NovelToon NovelToon

Jual Diri Demi Keluarga

Bab 1

Pagi pagi buta lebih tepatnya pukul 4 pagi Santi sudah bangun, ada banyak rutinitas melelahkan yang harus ia kerjakan setiap paginya.  Rutinitasnya setiap pagi dan setiap hari adalah bangun tidur, kemudian lanjut memasak sarapan pagi untuk satu keluarga, mencuci piring, menyapu rumah, dan membantu ibunya mengurus ke lima adiknya.

Ya, santi adalah anak sulung dari enam bersaudara, umurnya baru menginjak enam belas tahun tapi ia harus menerima kenyataan bahwa rutinitas paginya bukanlah berolahraga ataupun bermalas malasan di kamarnya sampai ibunya marah dan membangunkannya agar cepat berangkat ke sekolah layaknya anak gadis pada umumnya, melainkan ia harus mengerjakan semua pekerjaan rumit rumah tangga yang sangat melelahkan.

“Santi, kamu sudah selesai memasak?” teriak Sumi, ibu kandung santi dari ruang tengah.

Sumi tengah menyiapkan barang bawaannya untuk siap siap ngarit ke padang rumput. Rumput rumput itu adalah pesanan tetangganya.

Sumi bekerja serabutan, kadang kerja harian di kebun orang, kadang ikut rewang/membantu orang hajatan tapi di bayar, kadang bantu cuci piring di hajatan tetangga, dan kadang mengambil pakan ternak untuk kambing orang seperti yang akan ia lakukan pagi ini.

Anaknya sendiri ada enam orang, yang terdiri dari anak pertama perempuan berusia 16 tahun yaitu Santi, yang kedua laki laki berusia 14 tahun bernama Riski, yang ketiga laki laki berusia 12 tahun bernama Ridho, yang ke empat laki laki berusia 10 tahun bernama Ujang, yang  kelima perempuan bernama Sisil berusia 6 tahun, dan yang ke tujuh si bungsu baru berusia empat tahun, namanya lili.

“Kalau kamu sudah siap memasak, suruh Sisil dan lili mandi!" teriak Sumi lagi.

Santi hanya diam saja, tidak menyahuti perintah ibunya, ia merasa sangat lelah, ia baru saja selesai mencuci piring, lanjut memasak sambil menjemur pakaian yang kemarin sore ia cuci, dan kini ia harus memandikan adik adiknya, wajar saja jika secepat apapun dirinya bangun pagi, ia pasti selalu terlambat sampai ke sekolah.

Mengutip sampah akibat dari hukuman bagi siswa yang terlambat ke sekolah sudah menjadi santapan sehari harinya. orang tua santi sudah sering kali di panggil ke sekolah akibat dari santi yang sering datang terlambat ke sekolah, tetapi sumi dan suaminya pun tidak bisa berbuat banyak selain meminta maaf dan meminta pihak sekolah untuk memaklumi keadaan keluarga mereka yang sulit.

Adik-adik Santi sendiri tidak bisa diharapkan untuk membantunya mengurus rumah, sebab adiknya yang nomor 2, 3, 4, adalah laki laki, dan ayah mereka mengharamkan laki laki untuk memegang pekerjaan dapur dan pekerjaan rumah dengan alasan itu adalah pekerjaan perempuan, sedangkan tugas anak laki laki adalah bekerja cari uang. Sebuah prinsip konyol yang membuat Santi sangat muak dengan hidupnya. Ia ingin protes dengan prinsip gila itu tetapi ia tidak berani melawan ayahnya yang ringan tangan, terlebih ibunya selalu berada di pihak ayahnya.

“Bu ongkos” Riski adik  ke dua santi yang baru duduk di bangku kelas 2 smp sudah siap hendak berangkat ke sekolah.

“uangmu kemarin memangnya sudah habis?” tanya sumi dengan menaikkan alisnya, seraya merapikan sepatu botnya.

Riski menggaruk kepalanya, seingatnya kemarin ibu ataupun ayahnya tidak ada yang memberikan uang kepadanya.

“uang yang mana bu?”

“itu loh upahmu bekerja membantu pak budi menyiangi kebun cabai miliknya” ujar sumi.

