NovelToon NovelToon

Criminal Love

Episode 1

9 Juni 2024

08.15

"Hey, jangan lari-lari!" Ucapku pada kedua anak ku yang tengah bermain kejar-kejaran.

Brukk.. Mereka berdua terjatuh.

"Ibu, Kaki adek sakit." Ucap si bungsu, Zehan, sambil menghampiri ku yang sedang sibuk memasak.

"Kan Ibu bilang jangan lari-lari." Kata ku sambil membungkuk sebentar untuk mengusap kaki mungilnya.

"Tapi kakak kejar-kejar adek." Rengek anak lucu itu lagi.

"Kakak, jangan kejar-kejaran ya. Nanti kalau jatuh lagi sakit lho!" Aku berusaha memperingati si Kakak yang usianya hanya satu tahun diatas adiknya.

"Iya tapi adek ambil boneka Kakak, Bu." Rengek si Kakak, Zivanna, yang berusaha membela diri.

"Adek, kenapa ambil boneka Kakak?"

"Adek kan pinjam"

"Kalau pinjam bilang baik-baik, Kak, adek pinjam ya boneka nya. Jangan langsung ambil, nanti Kakak marah karena adek nggak izin."

"Oh gitu ya, Bu?" Kata anak laki-laki usia dua setengah tahun itu lagi.

"Iya, coba adek izin sama kakak pasti kakak kasih pinjam." Kata ku mencoba memberi afirmasi positif pada keduanya.

"Kak, Adek boleh pinjam gak bonekanya?" Kata si adik.

"Boleh, dek. Nggak apa-apa kok kalau mau pinjam." Kata si Kakak yang mulai tenang.

"Terimakasih ya, Kak."

"Sama-sama, Dek."

"Aku sayang kakak."

"Kakak juga sayang adek."

Mereka pun berpelukan sambil tersenyum, lucu sekali. aku pun tersenyum melihatnya.

"Main bersama-sama ya. Ibu masak dulu sebentar." Kata ku lagi yang sudah kembali ke meja dapur ku.

"Okay." Jawab keduanya.

"Ayo, dek, kita main sama-sama. jangan ganggu Ibu ya, dek." Kata si Kakak sambil menggiring adiknya menjauh dari dapur.

"Ayo." Jawab adiknya.

Tiba-tiba ponsel ku berdering, ku lihat bibi ku menelepon.

"Hallo, Tante Lisa." Aku langsung menjawabnya.

"Ri, udah dengar berita? Nicky meninggal."

"Innalillahi." Aku terkejut mendengarnya.

"Kamu bisa nyusul? Tante dan mama mu udah di rumahnya."

"Iya tante, Aku izin mas Davi dulu sama minta tolong Nia jaga anak-anak." Kata ku.

"Iya."

Ku akhiri telepon ku dengan bibi ku dan beralih menelepon adik ipar ku.

"Hallo, Ada apa Kak?" Jawabnya.

"Nia, Kamu dirumah nggak?" Tanya ku.

"Iya aku dirumah, kenapa Kak?"

"Nia aku mau minta tolong, titip anak-anak. Teman ku meninggal aku mau melayat. Boleh?" Tanya ku lagi.

"Iya, Kak. Aku juga lagi nggak ada kelas kok. Nanti aku jemput ya."

"Iya Nia, terimakasih ya."

Telepon pun tertutup, aku beralih menghubungi suami ku.

"Iya sayang?" Ia menjawab panggilan ku.

"Hallo, sayang. Kamu udah sampai kantor?" Tanya ku.

"Baru aja sampai, ada apa?"

"Kamu ingat sahabat ku dari kecil, Nicky?" Tanya ku.

"Iya, kenapa?"

"Nicky meninggal. Aku udah telepon Nia untuk jaga anak-anak. Aku boleh melayatnya?" Tanya ku lagi.

"Innalillahi. Iya boleh, kamu naik taksi ya. Nanti pulangnya biar aku jemput." Kata Mas Davi lagi.

"Iya, Okay, kalau begitu aku mau siapin makan anak-anak dulu ya."

"Iya, hati-hati ya sayang."

"Iya kamu juga hati-hati ya."

