NovelToon NovelToon

Waiting For You

Prolog

"Saya terima nikahnya Ufaira Berlin Afifah, dengan mas kawin dan uang tersebut, tunai"

"Bagaimana, para saksi? Sah?"

"Sah"

Sedetik kemudian, si penghulu membacakan doa untuk kelanggengan kedua mempelai yang di amini dengan khidmat oleh para hadirin sekaligus pelayat yang menyaksikan pernikahan di depan jenazah ayah dari mempelai wanita.

Arsya Atmajaya, pria itu adalah anak tunggal dari pasangan Prillya dan Zidan Atmajaya. Dia terpaksa menikahi gadis asing yang tak di ketahui seperti apa latar belakangnya.

Demi baktinya pada sang kakek, juga rasa tanggung jawab karena kakeknya sudah menabrak ayah gadis itu hingga meninggal dunia, dia akhirnya mengalah untuk memenuhi permintaan lelaki tua yang paling ia sayang, yaitu menepati sebuah janji.

Janji itu di buat oleh Atmajaya sesaat sebelum pria yang di tabraknya menghembuskan nafas terakhir, yang sekaligus meninggalkan putrinya seorang diri di dunia ini.

"Aamiin"

Seiring doa yang sudah di lantunkan, kedua mempelai saling memakaikan cincin di jari manis tanpa saling bersitatap.

Pasangan baru menikah itu sama-sama merasakan sesuatu yang aneh, yang mungkin tak ada seorangpun yang bisa menjelaskan. Mengingat ini pertemuan pertama mereka, di tambah janji suci yang membuatnya harus terikat oleh sebuah hubungan sakral, suasanapun terkesan canggung di antara keduanya.

"Bos, sudah tidak ada waktu, satu jam lagi pesawat akan terbang ke Paris. Kita harus segera ke bandara" Bisik sang aspri di telinga Arsya. Pria yang usianya lebih tua dua tahun dari Arsya itu bernama Beno, asisten pribadi yang membantu Arsya mengurus perusahaan keluarga Atmajaya.

Arsya mengangguk pelan merespon bisikan Beno sebelum kemudian berucap.

"Maaf kek, Aku harus ke Paris untuk urusan bisnis"

"Kakek tahu, pergilah dan cepat kembali"

"Baik, kek"

"Hati-hati, sempatkan diri untuk bertukar kabar dengan istrimu, jangan mengabaikannya, mengerti?" Alih-alih mengiyakan pesan kakeknya, Arsya justru menoleh ke samping kiri di mana sang istri masih terisak dengan kepala tertunduk.

Entah seperti apa gadis yang sudah di nikahi, Arsya sama sekali tak tahu bagaimana rupanya, sifatnya, ataupun tingkah lakunya.

Dia hanya tahu bahwa gadis itu sedang merasakan duka mendalam. Kesedihannya bahkan kian bertambah karena sebentar lagi sang ayah akan segera di kebumikan.

"Saya permisi, kek" Pamit Arsya kembali memindai wajah pria keriput di depannya.

Dia lantas meraih tangan Atmajaya, lalu bangkit dan langsung beranjak tanpa berpamitan pada Afifah.

Sementara Afifah, pun tak peduli dengan sikap suaminya. Yang ada dalam hatinya hanyalah rasa cemas karena kedua orang tuanya kini sudah tiada, yang artinya tak ada lagi tempat untuk bersandar serta berkeluh kesah.

Wanita itu, jangankan menyapa pria yang baru saja sah menjadi imamnya, memandang saja sama sekali tak ia lakukan.

****

Setelah selesai pemakaman, Atmajaya mengajak Afifah untuk pulang, ada juga salah satu tetangga yang masih bertahan menemaninya.

Hanya menempuh jarak sekitar dua kilo dari makam, mereka pun sampai di rumah peninggalan orang tua Afifah. Dan saat ini Afifah serta Atmajaya tengah duduk di ruang tamu dengan kondisi batin yang mungkin berbeda.