Ternyata uang yang dimaksudkan oleh sumi adalah uang hasil kerja harian riski di ladang orang. meskipun usia Riski baru 14 tahun, tetapi dia sudah biasa mencari uang dengan cara kerja harian di kebun para tetangganya sejak usianya masih menginjak 12 tahun. Nantinya uang yang Riski peroleh akan ia berikan kepada ibunya untuk membeli keperluan rumah atau rokok ayahnya, dan uang itu juga ia pergunakan untuk uang jajan di sekolah, serbu atau dua ribu rupiah.

“Tapi uang hasil kerja Riski dengan pak budi hanya sisa 25 ribu bu, kemarin ayah sudah minta 25 ribu untuk beli rokoknya satu bungkus dan uang yang dua puluh lima ribu ini mau riski pakai untuk nyicil lks riski di sekolah, “ sahut riski dengan wajah murung

“memangnya berapa utang buku LKSmu?” tanya sumi menaikkan alisnya.

“100 ribu bu, satu buku LKS ada yang 15 ribu dan ada juga yang harganya delapan belas ribu," sahut Riski semangat. terlihat kedua bola mata riski berbinar binar mendengar pertanyaan sumi, dalam pikirannya ibunya pasti hendak membayar tunggakan buku LKSnya.

“Ada-ada saja gurumu itu masak setiap semester beli buku LKS, yang inilah yang itulah, padahal sekolah juga belum tentu pintar menyusahkan orang tua saja” celetuk sumi.

“jadi bagaimana ini bu” rengek riski.

“ibu tidak punya uang, kamu gunakan saja uangmu yang 25 ribu itu untuk membayar buku LKS satu, sisanya kamu pakai untuk ongkosmu!” perintah sumi

”tapi bu….”

“Riski kamu bisa diam tidak, dari tadi berisik sekali. Kalau mau sekolah cepat pergi, kalau tidak nanti bantu ayah mengayam bambu!” teriak Burhan, ayah riski dari dalam kamar.

Rumah mereka terbilang sangat kecil, sangking kecilnya jika kamu berbicara di ruang tengah maka orang yang ada di dalam kamar dan dapur akan dapat mendengarnya, begitu pua sebaliknya jika kamu  berbicara di dapur maka orang yang ada di kamar ataupun di ruang tengah dapat mendengarnya, dan jika kamu berbicara di kamar maka orang yang berada di dapur dan di ruang tengah dapat mendengarnya.

Riski yang mendengar teriakan ayahnya dari dalam kamar dengan nada marah membuat Riski merasa ketakutan, dan lekas pergi ke sekolah dengan wajah dan hati yang amat teramat kesal.

Santi yang sedari tadi hanya menyimak percakapan antara riski dan ibunya hanya diam saja, ia tidak tega melihat riski, sebab ia tahu bagaimana rasanya jika punya banyak tunggakan di sekolah. Rasanya malu, cemas, taku dan minder. Malu kepada teman teman dan guru, takut kepada guru, dan cemas setiap kali guru mengingatkan mengenai tunggakan di dalam kelas.

Tetapi apalah daya seorang wanita bernama santi, ia hanya anak perempuan yang baru berusia 16 tahun dan baru duduk di bangku kelas 1 sma. Ia tidak punya daya upaya selain menyakinkan diri bahwa suatu saat setelah dia tamat SMA ia akan bekerja dan membantu adik adiknya agar tidak hidup dalam kesusahan.

Riski melangkahkan kaki ke luar dari pintu gubuk reyot orang tuanya, dengan pakaian putih biru yang sudah kuning akibat mengkusam di makan waktu. Ia berjalan menyusuri jalan raya seraya menunggu ada angkutan umum yang lewat.

“Dasar orang tua miskin!” celetuk Riski sambil menendang sembarang batu dengan sepatunya yang sudah robek dan solnya sepatunya yang sudah sangat tipis.

Layaknya Santi, Riski juga sudah muak dengan sistem parenting yang diterapkan oleh orang tuanya, yaitu  yang sangat lepas tangan terhadap kebutuhan anak anaknya.