Telepon ku tutup lagi, aku segera menyiapkan sarapan dan juga bekal makan siang dan malam anak-anak ku dirumah mertua ku. Ku bawakan lebih juga agar mertua dan adik ipar ku bisa mencicipinya.

Selesai sarapan dan beres-beres, adik ipar ku pun datang menjemput kedua keponakannya. Untungnya rumah ku dan mertua ku tak terlalu jauh, hanya beda komplek. Jadi Ia membawa kedua anak ku hanya dengan menaiki sepeda listrik.

"Ni, aku minta tolong ya. Sahabat ku meninggal, kayaknya aku bakal pulang sore bersama mas Davi."

Ucap ku tak enak.

"Iya santai Kak, Kakak hati-hati ya." Katanya.

"Iya kamu juga hati-hati. Zivanna, Zehan, jangan nakal ya. Dengar kata Kakek Nenek dan Tante Nia, Okay?" Pesan ku pada kedua anak ku.

"Iya, Bu." Jawab keduanya.

"Ibu hati-hati ya." Kata anak sulung ku.

"Iya." Ucap ku sambil mengusap kepalanya, dan mencium pipi keduanya.

"Yaudah aku jalan dulu ya Kak."

"Dadah Ibu!!!" Kata kedua anak ku.

"Dadah!!! Makan yang banyak ya, jangan nakal!" Teriak ku pada mereka yang semakin menjauh.

Aku pun mengganti baju lalu segera meluncur ke kediaman Nicky.

Sesampainya disana, aku disambut oleh isak tangis dari Tante Elsa dan Mbak Vanessa, Ibu dan kakak Nicky. Aku menghampiri keduanya dan memeluknya. Saat melihat jasad sahabat ku yang sudah terbujur kaku dan membiru, aku pun tak kuasa menahan tangis ku hingga akhirnya aku menangis bersama Tante Elsa dan Mbak Vanessa. Namun ada sesuatu yang janggal, aku tak melihat keberadaan Giska, istri Nicky, dan juga keluarganya.

Aku pun mundur, menjauh dari Tante Elsa, Mbak Vanessa dan juga jasad Nicky. Aku berusaha menenangkan diri dan mencari Giska.

"Ri!"

Aku menoleh ke sumber suara yang ternyata Ibu dan Tante ku.

"Anak-anak aman?" Tanya Ibu ku mengkhawatirkan cucunya.

"Aman, Ma." Jawab ku memegang tangan Ibu ku.

"Tante, Nicky meninggal kenapa? Aku nggak liat istri nya dan keluarga istrinya." Bisik ku pada Tante Lisa

"Nicky sakit, Giska ada dikamar nya. Dia murung terus. Ditanya pun diam, nggak Jawab sama sekali." Jawab Tante Lisa, yang tinggal lumayan dekat dengan rumah Nicky.

***

Beberapa hari sebelum kematian Nicky

Aku mengunjungi rumah Ibu ku, bermaksud mengajak anak-anak ku bertamasya bersama dengan Kakek-Neneknya. Perjalanan dari rumah ku ke rumah Ibu ku sekitar satu jam. Aku sengaja tak mengabarinya kalau aku akan mengunjunginya karena ingin memberikan kejutan. Namun sesampainya disana malah aku yang dibuat terkejut karena keberadaan Tante Elsa.

Dulu Tante Elsa adalah tetangga ku sekaligus pemilik usaha katering terbesar se Jakarta, sementara suaminya bekerja dibidang pelayaran. Ibu dan nenek ku bekerja di tempat katering Tante Elsa. Tante Elsa memiliki 2 anak yaitu Mbak Vanessa dan Nicky. Meskipun kami dari keluarga yang berbeda, Tante Elsa sangat baik dan ramah pada keluarga ku. Aku pun bersahabat dekat dengan Nicky yang seusia dengan ku. Saat mereka berlibur, Mereka selalu mengajak ku karena Nicky hanya mau bermain dengan ku.

Namun ketika kami beranjak remaja, Tante Elsa dan suaminya bercerai. Membuat Nicky menjadi anak yang berbeda, tak seceria dulu.

Tante Elsa memutuskan untuk pindah ke Bandung bersama Mbak Vanessa. Sementara Nicky tetap tinggal bersama Ayahnya di Jakarta.