Hening, keduanya saling diam hingga lewat bermenit-menit.

Puas dengan keheningan yang mereka ciptakan, Atmajaya akhirnya menyerukan suaranya.

"Afifah, maafin kakek" Atmajaya menjeda kalimatnya, sekedar untuk menghela napas panjang. "Kakek bisa pastikan kalau suamimu, akan bisa menjagamu dan menemani hari-hari di sepanjang hidupmu. Arsya pasti akan menjadi suami yang baik buatmu"

Tak merespon, Afifah justru bergeming dengan beragam kemelut yang membungkus hatinya.

Jelas kesedihan masih ia rasakan. Dan entah sampai kapan dukanya itu akan sirna.

"Kamu tak perlu khawatir, ada Arsya di sampingmu, kamu tidak sendiri, nak"

Pancaran mata Afifah yang menyorot kosong kembali menitikan buliran bening. Ia masih mengunci rapat mulutnya, sama sekali tak menggubris ucapan Atmajaya.

"Setelah pulang dari Paris, Arsya akan menjemputmu dan membawamu tinggal bersamanya"

Satu tangan Afifah mengusap pipinya yang basah.

"Sedih boleh, tapi jangan berlarut-larut"

"Maaf, kek" Ucapnya lirih sembari menunduk.

"Tidak apa-apa, kakek faham betul bagaimana perasaanmu, setelah satu atau dua minggu kakek harap kamu sudah bisa melanjutkan hidupmu"

Wanita itu mengangguk lalu mengusap pipinya yang kembali basah karena tetesan air mata.

"Ingat, setelah Arsya kembali, kamu harus sudah siap meninggalkan rumah ini. Dan kakek janji akan menyuruh orang untuk membersihkan rumah ini setiap satu minggu sekali. Jika kamu ingin bermalam di sini, ajaklah suamimu ikut serta"

"Suami?" Entah kata apa yang keluar dari mulut Afifah barusan, dia seakan tak mengerti dengan kata-kata Atmajaya.

"Nak, kamu baru saja menikah dengan cucu kakek di depan jenazah ayahmu, apa kamu lupa?"

"Astaghfirullah" Lirih Afifah, lalu memejamkan sepasang matanya.

"Kamu baik-baik saja, nak?" Tanya Atmajaya cemas.

"Saya baik-baik saja, kek. Maaf, saya tidak begitu fokus tadi"

"Tidak apa-apa Afifah" Jawabnya. "Kamu butuh istirahat. Istirahatlah"

"Apa tidak apa-apa kalau saya tinggal ke kamar?"

"Pergilah ke kamar dan beristirahatlah! Kakek juga akan pulang dulu. Kakek akan beri tahu istri kakek dan papahnya Arsya kalau kalian sudah menikah"

Mendengar ucapan Atmajaya, jantung Afifah seketika berdentum. Ada perasaan takut kalau seandainya keluarga Atmajaya tak merestui pernikahannya.

Bersambung..

Part 1

Tiga minggu berlalu..

Arsya masih berada di paris, dan selama di sana, dia sama sekali belum pernah menghubungi Afifah. Kesibukannya mengurus resort serta rumah sakit milik keluarga, membuatnya lupa bahwa sekarang statusnya sudah berubah menjadi seorang suami.

Ia bahkan masih belum percaya kalau dirinya sudah menikahi gadis yang sama sekali bukan tipenya, dan entah seperti apa rumah tangganya nanti, yang jelas ia selalu ingat pesan tantenya agar jangan sekali-kali bermain dengan perasaan wanita.

"Huuffftt"

Duduk bersandar pada headboard, pria berwajah tampan itu mengusap wajahnya dengan gusar. Sekali lagi, dia menghembuskan napas panjang untuk menetralisir perasaannya yang terus bergejolak.

Hingga sekian menit terlewatkan, tiba-tiba ia di kejutkan oleh suara ketukan pintu. Reflek sepasang matanya memindai daun pintu seraya menyuruhnya untuk masuk.

