NovelToon NovelToon

That'S My Girl

Bab 1

"Berani lo sama gue, hah?! Jongkok! Jongkok gue bilang! Lompat kayak katak sambil keliling lapangan! Cepat!"

Mata Dealova melotot menatap seorang cowok yang tadi berani menggodanya. Dia sangat anti dengan cowok seperti itu.

"Pilih jongkok keliling lapangan atau gue tendang burung lo?!" gertak gadis itu lagi.

Semua orang juga tau, ancaman yang diucapkan Lova akan selalu menjadi kenyataan alias bukan main-main. Jadi, cowok bernama Gibran itu lebih baik memiliki jongkok sambil lompat katak keliling lapangan dari pada merasakan masa depannya hancur.

Sudah tau Lova seperti itu, masih saja nekat menggoda.

"Satu keliling aja, kan?" tanya Gibran. Wajahnya sangat masam.

"Oh, lo mau ditambahin? Oke, 5 keliling aja!" jawab Lova selalu di luar dugaan.

"Va, lo tega sama gue?" Gibran memasang wajah memelas.

"Kenapa harus gak tega? Emang lo siapa gue? Itu hukuman buat lo karena udah berani godain gue!" ketus Lova sambil mengipasi wajahnya dengan kipas angin mini miliknya. Bagi Lova, harga diri itu lebih penting.

"Buruan! Tunggu apalagi?!" sentak si gadis.

Teman-teman Gibran bersorak heboh. Bukannya membela, mereka malah ikut-ikutan menistakan Gibran.

"Jongkok yang bener, Gib. Biar burung lo gak ditendang!" seru Venus mengejek sang teman, setelahnya dia tertawa ngakak.

Gibran mulai berjongkok dan melompat mengelilingi lapangan sekolah. Seketika dia menjadi pusat perhatian semua orang. Lova tetap mengawasi dari pinggir lapangan seraya menghitung.

Baru setengah lapangan saja sudah membuat pinggang Gibran encok.

"Ampuni gue, Lova... Lo tega lihat gue mati gara-gara encok, hah?" Gibran memohon masih dengan menjalani hukumannya.

Lova tak merespon, tatapan matanya menuju seseorang yang berjalan mendekat ke arahnya.

"Si tua itu lagi," gumamnya sambil memutar bola matanya malas.

"Ada apa ini?" Suara berat idaman para siswi itu membuat Gibran menghentikan lompat nya dan segera beranjak mendekati si empu.

"Pak, tolongin saya, Pak. Si Lova bikin saya encok!" adu Gibran.

"Berisik lo!" sentak Lova.

"Padahal cuma gara-gara saya sapa dia doang loh, Pak," tambah Gibran semakin menjadi.

Aksara Ganendra, guru muda tampan nan gagah yang menjadi idaman para siswi di sekolah ini, kecuali Dealova. Aksa adalah musuh Lova, karena pria itulah yang sering menghukum Lova saat gadis itu membuat masalah.

"Kamu gak bosan cari masalah terus?" tanya Aksa. Kedua tangannya ia masukkan ke dalam saku celananya membuat para siswi gigit jari karena terpesona.

"Suka-suka saya, lah!" jawab Lova acuh. Dia beranjak meninggalkan guru menyebalkan itu.

"Lah, kok Bapak biarin dia pergi, sih? Dia udah bikin pinggang saya encok loh, Pak!" kesal Gibran kala Aksa hanya diam membiarkan Lova pergi begitu saja.

Aksa menatap datar muridnya, lalu tanpa membalas ucapan Gibran, Aksa pergi menyusul langkah Lova yang sudah jauh.

"What?! Serius gue diginiin?" Gibran berdecak kesal.

"Miris banget nasib lo, Gib," celetuk Venus meledek.

"Diem lo Virus!" sentak Gibran.

****

"Dealova, karena kamu tidak mengerjakan tugas, sekarang kamu saya hukum membersihkan toilet siswi! Jangan coba-coba kabur karena Pak Aksa akan mengawasi kamu!"

"Saya mau melaksanakan hukumannya asal si tua itu gak ngawasi saya!" tolak Lova mentah-mentah.

"Heh! Si tua siapa yang kamu maksud? Saya juga tua!" Pak Toni mengelus kumisnya sambil menatap kesal anak muridnya tersebut. Para murid yang ada di kelas pun menahan tawa mendengar ucapan Pak Toni.