Beberapa tahun kemudian Ayah Nicky menjual rumahnya dan mereka pun pindah ke perbatasan Jakarta-Bogor. Hingga akhirnya aku mendapat kabar bahwa Nicky sudah menikah dan memiliki seorang anak perempuan.

"Rivanza! Apa kabar?" Tanya Tante Elsa sambil memeluk ku.

"Baik Tante. Tante sehat?" Tanya ku.

"Tante sehat. Maaf ya, Tante mengganggu waktu kamu sama anak-anak main sama Kakek-Neneknya." Katanya mengerti bahwa aku dan anak-anak kecewa tak bisa mengajak Ibu dan Ayah ku bertamasya karena keberadaannya.

"Nggak apa-apa Tante, salah aku juga yg nggak mengabari kalau aku mau datang." Jawab ku dengan senyum tulus.

"Hey, nama kamu siapa?" Tanya Tante Elsa pada anak sulung ku.

"Zivanna, ini adek ku, Zehan" Jawab Anak ku yang luar biasa cerdas itu.

"Ya ampun. umur berapa sih Ri? Kok pintar banget?" Kata Tante Elsa.

"4 tahun Tante, adiknya 2 setengah tahun. Anaknya Nicky sudah berapa tahun tante?"

"Baru 7 bulan, Ri."

"Hmm, Tante dari kapan di Jakarta?"

"Sudah 3 hari.." Tante Elsa menggiring ku sedikit menjauh dari keluarga ku.

"Sebetulnya Tante mau ketemu sama cucu Tante di Jakarta, tapi Nicky nggak pernah mengabari, Tante nggak tau kalau ternyata cucu Tante tinggal di Riau sama neneknya." Kata Tante Elsa kecewa. Terlihat kerinduan yang amat dalam pada cucunya dari mata Tante Elsa.

"Lho, kok bisa, Tante? Istri Nicky tinggal dimana?" Tanya ku.

"Nicky dan Giska di Jakarta, tapi anaknya tinggal di Riau dengan ibunya Giska. Giska nggak mau berhenti dari pekerjaannya, pakai baby sitter nggak mau karena nggak percaya, jadi anaknya tinggal dengan ibunya di Riau. Padahal kalo tante disuruh jaga cucu Tante, Tante mau dengan senang hati. Kenapa harus ke Riau kan jauh." Tante Elsa mulai menangis.

"Tante sedih, kenapa bukan kamu yang jadi menantu Tante."

"Eh?" Aku terkejut dengan kalimat Tante Elsa, ku harap suami ku tak mendengarnya.

"Selama Tante di Jakarta, Giska nggak pernah bicara sama Tante. Tante nggak tau salah Tante apa, kayaknya Giska nggak suka sama Tante."

"Nicky gimana Tante?"

"Nicky seperti biasa, dia anak yang baik. Kamu tau kan betapa sayangnya Tante sama Nicky? Saat Nicky menunjukkan perhatiannya ke Tante, Giska seperti nggak suka. Tante merasa bersalah berada dirumah mereka, jadi pagi-pagi sekali Tante datang kesini karena Tante nggak punya tujuan lagi." Jelas Tante Elsa yang membuat ku samar-samar mengetahui kehidupan rumah tangga Nicky.

***

Episode 2

Pemakaman Nicky

Jasad Nicky dimakamkan tanpa kehadiran Istri, Anak, dan juga keluarga Istrinya. Kesedihan yang mendalam dapat ku rasakan atas meninggalnya sahabat ku sedari aku kecil. Kenangan manis masa kecil ku bermain dengannya terus terngiang hingga aku tak sanggup menahan tangis ku.

Ku lihat tubuh jangkung laki-laki yang selalu menjadi bagian dari cerita masa kecil ku itu, dimasukkan ke liang lahat. Sendirian, tanpa kehadiran Istri yang dicintainya dan juga Anak yang dikasihi nya. Hanya seorang ibu yang tulus menemaninya hingga akhir hayat, bersama sang kakak yang juga turut mengantarnya. Ayah nya? Entah dia berada ditengah laut mana.