Arsya tahu bahwa yang datang adalah sang asisten, Beno.

"Maaf pak, makan malam sudah siap" Katanya setelah memutar gagang pintu, dan menampakkan diri di depan Arsya.

"Kamu ada menghubungi gadis itu?" Tanya Arsya, alih-alih merespon ucapan Beno.

"Gadis yang mana, pak?"

"Gadis yang ku nikahi" Kesalnya dengan intonasi sedikit tinggi. "Gimana si, begitu saja nggak faham"

"Maksud pak Arsya, nona Afifah?"

"Memangnya siapa lagi kalau bukan dia? Apa ada wanita lain yang juga ku nikahi?" Pria yang masih duduk di atas ranjang itu mendelik tajam, otomatis membuat sang asisten memberingsut takut.

"Maaf, pak! Sekitar lima hari lalu saya menelfonnya"

"Masuk, kita bicara sebentar!" Perintah Arsya. Sementara Beno pun menutup kembali pintu kamar sebelum kemudian melangkah masuk.

"Duduklah!" Perintahnya lagi, dan Beno langsung meraih kursi putar di sebelah ranjang.

"Gimana dia? Apa masih berkabung?" Arsya bertanya sesaat setelah Beno duduk.

"Sepertinya masih, pak"

"Apa kabarnya baik?"

"Kurang tahu pak, saat itu saya hanya bicara sebentar karena dia sedang sibuk bekerja"

"Bekerja?" Salah satu alis Arsya terangkat "Kerja apa dia?"

"Dia seorang guru SD, dan siangnya bekerja di lembaga pendidikan kursus, sebagai guru les matematika"

"Dia seorang guru?"

"Iya, pak"

Bibir Arsya terkatup rapat, sementara otaknya seakan tengah berfikir keras.

"Telfon dia sekarang!" Ucapnya setelah hening beberapa saat.

"Saya, pak? Maksud saya, kenapa tidak pak Arsya saja yang menelfonnya"

"Telfon dia sekarang Beno! Pakai ponselmu, jangan lupa keraskan suaranya"

"Baik, pak" Dengan gerak cepat, Beno merogoh saku celana untuk mengambil benda tipis di dalam sana. Segera ia melaksanakan perintah bosnya.

"Assalamu'alaikum?" Suara itu terdengar begitu merdu, meski hanya lewat telfon, tapi cukup membuat jantung Arsya meronta-ronta.

"W-wa'alaikumsalam" Jawab Beno sedikit tergagap. Bulu kuduknya bahkan merinding mendengar suara istri bosnya itu.

"Maaf, siapa ini?" Mendengar pertanyaan Afifah, spontan mata Arsya melirik Beno. Dia heran kenapa Afifah masih bertanya siapa yang menelfon. Jelas-jelas ini kedua kalinya Beno menghubungi Afifah.

"Saya Beno, nona. Apa nona lupa?"

"Oh, pak Beno, maaf saya belum menyimpan nomor anda"

"Kalau begitu, segera di simpan nona"

"Tapi tolong jangan panggil saya nona. Itu terdengar aneh di telinga saya"

"Tidak bisa nona, anda istri dari bos saya, saya harus menghormati anda"

"Enggak apa-apa kalau tidak di depan pak Arsya" Beno melirik bosnya dengan perasaan tak enak hati.

"Tanyakan kabarnya, tanya juga sedang apa dia sekarang" Arsya berbisik.

"Maaf nona, bagaimana kabarnya, apa nona baik-baik saja?"

"Ya, saya baik"

"Kalau boleh tahu, nona sedang apa?"

"Saya lagi masak" Jawabnya, memang terdengar suara dentuman sutil yang beradu dengan wajan. "Ada perlu apa pak Beno menelfon saya?"

"Sebenarnya pak Ars_"

"Sstt.. Jangan bilang aku yang menyuruhmu" Potong Arsya cepat.

