NovelToon NovelToon

Bukan, Pengantin Yang Tak Dirindukan

Kecelakaan Kecil

Gedebuk!

Terdengar suara sesuatu yang terjatuh dari arah belakang. Membuat seorang pria yang sedang mengendarai sepeda motor nya kini menghentikan laju kendaraan. Ia memnoleh ke belakang.

“Winda,” Lirih pria tersebut, mengerutkan alis nya.

Di-parkirkannya sepeda motor  di tepi jalan. Bergegas, berlari ke arah belakang. Menuju Winda yang saat ini sudah terjatuh, mengenai badan trotoar. Pria itu kemudian membangkitkan sepeda motor Winda. Mendirikan, memarkirkan di bahu jalan. Sebelum akhirnya menggapai tangan Winda. Membantunya berdiri.

“Astaga, Win . . . kenapa bisa jatuh sih?”  tanya Ardish.

“Ini, tadi aku berusaha ngehindar lobang yang ada di sana. Eh . . . tiba-tiba kendali-ku hilang. Jadi jatuh seperti ini deh, hehehe,” kekeh Winda. Masih bisa tertawa. Padahal saat ini kedua telapak tangannya sudah luka, berdarah. Tergores badan jalan. Aspal.

“Kamu itu ya. Udah kayak gini masih aja bisa ketawa.” Ardish menggelengkan kepalanya. Tidak habis pikir dengan sahabatnya. Ia kemudian membukan tas ransel yang disandang di pundaknya. Mengambil sebuah kotak, yang ternyata kotak p3k.

Naryama Ardish wijaya.

Atau yang biasa disapa Ardish. Pria berkulit sawo matang. Berbadan tegap, tinggi, dan juga berwajah tampan khas

Indonesia itu adalah satu mahasiswa di Universitas bergengsi yang ada di Surabaya. Ardish juga merupakan salah satu teman Winda. Teman karib, atau bisa dikatakan sahabat?

Winda Adyana Safitri.

Gadis manis berkulit putih dengan dua lesung pipi yang menghiasi senyumnya. Meskipun berhijab, namun sikap tomboy tidak bisa lepas dari dirinya. Juga sedikit kekanakan. Berbeda jauh dengan Kakaknya. Anissa Rayhana Putri, yang lebih feminim. Serta dewasa.

“Lain kali kalau bawa motor hati-hati. Mata dijaga. Jangan jelalatan sana-sini,” tukas Ardish. Sedikit cerewet seperti biasanya.

“Iya-iya . . . setelah ini akan hati-hati kok. Janji.” Winda mengangkat dua jari tangannya ke udara. Berjanji layaknya anak kecil.

“Janjinya jangan cuma setelah ini. Tapi juga seterusnya.” Ardish mengambil tangan Winda. Membawa ke arahnya. Membuka telapak tangan, membentang di atas lututnya.

Winda pun menurut. Tidak membantah, memperhatikan telatennya Ardish saat membersihkan lukanya. Mengoleskan obat di goresan telapak tangannya.

“Tuh lihat. Tangan kamu sampai luka seperti ini ‘kan.” Ardish mengusap, meniup pelan telapak tangan Winda. Setelah tadi mengolesi obatnya.

“Cuma ke gores dikit ‘kok. Nggak apa-apa,” ujar Winda santai.

Berbeda dari para gadis pada umumnya. Menangis, bersikap manja saat terluka. Ekspresi Winda malah terlihat

santai. Biasa-biasa saja. Seakan tidak terjadi apa-apa. Meringis pun tidak. Dan itu menjadi daya tarik tersendiri bagi Ardish. Terhadap sahabatnya.

“Udah selesai,” kata Ardish. Melepaskan tangan Winda. Menutup kembali kotak p3k, setelah tadi menaruh kembali obat-obatan di dalamnya.

Memang Ardish selalu penuh dengan persiapan. Apalagi semenjak mengenal Winda. Ardish selalu siaga dengan membawa kotak p3k bersamanya. Jaga-jaga, mengingat Winda sangat ceroboh orangnya. Sering terluka di mana saja. Tanpa mengenal tempat.

“Makasih ya, Dish,” ucap Winda. Menyunggingkan senyumnya.

“Sama-sama.” Ardish memasukkan kembali kotak p3k ke dalam ranselnya.

“Kamu selalu bawa itu ya?” tanya Winda. Mengingat kotak p3k itu selalu ada saat ia terluka.

“Buat jaga-jaga.”

“Jaga-jaga?” Winda mengernyit.

“Kamu itu ‘kan ceroboh orangnya. Nggak tau tempat, jam, dan keadaan. Selalu saja terluka. Sebagai sahabat yang baik. Aku merasa harus siaga. Bawa-bawa benda ini, meski sebenarnya repot. Tapi . . . demi persahabatan kita. Nggak apa-apalah,” ujar Ardish. Seperti biasa, kalimatnya itu selalu tulus keluar dari mulutnya.