"Pokoknya saya gak mau diawasi sama si Aksa!" balas Lova selalu ngegas. Kalau berhubungan dengan Aksara, dia selalu ngegas, karena dia sangat dendam dengan pria tampan itu.

"Emangnya kamu siapa? Saya gurunya, bukan kamu! Kamu ini sama orang tua gak ada sopan-sopannya, dia itu guru kamu, panggil dia dengan hormat! Cepat keluar sana! Pak Aksa udah nunggu kamu di luar." Pak Toni mengibaskan tangannya menyuruh Lova segera keluar.

Lova menghentakkan kakinya dengan kesal sebelum beranjak keluar dari kelas. Dan benar saja, saat dia sudah keluar, Aksa sudah menunggu.

Tanpa mengucapkan sepatah kata, Lova pun melanjutkan langkahnya menuju toilet.

Aksara adalah guru BK, itu sebabnya dia menjadi musuh seorang Dealova, karena memang Aksa lah yang sering menghukum Lova ataupun mengawasi Lova saat dihukum, seperti saat ini.

"Tunggu di luar!" ketus Lova.

"Saya ditugaskan untuk mengawasi kamu bukan menunggu," balas Aksa tak mau kalah.

Mata Lova menyipit curiga sambil menatap guru tersebut.

"Bapak mau macam-macam sama saya?" tudingnya.

Aksa tersenyum miring, terkesan meremehkan. "Macam-macam? Kamu pikir saya nafsu lihat tubuh kamu?"

"Maksud Bapak apa, ya?!" Lova yang tadinya hendak masuk toilet pun kini berbalik menantang Aksa. Bisa-bisanya pria itu mengatakan hal seperti itu di depannya. Harga diri Lova seakan diinjak-injak.

Aksa mengendikkan bahunya acuh, "Gak ada maksud apa-apa. Cepat kerjakan hukuman kamu."

"Nyebelin banget!" kesal Lova. Dia menginjak kaki Aksa sebelum masuk ke dalam toilet siswi.

Aksa mendengus, "Apa itu? Gak sakit sama sekali," cibirnya bergumam kala merasakan injakan kaki Lova.

Aksa memilih menunggu di depan pintu toilet siswi sambil memperhatikan Lova yang sedang menyiram sana sini dengan raut wajah tak ikhlas.

"Muka kamu selalu cemberut. Kalau melakukan apa-apa itu harus ikhlas, Lova," ujar Aksa.

"Suka-suka saya, lah! Bapak kenapa ikut campur mulu, sih?!" kesal Lova. Lama-lama ia siram juga si tua ini.

"Bukan ikut campur. Saya sebagai guru berhak menegur murid," kata Aksa.

"Wajar kalau sekali dua kali, lah Bapak malah berkali-kali!" ketus Lova.

"Karena itu tugas saya. Kalau kamu ulangi, maka saya akan peringati lagi," balas Aksa.

"Pokoknya Bapak yang salah!" pekik Lova. Dia berdiri sambil memegang gayung kecil, matanya menatap kesal ke arah sang guru.

"Kita gak akrab, ya, Pak. Bukan keluarga apalagi teman, jadi, Bapak gak boleh atur-atur saya!" lanjutnya.

"Oke," putus Aksa mengakhiri perdebatan mereka. Lebih baik mengalah untuk kali ini.

Lova menghembuskan nafas kasar sebelum lanjut membersihkan toilet.

Aksa tersenyum tipis melihat bahu mungil muridnya itu. Sepertinya Lova benar-benar kesal dan dendam dengannya. Namun, bukan Aksa kalau menyerah. Dia akan membuat Lova berubah menjadi gadis baik agar tidak dicemooh oleh kawan-kawannya.

Beberapa memang ada yang baik dengan Lova, ada juga yang tidak menyukai Lova dan juga yang netral. Tapi, selama ini Aksa lebih sering mendengar gosip buruk tentang Dealova. Andai Lova tau, pasti dia akan marah besar karena sudah dijadikan bahan gosip.

Dirasa sudah selesai semua, Lova mencuci wajah dan tangannya, setelah itu dia kembali memoles lip balm dan sunscreen yang sering dia letakkan di kantong seragamnya. Lip balm dan sunscreen itu kemasannya kecil, jadi tidak terlalu mencolok jika diletakkan dalam kantong.