Sejak kecil Nicky memang jarang bertemu ayahnya mengingat profesi sang ayah adalah seorang pelaut. Bahkan ketika kedua orang tuanya bercerai dan mengharuskan Nicky berpisah dengan ibunya, ayahnya pun tak sering berada di sisi Nicky. Jika boleh memilih, Nicky ingin ikut bersama ibunya saat itu. Namun sang ayah menahannya dan berjanji akan selalu ada di sisi Nicky sebagai gantinya, tapi itu semua hanya omong kosong belaka. Pada akhirnya Nicky tetap ditinggalkan demi kecintaannya pada profesi dan juga laut. Dapat dibayangkan betapa kesepiannya Nicky selama ini.

Seandainya waktu dapat berputar, aku ingin kembali ke masa remaja ku. Dimana semua orang meninggalkannya, dan aku akan tetap tinggal disisinya, menjadi teman baiknya.

***

Senja mulai datang. Ku lihat Tante Elsa duduk termenung memeluk foto anak laki-laki nya yang baru saja pergi. Air matanya telah habis, namun hatinya masih perih.

"Mbak, Nicky sakit apa?" Tanya ku pada Mbak Vanessa yang sedang melipat kain bekas penutup jenazah Nicky.

"Seminggu lalu kami dapat kabar kalau dia demam. Mbak kira cuma demam biasa, Mbak nggak tau kalau akhirnya begini." Ucap Mbak Vanessa yang dengan sisa isakannya.

"Sudah sempat dibawa ke RS, Mbak?" Tanya ku lagi.

"Nggak tau, Ri. Aku sama Mama kan di Bandung. Giska dari pagi sama sekali nggak bisa diajak ngomong."

"Siapa yang mengabari Mbak Vanessa?"

"Giska. Jam 4 pagi dia menelpon, tapi cuma bilang 'Mbak, Nicky sudah pergi.' lalu langsung ditutup. Aku nggak ngerti maksud dia apa. Tapi perasaan ku nggak enak, Aku dan Mama langsung kesini. Ternyata Nicky benar-benar sudah pergi." Ucapnya lagi sambil menangis.

Aku memeluk Mbak Vanessa dan mengusap punggungnya untuk menenangkannya.

"Aku coba ajak bicara Giska ya Mbak?" Tanya ku lagi.

"Iya, tolong ya, Ri." Mbak Vanessa menyeka air matanya.

Aku mencoba mencari dimana kamar Giska dan Nicky, rumahnya sangat luas hingga aku kesulitan mencari dimana kamarnya. Aku menaiki tangga yang lumayan besar, dari sana terlihat sebuah pintu besar yang langsung ku yakini bahwa itulah kamar Giska dan Nicky.

Aku membuka pintu besar itu perlahan, namun aku sangat terkejut melihat pemandangan yang ada dihadapan ku.

Giska yang sedang meringkuk, seekor kucing yang tergeletak dilantai dengen bersimbah darah, beberapa obat tercecer, dan sebuah gunting ditangan wanita itu.

Tubuh ku bergetar, namun aku mencoba untuk tenang. Aku berpikir sejenak, mungkin Giska sedang kalut. Jika aku mendekat, bagaimana kalau dia menyakitiku dengan gunting ditangannya? Apa aku teriak saja? Tunggu.. Apa jangan-jangan Nicky meninggal bukan karena sakit tapi karena dibunuh?

Aku merogoh ponsel di saku ku, lalu mencari kontak teman ku yang seorang polisi. Aku membagikan lokasi ku saat ini kepadanya terlebih dahulu lalu kemudian aku segera menghubunginya.

"Hallo, Ri." Jawabnya.

"Revan! Ada kasus kematian, tapi gue curiga ini adalah pembunuhan. Gue akan coba ajak bicara istrinya yang gue curigai sebagai pelaku. Gue merekam panggilan ini dan tolong jangan dimatikan. dengarkan baik-baik, jika gue terancam tolong segera datang dengan bantuan." Ucapku cepat dengan suara pelan.

Aku meletakkan ponselku kembali ke saku celana ku. Kemudian aku beranikan diri untuk bicara dengan Giska.

"Giska?" Panggil ku setelah mengetuk pintu kamarnya.

Wanita itu tak bergeming.

"Astaga, Giska!" Aku berpura-pura kaget namun tetap tenang.

Aku mendekatinya pelan-pelan dan mengambil gunting dari genggamannya, setelah ia melepaskan gunting itu segera ku lempar jauh-jauh.

Aku mencoba memeluk tubuh rampingnya untuk menenangkannya.

