Tubuhnya gemetar, matanya mulai memanas dan merah, jantungnya? Jangan ditanya lagi, organ dalam itu sudah berdegup tidak beraturan bersamaan dengan bibirnya yang mulai terbuka dengan getaran. Itu reaksi tubuhnya saat mengetahui fakta yang baru saja didapatkan.
Setelah akad pernikahannya dengan laki-laki yang sudah 5 tahun menjadi kekasihnya. Aleta atau Tata merasa menjadi wanita terbahagia di dunia. Akadnya baru saja selesai beberapa jam yang lalu, dan pesta pernikahan rencananya akan dilanjutkan nanti malam.
Namun semua berubah menjadi tragedi yang akan membuatnya trauma. Trauma percaya dengan seorang laki-laki. Jika yang sudah lama dikenalnya saja dapat begitu rapih menyembunyikan kebohongan, lalu bagimana dengan pria yang baru saja ditemui? Aleta tentu akan ikut bersandiwara dengan dalih sebuah kepercayaan.
"Kamu jahat kak," lirihnya meremas benda pipih yang masih berada di tangannya.
Hatinya semakin sesak kala mengingat siapa yang mengirimkan pesan dengan suaminya.
Ia memang tidak membuka isi percakapan tersebut. Namun semua chat yang dikirimkan oleh perempuan yang menjadi selingkuhan suaminya sudah dapat ia baca melalui pemberitahuan pada ponsel suaminya.
"Ah," dadanya semakin sakit rasanya, ia memejamkan mata bersamaan dengan dada yang ia pegangi.
Ceklek
Pintu kamar yang sudah disulap menjadi kamar pengantin terbuka. Sosok tampan yang muncul dari balik pintu.
Dipta Darmono, laki-laki yang baru beberapa jam lalu mempersunting dirinya. Juga yang beberapa saat lalu membuat hidupnya hancur dan menaruh rasa benci akan dirinya.
Cup
Sebuah kecupan Dipta berikan pada kening Aleta. Tidak lupa senyum tampan juga laki-laki itu berikan untuk Aleta.
Cih! Rasanya Aleta ingin sekali meludahi laki-laki tampan di depannya ini. Rasa sayang dan kepercayaannya selama ini seketika hilang begitu saja tergantikan dengan rasa kecewa yang mendalam. Mati-matian Aleta menahan tangis di depan suaminya agar tidak ada yang mencurigainya.
"Aku sayang kamu Tata," ujarnya seraya memeluk pinggang ramping Aleta.
Sekali lagi, Aleta harus berbesar hati untuk menutupi rasa kecewanya saat ini. Yang perlu ia lakukan ialah tetap menjadi Aleta bodoh yang tidak tahu pengkhianatan yang Dipta lakukan.
"Sungguh kak?" suaranya terdengar manja.
Demi apapun Aleta sesungguhnya ingin muntah sekali sekarang ini. Masih bisa-bisanya ia memainkan sandiwara sementara dalam hatinya terus bergejolak.
Meski ia tergolong wanita sederhana namun ia tidak ingin diam dan pasrah begitu saja dengan pengkhianatan dua orang yang ia sayangi dalam hidupnya.
"Kamu tidak seharusnya meragukannya, dengan hubungan kita bertahan selama 5 tahun itu sudah menjadi bukti sayang," lagi dikecupnya tangan Aleta yang sedang ia genggam.
Meski berat. Nyatanya Aleta membiarkannya dan memaksakan senyum di depan Dipta. Ia juga tidak keberatan tubuhnya disentuh Dipta dengan memberi sebuah kecupan pada tangan juga keningnya. Namun cukup sampai di situ saja Aleta tidak akan sudi memberi mahkotanya untuk laki-laki bajingan seperti Dipta.
"Tunggu Tata, kamu harus bersabar sebentar," ujarnya dalam hati.
"Sekarang kamu boleh istirahat dulu sayang, sebelum pesta nanti malam," ujarnya hanya dibalas anggukan kepala juga senyum tipis dari Aleta.
"Aku akan ke bawah sebentar."
Tidak lupa benda pipih yang tadi sudah mengungkapkan kebusukan Dipta selama ini dibawa oleh laki-laki itu. Aleta hanya melirik sekilas saat Dipta mengambilnya sampai akhirnya pergi dari hadapannya.