"Kamu bawa make up?" tanya Aksa, dia berjalan mendekati Lova.

"Ini bukan make up, tapi, skincare," koreksi Lova.

"Tetap aja. Sini, saya sita," ujar Aksa. Dia masih berdiri di belakang Lova.

"Enak aja! Ini doang Bapak sita, sedangkan siswi yang lebih menor dan sering bawa make up malah gak dirazia!" ucap Lova tak terima.

"Bawa sini, Lova. Itu tetap tidak diperbolehkan," ucap Aksa.

"Gak mau!" Buru-buru Lova memasukkan kedua benda itu ke dalam kantong bajunya.

"Nih, ambil aja kalau berani!" tantang si gadis. Dia menatap Aksa dengan tatapan angkuh.

"Kamu nantangin saya?" Sebelah alis Aksa terangkat. Cukup kagum dengan keberanian siswinya itu.

"Kalau iya, kenapa?"

"Kita ada di toilet kalau kamu lupa," ujar Aksa memperingati.

Masalahnya, sunscreen dan lip balm Lova dimasukkan ke dalam kantong baju bagian dada yang terdapat lambang OSIS. Kalau Aksa nekat mengambil, bukankah itu terlalu runyam?

"Ya terserah Bapak. Kalau mau sita ini ya ambil sendiri," balas Lova. Dia hendak melangkah keluar, namun Aksa menahan lengannya.

"Oke, kalau kamu nantang saya, akan saya ambil sendiri."

***

Semua ceritaku konfliknya sangat ringan, alur mudah ditebak, cocok buat kalian yang malas mikir🥰

Bab 2

"Saya teriak, nih?" ancam Lova saat Aksa mulai ancang-ancang hendak merogoh sakunya.

"Kamu yang mulai."

"Jangan main-main!" Lova melangkah mundur saat Aksa mendekat.

"Saya gak pernah main-main," balas Aksa masih terus mendekati Lova.

Akibat lantainya yang masih basah dan licin, Lova hampir saja terjatuh karena terpeleset jika Aksa tidak segera menolong. Aksa memegang pinggang Lova, sedangkan Lova memegang pundak sang guru. Mata keduanya saling menatap.

"Lova? Pak Aksa?"

Mendengar suara seseorang, Lova langsung mendorong dada Aksa dengan keras hingga dia terlepas dari pelukan pria itu.

"Kalian..." Dua orang siswi menatap curiga ke arah Lova dan Aksa.

"A-apa?! Jangan nethink lo pada! Gue dihukum bersihin toilet, nih lihat, basah kan?" Lova menunjuk lantai yang basah, bukti kalau dia memang tidak berbohong.

"Terus, kalian kenapa peluk-pelukan?" tanya salah satu siswi.

"Pelukan mata lo! Gue kepleset, terus Pak Aksa nolongin!" jawab Lova tak pernah santai.

"Udahlah! Awas aja kalau kalian sebarin gosip yang nggak-nggak. Kalau sampe gue denger gosip tentang gue sama nih guru, gue habisin kalian!" ancam Lova. Wajah ketusnya sangat kentara, ciri khas seorang Dealova.

Setelah mengatakan itu, Lova segera pergi dari toilet diikuti Aksa yang sedari tadi hanya diam menyimak.

"Gimana mau gak nethink kalau mereka kayak gitu, iya kan?" bisik siswi tadi dan diangguki oleh satunya.

****

Lova menghempaskan tubuhnya ke atas kasur. Hari yang sangat melelahkan.

Sedikit informasi tentang kehidupan Lova. Dia tinggal di sebuah perumahan elit, karena memang keluarganya termasuk keluarga berada. Namun, hidup dengan kekayaan melimpah belum tentu bahagia, seperti Lova.

Dia dituntut menjadi pintar, pintar dan pintar. Kedua orang tuanya dan kedua kakaknya adalah seorang dokter, mau tidak mau Lova juga pasti akan menjadi dokter.

Lova bukanlah murid yang sangat pintar. Dia memang sering mendapat juara 3 besar, namun itu semua karena terpaksa alias tuntutan orang tua. Andai orang tuanya tidak memaksanya, Lova tidak akan mau belajar sampai sakit.

Keluarganya masih lengkap dan akur, hanya dia yang memang memilih menjauhkan diri dari mereka. Karena apa? Ya karena tuntutan yang tiada habisnya itu. Lova adalah manusia bukan robot.