"Giska? Lihat gue. Lo kenal gue kan? Apa yang terjadi?" Aku mencoba mengangkat kepala Giska yang sedari tadi menunduk.

"Rivanza." Ucapnya lirih.

"Lo pasti cari Nicky ya? Nicky udah pergi. Dia ninggalin gue sendirian." Ucap Giska pelan dengan air mata yang terus mengalir.

"Dia bilang dia nggak bakal ninggalin gue, tapi dia malah pergi. Kenapa semua orang ninggalin gue? Hiks." Lanjutnya.

Melihat Giska menangis membuat air mata ku mengalir juga. Aku kembali memeluk Giska. Namun hati ku tak bisa tenang.

Aku melihat sebuah botol obat anti depresi didekat tubuhnya. Jadi obat yang tercecer itu adalah obat anti depresi?

"Giska. Ini obat siapa? Apa ini obat yang diminum Nicky sebelum pergi?" Tanya ku selembut mungkin pada Giska.

"Obat? Itu bukan obat! Itu cokelat yang buat hidup gue tenang." Jawab Giska melotot.

Aku mencoba meraih botol obat itu dan memungut isinya yang berceceran. Namun dengan cepat Giska meraih tangan ku.

"Jangan sentuh itu!" Bentaknya sambil mencengkram tangan ku dengan kuat.

"Ah." Aku meringis mencoba melepaskan tangan ku dari genggamannya.

"Giska sakit!" Bentak ku pada Giska yang tak mau melepaskan cengkramannya.

"Jangan pernah sentuh benda favorit gue. Susah payah gue cari ini kemana-mana karena Nicky berusaha menyembunyikannya dari gue. Selama berhari-hari rasanya gue hampir gila karena nggak menemukan cokelat ini."

Mata Giska merah memelototi ku.

"Iya iya, okay! Gue nggak akan sentuh cokelat itu. Tolong lepasin tangan gue." Ringis ku kesakitan, namun cengkraman Giska semakin kuat.

Aku mendorong tubuhnya dengan kuat hingga Ia terjatuh, namun Ia segera bangkit dan langsung mendorong ku balik hingga aku tersungkur. Tiba-tiba tubuhnya menindih tubuhku dan langsung mencekik ku.

Aku hanya bisa meronta-ronta dan memohon pada Giska untuk melepaskan ku.

"Giska! Uhuk! Tolong!" Teriak ku sebisa mungkin.

"Lo nggak lihat kucing itu? Dia mati karena menumpahkan cokelat gue. Lo mau bernasib sama dengan kucing itu? atau... Nicky?" Ucap Giska dengan tak melepaskan tangannya dari leher ku.

Giska is Psycho! Teriak ku dalam hati.

"Nicky. Dia nggak sakit kan? Tapi lo bunuh?" Aku bertanya sekuat tenaga ku.

"Hahahaha. Hahahaha. Hiks. Hiks." Giska tertawa getir, sedetik kemudian menangis.

Dia melonggarkan cengkramannya, namun tetap memegangi leher ku dan menahannya dengan kuat, membuat ku susah bergerak.

"Nicky! Hiks. Hiks. Nicky! Aku harus gimana?" Giska tiba-tiba histeris memanggil nama Nicky.

"Giska! Nicky nggak sakit kan? Lo yang bunuh Nicky kan?" Bentak ku kesal.

Kemudian Giska menatap ku tajam dengan mata memerah. Dia kembali mengeratkan cengkraman tangannya pada leherku yang membuat ku kesulitan bernafas.

"Gis.. Hhhhhh..." Ucap ku tertatih sambil mencoba mendorongnya, namun Giska sangat kuat.

"Iya. Nicky menyiksa gue selama berhari-hari karena menyembunyikan cokelat gue. Apa lo juga penasaran gimana cara gue bunuh suami gue sendiri? Rasakan ini." Giska makin brutal mencekik ku. Sudah tak ada ampun diriku baginya.

Apa aku benar-benar akan mati juga ditangan Giska?

Tiba-tiba terdengar suara dobrakan pintu yang sangat kuat. Aku dan Giska menoleh kearah tersebut. Sekilas ku lihat teman ku, Revan, datang bersama kawanan polisinya. Namun aku sudah kehabisan nafas, penglihatan ku kabur dan semua menjadi gelap.

