baru sadar kalo ternyata ada banyak sekali tanda merah yang memenuhi leher dan dada atasnya.
"Agghhrrrr!!! Br*ngs*k!!!." Teriaknya prustasi.
Bruk!
Tubuh Alsa ambruk merosot di lantai. Wanita itu menangisi nasib dirinya sendiri. Kenapa nasibnya selalu saja sial? Takdir ini seakan sedang mempermainkannya saja.
"Hiks.. B*ngs*t!."
"Takdir macam apa ini, Tuhan? Kapan aku merasakan bahagia?."
Alsa menangis sambil menepuk-nepuk dadanya yang sesak. Hingga tak lama kemudian pintu lift telah terbuka kembali. Wanita itu segera menyeka air matanya dan kemudian melangkah pergi dengan langkah berat.
Sesampainya di dalam apartemen, Alsa langsung berlari ke dalam kamar mandi. Tanpa melepaskan pakaiannya terlebih dahulu, ia langsung menghidupkan kran shower.
"Dasar laki-laki b*jing*n!." Teriaknya sambil menggosok-gosok tubuhnya. Dia marasa jijik sekali kepada dirinya sendiri.
"Arrggghhh!!! Kenapa nasibku selalu saja sial? Kapan aku bahagia?. Hiks."
Wanita itu menangis seorang diri di dalam kamar mandi, meratapi nasib yang selalu tak adil terhadap dirinya. Selalu saja ada cobaan yang menimpanya.
"Arrrgggg! Hiks..."
Alsa menangis meraung-raung sampai hatinya benar-benar merasa lega. Tapi setelah di pikir-pikir tak ada gunanya meratapi takdir yang telah terjadi dengan sebuah tangisan. Percuma, tidak akan ada gunanya, yang ada malah membuang-buang waktu dan menguras tenaganya.
Baiklah, mungkin Alsa akan mencoba menerima takdir dan musibah ini dengan ikhlas, seperti yang pernah dia lakukan sebelum-sebelumnya. Dia akan mencoba menganggap hal ini tidak pernah terjadi dalam hidupnya.
"Bangkitlah, Sa. Masa depanmu masih panjang. Jangan rapuh dan terjatuh hanya dengan masalah ini. Kau wanita hebat dan kuat." Ucapnya menguatkan dirinya sendiri.
Tak ingin berlarut-larut dalam kesedihan, wanita itu pun segera menyelesaikan acara mandinya. Andai saja tidak ada tuntutan pekerjaan, pasti Alsa akan lebih memilih berdiam diri di rumah saja.
"Rise up, Sa. Aren't you used to living in destruction? So don't be weak just because of a small problem like this." Gumamnya sambil tersenyum kecut.
.
.
.
"Maaf, saya telat."
Alsa yang baru saja memasuki ruangan meeting menunduk malu ketika semua orang yang ada di ruangan itu melihat ke arahnya, termasuk Drepa.
Sambil terus menunduk hormat, Alsa berjalan memposisikan dirinya untuk duduk di samping Drepa. Tak ada raut marah dari lelaki itu, wajahnya datar-datar saja.
"Ehem.. Mari kita kembali fokus ke meeting kali ini." Ujar Drepa tegas. Lalu kemudian ia kembali menyampaikan poin-poin penting dalam rapat kali ini.
Semua orang yang ada di ruangan tersebut mendengarkan Drepa dengan baik, namun tidak dengan Alsa. Wanita dewasa itu menunduk sedih ketika Drepa bersikap cuek sekali padanya. Bahkan lelaki itu tak peduli sedikitpun dengan kehadiran.
"Saya setuju dengan usul anda, Pak. Nanti kita cari lagi tambahan karyawan yang ahli dalam bidang itu." Sahut Fiki, salah satu karyawan Drepa yang ikut juga menghadiri rapat pagi ini.
