Pagi masih sangat gelap ketika Santi membuka mata. Jam dinding di ruang tamu menunjukkan pukul empat pagi. Suara ayam berkokok samar terdengar dari kejauhan, menandai dimulainya rutinitas harian yang melelahkan bagi gadis enam belas tahun itu. Rutinitas yang tak pernah berubah: bangun tidur, memasak sarapan untuk keluarga, mencuci piring, menyapu rumah, menjemur pakaian, dan membantu ibunya mengurus lima adik yang masih kecil.
Sebagai anak sulung dari enam bersaudara, Santi sudah terbiasa memikul tanggung jawab besar sejak usianya sangat muda. Namun, meski terbiasa, lelah tetap menyelimuti tubuh dan pikirannya setiap pagi. Hidupnya jauh berbeda dari teman-teman seusianya yang masih bisa bermalas-malasan di tempat tidur atau menikmati waktu bersiap ke sekolah tanpa tekanan.
“Santi, sudah selesai masaknya?” Suara ibunya, Sumi, menggema dari ruang tengah, membuyarkan pikirannya.
Sumi tengah menyiapkan barang bawaannya untuk pergi mencari rumput pesanan tetangga. Pekerjaan seperti itu sudah menjadi keseharian bagi perempuan berusia 40-an itu. Sumi bekerja serabutan, dari memotong rumput untuk pakan kambing hingga membantu tetangga saat ada hajatan. Semua dilakukan demi mencukupi kebutuhan keluarga, meskipun hasilnya sering kali tidak seberapa.
“Kalau sudah selesai masak, mandikan Sisil dan Lili!” perintah Sumi lagi. Kali ini suaranya terdengar lebih tegas.
Santi mendengar, tapi ia tak segera menjawab. Tubuhnya masih sibuk mencuci piring bekas sarapan semalam, sementara pikirannya terpecah antara pekerjaan rumah yang belum selesai dan waktu sekolah yang semakin mendekat. Ia tahu, seperti hari-hari sebelumnya, dirinya pasti akan terlambat tiba di sekolah.
Rutinitas terlambat itu sudah menjadi hal biasa baginya. Hukuman menyapu halaman sekolah atau memungut sampah di sekitar lapangan sering ia terima tanpa protes. Orang tuanya pun sudah beberapa kali dipanggil pihak sekolah akibat kebiasaan itu, tetapi mereka hanya bisa meminta maaf dan memohon pengertian. Hidup keluarga mereka memang jauh dari mudah.
*****
Santi hanyalah satu dari enam anak Sumi dan Burhan. Adiknya yang kedua, Riski, adalah seorang remaja 14 tahun yang duduk di bangku kelas dua SMP. Adik ketiganya, Ridho, baru berusia 12 tahun, diikuti Ujang yang berumur 10 tahun, Sisil yang berusia 6 tahun, dan si bungsu Lili yang baru berusia 4 tahun. Dengan banyaknya anggota keluarga, pekerjaan rumah tangga seolah tak pernah ada habisnya. Namun, prinsip yang dianut Burhan, ayah Santi, membuat beban itu hanya jatuh pada Santi sebagai anak perempuan.
“Laki-laki itu tugasnya cari uang, bukan ngurus dapur,” begitu alasan Burhan setiap kali Santi mencoba meminta bantuan adik laki-lakinya. Prinsip yang membuat Santi muak, tetapi ia terlalu takut untuk melawan. Ayahnya adalah sosok yang keras dan mudah marah. Sementara itu, ibunya, meski bekerja keras, selalu membenarkan pendapat suaminya.
“Bu, ongkos!” Suara Riski memecah kesunyian. Ia berdiri di depan pintu, sudah bersiap dengan seragam sekolah yang mulai lusuh.
“Uangmu kemarin sudah habis, Riski?” tanya Sumi sambil meliriknya sekilas.
“Uang yang mana, Bu?” Riski terlihat bingung. Seingatnya, ia tidak menerima uang saku dari orang tuanya.
“Itu, upahmu kerja di kebun Pak Budi,” jawab Sumi sambil melanjutkan pekerjaannya.