Episode 3

Aku membuka mata ku pelan dan merasakan nyeri yang amat sangat pada leher ku. Selang oksigen menempel pada hidung ku. Aku pasti berada dirumah sakit.

"Sayang." Suara Mas Davi memanggil ku.

"Mas." Jawab ku pelan.

"Sakit banget ya sayang?" Mas Davi menatap ku sayu.

Aku hanya mengangguk. Ku lepas selang oksigen yang menempel pada hidung ku dan aku bangkit perlahan-lahan, dibantu oleh Mas Davi.

"Bagaimana Giska, Mas?" Tanya ku.

"Sudah diamankan oleh polisi, lain kali jangan gegabah. Seharusnya serahkan semuanya pada polisi jika sudah mulai curiga. Aku nggak akan memaafkan mu kalau sampai terjadi sesuatu lagi padamu!" Mas Davi mengomel.

"Maaf. Aku cuma ingin memastikannya, takut Giska akan diam saat ditanyai polisi." Jawab ku tersenyum sambil mengusap pipi Mas Davi.

Aku dapat melihat betapa khawatirnya dia dengan ku.

"Mas, boleh aku meminta tolong?" Tanya ku.

"Apa?"

"Kawal kasus ini sampai akhir." Pinta ku pada suamiku sebagai seorang pengacara.

"Tentu saja. Dia nyaris membunuh istri ku! Nggak akan ku biarkan dia bebas begitu saja." Mas Davi mengerutkan alisnya.

"Aku berterima kasih padamu karena kau punya inisiatif untuk merekam semua percakapan kalian. Itu akan memudahkan segalanya." Sambungnya lagi.

"Tapi bukankah Giska termasuk menderita gangguan kejiwaan? Apakah dia akan tetap dihukum?"

"Itu akan diselidiki lagi. Jangan khawatir, aku akan minta teman jaksa ku untuk mengawal kasus ini hingga akhir."

Aku percaya pada suami ku. Selama ini dia selalu menjadi yang terbaik.

***

Setelah rekaman yang ku ambil saat Giska mencekik ku tempo hari diserahkan pada pihak kepolisian, mereka mulai menyelidiki kasus kematian Nicky lebih dalam. Pihak keluarga juga setuju untuk membongkar makam Nicky dan melakukan autopsi untuk mencari tau penyebab kematian Nicky.

Namun hasilnya diluar dugaan. Tak ditemukan tanda kekerasan pada tubuh terutama leher Nicky yang diduga telah dicekik oleh istrinya. Terkait obat-obatan yang tercecer dikamarnya kala itu juga tak terdeteksi pada tubuh Nicky. Ditambah Giska yang tetap bungkam saat diinterogasi polisi membuat kasusnya harus ditutup atas kematian murni.

Oleh karena itu, Giska dijatuhi hukuman 12 bulan penjara atas percobaan pembunuhan dan ketergantungan obat dikurangi masa remisi 3 bulan karena gangguan kejiwaan yang dialaminya. Kesimpulannya Giska akan di rehabilitasi sebagai tahanan selama 9 bulan atau lebih.

Aku dan Mas Davi sudah putus asa, Jaksa yang kami percaya pun tak dapat berbuat banyak karena kondisi Giska yang memprihatinkan. Tak ada yang dapat kami lakukan selain menerima keputusan hukum.

Setelah vonis Giska diputuskan, aku mengalami gangguan tidur yang aneh. Setiap malam aku bermimpi Nicky menghampiri ku dan meminta tolong. Tak hanya itu, Giska pun muncul dalam mimpi ku dan mencekik ku seperti kejadian dihari kematian Nicky tempo hari. Alhasil aku terbangun ditengah malam sambil terengah-engah dengan keringat membanjiri sekujur tubuhku.

Aku memutuskan untuk pergi ke psikiater, ternyata dokter mengatakan bahwa aku terkena gangguan kecemasan akibat trauma yang ku rasakan saat kejadian itu. Setiap hari aku merasa cemas, saat aku sedang memasak lalu anak-anak ku tiba-tiba menghampiri ku, aku terkejut dan ketakutan. Setelah menyadari bahwa yang menghampiri ku adalah anak-anak ku, aku merasa tenang.