Baru setelah pintu kamar itu tertutup. Air matanya jatuh begitu saja, ia tidak bisa lagi untuk pura-pura baik-baik saja, sementara hatinya terus berontak, tubuhnya lemas terduduk di pinggir ranjang bersamaan dengan tangis tanpa suara.
"Kenapa harus sekarang aku mengetahuinya?"
"Kenapa juga harus kamu kak?"
"Kalian jahat," isaknya disertai remasan pada sprei di kasur empuk yang nantinya akan menjadi malam terindah dirinya dengan Dipta. Tapi itu akan terjadi jika saja kebohongan Dipta selama ini tidak terungkap.
Sekitar pukul 6 sore. Aleta sudah siap dengan gaun untuk pesta malam ini. Ia memandangi tampilan dirinya di depan cermin.
"Nduk, kamu nggak kasihan sama kakakmu?" lagi-lagi orang yang bertugas meriasnya kembali bertanya.
Tadi sudah ada yang bertanya dengan pertanyaan yang sama persis seperti perias tersebut. Namun Aleta hanya membalas seadanya.
Pernikahannya dengan Dipta memang bisa dibilang menentang dalam adatnya. Mendahului seorang kakak bisa berdampak untuk keluarga. Simpang siurnya seorang kakak yang didahului adiknya akan susah mendapatkan jodoh.
"Ini bukan hanya keinginan saya apa lagi paksaan bu." Aleta menjeda ucapannya.
"Pernikahan ini terjadi karena sudah kesepakatan kedua keluarga kami, termasuk kaka saya," lanjutnya lagi yang hanya dibalas anggukan mengerti oleh sang perias.
"Cantik. Kamu sangat cantik sekali," pujinya setelah selesai merias Aleta.
"Terimakasih. Ini juga berjat kerja keras tangan anda bu," balasnya.
Sekitar pukul setengah 8. Aleta sengaja masih berdiam di kamarnya. Bahkan sejak tadi siang ia tidak lagi keluar kamar sejak mengetahui perselingkuhan suaminya. Selera makannya pun seakan hilang begitu saja, rasa lapar pun tidak lagi ia rasakan, semua tergantikan dengan rasa kecewa dan marah yang coba ia pendam.
"Ta, Tata mama boleh masuk?" suara ibunya terdengar dari luar pintu.
"Masuk saja ma!" teriaknya.
Terlihat wanita paruh yang juga terlihat semakin cantik karena riasan di wajahnya. Beliau mendekat menghampiri Aleta yang masih duduk di tepi ranjang.
"Kamu belum makan kan sayang? Mama bawain makan untuk kamu," ujarnya seraya menyendokan makanan ke mulut Aleta.
Sebenarnya ia merasa tidak napsu untuk makan, melihatnya saja sudah membuatnya kenyang, namun ia juga tidak ingin membuat mamanya kecewa, menghargai usaha mamanya.
"Jangan sampai di hari bahagiamu ini malah bikin kamu sakit."
Derrr
Tidak ada petir, tetapi rasanya Aleta seperti disambar petir. Apa yang mamanya katakan sudah terjadi dengan dirinya. Bukan sakit fisiknya tetapi hatinya, mentalnya dibuat hancur sehancur-hancurnya.
"Kunyah Tata, kamu sudah jadi istri orang masih aja manja," goda beliau.
Suara mamanya seketika mengejutkan lamunannya. Ia menatap manik mata mamanya dengan diam. Rasanya tidak bisa bersuara untuk sekadar menjawab apa yang mamanya katakan. Ia sangat ingin menangis, tetapi juga tidak ingin membuat mamanya khawatir di hari bahagia namun juga menyakitkannya.
"Tata!"
Suara teriakan dari ambang pintu seketika membuat Aleta dan mamanya menoleh. Davina berhambur dan langsung memeluk Aleta dengan erat.
"Lo nikah? Tata si manja itu beneran nikah?" tanya Davina begitu takjub.
"Ehem, nggak liat ya ada tante juga di sini?"
Seketika Davina menoleh dan langsung menyalami wanita di sebelahnya.
"Sorry Tan, Vina sampai nggak ngeh kalau ada tante juga. Denger Tata nikah aja uda bikin fokus Vina buyar semua."