Rupanya yang dimaksud adalah uang hasil kerja harian Riski di kebun tetangga. Meski masih 14 tahun, Riski sudah terbiasa membantu pekerjaan orang demi mendapatkan uang tambahan. Uang itu ia serahkan pada ibunya untuk kebutuhan rumah tangga, rokok ayahnya, dan sisanya digunakan untuk ongkos ke sekolah atau membeli LKS.
“Tapi, Bu, uangnya tinggal 25 ribu. Kemarin Ayah minta 25 ribu buat beli rokok, jadi sisanya mau Riski pakai untuk bayar LKS di sekolah,” kata Riski pelan. Wajahnya terlihat murung.
“Berapa utang LKS-mu?” Sumi bertanya tanpa menatapnya.
“Masih seratus ribu, Bu. Satu buku ada yang lima belas ribu, ada juga yang delapan belas ribu.” Mata Riski berbinar, berharap ibunya akan membantunya melunasi hutang tersebut.
Namun, harapan itu pupus ketika Sumi menjawab dengan nada kesal, “Ada-ada saja gurumu itu. Masak tiap semester beli buku LKS baru? Nyusahin orang tua saja.”
“Jadi bagaimana, Bu?” tanya Riski, suaranya terdengar memohon.
“Pakai saja uangmu yang ada untuk bayar satu buku. Sisanya buat ongkos,” jawab Sumi tegas.
“Tapi, Bu...” Riski belum sempat menyelesaikan kalimatnya ketika suara Burhan dari dalam kamar terdengar menggelegar.
“Kalau mau sekolah, cepat pergi! Kalau nggak, bantu Ayah di rumah!” bentak Burhan.
Riski hanya bisa menunduk, menahan amarah yang membuncah di dadanya. Ia keluar dari rumah dengan langkah berat, meninggalkan seragamnya yang sudah kusam dan sepatu yang mulai robek.
*****
Santi hanya bisa menghela nafas panjang. Percakapan antara Riski dan ibunya tadi membuatnya kembali teringat akan rasa malu dan cemas yang ia rasakan setiap kali diminta melunasi tunggakan di sekolah. Meski hatinya ingin membantu adiknya, ia sadar bahwa dirinya pun tak memiliki daya. Satu-satunya yang bisa ia lakukan adalah bertahan dan berjanji pada dirinya sendiri bahwa suatu hari nanti, ia akan bekerja keras untuk memperbaiki kehidupan keluarganya.
Namun, harapan itu terasa jauh. Saat ini, ia bahkan tidak punya waktu untuk memikirkan mimpinya. Suara ibunya yang kembali memanggil membawanya kembali ke kenyataan.
“Santi! Mandikan Sisil dan Lili dulu sebelum kamu ke sekolah!” teriak Sumi.
“Bu, Santi sudah terlambat. Santi harus siap-siap dulu,” jawab Santi dengan hati-hati, meski ia tahu ibunya tidak akan menerima alasan itu.
“Kamu ini mau jadi anak durhaka? Ibu suruh mandikan adikmu saja susah sekali. Kamu lupa bagaimana ibu melahirkanmu?” Suara Sumi meninggi, penuh emosi.
Burhan pun menyahut dari dalam kamar, “Santi, jangan berani melawan ibu kamu!”
Santi menggigit bibirnya, menahan kesal. Ia tahu, membantah hanya akan memperburuk situasi. Dengan berat hati, ia menarik tangan adiknya menuju sumur di belakang rumah. Di sana, ia mulai menimba air dengan tubuh yang terasa letih. Air dingin pagi itu menyentuh kulitnya, tapi rasa dingin itu tidak mampu meredakan panas di hatinya.
Santi tahu, hari ini akan menjadi hari yang panjang. Sama seperti kemarin, dan mungkin, seperti hari-hari berikutnya.
Saat ini, Santi tengah menerima hukuman membersihkan kamar mandi sekolah. Ketika murid lain sibuk menyimak penjelasan guru di dalam kelas, ia harus berkutat dengan sikat WC. Hukuman itu ia terima karena terlambat datang ke sekolah selama sepuluh menit. Hingga kamar mandi selesai dibersihkan, ia tidak diizinkan masuk ke kelas.