Namun karena hal itu, anak sulung ku menyadari bahwa ibunya sedang tidak baik-baik saja. Dia selalu menunduk sedih saat melihatku terkejut dan ketakutan karena kehadirannya.

"Ibu." Panggil gadis itu pelan.

"Apa aku seperti monster?" Tanya gadis itu menunduk.

"Kenapa bicara begitu? Siapa yang bilang anak ibu seperti monster?" Tanya ku iba sambil berjongkok mensejajarkan wajah ku dengan wajahnya.

"Habis Ibu selalu kaget dan ketakutan saat aku datang. Aku selalu menatap cermin, apa wajahku menyeramkan seperti monster sampai Ibu kaget saat melihatku. Tapi Aku hanya melihat wajah ku yang cantik." Katanya lagi masih menunduk.

Aku memeluknya dan mengusap kepalanya.

"Anak Ibu memang cantik dan nggak seperti moster kok. Maaf ya, Nak. Ibu cuma kaget aja, kalau begitu apa Ziva bisa sebelum mendekat Ziva panggil Ibu dulu supaya Ibu nggak kaget?" Kata ku selembut mungkin pada anak sulung ku.

Anak itu mengangguk mengerti. Lalu dia berlari menghampiri adiknya yang sedang asik bermain mobil-mobilan dan memberikan instruksi juga kepada adiknya apa yang telah ibunya katakan kepadanya. Aku tersenyum dan merasa bahagia karena anak ku sangat pintar dan mengerti Ibunya.

Jika aku dilahirkan kembali, aku ingin tetap menjadi Ibu mereka.

Setelah makan siang dan bermain sebentar, aku mengajak kedua anak ku untuk tidur siang. Seperti biasa aku mengajak mereka berdoa sebelum tidur dan menemani mereka sampai benar-benar tertidur lelap. Tanpa sadar aku malah ikut terlelap.

***

Aku berlari dengan sekuat tenaga ku menyusuri hutan yang rimbun. Ku lihat Giska dengan gencar mengejar ku dibelakang. Tiba-tiba aku tersandung sebuah ranting dan terjatuh. Giska semakin mendekat kearah ku yang berusaha bangkit, namun Dia sudah berada dihadapanku. Aku tak bisa lari lagi.

"Ayo mati bersama-sama." Katanya dengan mengulurkan tangannya hendak menggapai leher ku.

"Giska jangan!" Kata ku sambil merangkak mundur menghindari Giska.

"Giska gue mohon jangan lakuin ini." Aku memohon sambil menangis pada Giska yang terus mendekat.

Giska mengabaikan kalimat ku dan terus berjalan ke arah ku.

Akhirnya aku bangkit dengan sekuat tenaga ku dan berbalik melarikan diri. Namun aku menabrak seseorang.

"Nicky!" Ucap ku tak percaya.

"Ri, tolong. Cuma lo yang bisa menolong gue." Kata pria berbaju serba putih dihadapanku itu.

"Bagaimana? Bagaimana caranya? Gue bahkan bisa ikut gila kalau begini terus!" Teriak ku sambil menangis dihadapan sosok yang benar-benar menyerupai Nicky itu.

Tiba-tiba Giska menangkap ku, membalikan tubuh ku dan langsung mencekik ku. Aku tak bisa bergerak dan hanya bisa menahan tangannya yang semakin kuat mencengkram leher ku.

Tidak, ini pasti mimpi lagi kan. Tapi rasanya benar-benar nyata. Leherku sangat sakit dan nafas ku hampir habis.

Aku melihat kearah Nicky yang sedang menangis dan perlahan-lahan menghilang.

'Tidak, jangan pergi. Nicky seharusnya lo yang menolong gue sekarang. Nicky tolong gue!' Aku berusaha teriak namun mulut ku kelu dan tak bisa bicara sepatah kata pun.

Aku harus segera bangun dari mimpi buruk ini. Namun bagaimana caranya?

Siapapun tolong aku.

Air mata ku mengalir, nafas ku semakin sesak.

Cengkraman tangan Giska semakin kuat sampai aku tak bisa merasakan sakitnya lagi, nafas ku benar-benar habis dan penglihatan ku semakin lama semakin gelap.

Sepertinya kali ini aku benar-benar akan mati.

***

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!