Bagi orang tua riski dan Santi, masing masing anak sudah membawa rejekinya masing masing. Jadi, yang perlu mereka lakukan hanya berusaha sesuai dengan pekerjaan yang ada.

Tidak perlu terlalu memaksakan diri. Apalagi sampai membatasi jumlah anak yang lahir. Bagi mereka kehadiran anak bukan kehendak mereka melainkan kehendak Tuhan.

Jadi, kenapa harus menolak menambah anak? Itukan pemberian Tuhan. Begitulah cara pandang Sumi dan suaminya Burhan.

“Santi……!” teriak sumi lagi dari ruang tengah.

“Iya bu” santi datang dengan wajah yang masih basah ia baru saja mencuci mukanya.

“Mandikan adikmu dulu sebelum kamu ke sekolah, ibu mau pergi,” ucap sumi seolah olah tidak tahu ini sudah jam berapa dan santi harus ke sekolah.

“Tapi bu, santi sudah sangat telat ni ke sekolah, santi mau siap siap dulu ganti baju” ucap santi dengan wajah gelisah

“Kamu ini, ngapain kamu sekolah kalau kamu durhaka sama ibu disuruh mandikan adikmu saja kamu tidak mau. Kamu tidak tau bagaimana sakitnya ibu melahirkan kalian semua” Sumi marah.

“Santi, jangan melawan sama ibu kamu” ucap Burhan dari dalam kamar.

Santi pun hanya bisa menghentak hentakkan kakinya kesal ke lantai, kemudian meraih tangan adiknya dan membawanya ke kamar mandi.

Jangan mengira mereka mandi memakai keran atau semacamnya. Untuk mendapatkan air, Santi harus menimba air dari sumur terlebih dahulu.

Bab 2

Dan di sinilah Santi berada saat ini, saat yang lain tengah menyimak penjelasan guru di dalam kelas, Santi malah harus berkutat dengan sikat WC. Ya dia dapat hukuman membersihkan kamar mandi sekolah, dan sebelum kamar mandi itu bersih maka Santi tidak bisa masuk ke dalam kelas. Hukuman ini akibat dari ia terlambat sepuluh menit sampai ke sekolah.

“Heii… lo terlambat juga, syukur deh jadi gue ada temennya,” ujar Ratna teman satu kelas Santi yang baru saja datang ke dalam kamar mandi dengan penampilan modis dan wangi.

Berbeda jauh dengan Santi yang sedikit berbau keringat dan asap dapur. Baju yang ia pakai pun sudah hampir menguning, sebab itu adalah baju tetangganya yang sudah tamat dari sekolah itu yang diberikan secara cuma cuma kepada Santi.

“Iyaa Ratna, lo terlambat juga? tumben kok bisa?” tanya Santi, tidak biasanya Ratna datang terlambat ke sekolah.

Ratna dan Santi memang bukanlah sahabat dekat mereka murni hanya sebatas teman satu kelas, meski mereka tidak dekat tetapi mereka juga tidak punya masalah satu sama lain.

“Iya nih Aan, semalem gua capek banget jadinya tadi pagi gua telat bangun deh,” ujar Ratna, seraya menggosok lantai kamar mandi.

“Memangnya semalem lo ngapain sampai kecapekan banget?” tanya santi penasaran

“Rahasia, mau tahu aja deh,” ujar Ratna seraya bermain mata kepada santi.

“Oh ya lo sendiri kalau gua perhatiin hampir setiap hari terlambat, kenapa sih memangnya jarak rumah loh dari sekolah berapa kilometer?” tanya ratna.

Ratna merasa penasaran kenapa Santi yang tampaknya anak baik tetapi datang hampir terlambat ke sekolah. Ia menebak pasti jarak rumah santi dari sekolah itu sangat jauh.

“jarak rumah gua ke sekolah berkisar empat kilo meter” sahut Santi.

“lah itu dekat, kok bisa bisanya lo tiap hari terlambat, parah lu san” ujar Ratna. santi hanya diam saja.

“Btw, gua perhatiin wajah lo tampak sangat tidak bersemangat, ayo dong santai aja, kan malah enak gosok WC daripada duduk diam mendengarkan guru ngoceh di dalam kelas,” ujar ratna, Santi hanya tersenyum miring.