“Hei, kamu terlambat juga ya? Syukurlah, jadi aku punya teman,” ujar Ratna, teman sekelas Santi, yang baru saja memasuki kamar mandi dengan penampilan rapi dan wangi.
Berbeda dengan Ratna, Santi tampak kusut dengan pakaian yang sedikit berbau asap dapur. Seragam yang ia kenakan sudah kusam, peninggalan dari tetangganya yang telah tamat sekolah.
“Iya, Ratna. Kamu juga terlambat? Tumben, kok bisa?” tanya Santi heran. Selama ini, Ratna dikenal selalu datang tepat waktu.
“Iya nih, tadi malam aku terlalu capek, jadi pagi ini terlambat bangun,” jawab Ratna sambil mulai membantu menggosok lantai kamar mandi.
“Capek kenapa? Memangnya tadi malam kamu melakukan apa sampai kelelahan?” Santi bertanya dengan penasaran.
“Rahasia dong, kamu ingin tahu saja,” jawab Ratna sambil tersenyum jahil.
“Oh, begitu. Tapi ngomong-ngomong, kenapa kamu selalu terlambat datang ke sekolah? Rumah kamu jauh, ya?” tanya Ratna, yang kini mulai penasaran.
“Jarak rumahku ke sekolah sebenarnya tidak terlalu jauh, hanya sekitar empat kilometer,” jawab Santi.
“Empat kilometer? Itu kan cukup dekat. Tapi kenapa hampir setiap hari kamu terlambat? Ada apa?” tanya Ratna dengan nada heran.
Santi hanya diam sejenak, menghela napas panjang, lalu melanjutkan pekerjaannya tanpa menjawab.
“Eh, sudahlah, jangan terlalu dipikirkan. Nikmati saja. Lagipula, hukuman seperti ini tidak terlalu buruk, kan? Malah lebih santai daripada mendengarkan guru di kelas,” ujar Ratna berusaha menghibur.
Santi hanya tersenyum tipis. “Bukan soal hukuman ini, Ratna. Aku sudah terbiasa dengan hal seperti ini. Yang membuatku kesal adalah situasi di rumahku,” ucapnya dengan suara yang sarat emosi.
“Maksudmu? Memangnya kenapa dengan keluargamu? Keluargamu baik-baik saja, kan?” tanya Ratna dengan nada prihatin.
“Baik-baik saja? Tidak juga. Ayah dan ibuku tidak pernah benar-benar bertanggung jawab sebagai orang tua. Aku dan adik-adikku harus berjuang sendiri untuk memenuhi kebutuhan kami,” ujar Santi dengan nada lirih.
Ratna terlihat terkejut. “Bukankah itu tugas orang tua? Memangnya bagaimana situasi di rumahmu?”
Santi menghela napas lagi sebelum melanjutkan. “Adik-adikku yang masih kecil saja sudah harus bekerja untuk mendapat uang jajan. Aku sendiri sering menunggak uang sekolah, bahkan buku pelajaran sering tidak bisa kubayar. Di rumah, aku juga harus mengurus pekerjaan rumah tangga setiap hari. Rasanya semua beban ada di pundakku. Kadang aku berpikir lebih baik berhenti sekolah dan bekerja saja,” kata Santi dengan nada getir.
“Jadi kamu benar-benar ingin bekerja? Memangnya kamu tidak takut pendidikanmu akan terputus?” tanya Ratna serius.
“Aku tidak punya pilihan lain, Ratna. Kalau ada pekerjaan paruh waktu, aku ingin mencobanya, apa pun itu. Mencuci piring di rumah makan, menjadi pelayan, atau bahkan menjadi asisten rumah tangga. Apa saja asalkan aku bisa mendapatkan uang,” pinta Santi penuh harap.
Ratna mengangguk pelan, memikirkan sesuatu. “Kamu benar-benar serius ingin bekerja?” tanyanya lagi.
“Tentu saja. Aku sangat membutuhkan pekerjaan,” jawab Santi tegas.