"Non, makan dulu. Bibi bikin ayam asam manis."

Bi Santi, pembantu satu-satunya di rumah Lova. Beliau lah yang selama ini menemani Lova kalau semua orang sibuk dengan kegiatan mereka masing-masing. Bi Santi pula yang menjadi tempat curhat Lova. Intinya Bi Santi sudah Lova anggap seperti ibu sendiri, bahkan ibunya sendiri tak sedekat ini dengan dirinya.

"Wih... Enak, tuh!" Lova beranjak dari ranjang dan menerima nampan yang Bi Santi bawa.

"Dihabisin, ya, Non. Saya bikinnya pake cinta," ujar Bi Santi lalu terkekeh geli.

"Pasti aku habisin! Masakan Bibi tuh paling enak sedunia!" balas Lova sembari tersenyum lebar.

"Ya sudah, kalau begitu Bibi balik ke dapur, ya," pamit Bi Santi yang diangguki oleh Lova.

Lova meletakkan nampan itu di atas nakas, dia ingin mengganti baju lebih dulu.

Saat melepas seragam, Lova merasa ada yang hilang. Tapi apa?

"Loh? Lip balm gue mana?!" Lova meraba kantong seragamnya yang hanya terdapat sunscreen, sedangkan lip balm miliknya hilang entah kemana.

****

Aksara menatap lip balm yang dia pegang. Matanya meneliti benda mungil berwarna pink itu. Lip balm milik Lova yang jatuh saat gadis itu berlari keluar dari toilet, mungkin Lova tak menyadarinya. Aksa tak tau kenapa dia malah mengambil lip balm yang harganya tak seberapa itu, ia hanya mengikuti apa kata hati.

Karena penasaran, Aksa pun membuka tutup lip balm itu dan mencium aromanya.

"This is the taste of her lips?" bisiknya.

Aksa kembali memperhatikan lip balm tersebut sebelum kembali menutup lip balm itu dan menaruhnya di atas nakas. Sedangkan dia memilih untuk membersihkan diri.

Di sisi lain, Lova turun ke lantai dasar mengantar nampan yang terdapat piring kosong miliknya tadi.

"Papa dengar, hari ini kamu ulangan harian. Berapa nilai kamu?" Baru saja menginjak lantai, Lova sudah ditodong pertanyaan oleh papanya yang sepertinya baru saja datang, terbukti pria itu sedang duduk di sofa.

"Nilainya belum keluar," jawab Lova seadanya dan kembali melanjutkan langkahnya.

"Jangan sampai nilai kamu turun, Dea," ujar sang papa.

"Iya." Lova menjawab sambil terus berjalan. Terkesan tidak sopan memang, tapi inilah Dealova dan keluarganya.

"Gak pernah berubah, selalu bersikap tidak sopan," gumam Vincent.

"Ada apa?" Gea datang dari arah dapur membawa nampan berisi 2 gelas kopi.

"Anak kamu itu, sikapnya selalu kurang ajar," jawab Vincent.

"Anak kamu kali," balas Gea.

Vincent menghela nafas. Apapun tentang keburukan Lova, mereka pasti akan seperti ini.

"Kamu ibunya, Gea. Coba ajari anakmu tentang kesopanan," ucap Vincent.

"Dia itu anakmu, Vincent," balas Gea tak mau kalah.

"Masukkan aja dia ke kursus atau apa. Selain melatih kesopanan, dia bisa belajar juga," lanjut Gea.

"Bener juga. Kamu punya kenalan guru kursus?" tanya Vincent mulai tertarik dengan usulan Gea.

"Nggak kenal, sih. Tapi, ada anak temanku yang kebetulan jadi guru. Siapa tau dia mau ngajarin Dea," jawab Gea.

"Kalau begitu, hubungi teman kamu sekarang. Lebih cepat lebih baik," ujar Vincent.

"Kita datangi aja ke rumahnya. Gak enak kalau ngomong di telepon," kata Gea ada benarnya, Vincent pun mengangguk setuju.

****

"Aku gak mau, Ma!"

"Harus mau karena Mama udah bilang sama teman Mama."

"Gak cukup Mama atur-atur aku terus? Aku bisa tanpa bantuan siapapun!"

Lova meremas rambutnya dengan kencang, pusing sekali hidup dalam kekangan.