"Sebenarnya apa?" Jelas Afifah terheran.

"Maaf nona, saya hanya ingin mengetahui kabar nona"

"Saya baik-baik saja kok"

"Syukurlah kalau begitu"

"Tanyakan, dengan siapa dia tinggal?" Bisik Arsya lagi. Suaranya nyaris tak terdengar oleh telinga Beno.

"Nona, dengan siapa nona tinggal sekarang?" Sedikit ragu, si. Tapi ini perintah, mau tak mau, Beno harus mematuhinya.

"Saya di temani Ririn, teman sekaligus tetangga saya, kenapa?"

"Oh tidak apa-apa. Saya hanya ingin memastikan kalau nona tidak sendirian di rumah itu. Dan kalau nona merasa butuh teman, saya akan kirim orang untuk menemani nona selama pak Arsya belum menjemput nona"

"Tidak perlu, lagi pula tetangga saya semuanya baik"

"Baiklah kalau begitu"

Lalu hening, Arsya dan Beno hanya saling tatap.

Mungkin Arsya sedang berfikir apa lagi yang ingin dia tanyakan, sementara Beno bergeming sambil menunggu perintah selanjutnya.

"Halo!" Seru suara dari balik telfon.

"I-iya nona!"

"Apa ada yang mendesak lainnya? Kalau tidak ada, saya tutup dulu"

"Oh iya, nona Afifah. Jangan lupa hubungi Sheema jika ada hal yang penting ataupun butuh sesuatu"

"Iya, terimakasih atas perhatiannya, saya matikan dulu, assalamu'alaikum"

"Wa'alaikumsalam, nona"

Setelah panggilan benar-benar mati, Arsya berdecak kesal. Ia merasa di abaikan bahkan oleh gadis seperti Afifah. Padahal selama ini tidak ada seorang pun yang mengabaikannya, semuanya hormat padanya, bahkan sampai adapula wanita yang sok akrab.

"Gadis macam apa dia, Beno? Kenapa tidak menanyakanku sama sekali?"

"Entah lah, bos" Jangan heran dengan panggilan Beno pada atasannya. Itu hal biasa. Kadang pak, kadang bos, tergantung suasana.

"Apa kamu tahu, seperti apa wajahnya?" Mata Arsya menyorot serius. "Apa dia cantik? Berkulit putih, atau malah sebaliknya?"

"Saya tidak terlalu melihatnya, pak Arsya tahu sendiri saat ijab, nona Afi terus saja menunduk, wajahnya di hiasi make up tebal, juga ada selendang yang menutup atas kepalanya hingga batas dahi" Jawab Beno jujur. "Tapi kalau di lihat dari tangannya ketika pak Arsya memakaikan cincin di jarinya, sepertinya kulitnya putih dan mulus, dari suaranya tadi juga terdengar sangat lembut dan merdu. Sepertinya nona Afi begitu penyayang, dan juga cantik"

"Ah, jangan tertipu dengan suaranya. Banyak yang punya suara bagus, tapi rupanya jelek"

"Tapi sepertinya tidak dengan nona Afi, pak"

"Begitu ya?" Gumam Arsya, bola matanya bergerak kesana kemari seakan tengah mempertimbangkan kalimat Beno.

"Menurutmu aku harus gimana?" Tambah Arsya meminta pendapat asistennya.

"Saya tidak tahu bos. Kalau saya di posisi pak Arsya, entahlah, saya sendiri bingung"

"Hhhh.. ada-ada saja memang, si kakek" Gerutunya frustasi.

"Tapi saran saya, lebih baik bos terima saja, jalani satu atau dua tahun, jika tidak bisa di pertahankan, pak Arsya bisa gugat cerai dia"

"Satu tahun? apa itu tidak terlalu lama Ben? aku saja belum tahu seperti apa Afifah itu" Arsya bangkit dari duduknya, membuka lemari lalu meraih kaos polos berwarna putih "Pernikahan ini seperti membeli kucing dalam karung, tak tahu kucing apa yang sudah ku beli" Tambahnya, kemudian mengenakan kaos yang baru di ambilnya.