“Ada satu pekerjaan, tapi aku tidak yakin kamu mau,” ujar Ratna sambil menatap Santi penuh arti.
“Maksudmu apa?” tanya Santi penasaran.
“Kalau kamu mau, aku tahu ada pekerjaan yang bisa menghasilkan banyak uang. Tapi ini bukan pekerjaan biasa,” jawab Ratna dengan nada serius.
“Jangan bilang kamu menyarankan aku melakukan sesuatu yang tidak pantas,” tebak Santi dengan nada curiga.
“Bukan begitu! Aku hanya memberi opsi. Kalau kamu tidak mau, ya tidak apa-apa,” sahut Ratna santai.
“Ratna, aku butuh pekerjaan yang wajar. Kalau ada pekerjaan lain, tolong bantu aku,” ujar Santi dengan nada memohon.
Ratna menghela nafas, lalu tersenyum kecil. “Baiklah, kalau begitu kita cari jalan lain. Tapi aku tidak menjanjikan apa-apa. Oh ya, bagaimana kalau kita ke kantin? Aku traktir, anggap saja ini sebagai pelipur laramu,” ajak Ratna.
Santi sempat ragu, tapi akhirnya mengangguk. Ia tahu, Ratna hanya ingin membantu menghiburnya. Meski mereka tidak terlalu dekat, Ratna adalah salah satu orang yang memperlakukannya dengan baik di sekolah.
“Pengumuman, bagi nama-nama yang dipanggil harap segera melapor ke ruang komite. Satu, Dewi. Dua, Nuni. Tiga, Deri. Empat, Santi. Lima ….”
Santi menghela napas panjang begitu mendengar namanya disebut melalui pengeras suara dari ruang guru. Di kelasnya, hanya dirinya yang belum melunasi tunggakan uang komite untuk semester lalu dan semester ini. Teman-teman sekelasnya telah melunasi seluruh pembayaran mereka, mengingat ujian kenaikan kelas sudah semakin dekat.
Semua mata kini tertuju pada Santi, yang berjalan perlahan ke depan kelas untuk meminta izin kepada Bu Siwi, guru matematika.
“Bu, permisi,” ujar Santi dengan nada ragu.
Bu Siwi, yang tengah sibuk menggambar koordinat di papan tulis, menghentikan kegiatannya. Guru tersebut terkenal disiplin dan tegas, sehingga Santi merasa cemas.
“Ada apa?” tanya Bu Siwi dingin, tanpa menoleh.
“Saya dipanggil ke ruang komite, Bu,” jawab Santi, sambil memainkan jari-jarinya yang saling bertaut.
“Cepat urus, lalu kembali ke kelas. Jangan berlama-lama,” ucap Bu Siwi ketus, dengan tatapan penuh penilaian.
“Baik, Bu. Terima kasih, Bu,” Santi bergegas keluar, berusaha menahan rasa malu. Namun, langkahnya terhenti sesaat ketika ia mendengar Bu Siwi berkata, “Semua sudah digratiskan pemerintah, tapi uang LKS dan komite saja tidak mampu membayar.”
Perkataan itu terasa seperti pisau tajam yang menyayat hati Santi. Ia ingin membalas, tapi hanya bisa menggigit bibir dan menunduk. Rasa malu dan sakit hati menyesak dalam dadanya.
*****
Setibanya di ruang komite, Santi berhadapan dengan guru yang juga menjabat sebagai bendahara sekolah.
“Santi, kapan kamu berencana melunasi tunggakan komite? Kamu tahu, di antara semua siswa yang menunggak, hanya tunggakanmu yang paling besar. Teman-temanmu yang lain sudah melunasi semua kewajiban mereka.”
Santi hanya diam dengan kepala tertunduk. Ia merasa terpojok. Setiap kali ditagih, ia selalu memberi alasan bahwa orang tuanya akan membayar "besok," namun janji itu tidak pernah terpenuhi.
“Kamu sudah menunggak selama 10 bulan. Belum lagi 20 buku LKS yang belum kamu bayar, serta uang baju olahraga dan baju batik. Kalau semua ini tidak dilunasi dalam waktu seminggu, kamu tidak akan diizinkan mengikuti ujian kenaikan kelas,” ucap bendahara sekolah tegas.