Drepa mengangguk singkat sambil menjentikkan jari telunjuknya. "Baik, ku tunggu kabar baikmu. Semoga setelah kita melakukan sistem ini, kita bisa lebih mengembangkan produk-produk kita."
"Amin."
Tak lama kemudian, meeting pagi ini pun telah usai. Drepa segera mengemasi berkas dan laptopnya, lalu meninggalkan ruangan rapat lebih dulu.
"Pak, tunggu!."
Alsa berlari menyusul langkah Drepa yang lebar.
"Maaf, hari ini saya datang terlambat karena ada sebuah insiden." Ujar Alsa begitu telah sampai di samping sang Boss.
"Hm. Tidak apa-apa." Jawab Drepa cuek.
Alsa jadi semakin terluka dengan respon Drepa yang biasa saja. Padahal Alsa berharap Drepa akan khawatir dan bertanya KENAPA? atau INSIDEN APA?, Tetapi ternyata tidak. Jangankan bertanya, menoleh ke arahnya pun tidak.
Drepa berlalu masuk begitu saja tanpa memperdulikan perasaan Alsa.
"Kenapa sikapmu terlalu dingin padaku, Dre?." Batin Alsa sedih seraya meratapi pintu ruangan Drepa yang sudah tertutup rapat.
Huh!
Wanita itu menghela napas berat, lalu setelah duduk di kursi kerjanya. Kebetulan letak meja kerjanya berada tepat di depan ruangan Drepa.
"Semangat untuk diriku sendiri!." Ujarnya lirih.
Mencoba untuk bersikap tenang dan baik-baik saja, Alsa berusaha bersikap profesional dalam bekerja. Jangan sampai rentetan kejadian tak mengenakkan ini mempengaruhi pekerjaannya.
Kalo boleh jujur sebenarnya tubuh Alsa sangat lelah dan ngantuk, namun mau tak mau dia harus tetap kerja.
"Jika memang kehidupan ku penuh cobaan yang terjal, maka berikanlah hatiku keikhlasan dan kekuatan untuk menerima segala ketentuan-mu, Tuhan." Batin Alsa.
Andai saja b*n*h diri itu tidak dosa, pasti Alsa sudah lakukan hal tersebut. Dia sudah lelah menjalani kehidupan dunia yang tak pernah adil padanya.
Jam kerja telah usia. Alsa mengemasi semua perlengkapan kerjanya. Tepat setelah selesai beberes, Alsa melihat Drepa yang keluar dari ruangan kerjanya.
"Aku harus meminta kepastian padanya." Gumam Alsa, seraya mengikuti langkah Drepa dari belakang.
Alsa ingin berbicara empat mata dengan laki-laki itu supaya hubungannya jelas, tidak di gantung seperti ini terus.
"Drepa!."
Drepa yang hendak masuk ke dalam mobil, jadi terhenti kala mendengar panggilan dari Alsa.
"Kenapa kamu seperti sedang menghindari aku? Aku salah apa kepadamu, Dre?." Cecar Alsa dengan mata yang sudah berkaca-kaca.
Drepa menghela napas panjang, lalu kemudian menghadap Alsa yang berdiri di belakangnya.
"Maaf, Sa. Selama ini aku telah menyakiti perasaanmu dengan semua sikapku."
"Itu kamu tahu kalo salah, tapi kenapa masih begitu?."
"Sekali lagi aku minta maaf."
"Jangan terus meminta maaf, Dre! Aku butuh kepastian mu?." Teriak Alsa marah.
Untung saja parkiran sore ini sedang sepi, jadi tidak ada yang melihat pertengkaran mereka.
"Aku tidak bisa memberikan mu kepastian, karena mulai saat ini aku akan..
"Apa maksudmu?."
Ketahuilah, mata Alsa sudah berderai air mata. Hatinya sangat terluka. Meskipun Drepa belum mengutarakan kemauannya, tetapi dia sudah dapat menebaknya.
"Maaf, Sa. Aku akan mengakhiri hubungan kita."
Alsa menggeleng pelan. Penyataan Drepa sungguh sangat menyakitkan.