"Beno, apa kamu punya fotonya?" Tanyanya setelah sekian detik.

"Tidak bos"

"Bagaimana bisa kamu tidak memiliki fotonya?" Arsya yang sudah mengenakan kaos, langsung menatap sang asisten dengan tatapan membunuh.

"Saya setiap hari mendampingi pak Arsya, saya juga baru bertemu nona Afi saat menikah"

"Siapa yang mengurus pernikahanku?"

"Sheema, pak"

"Hubungi Sheema, minta kirimkan fotonya"

"Ponselnya masih belum aktif, pak"

"Kirim pesan!" Perintahnya tegas.

"Baik"

****

Di tempat lain, Afifah yang sedang merenung di kamarnya, menatap dua buku berwarna merah dan hijau tua. Buku itu baru saja ia terima dari kantor urusan agama yang di kirim ke sekolahnya.

Sepasang mata indahnya, kini menatap tulisan yang ada di sampul buku itu.

"Buku nikah?" Pelan, Afifah membuka lembaran demi lembaran hingga tangan itu terhenti tepat ketika mendapati dua foto berjejer dengan background merah dan biru. "Aku sudah menikah? Seperti apa kira-kira lelaki yang menikahiku ini?" Gumamnya sembari mengusap bagian wajah foto pria bernama Arsya.

"Aku tidak mencintainya, pak Arsya pasti juga tidak mencintaiku, apalagi dia dari keluarga terpandang, pria berwibawa, kaya raya, dan juga tampan, mustahil bisa menerimaku semudah itu"

Menarik napas panjang, rasa putus asa seakan kian menjadi, takut serta cemas pun turut mendominasi.

"Takdir apa yang Tuhan berikan untukku? Dia mengambil orang yang ku sayang dariku, lalu menggantikannya dengan orang-orang asing yang tak ku kenal? Kakek Atmajaya mungkin orang baik, tapi yang lain?"

"Huuuhhh.."

Mendadak ia teringat akan kata-kata Atmajaya beberapa waktu lalu.

"Saya akan pulang dan membawa orang tua Arsya kemari untuk di perkenalkan padamu. Jangan sedih lagi, kamu tidak sendiri"

Mendesah, Afifah kembali bergumam "Hingga detik ini beliau belum juga datang membawa keluarganya. Apa pernikahan ini hanya main-main?" Fikir Afifah berspekulasi. "Tidak-tidak, aku harus positive thinking, kakek Atmajaya orang baik, tapi seandainya mereka hanya mempermainkanku, aku tidak merasa di rugikan. Sedangkan buku ini, aku bisa menghanyutkannya. Toh, aku dan pak Arsya belum pernah bertemu, apalagi tidur bersama"

Bersambung

Part 2

Keesokan harinya, seperti biasa Arsya bersiap untuk meeting pagi ini dengan para investor di resort miliknya.

Ia merasa kurang fit sebenarnya, sebab semalam bayangan soal pernikahan yang dadakan itu berhasil membuatnya tak bisa memejamkan mata hingga pukul dua dini hari. Tapi karena pertemuan ini adalah meeting terakhir di Paris, ia begitu bersemangat, di tambah pada malam harinya ia akan langsung kembali ke negaranya, bertemu dengan orang-orang tersayang terutama adik perempuannya. Ia sudah tidak sabar ingin mencurahkan segala polemik yang ia alami, sekaligus meminta saran harus melakukan apa. Meski hanya adik sepupu, tapi Arsya merasa kalau setiap masukan darinya cukup bijak.

Bagaimana tidak, gadis yang akrab di sapa Sofia itu merupakan anak dari Adam dan Dinda. Otomatis mereka mendidiknya dengan cara yang tepat.