“Kalau gosok WC mah biasa aja bagi gua Na, yang bikin gua kesel tuh orang tua gua, enggak ada tanggung jawabnya banget sebagai orang tua," tukas Santi kesal. Ia meremas sikat WC dengan keras.

“Enggak tanggung jawab gimana maksud lo? Keluarga lo broken home ya San?” tanya Ratna sedikit prihatin.

“Enggak broken home, tapi ya itu, ayah dan ibu gua itu enggak bisa memenuhi tanggung jawabnya untuk memenuhi kebutuhan primer gua dan adik adik gua. Bayangin aja adik gua yang masih kelas enam SD harus bekerja di kebun orang untuk melepaskan uang jajannya, adik gua yang kelas dua SMP juga gitu, dan gua sendiri harus nunggak nunggak uang komite dan juga uang buku. Belum lagi gua jarang banget dapat uang jajan. Udah gitu kerjaan gua di rumah juga membludak, gua harus mengurus rumah setiap harinya, jadi wajar dong Na kalau gua itu murung. Kalau dipikir-pikir mendingan gua putus sekolah dah, terus kerja di tempat orang lain,” ujar Santi sedih bercampur kesal kepada orang tuanya.

“Atau lo ada tau enggak Na, di mana ada tempat kerja paruh waktu untuk anak seperti gua, jadi tukang cuci piring juga gua mau kok, lap lap meja juga boleh, atau apa aja, jadi pembantu juga oke-oke aja gua. Please Na, gua perhatiin hidup lu hedon banget, pasti Lo ada kenalan yang bisa masukin anak seperti gua kerja paruh waktu,“ ujar Santi penuh harap.

Bukan rahasia lagi, semua orang bisa melihat perbedaan antara Santi dan Ratna. Santi sangat kumuh dan Kumal, sedangkan Ratna sangat wah dan wangi. Dari penampilannya saja orang orang sudah bisa menebak siapa mereka berdua. Ya, Santi anak orang miskin, dan Ratna anak orang kaya.

Bukan hanya penampilan Ratna yang modis, tetapi barang barang yang ia pakai juga barang mahal semua. Pernah suatu hari ia memamerkan perhiasannya di kelas, hanya saja aturan sekolah melarang anak didiknya untuk memakai perhiasan ke sekolah, jadinya Ratna tidak pernah membawa perhiasannya lagi.

“Lo beneran mau kerja?” tanya Ratna serius.

“Ya maulah Ratna, serius banget malah, dua rius malah, tolongin aku ya Na!” Santi memohon kepada Ratna.

“Kalau jadi pe muas naf su loh mau gak?”

“Astaga, maksud loh apaan Na, gini+gini gua masih waras kali," ujar Santi kesal mendengar ucapan Ratna.

“Dengerin gua dulu makanya Santi, lu beneran mau terbebas dari kemiskinan Lo enggak? Kalau enggak ya udah, jalanin aja rutinitas loh itu, gua enggak mau bantu,” ujar Ratna

“Apa jangan-jangan selama ini elu jadi simpanan laki-laki hidung be lang lagi? Ngaku lu Ratna,” cecar Santi.

“Enak aja lu main asal tuduh aja, mana mungkin gua begitu.” Ratna mendelik, ia tidak terima dikatain sebagai simpanan laki-laki hidung belang.

“Terus ngapain lu nawarin ke gua jadi pe mu as naf su?”

“Ya karena gua tau pekerjaan itu bisa bantu lu. Kan lu lagi butuh kerjaan, sedangkan gua enggak. Gua tau itu juga dari internet, jadi jangan ngira gua kerjaan nya gitu, duit emak bapak gua halal kali,” celetuk Ratna.

“Ya deh maaf, habisnya lu ngasih kerjaan yang di luar nalar. Memangnya gak ada ya yang kerja rumah makan atau pembantu gitu?”

“Ya mana ada San, mana ada orang yang mau mempekerjakan anak sekolah, rata-rata juga nyari yang bisa kerja full time, lah sekolah kita pulang aja jam empat sore. Ya jelas enggak ada tempat yang mau nerima. Kecuali lu mau jadi pemuas nafsu, ya bisa-bisa aja, mainnya kan bisa kapan dan di mana saja,” Ratna menjelaskan panjang lebar.