Winda tersenyum. Merasa terharu, sekaligus bersyukur karena sudah diberikan sahabat seperti Ardish. Yang sangat setia padanya.

“Baik banget sih, Dish. Jadi terharu deh.” Winda memenyekan bibirnya. Memasang raut sedih. Pura-pura terharu. Padahal dalam hati memang benar terharu. Tapi . . . raut wajah Winda malah membuat Ardish gemas. Lantas menyentil bibirnya.

Ctak!

“Awww!”

“Nggak usah dibuat menye kayak gitu bibirnya. Jelek!” Ardish tertawa. Winda meringis sakit. Pelan-pelan gadis itu mengusap bibir bawahnya. Berusaha meredakan rasa sakit akibat sentilan jemari Ardish yang barusan mendarat di bibirnya.

“Dasar sahabat luknut!” maki Winda. Ardish yang hendak menuju sepeda motornya lantas berbalik ke arah Winda.

“Dunut enak dimakan. Nanti aku beliin ya di kantin, Mba Sri.” Ardish tertawa. Bukannya tidak mendengar, atau

salah mendengar. Ardish tau Winda sedang memaki dirinya dengan kalimat yang dipelesetkan. Dan . . . Ardish sendiri gemar meladeninya dengan hal yang sama pula.

Kembali berbalik menuju motornya. Ardish mengenakan helmnya. Lelaki itu kemudian mengendarai sepeda motornya. Pelan-pelan melaju mendekati Winda yang kini sudah bersiap dengan motornya.

“Apa?” Winda mendelik. “Nggak usah senyam-senyum. Nggak sahabatan lagi kita,” cebik Winda lalu membuang muka.

“Cie . . . cie . . . marah. Makin cantik tau,” goda Ardish sambil mengulum senyumnya.

Winda tersipu. Hal yang sama sekali tidak bisa di dengar adalah saat Ardish sedang menggodanya. Lelaki itu selalu bisa membuatnya tersipu, malu dengan godaannya. Sama seperti sekarang. Sama sekali tidak membuang muka, terus menatap wajah Winda. Dengan berbagai lontaran godaannya.

“Muka cemberutmu itu imut. Ngegemesin. Manggil buat minta dicubit.” Ardish kembali menggoda.

“Ardish!”

Alhasil, kalimat Ardish barusan membuat Winda mendelik. Menatap sangar ke arahnya. Apalagi saat ini Winda mulai menggulung lengan kemejanya. Membuat Ardish segera menghindar, menghidupkan mesin motornya.

Menggelengkan kepala. Winda terkekeh. Geli melihat sahabatnya, yang terkadang suka bersikap seperti badboy?

TBC.

LN?

Dari atas langit matahari kian menanjak. Teriknya membuat panas begitu terasa siang ini. Kebetulan tidak banyak kelas hari ini. Hanya ada dua mata kuliah saja, dan itupun sudah selesai.

Di parkiran. Winda menuju ke arah motornya. Meraih helm, hendak memasangkannya di kepala. Tapi niatnya urung saat sebuah tangan menyentuh pergelangang tangannya. Mengambil alih helm yang ingin dikenakan Winda. Menaruhnya kembali di spion motornya.

Itu Ardish. Lelaki itu datang dengan wajah muram. Tidak seperti biasanya. Selalu ceria, dan menyapa Winda penuh hangat. Siang ini Ardish terlihat berbeda.

“Ardish,” sapa Winda sambil mengulas senyum hangat. Namun, sayangnya Ardish tidak menjawab. Matanya menatap lekat wajah Winda. Terlihat tidak semangat.

“Kamu kenapa?” tanya Winda. Mengerutkan dahinya. “sakit?” kali ini tangan Winda mulai bergerak. Maju ke depan. Menaruh punggung tangan di kening, memeriksa suhu badan Ardish.

Tidak panas. Tapi kenapa wajah Ardish terlihat tidak bersemangat? Batin Winda.

“Dish, apa ada sesuatu yang terjadi? Kamu . . . nggak kenapa-napa ‘kan?”

Winda mulai khawatir. Tatapan Ardish, sikapnya tidak seperti biasa. Membuat Winda bingung, menerka-nerka tentang kebenaran penyebabnya.

“Win,” lirih Ardish. Menatap mata Winda, sayu. Layaknya seorang kekasih. Membuat Winda salah tingkah sendiri.