"Semoga kamu bisa menemukan jodoh yang lebih baik dariku, Sa. Sekali lagi aku minta maaf karena telah mempermainkan hatimu."
Drepa begitu sangat menyesalkan semua perbuatannya kepada Alsa. Karena sakit hati atas cintanya kepada Hani yang tak kunjung terbalaskan, Drepa sampai harus mencari pelarian, yaitu dengan cara menjalin hubungan dengan Alsa.
"Enggak! Kamu enggak boleh ninggalin aku, Dre!." Teriak Alsa tidak terima.
"Tapi aku harus melakukan itu, Sa. Sebagai gantinya permintaan maafku, kamu bisa meminta apa saja dariku."
"Kamu pikir semuanya bisa di beli dengan uang? Kamu pikir kebahagian bisa di nilai dengan uang? Tidak!."
Drepa mengusap wajahnya prustasi. Akibat dari perbuatannya itu dia sampai harus menghadapi permasalahan yang rumit.
"Sekali lagi aku minta maaf padamu."
Setelah mengatakan itu, Drepa lekas memasuki mobilnya dan kemudian pergi meninggalkan Alsa dalam keputusasaan.
"Aagggrrrgggg.. Drepa si*l*n!."
"Hiks.."
Alsa jatuh bersimpuh di atas lantai. Wanita itu menangis meratapi nasib. Kurang apa dia pada Drepa? sehingga laki-laki itu dengan kejamnya mencampakkan dirinya begitu saja?.
.
.
.
Ting! Tong!
Alsa sama sekali tidak menghiraukan pintu apartemennya yang berbunyi. Wanita yang sedang bersedih itu masih setia dalam posisinya tanpa bergerak sedikit pun.
Karena sudah hafal sandi pintu apartemen Alsa, orang yang tadi memencet pintu apartemen itu pun bisa masuk ke dalam dengan mudahnya.
Orang itu adalah Meldi, wanita yang kemarin malam menemani Alsa minum-minum di Bar.
"Bagaimana keadaan-mu, Sa?." Tanya Meldi khawatir.
"Seperti yang kamu lihat! Kabar ku sangat tidak baik-baik saja." Jawab Alsa tanpa menoleh sedikit pun ke arah Meldi. Pandangan Alsa masih fokus ke arah jendela apartemen yang kordennya terbuka lebar.
Melihat raut kesedihan dari Alsa membuat Meldi merasa bersalah.
"Aku ke sini ingin mengembalikan dompet dan ponselmu, Sa."
Meldi meletakan dua benda milik Alsa itu di atas meja kaca yang ada di depan Alsa duduk.
"Apakah semalam kamu baik-baik saja?." Tanya Meldi ragu-ragu.
Mendengar pertanyaan itu, Alsa segera menoleh ke arah Meldi. "Semalam?."
"I-iya, semalam."
Alsa tersenyum kecut. "Aku tidak ingat apapun tentang semalam, tapi yang jelas ketika terbangun aku sudah berada di sebuah kamar hotel."
Deg!
Meldi sangat shock. Hotel? Jadi semalam laki-laki yang dia mintai tolong membawa Alsa ke dalam hotel?.
"Kenapa kamu seperti kaget begitu, Mel?." Tanya Alsa dengan tatapan datar.
"T-tapi kamu tidak apa-apa 'kan?." Tanya Meldi balik.
"Hahaha!!!." Alsa tertawa penuh luka.
"Untuk apa kamu masih peduli padaku? Bukankah kamu sendiri yang membawaku ke hotel?."
"Tidak!." Bantah Meldi.
"Aku tidak tahu kalo kamu ke hotel, Sa." Sambungnya.
"Lalu siapa kalo bukan kamu?." Tanya Alsa dingin.