“Dasar lu ya Ratna, ada-ada saja.”

“Ya sudah," sahut Ratna singkat, "eh san gua capek nih gosok WC mulu, kantin yuk,” ajak Ratna kemudianm

“Tapi Na...” Santi hendak menolak, sebab Santi tidak bawa uang saku hari ini.

“Udah tenang aja gua yang bayarin,” ajak Ratna, yang sudah bisa menebak kalau Santi pasti tidak punya uang jajan. Sebab meski mereka tidak dekat, tapi satu kelas sudah tahu siapa Santi, anak yang setiap jam istirahat pasti selalu di kelas mengasingkan diri, sebab tidak mempunyai uang jajan untuk ke kantin.

Bab 3

“Pengumuman, bagi nama-nama yang dipanggil harap segera untuk melapor ke ruang komite. Satu Dewi, dua Nuni, tiga Deri, empat Santi, lima ….”

Santi menghela nafas panjang, ketika mendengar namanya di panggil dari ruang guru. Di kelasnya yang belum melunasi uang komite untuk semester lalu dan semester sekarang ini hanyalah dirinya seorang. Sedangkan teman-teman sekelasnya yang lainnya sudah melunasi seluruh tunggakan mereka, sebab ini sudah menjelang ujian semester kenaikan kelas.

Semua mata teman sekelasnya kini tertuju kepada Santi, yang tengah berjalan ke depan kelas hendak permisi kepada Bu siwi guru matematika untuk meninggalkan kelas.

“Bu, per-misi Bu,” ucap Santi takut takut.

Bagaimana tidak Bu siwi terkenal dengan kedisiplinannya ia tidak suka jika ada orang yang mengganggunya saat tengah menjelaskan materi.

“Ada apa?” tanya ibu Siwi dingin.

Ia menghentikan sejenak aktivitasnya yang sedang menggambar titik koordinat di white board.

“Saya mau permisi  keluar Bu, mau ke ruang komite,” ujar Santi, jarinya saling bertautan.

“Ya sudah sana, kalau urusanmu sudah kelar cepat kembali ke kelas!” Bu Siwi memandang Santi dengan tatapan menghina.

“Baik Bu, terimakasih Bu, permisi Bu,” ucap Santi sedikit lega, sebab meminta ijin ke luar kelas saat pelajaran berlangsung tidaklah mudah.

Saat Santi keluar meninggalkan kelas, Bu siwi berceloteh “semua sudah di gratiskan pemerintah, masak hanya membayar buku LKS dan uang komite saja tidak mampu.”

Ucapan Bu Siwi itu masih sempat di dengar oleh telinga Santi. Ia sangat malu sekali, plus juga merasa sakit hati, tetapi ia tidak bisa berbuat banyak Bu Siwi adalah gurunya yang harus ia hormati.

Ia berjalan dengan rasa percaya diri yang sudah hilang.  Kemiskinan orang tuanya membuat Santi tumbuh menjadi anak yang minder, dan tidak memiliki banyak teman.

Ia benar-benar tidak tahu lagi mau meletakkan wajahnya di mana, apalagi di kelasnya ia punya gebetan/crush. Randi namanya. Ia telah suka kepada Randi secara diam-diam sejak satu tahun yang lalu.

'Akh, Randi pasti sangat ilfil kepadaku.' Batin Santi.

*****

“Santi kapan rencananya kamu mau melunasi tunggakan komite semester mu? Kamu tahu diantara semua siswa yang menunggak di sekolah ini, hanya tunggakanmu lah yang paling besar. Teman-temanmu yang lainnya, yang tadi dipanggil itu tunggakannya hanya sebulan, dua bulan, atau tunggakan buku LKS yang hanya dua atau tiga buku, dan tadi mereka sudah melunasi semuanya tunggakan mereka.”