Sementara Arsya sendiri belum ada rencana untuk memboyong sang istri ke rumahnya, namun sebagai suami yang bertanggung jawab, ia tetap akan mencoba menerima pernikahan itu.

"Pak, berkas meeting hari ini sudah siap" Ujar Beno ketika dia masuk ke kamar Arsya. "Meeting di mulai jam delapan, sementara beberapa investor sudah mulai berdatangan"

"Apa saja scedule hari ini, Ben?"

"Hanya meeting dan di akhiri dengan jamuan makan siang"

"Lantas jam berapa pesawat terbang ke Jakarta?"

"Pukul sepuluh malam ini, pak"

"Kenapa harus penerbangan malam?" Tanya Arsya seakan keberatan.

"Hari ini penerbangan ke Jakarta pukul dua siang dan sepuluh malam pak, sedangkan kita baru selesai pertemuan setelah makan siang, kurang lebih jam dua, jadi saya ambil penerbangan malam. Apa pak Arsya ingin penerbangan siang? Akan saya jadwalkan ulang di pagi harinya besok"

"No, no! Aku sudah tidak sabar ingin segera kembali ke Jakarta"

"Baik" Sahut Beno sembari menundukkan kepala pelan.

"Kamu sudah dapat foto Afifah dari Sheema?"

"Belum pak, Sheema juga tidak memiliki fotonya"

"Bukankah dia yang mengurus dokumen pernikahanku?"

"Benar pak, tapi Sheema bilang semua berkas-berkas sudah ia hapus dari ponselnya termasuk foto milik nona Afifah"

"Hufftt" Desis Arsya menggelengkan kepala.

"Tapi Sheema akan minta foto nona Afi dan segera mengirimkannya ke saya kalau sudah dapat"

"Tidak usah, aku akan datang sendiri ke rumahnya setelah sampai di Jakarta"

"Baik, pak"

"Kita berangkat sekarang" Pungkas Arsya, satu tangannya bergerak melingkarkan arloji di pergelangan tangannya yang lain.

"Mari, pak" Beno membuka pintu dan langsung mempersilahkan Arsya untuk keluar lebih dulu.

Keduanya sama-sama melangkah lebar menuju ruang meeting yang sudah di persiapkan oleh Beno tadi malam.

****

Waktu terus bergulir, matahari pun sudah berpindah tempat nyaris di atas kepala. Afifah yang baru saja selesai mengajar, langsung ke mushola sekolah untuk ibadah sholat dzuhur. Meski tak berhijab, tapi untuk urusan kewajibannya sebagai umat muslim tak pernah terlewatkan barang sekali. Ia justru selalu tepat waktu untuk menjalankannya.

Apalagi saat ini dia sudah tak memiliki orang tua, hanya dengan sholatlah seakan kerinduan pada ayah dan ibunya bisa terobati.

Puas berdoa, ia tak langsung kembali ke ruang guru, wanita itu memilih duduk sebentar di serambi mushola. Membuka ponselnya untuk sekedar mengecek apakah ada telfon atau pesan masuk.

Ketika tak menemukan apapun di ponselnya, ia kembali memasukkan benda itu ke saku rok.

Baru saja dua detik, ia merasakan ada sesutu yang bergetar. Sedikit berjengit, Afifah kembali meraih gawainya.

Satu pesan masuk bisa ia lihat dari layar pop up yang menyala.

081xxx : "Nona Afi, pak Atmajaya masuk rumah sakit, kondisinya kritis. Saya belum bisa menjemput nona untuk menjenguk beliau. Nanti setelah pulang dari Surabaya, saya segera ke rumah nona"

Begitulah pesan masuk dari nomor asing. Akan tetapi ketika pesan kedua kembali masuk, juga dari foto profil yang terpampang, dia tahu kalau pemilik nomor itu adalah Sheema. Orang yang juga menjadi kepercayaan keluarga Atmajaya.

"Sejak kapan pak Atmajaya masuk rumah sakit?" Afifah membalas pesan itu di iringi rasa panik.