"Emmbbb.. aku semalam meminta bantuan seseorang untuk membawa mu ke mobil. Karena saat itu aku sedang kebelet pipis, aku meninggalkan mu bersamanya begitu saja. Wajah dia tidak mencurigakan sama sekali, Sa, justru wajahnya nampak seperti orang baik-baik. Maka dari itu aku tidak ada pikiran buruk sedikit pun padanya. Karana aku yakin dia pasti akan membawa kamu ke dalam mobil. Tetapi setelah aku kembali dari toilet ternyata aku tidak bisa menemukan keberadaan mu." Jelas Meldi panjang lebar.
Alsa mendengarkan penyataan Meldi dengan baik. Haruskah dia menyalahkan Meldi tentang peristiwa semalam?.
"Apakah orang itu menyakitimu?." Tanya Meldi penasaran.
"Sudah ku katakan kalo aku tidak ingat apapun tentang peristiwa semalam. Namun dapat aku pastikan bahwa dia begitu sangat kurang ajar. Dia b*jing*n!." Desis Alsa penuh kebencian.
.
.
.
Di tempat lain..
Ada seorang pria yang sedang duduk di balkon sambil menikmati segelas minuman berwarna kuning kecoklatan. Matanya yang tajam mengamati kelap-kelip lampu perkotaan yang indah.
Drrtttddd... Drrtttddd...
Suara ponsel yang terus berdering tak dia hiraukan. Untuk saat ini dia sedang tak ingin di ganggu sama sekali.
"Wanita yang licik. Pandai sekali dia memanipulasi Papa ku." Desisnya penuh kebencian.
Meskipun wajah pria itu terlihat datar dan tenang, tapi dia menaruh kebencian yang mendalam kepada Ibu tirinya.
Semenjak sang Papa menikah lagi, Papanya telah berubah 180 Drajat. Papanya yang dulunya memberikan kebebasan dalam melakukan apapun, sekarang ini malah selalu mengengkang dan selalu mengatur-atur hidupnya, bahkan kisah asmaranya pun tak luput dari pantauan mereka.
Tanpa sadar tangan pria itu mencengkram erat gelas yang ada di tangannya sampai pecah, sehingga membuat pecahan gelas tersebut berhamburan di atas lantai.
Urat-urat yang ada di leher pria itu juga sampai menonjol keluar karena saking emosinya. Terpaksa dia harus menuruti semua kemauan Papanya, kalo tidak, dia tidak akan mendapatkan hak waris sama sekali.
"Mungkin saat ini aku bisa tunduk dan patuh kepada kalian sampai nanti aku benar-benar telah mendapatkan cara untuk melumpuhkan kalian." Gumamnya penuh dendam dan kebencian.
Sebenarnya pria itu bisa saja bangkit dengan jerih payahnya sendiri tanpa harus menggunakan warisan dari orang tuanya. Tetapi yang jadi masalah, semua aset kekayaan dan perusahaan yang Papanya pegang sekarang ini adalah milik mendingan Ibunya. Jadi mau tak mau dia harus menuruti semua perkataan Papanya sampai dia bisa merebut sepenuhnya aset tersebut. Dia tak rela jika harta mendiang Ibunya di nikmati oleh kedua manusia ular itu (Papa dan Ibu Tirinya).
Tok.. Tok.. Tok..
"Tuan, Ini saya, ada seorang wanita yang mencari anda." Teriak asistennya dari balik pintu kamar.
"Siapa?." Sahutnya tanpa berubah dari posisi duduknya.
"Wanita pesanan Anda."
"Bayarlah dia sesuai tarif, dan kemudian suruh dia pergi. Saat ini aku sedang tidak mood untuk bercinta."
"Baik, Tuan."
Tanpa mengucapkan sepatah katapun lagi, akhirnya sang asisten pun berlalu pergi.
Huh!
Pria itu menghela napas panjang. Sebenarnya dia sudah memiliki tunangan, tapi karena tunangannya itu tak mau di ajak berhubungan ranjang, akhirnya ia mencari kepuasan dari wanita lain di luaran sana. Termasuk Alsa.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!