Santi memejamkan mata dengan wajah menunduk di hadapan Bendahara sekolah itu. Ia diam seribu bahasa. Tidak tahu hendak berkelit bagaimana lagi. Rasanya menjanjikan kata “besok” pun ia tidak berani lagi. Sebab sudah sering kali setiap kali dirinya di tagih, ia selalu berkata besok akan dilunasi oleh orang tuanya, nyatanya itu hanyalah alasan yang ia buat-buat sendiri, agar terlepas dari omelan guru yang juga merupakan bendahara sekolah ini.

“Kamu tahu, kamu sudah menunggak uang komite 10 bulan lamanya. Belum lagi tunggakan buku LKS mu, tadi toko bukunya langsung memberikan kwitansinya kepada ibu, meminta tolong agar ibu menagih kepada anak-anak yang belum bayar LKS. Dan kamu tahu, LKS yang belum kamu bayar itu sebanyak 20 buku LKS, belum lagi uang baju olahraga dan uang baju batik mu, kamu sudah hendak naik ke kelas dua. Itu artinya kamu berada di sekolah ini sudah satu tahun lamanya, tapi bajumu pun tidak kamu lunasi. Jika kamu tidak bisa melunasi uang komite mu, uang baju, dan uang lks mu, maka sesuai dengan kesepakatan dan peraturan di sekolah ini maka kamu tidak bisa mengikuti ujian untuk penaikan kelas ini,” guru yang merupakan bendahara sekolah memberi peringatan kepada Santi.

Bukan, itu tidak lagi peringatan tapi sebuah pemberitahuan agar Santi tidak terkejut bilamana Santi nanti tidak diijinkan ikut ujian penaikan kelas seperti teman temannya.

Santi hanya diam dan menunduk. Sebab ia tahu memohon pun percuma, yang dibutuhkan sekolah saat ini adalah ia memiliki uang dan melunasi seluruh tunggakannya.

“Ini surat peringatannya, berikan kepada orang tuamu, ibu kasih kamu waktu satu Minggu untuk melunasi tunggakan tunggakanmu, baik uang komite, uang baju, maupun uang buku LKS,“ ujar Bendahara sekolah.

Santi menerima surat itu dengan tangan bergetar. Dadanya terasa sempit sekali. Ia malu, bercampur takut. Otaknya berkecamuk. Ia tahu, memberi surat itu kepada orang tuanya hanya akan mengundang keributan di rumahnya, dan tidak menemukan solusi selain makian dan amarah dari orang tuanya.

“Sekarang kembalilah ke kelas mu, jangan lupa beri surat itu pada orang tuamu, besok kamu laporan ke sini pertanda kamu sudah memberitahu orang tuamu perihal tunggakanmu”

Santi hanya mengangguk.

“Baik Bu, kalau begitu saya permisi dulu Bu.“

“Ya, silahkan!”

Santi berjalan dengan pikiran dan hati yang kacau. Rasanya ia ingin putus sekolah saja, terlebih ketika ia melihat total uang sekolah dan buku yang harus ia bayarkan adalah senilai dua juta rupiah.

“Ya Tuhan, dari mana Santi bisa dapat uang sebanyak itu, minta ibu pasti enggak ada apalagi ayah, ahh tak ada yang bisa di harapkan dari mereka” batin Santi.

“Heiii kau, tunggu!!!” seorang guru BK memanggil Santi.

Santi tahu yang dipanggil guru BK itu adalah dirinya, sebab di lorong ini hanya ada dirinya seorang yang tengah berjalan di lorong ruangan itu.

Santi menghentikan langkahnya, “ia Bu?” tanya Santi, kedua tangannya saling bertautan.

“Ikut ibu sebentar ke ruangan,” ujar guru BK, yang sering di sebut Bu Hani.

Santi mengekor Bu Hani, menuju ke ruang BK.

“Silahkan duduk," ujar Bu Hani.

Santi pun duduk dengan hati-hati, hatinya mulai tidak enak, sebab ia tahu ruang BK adalah ruang untuk anak yang bermasalah.

“Kamu kelas berapa, siapa namamu?” tanya Bu Hani, khas guru BK.

“Kelas 10 IPA 3 Bu, nama saya Santi”

Bu hani menghela napas, “kamu tahu kan sekolah kita adalah sekolah teladan yang dijadikan percontohan di kota ini?” tanya Bu Hani, kini dengan nada suara sedikit lembut dari sebelumnya.