Sejenak. Tatapan Ardish semakin dalam. Winda mulai curiga karena perlahan wajah Ardish menunjukkan kesedihan. Seperti seseorang yang baru saja ditinggal kekasihnya. Tapi siapa? Selama ini setau Winda, Ardish tidak pernah dekat dengan seorang wanita. Apalagi menjalin hubungan. Cuma, Winda satu-satunya wanita yang dekat dengan Ardish. Itu pun tidak dihitung pacaran. Melainkan persahabatan!

“Dish . . . kamu nggak lagi putus cinta ‘kan?” pelan-pelan, sangat hati-hati. Winda melontarkan tanya. Takut membuat Ardish sedih, dan kembali terluka? Itu pun jika semua tebakannya benar. Jika tidak, maka kenapa?

Ada apa? Tidak mungkin ‘kan Ardish bersikap seperti ini jika tidak ada apa-apa. Atau . . . jangan-jangan saat ini Ardish malah sedang menggodanya.

Awas aja. Jika benar Ardish sengaja pura-pura buat ngisengin aku. Maka aku pun nggak akan segan meng-hadiahi pukulan mautku ini padanya, batin Winda dengan tangan yang sudah mengepal erat.

Semakin memandang lekat. Ardish kian mendekatkan. Sedetik kemudian Ardish menarik lengan Winda. Hingga kepala gadis itu terantuk di dadanya. Dengan cekatan kedua tangan Ardish mengulur, melingkar di belakang tubuh Winda. Mendekap tubuh mungil wanita itu ke dalam pelukannya.

“Ardish, lepas!” Berontak. Winda berusaha melepaskan diri dari dekapan Ardish. Namun, hal itu sia. Karena saat ini Ardish memeluknya menggunakan kekuatannya. Dan Winda tidak bisa melawannya.

“Diamlah, sebentar saja Winda.” Suara Ardish terdengar cukup berat. Ia kemudian memejamkan mata. Meloloskan secercah cairan bening yang sedari tadi sudah memenuhi pelupuk mata. Ardish mengusap pucuk kepala Winda. Mengecup lembut pucuk kepala gadis yang tertutupi hijab tersebut.

Jelas saja hal itu membuat jantung Winda seketika berdegup cepat. Mendelikkan mata. Mengerling ke sekitar. Takut-takut ada yang lewat dan melihat aksi tidak terpuji mereka. Berpelukan di lahan parkir, dan tadi Ardish mengecup pucuk kepalanya pula.

Oh my gosh! Apa Ardish sudah gila?

“Ardish!” protes Winda. Tau gadisnya itu marah akan tindakan yang tadi dilakukannya. Ardish kini melonggarkan pelukannya.

Kesempatan itu digunakan Winda untuk lepas dari pelukan Ardish. Sedikit mundur ke belakang. Menjaga jarak darinya. Ardish menatap sayu.

“Gila kamu, ya!” Winda melotot. Kemudian memicing. Meraup napas kasar, lalu menghempaskannya kasar pula.

“Maaf,” lirih Ardish. Bukan cuma karena merasa bersalah. Tapi juga sangat tau jika itu salah. “Nanti malam aku akan pergi Luar Negeri, Win,” ujarnya kemudian yang membuat mata Winda semakin menyalak lebar.

“Apa?!” setengah berteriak. Mulut Winda pun melebar. “serius?” tanyanya tak percaya.

Ardish mengangguk, “ya,” dengan rasa penuh penyesalan.

My Name is, Ferry!

Winda mengendarai sepeda motornya. Melaju pelan menyusuri jalan. Sedari tadi fokus Winda terus pada kejadian saat Ardish mengecup pucuk kepalanya.

Bukankah mereka hanya sahabat? Tapi . . . kenapa Ardish bersikap seperti itu? Memang, mereka akan berpisah. Pak Wijaya menyuruh putranya melanjutkan studi di Inggris. Namun, tetap saja Winda merasa jika sikap Ardish tadi berlebihan.

Sebagai sepasang sahabat. Winda merasa hal itu tidak perlu dilakukan. Peluk sembarangan, lalu nyium. Meskipun itu dipucuk kepala. Tetap saja Winda tidak suka. Dan . . . Ardish sangat tau akan hal itu.

Entah mengapa Winda merasa perlakuan Ardish tadi bukan seperti seorang sahabat. Melainkan . . . pacar?

OMG Winda! Mikir apa sih kamu? Jelas-jelas hubungan kalian berdua murni hanya sebatas sahabat. Tidak lebih, dan Ardish juga tau akan itu. Please, jangan mikir aneh-aneh lagi ya.

Winda berusaha meyakinkan diri. Mengingatkan diri sendiri. Mungkin, bagi sebagian orang jauh dari sahabat itu lebih berat dari-pada jauh dari kekasih. Pun dengan cara menunjukkannya. Terkadang bisa lebih sedikit lebay. Ya . . . seperti tadi. Seperti sikap yang Ardish tunjukkan tadi.