"Kamu gak akan bisa, De. Udahlah, nurut mama sama papa aja, ya? Ini semua demi kebaikan kamu juga, kok," balas Gea bersikukuh.

"Kalau kamu tetap gak mau, Mama gak segan-segan kirim kamu ke luar negeri," lanjut Gea mengancam anaknya.

Ancaman yang selalu dilontarkan oleh orang tuanya itu membuat Lova tak suka. Selain mengekang, mereka juga suka mengancamnya. Lova tidak mau ke luar negeri, dia tidak bisa hidup sendiri di negeri orang.

"Weekend, guru les kamu akan datang, jadi, jangan coba-coba kabur," peringat Gea. Setelah mengatakan itu, Gea keluar dari kamar Lova.

Ingin memaki pun rasanya tak mungkin, yang bisa Lova lakukan hanyalah diam, menurut dan berusaha tak memberontak.

"Aku manusia, Ma, Pa, bukan robot," bisiknya, terdengar pilu.

Jika sudah berhadapan dengan orang tua, Lova seakan tak berdaya. Tidak ada pilihan selain menurut.

Air mata yang sedari tadi menumpuk, kini mengalir deras di pipi tirusnya. Lova bersandar di kepala ranjang sembari memeluk lututnya. Lagi-lagi, dia menangis sendirian, tanpa suara, dan itu sangatlah menyakitkan.

***

Bab 3

"Va, gue ada rezeki pagi ini. Nih, buat lo. Gue tau lo suka coklat." Venus menyodorkan dua coklat pada Lova.

"Maksudnya apa nih? Lo mau bunuh gue lewat coklat ini?" Dia adalah Dealova, tak mungkin bisa percaya begitu saja dengan seseorang.

"Ya ampun, Va... Apa tampang gue kriminal banget?" keluh Venus.

"Bukan kriminal lagi! Muka lo itu buronan polisi!" sahut Gibran.

"Diem lo, pantat cacing!"

"Buruan ambil, pegel nih tangan gue," lanjut Venus sembari menatap Lova yang sedari tadi menatapnya dengan tatapan penuh curiga.

"Gak ada racunnya, Va. Demi Tuhan!" ucap Venus. Bisa-bisanya niat baiknya malah disalahartikan oleh Lova.

"Ya udah, gue ambil. Thanks!" kata Lova setelah dia mengambil coklat tersebut.

"Yoi! Jangan lupa dimakan, ye!" ucap Venus seraya menyengir lebar.

"Ntuh coklat emang gak ada racunnya, Va. Tapi, udah kadaluarsa!" seru Gibran mengompori.

Seketika mata Lova melotot menatap Venus. "LO NYARI MATI, HAH?!"

Venus melambaikan tangannya berkali-kali. "Jangan percaya pantat cacing, Va! Sumpah, itu gak kadaluarsa! Coba liat tanggalnya!"

"Gibran anj! Gue tandain muka lo! Awas aja minta traktir gue lagi!" teriak Venus sambil mengejar Gibran yang sudah lari terbirit-birit.

****

Lova menatap pantulan cermin di depannya, lebih tepatnya menatap 2 orang gadis yang berdiri di belakang.

"Mau apa?" tanya Lova bernada sinis. Dia kembali melanjutkan cuci tangannya sambil menunggu jawaban dari kedua gadis tersebut.

"Jauhin cowok gue, Va," ucap Riya, salah satu gadis tadi.

"Yang mana?" tanya Lova.

"Reyhan! Gara-gara lo, dia jadi cuekin gue!" jawab Riya menggebu.

"Reyhan anak basket itu? Serius lo labrak gue gini? Gak salah?" sinis Lova. Dia berbalik dan bersedekap dada.

"Kalau bukan lo, siapa lagi? Lo yang sering main basket sama dia!" kesal Riya.

"Dia yang ngajakin, masa gue tolak? Jadi, itu bukan salah gue, tapi salah cowok lo." Lova menjawab dengan santai.

Tiba-tiba Riya tersenyum miring dan menatap remeh Lova. "Dasar gak sadar diri. Asal lo tau, semua cewek di sini gak ada yang suka sama lo! Mereka benci karena cowok-cowok lebih ladenin elo dibanding mereka! Lonte ya tetap lonte!" geram Riya.