Santi menganggukkan kepalanya, “Tahu Bu.”

“Sudah berapa lama bajumu ini tidak kamu beri belau?” tanya Bu Hani.

Santi terdiam, ternyata bajunya lah yang membuat dirinya dipanggil guru BK begini.

“Minggu lalu Bu,” ujar Santi.

“Bohong, jangan bohong sama ibu, kalau Minggu lalu baju mu ini kamu belau tidak mungkin warnanya kuning dan kusam begini. Kamu tahu, jika kamu memakai baju seperti ini selain bikin sakit mata dan merusak pemandangan, hal ini juga bisa menurunkan citra dan tingkat kerapian dan kebersihan siswa siswi di sekolah ini di mata orang lain.”

Santi hanya menunduk dan terdiam, sedari tadi ia merasa tekanan demi tekanan datang dari mana mana, yang membuatnya ingin menangis saja, tetapi ia tahan tahan.

“Ya sudah sekarang kembali ke kelasmu, pulang sekolah bajumu ini kamu belau, bila perlu minta orang tuamu belikan seragam yang baru.”

“Baik Bu, permisi Bu” ujar Santi, kemudian meninggalkan ruang BK.

Air matanya tidak dapat ia tahan lagi, sambil berjalan menyusuri lorong air matanya menetes tiada henti. Ia merasa dirinya tidak bisa masuk kelas dengan keadaan menangis seperti ini, sedangkan ingin menghentikan air matanya pun ia tidak bisa.

Akhirnya ia memutuskan untuk pergi ke taman sekolah saja. Di jam kelas seperti ini, taman sekolah adalah tempat yang sepi.

Sesampainya di taman, Santi memilih duduk di kursi taman sambil menangis. Ia tidak bersemangat lagi kembali ke dalam kelas.

Wajah Randi gebetannya mulai membayanginya, memberinya sedikit semangat untuk tetap bertahan.

Tetapi, setampan apapun Randi, tetap saja Santi merasa pusing karena banyaknya tunggakan sekolahnya. Belum lagi bajunya yang dianggap merusak pemandangan. Belum lagi ucapan Bu Siwi guru matematikanya. Ia benar-benar terpukul. Ia merasa orang orang begitu kejam bagi si miskin.

“Lu ngapain di sini, bukannya balik ke kelas, malah nangis di sini” Ratna datang menghampiri Santi seraya membawa beberapa cemilan yang ia taruh di satu kantong kresek.

“Lu sendiri ngapain di sini, bukannya belajar di kelas, malah duduk di sini. Ganggu tau” ujar Santi cemberut, seraya menghapus air matanya. Ia malu jika Ratna melihat dirinya tengah menangis, tetapi sayang air matanya terus mengalir tiada henti, malah semakin deras.

“Gua malas di kelas, ngantuk. Nih gua bawain makanan, lu makan nih, jangan nangis aja, nangis enggak bikin lu kenyang.”

Ratna menyodorkan sekantong kresek makanan kepada Santi. Ia ikut duduk di samping Santi. Ratna menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi kemudian memejamkan matanya seolah olah tiada beban dalam hidupnya.

“Gua enggak selera na, gua mau nangis aja meski enggak bikin kenyang”

“Hahaha ada ada aja lu San, bisa aja lu ngelawak nya.” Ratna tertawa terpingkal pingkal mendengar ucapan konyol Santi teman satu kelasnya itu.

“Berapa total tunggakan lo?” ujar Ratna, dengan posisi seperti semula, dengan tubuh bersandar di kursi taman dan kedua mata terpejam, menikmati angin Sepoi sepoi di taman.

“Dua juta, kenapa lu mau bantu?”

“ya enggaklah, gua juga enggak ada uang sebanyak itu”

Santi tersenyum miring, “gua juga cuman bercanda kali minta bantuan duit dari lu Na, anak sekolah seperti kita ini dari mana dapat uang kalau bukan dari orang tua kita kan na. Tapi lu beruntung Ratna dititipin di rahim orang tua yang kaya, enggak seperti gua yang harus hidup di tengah tengah keluarga yang morat-marit ekonomi dan minim tanggung jawabnya.”

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!