Winda kini sudah tiba di tempat tujuannya. Di depan sebuah Toko Kue milik Kakaknya. Toko kue yang juga merangkap sebagai caffe itu memang tidak terlalu jauh. Hanya berjarak satu kilometer dari kampusnya.

 Meletakkan helm. Mengunci stang sepeda motornya. Sebelum akhirnya Winda meninggalkan motornya

menuju ke arah pintu masuk caffe. Namun, saat Winda ingin menjejalkan kaki di tangga caffe dekat pintu masuk. Tiba-tiba saja tubuhnya terhuyung, ditabrak seseorang dari belakang.

Bugh!

“Akhhh!”

Meringis sakit. Tubuh Winda hampir terjerembab ke tanah. Namun, sebuah tangan kekar berhasil menahannya dengan memegang kuat lengan Winda.

Pria tampan. Berkulit putih, hidung mancung, bertubuh kekar, dengan setelan jas ala kantoran. Kini sedang menatap intens ke arah Winda. Sejenak Winda terpaku melihat sosok tampan di depannya. Lantas tersadar saat

lelaki itu bertanya dengan menggunakan bahasa asing dengannya.

“Girls, are you okay?”

“Ya.” Winda mengangguk. Lalu memposisikan dirinya tegak. Melepaskan tangan lelaki itu yang masih melingkar di lengannya.

“Sorry.” Pria itu memicingkan mata. Meminta maaf. Melepaskan lingkaran tangannya dari lengan Winda.

“Nggak apa-apa . . . dan makasih,” balas Winda menggunakan bahasa Indonesia. Sebenarnya bukannya Winda tidak bisa membalas dengan kalimat asing. Namun, hal itu disebabkan naluri Winda yang mengatakan jika lelaki yang berdiri dihadapannya ini memang orang lokal.

Tersenyum canggung. Winda ingin berlalu dari hadapan pria itu. Namun, dicegat. Langkah Winda tertahan saat lelaki itu kembali menarik lengannya.

“Ingin berlalu begitu saja?” pria itu bertanya sembari menaikkan sebelah alisnya. “kita belum berkenalan, Nona.” Lelaki itu menjeda. Mengulurkan sebelah tangang ke arah Winda.

“Perkenalkan aku, Ferry. Kamu?”

Belum sempat menjawab. Dan . . . memang sama sekali tidak ingin menjawab. Tiba-tiba saja dari arah jalan terdengar seseorang memanggil nama Winda.

“Winda!” pekik lelaki itu yang kini sedang berjalan ke arahnya. Terdengar familiar. Dan . . . sangat akrab?

“Ardish.” Tentu saja. Sang pemilik suara yang selama ini sangat dekat dengan Winda. Setelah tadi selesai mengurus beberapa berkas di kampus. Ardish memutuskan untuk segera mampir ke caffe sederhana tempat Winda bekerja. Milik Kakak, Winda. Anissa.

Ardish mempercepat laju langkahnya. Saat matannya menangkap sebuah adegan di mana lengan Winda dipegang. Hal itu membuat Ardish tidak suka. Lantas buru-buru melepas setibanya di depan Winda.

Melihat Winda yang di pegangi oleh pria asing, membuat Ardish yang baru saja tiba itu kini bergegas menghampirinya.

“Kamu siapa?” tanya Ardish pada Fery. Dan . . . sesaat kemudian Ardish melirik ke arah Winda. “kamu nggak apa-apa ‘kan, Win?” tanyanya penuh selidik. Sementara Ferry sudah melepaskan cengkeraman tangannya.

Winda menggeleng.

“Ng-gak apa-apa,” lirihnya.

“Syukurlah, aku fikir kamu sedang di lecehkan,” ujar Ardish seraya menatap sinis kearah Ferry.

“Hah . . . ng-ggak kok.” Winda kembali menggeleng. Merasa suasana mulai menegang. Gadis itu kemudian menarik tangan Ardish untuk ikut masuk ke dalam bersamanya. Tidak menghiraukan Ferry. Apalagi menjawab

pertanyaannya. “karena sekarang kamu sudah ada di sini. Bagaimana jika hari ini aku traktir kamu makan sepuasnya,” tawar Winda.

“Hmm . . . oke. Rezeki tidak boleh ditolak bukan?” Ardish tersenyum. Winda terkekeh pelan. Keduanya pun kemudian masuk ke dalam caffe bersama.

Tidak dihiraukan. Ditinggal tanpa diberi jawaban. Ferry mengulum senyumnya. Senyum miring, terkesan licik seperti sedang merencanakan sesuatu. Baginya ini kali pertama ia tidak dihiraukan oleh seorang wanita. Dan . .

.  hal ini membuat Ferry sangat tertarik?

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!