081xxx : "Sudah dua minggu yang lalu, nona. Tapi beberapa hari ini beliau kritis karena kadar gulanya semakin tinggi"

"Innalillahi" Lirih Afifah setelah membaca pesan yang kembali masuk. "Pantas saja kakek belum sempat mengunjungiku, ternyata beliau sakit"

"Apa pak Arsya sudah tahu?" Fikirnya bertanya-tanya.

Menghembuskan napas, Afifah tak berani memutuskan apa yang harus ia lakukan. Menjenguk tanpa Sheema sepertinya juga bukan pilihan yang tepat, dia takut dengan keluarga Atmajaya.

Sampai ketika Afi kembali mengajar, pikirannya terus tertuju pada Atmajaya, entah apa yang memicunya, rasa-rasanya ia ingin sekali menjenguknya, instingnya mengatakan kalau tidak hari ini, dia seakan tak bisa melihat kakek dari suaminya lagi.

"Tidak bisa di biarkan, aku harus menjenguk kakek dan memastikan kalau kondisinya baik-baik saja" Di sela-sela mengajar, Afifah kembali bermonolog dengan suara lirih. "Perasaan ini sama persis ketika ayah ingin meninggalkanku untuk selamanya, apa mungkin kakek juga akan meninggalkanku?" Sungguh wanita itu sama sekali tak bisa fokus dalam memberikan materi pada anak muridnya.

"Terakhir kali aku melihat kakek, beliau segar bugar dan baik-baik saja, kakek tidak mungkin pergi secepat itu"

Dia menggelengkan kepala, terus meyakinkan diri bahwa tidak akan terjadi sesuatu pada Atmajaya.

Sore harinya, selesai mengajar Afifah tak langsung pulang, ada sesuatu yang mendorong langkahnya menuju rumah sakit Harqueena.

Ia pun menaiki kendaraan umum agar bisa segera tiba di tempat tujuan.

Hampir setengah jam ia menempuh perjalanan, dia akhirnya sampai di halaman rumah sakit dengan bangunan megah. Rumah sakit yang tak lain adalah milik keluarga suaminya.

Tapi ngomong-ngomong wanita itu tak tahu kalau rumah sakit elit ini adalah Atmajaya.

Melangkah dengan sedikit ragu, kakinya terarah pada meja resepsionis, ia langsung bertanya dimana ruangan pak Atmajaya.

Begitu di beritahu, dengan cepat ia menuju ke lantai tiga. Tempat khusus dimana pasian rata-rata dalam keadaan koma.

Menarik napas panjang, jantungnya kian berdebar saat dirinya nyaris sampai di bangsal milik Atmajaya.

"Permisi, suster" Kata Afi gugup.

"Iya, mbak"

"Di mana ruangan pak Atmajaya?"

Bukannya menjawab, si suster itu malah memindai tubuh Afi dari ujung kaki ke ujung rambut.

Ini kali pertama suster itu melihat Afifah, itu sebabnya dia sedikit waspada mengingat Atmajaya bukan orang sembarangan.

"Maaf, anda siapa?"

"S-saya kerabatnya, sus"

"Kerabat?"

Afi mengangguk cepat.

"Kerabat dari mana?"

"Saya kerabat jauh, suster"

Merasa curiga, suster itu menanyakan identitas lengkap Afifah.

"Boleh saya tahu siapa nama anda?"

"Nama saya Afifah, s-saya istri dari pak Ar_" Afi menggantung kalimatnya. Merasa tak ada hak untuk mengakui bahwa dia adalah istri Arsya.

"Istrinya siapa?" Tanya suster mengernyitkan dahi.

"Saya istri dari kerabatnya" Afifah merasa kalau tak hanya jantung yang bergetar, anggota tubuh yang lainnya pun seakan gemetar.