Bersamaan dengan itu, sebuah amplop berisi surat peringatan disodorkan ke arah Santi.
“Berikan surat ini kepada orang tuamu. Pastikan mereka tahu bahwa ini adalah peringatan terakhir.”
Dengan tangan bergetar, Santi menerima amplop tersebut. Rasanya, dunia runtuh di hadapannya. Ia tahu surat ini hanya akan menimbulkan kemarahan di rumah tanpa ada solusi nyata.
“Baik, Bu. Permisi,” ucap Santi lemah, sebelum meninggalkan ruangan dengan langkah gontai.
*****
Di lorong, seorang guru BK, Bu Hani, menghentikannya.
“Kamu, ikut saya ke ruang BK,” ujar Bu Hani, membuat Santi semakin cemas. Ruang BK sering kali identik dengan permasalahan serius.
“Silakan duduk,” ucap Bu Hani setelah mereka tiba.
Santi duduk dengan gugup. Hatinya sudah penuh beban, dan ia tahu panggilan ini pasti akan menambah tekanan.
“Kamu kelas berapa dan siapa namamu?” tanya Bu Hani.
“Kelas 10 IPA 3, Bu. Nama saya Santi,” jawabnya.
Bu Hani menatap Santi lekat-lekat sebelum berkata, “Kamu tahu, sekolah kita adalah sekolah teladan. Penampilan siswa-siswi juga mencerminkan citra sekolah. Tapi bajumu... sudah berapa lama tidak dicuci bersih?”
“Minggu lalu, Bu,” jawab Santi pelan.
“Jangan berbohong. Kalau Minggu lalu, tidak mungkin bajumu sekusam dan sekuning ini. Kamu tahu, penampilan seperti ini tidak hanya merusak citra sekolah, tapi juga menunjukkan kurangnya kesadaran diri.”
Santi hanya menunduk. Ia menahan air mata yang sudah menggenang di pelupuk mata.
“Baik, sekarang kembalilah ke kelas. Pulang nanti, sampaikan kepada orang tuamu untuk membeli seragam baru,” ucap Bu Hani.
Santi mengangguk pelan, lalu keluar dari ruang BK dengan hati remuk. Air mata yang sejak tadi ditahannya akhirnya mengalir deras. Ia merasa tidak sanggup kembali ke kelas dengan keadaan seperti ini.
Ia memutuskan untuk pergi ke taman sekolah, satu-satunya tempat yang sepi di jam pelajaran seperti ini. Duduk di bangku taman, Santi menangis sepuasnya. Pikirannya dipenuhi kekhawatiran tentang tunggakan sekolah, ejekan teman-teman, dan tatapan penuh hina dari gurunya.
*****
“Hei, kamu ngapain di sini? Bukannya balik ke kelas malah nangis di sini,” suara Ratna, teman sekelasnya, memecah keheningan. Ratna datang dengan membawa kantong kresek berisi cemilan.
“Lu sendiri ngapain di sini, bukannya belajar di kelas?” balas Santi, mencoba menyembunyikan air matanya.
“Malas. Nih, makan dulu. Jangan nangis terus, nggak ada gunanya,” ujar Ratna, menyodorkan kantong makanan.
Santi menggeleng. “Gue nggak selera, Na.”
Ratna tertawa kecil. “Udah, jangan nangis. Jadi, berapa sih total tunggakan lu?”
“Dua juta,” jawab Santi. “Kenapa, lu mau bantu?”
“Ya nggak lah. Gue juga nggak punya uang sebanyak itu,” sahut Ratna santai.
Santi tersenyum miring. “Gue cuma bercanda, kok. Anak sekolah kayak kita mana bisa dapat uang segitu tanpa bantuan orang tua.”
Ratna mendengus. “Ya udah, jangan sedih terus. Masalah pasti ada jalan keluarnya.”
Santi hanya tersenyum samar, meski hatinya tetap berat. Ia tahu, kemiskinannya bukan sesuatu yang mudah diatasi.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!