"Terus, lo pikir gue peduli?" Lova mengangkat kedua alisnya. Sangat menyebalkan di mata Riya dan temannya.

"Apa pernah lo lihat gue godain cowok-cowok yang lo maksud itu? Semua orang juga tau kalau mereka sendiri yang datang ke gue. Satu lagi, gak usah jelek-jelekin gue kalau aslinya lo lebih jelek dan munafik," balas Lova tak kalah pedas.

"MAKSUD LO APA?! YANG MUNAFIK ITU ELO LOVA, LO!" teriak Riya penuh amarah. Sedetik kemudian gadis itu menyerang Lova, menjambak bahkan mencakar nya.

Tentu saja Lova tak tinggal diam. Dia membalas jambakan Riya dan temannya. 1 lawan 2? Siapa takut. Lova tidak selemah itu.

Pagi itu toilet siswi sangat ramai karena ulah mereka bertiga. Banyak yang menonton tapi tidak mau melerai karena mereka menikmatinya.

"Woy woy woy! Ada apa nih?!" Venus, Gibran dan kawan-kawan nya datang dengan heboh.

"Sssttt! Jangan dipisah! Kalian diam aja!" seru para siswi.

"Jangan dipisah pantat lo bolong! Anak orang bisa mati!" kesal Venus.

"Bantuin gue pisahin itu 3 curut, cepet!" lanjut Venus pada ketiga temannya.

Akhirnya keempat cowok itu melerai aksi jambak-jambakan antara Riya dan temannya serta Lova.

"Lepasin!" bentak Lova. Ia memberontak saat Gibran dan Venus memegang kedua tangannya. Di sini, Lova lah yang paling brutal, jadi harus 2 orang yang menangani.

"Nyebut, Va, nyebut!" seru Gibran.

"Dasar lonte lo!" pekik Riya.

"Semuanya! Hati-hati, jaga pacar kalian. Si Lova itu lonte, jangan sampai pacar kalian diambil sama ini cewek!" seru Riya memberitahu semua orang yang ada di sana. Dan seketika semuanya berbisik-bisik negatif tentang Lova.

Tentu saja ucapan Riya membuat Lova kesal dan geram. Itu sama saja membuat namanya semakin buruk di mata orang.

"Inget ya Riya. Bokap lo kerja di rumah sakit punya keluarga gue! Jangan harap lo bisa lolos kali ini!" desis Lova tak main-main. Dia menyentak tangan Gibran dan Venus, setelahnya gadis itu pergi dari sana dengan langkah tergesa. Penampilan Lova sangat kacau, bahkan ada luka cakar di pipinya.

Mendengar ucapan Lova, Riya baru sadar kalau ayahnya memang bekerja di rumah sakit milik keluarga Lova. Gawat, dia kalah kali ini.

"Mampus! Rasain lo! Bentar lagi jadi gembel, deh!" ledek Gibran pada Riya yang terdiam meratapi nasibnya nanti.

"Makanya kalau cari lawan itu yang sepadan!" timpal Venus. Senyum puas tercetak jelas di bibir keduanya.

****

"Kurang ajar banget dia. Bisa-bisanya gue diginiin!"

Lova terus menggerutu sambil terus berjalan menuju belakang sekolah. Dari raut wajahnya saja kentara kalau dia sedang dalam mode senggol bacok. Para murid yang melihat dirinya pun segera menyingkir dari pada kena semprot.

"Lihat aja nanti, gue bakal bilangin Bang Kai!"

Bang Kai adalah Kakak pertama Lova yang paling dekat dengannya. Sayangnya, Kai bertugas di rumah sakit milik keluarga yang ada di luar kota, jadi, Lova hanya bisa mengadu lewat telepon.

"Kamu berubah profesi jadi gembel, ya?"

Lagi-lagi suara itu yang membuat telinga Lova terasa panas.

Dealova menghentikan langkahnya dan menatap Aksara yang berdiri di ambang pintu ruang BK sambil memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. Seharusnya terlihat tampan, namun Lova malah merasa mual ketika melihat guru sok cool itu.

"Kayaknya Bapak bisa tipes kalo gak ledekin saya satu hari aja," ketus Lova.

"Saya gak pernah ledekin kamu tuh," balas Aksa.

Lova mendengus, "Gini amat ngomong sama orang tua," gumamnya. Setelah itu dia kembali melangkah.

"Tunggu."