"Tolong suster, izinkan saya menemui pak Atmajaya, beliau pasti sangat ingin bertemu denganku"

"Tapi pak Atmajaya sedang koma, beliau tidak bisa di temui kecuali oleh keluarga inti"

"Please suster, sebentar saja. Suster bisa menemaniku kalau takut terjadi apa-apa dengan pak Atmajaya"

"Tapi_"

"Tolonglah suster" Ucap Afi penuh harap.

"Baiklah, tapi saya akan menemani anda"

"Baik, terimakasih sus"

"Hmm" Sahutnya. Ia lalu berjalan ke ruangan VVIP Family. Sementara Afi mengikuti langkahnya di belakang suster berseragam warna maroon.

"Dimana keluarga pak Atmajaya, sus?" Tanya Afi di tengah-tengah langkahnya.

"Mereka akan datang sebentar lagi"

"Apa tidak ada yang menjaga pak Atmajaya di sini?"

"Tidak, sudah ada banyak suster yang menjaganya, toh pak Atmajaya sedang koma, rumah sakit tak memperkenankan orang menjenguknya kecuali memang darurat. Lagi pula tidak ada yang bisa di lakukan oleh pihak keluarga dengan kondisi pak Atmajaya yang seperti itu. Mereka hanya datang melihatnya, bicara sebentar untuk merangsang saraf motoriknya. Setelah itu pulang, hanya itu"

"Kasihan sekali pak Atmajaya"

"Kenapa kasihan? Meski demikian, keluarga tetap memperhatikan beliau. Keluarganya sama sekali tidak mengabaikannya"

"Syukur alhamdulillah kalau begitu"

"Silakan masuk" Perintah suster ketika memutar handle pintu. "Tapi hanya sepuluh menit saja ya mbak"

"Iya, suster. Hanya sepuluh menit" Afi berjalan melewatinya sekaligus pintu yang membatasi ruangan itu.

"Makasih suster"

"Sama-sama" Balasnya sembari menutup rapat pintunya kembali.

"Yaa Allah, kakek" Lirih Afifah, ketika sepasang netranya melihat pak Atmajaya terbaring lemah. Ada banyak alat medis yang menempel di tubuhnya.

Pelan, langkahnya terayun menuju ranjangnya.

"Kenapa bisa begini, kek?" Ketika sudah berdiri tepat di samping ranjang, Afifah menatap alat yang menjepit salah satu jari Atmajaya.

"Kakek, ada apa denganmu? Sebenarnya apa yang terjadi?"

Hening, tak ada sahutan dari pria berkeriput itu. Hanya ada suara alat medis yang berbunyi sesuai temponya.

"Kakek, ini saya, Afifah. Bangun kek, saya masih butuh kakek. Dukaku baru saja sembuh, tolong jangan lakukan ini, kek"

"Hanya kakek yang saya miliki, kakeklah kekuatanku, jadi bangunlah kek"

Satu menit, dua menit, tiba-tiba saja, pria itu membuka matanya dengan perlahan.

"A-Afi" Suara lemah itu terdengar lirih juga serak.

"Kakek"

Melihat hal itu, suster yang sedari tadi menemaninya sontak terkejut. Ia langsung memeriksa denyut jantung Atmajaya.

"Syukurlah, ada perubahan baik yang di alami pak Atmajaya" Ujarnya. "Saya akan panggil dokter untuk memeriksanya"

"T-tidak usah, suster" Cegah Atmajaya. "Tolong keluarlah, saya ingin bicara dengan cucu saya" Lanjutnya lemah.

"Tapi bapak harus di periksa"

"Iya, tapi beri saya waktu sebentar saja. Tinggalkan kami berdua, selesai bicara, ,suster bisa panggil dokter"

"Baik" Balasnya. Pandangannya lalu beralih ke wajah Afifah. "Saya keluar dulu mbak, jika terjadi sesuatu, segera panggil saya. Saya ada di depan kamar"

"Baik suster. Terimakasih"

Suster itu mengangguk, kemudian melangkah keluar lengkap dengan perasaan sedikit was-was.

Bersambung.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!