Lova berdecak kesal, "Ada apa lagi, sih, Pak?! Jangan gangguin saya satu hari aja bisa gak sih?!" kesalnya.

"Sepertinya saya tau kenapa kamu sensitif hari ini," ujar Aksa. Wajah tanpa ekspresi itu terlihat menyebalkan di mata Lova.

"Saya emang begini orangnya! Kenapa? Gak suka?" tantang Lova. Dia melipat kedua tangannya di depan dada. Makin kurang ajar saja tampang si bad girl ini.

Aksa tersenyum tipis, sangat tipis. "Rok kamu merah, Lova," ucapnya langsung to the point.

"What?" Ekspresi Lova berubah tegang. Dia menoleh kebelakang menatap roknya, dan benar saja, rok nya merah. Dia lupa kalau hari ini memang jadwal bulanannya.

Lova segera melepas tasnya dan dia gunakan untuk menutupi noda merah tersebut, tapi sayangnya tidak tertutup semuanya.

"Makanya, jangan terlalu cepat berburuk sangka sama orang," ujar Aksa, "Tunggu di sini sebentar."

Bibir Lova cemberut, matanya menatap Aksa yang masuk kembali ke ruangannya.

"Gue yang malu," gumamnya. Sebal sekali. Sepertinya hari ini memang hari apes untuk Lova.

Tak lama kemudian, Aksa kembali dengan membawa sesuatu di tangannya.

"Pakai jaket saya buat nutupin itu. Gak usah dikembalikan," ucap pria itu, dia menyerahkan jaketnya pada Lova.

Karena Lova sangat membutuhkan benda itu, pada akhirnya ia menerimanya meski dengan bibir cemberut.

"Ya udah kalo Bapak maksa!" ucapnya tak tau diri.

Lova segera mengikat jaket tersebut di pinggangnya. Noda merah yang tadinya merusak pemandangan pun kini tertutup sudah.

"Tapi saya gak mau nyimpan jaket ini, jadi, besok saya balikin!" ketusnya. Seperti biasa.

"Nggak usah," ujar Aksa. Dia masih banyak koleksi jaket seperti itu.

"Kenapa emangnya? Bapak gak suka bekas saya, ya? Kalau gak suka, kenapa pinjemin saya jaket?" kesal Lova.

Aksa menghela nafas berat. Bicara dengan Lova sangat menguras tenaga.

"Terserah kamu aja, Lova. Lebih baik kamu pulang aja sekarang."

"Kok ngusir?!"

Tuh kan, salah lagi.

"Emangnya kamu mau belajar dengan penampilan seperti itu?" tanya Aksa.

"Bapak ngeledek saya?!"

"Ada apa ini, Pak Aksa?"

Perdebatan keduanya terhenti saat ada seorang guru wanita, masih muda, datang menghampiri keduanya, namanya Fara.

"Tidak apa-apa," jawab Aksa singkat.

Lova melirik sinis guru wanita tersebut. Selain Aksa, Fara juga adalah musuh Lova, karena tak jarang keduanya berdebat hebat.

"Kamu bikin masalah apa lagi Lova? Kenapa penampilan kamu seperti ini?" Fara melontarkan pertanyaan pada Lova.

"Itu jaketnya Pak Aksa, kan? Kok kamu pakai?" lanjut Fara. Dia menatap tak suka pada Lova. Pasalnya, baru kali ini Aksa mau meminjamkan barangnya dengan suka rela. Aksa itu tidak suka ada yang meminjam barang miliknya dan Fara tau betul sifat Aksa ini.

"Emangnya kenapa? Pak Aksa yang kasih! Ibu iri, ya? Makanya jangan suka caper, Bu. Udah tau Pak Aksa gak suka, masih aja ditempelin," cibir Lova blak-blakan.

Sifat Fara yang sok berkuasa membuat Lova muak. Makanya dia berani bicara seperti itu.

"Jaga ucapan kamu, Lova! Saya ini lebih tua dari kamu!" tekan Fara.

Lova memutar bola matanya malas, "Iya deh, Nyai!"

Setelah mengucapkan itu, Lova segera pergi dari sana sebelum Fara mengeluarkan tanduknya.

"LOVA!" panggil Fara penuh amarah.

Aksa tersenyum tipis melihat tingkah Lova. Tanpa menghiraukan Fara, Aksa lebih memilih masuk ke ruangannya saja.

***

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!