"By the way, selamat ya Ta? Akhirnya jadi istri juga setelah lama dipacarin," gurau Devina.
"Kamu juga cepet nyusul. Tante tinggal ke bawah sebentar ya?" pamit beliau.
"Tata," sekali lagi Devina kembali memberi pelukan rindunya untuk sahabat yang sudah cukup lama tidak bertemu. Devina kuliah di luar kota, itu juga yang menyebabkan ia baru bisa datang diacara penting sahabatnya.
Kini Aleta ditemani dengan Devina siap untuk keluar dan menyambut tamu yang datang pada acara malam hari ini. Kebanyakan tamu yang hadir dari teman-teman Aleta dan Dipta.
"Nggak usah gugup Ta, ada gue," bisik Devina belum sadar jika Aleta diam bukan karena gugup, melainkan menahan sesuatu yang mendesak untuk keluar.
"Vin," panggil Aleta seketika membuat Devina menoleh.
"Butuh sesuatu?" tanya Devina diangguki oleh Aleta.
Keinginannya untuk balas dendam semakin memuncak saat melihat kebersamaan Dipta dan kakanya.
Alesa atau Sasa, kakak perempuan Aleta, ia juga merupakan temab kuliah Dipta, dan kebetulan keduanya kini bekerja di perusahaan yang sama. Tangan Aleta semakin mengepal saat melihat Alesa menoleh ke arahnya dengan senyuman manis yang begitu polos.
"Tata ayo."
Itu bukan suara Devina, melainkan Alesa yang kini sudah berdiri di sampingnya. Alesa berniat menggandeng Aleta namun dengan cepat Aleta menghindar dan malah menggandeng Devina dengan terlebih dahulu jalan.
"Ayo Dev," ujarnya.
Devina kebingungan melihat sikap Aleta, begitu juga dengan Alesa yang menyipitkan matanya melihat perubahan sikap Aleta padanya.
"Kenapa sih tuh anak?" gumamnya berjalan mengikuti di belakang.
Suara tepuk tangan saat Aleta datang terdengar dari para tamu undangan yang malam ini hadir. Banyak di antara mereka yang memuji kecantikan Aleta malam ini.
Namun itu semua tetap tidak merubah rasa sakit hatinya. Aleta justru merasa semakin disia-siakan oleh laki-laki yang ternyata kini sudah memegangi tangannya. Lalu mengecupnya dengan begitu lembut.
Ah, lagi-lagi Aleta begitu larut dalam pikirannya sendiri sampai tidak menyadari jika tangannya kini sedang digenggam oleh laki-laki yang sangat ia benci, tetapi laki-laki itu kini sudah menjadi suaminya.
"Kamu siap sayang?" bisik Dipta.
Aleta menoleh, ia tersenyum tipis lalu mengangguk.
Kedua mempelai kini sudah siap memotong kue pengantin yang menjulang cukup tinggi di depannya. Semua tamu kembali bertepuk tangan, sampai tiba pada saatnya keduanya akan melakukan ciuman, Aleta berniat untuk menolak, tetapi saat tanpa sengaja matanya menangkap wajah Alesa tiba-tiba niatnya terurungkan. Sudut bibirnya tertarik ke atas.
Aleta membalas ciuman Dipta dengan penuh gairah, hanya sebentar memang tapi mampu membuat para tamu undangan khsusnya teman-teman mereka bertepuk tangan dengan semangat.
Aleta tersenyum puas saat melihat wajah kakaknya cukup merah, Alesa terlihat tetap tenang, namun Aleta sangat yakin jika kakaknya itu menaruh rasa cemburu atau bahkan kesal karena perbuatannya barusan.
"Kamu sangat menggoda sayang," bisik Dipta.
Aleta menatap Dipta dengan begitu lekat. "Kamu juga sangat nakal kak."
Setelahnya Aleta pergi untuk menemui teman-temannya. Diikuti Dipta yang sedang tersenyum penuh arti dengan tatapan matanya tidak lekat akan tubuh gadis itu yang masih dibaluti gaun pengantin.
Sekitar pukul 11 malam. Pesta pernikahan telah usai. Aleta dengan dibantu Devina juga mua yang ada sedang melepas gaun pengantinnya.
"Tata, gue rasa Dipta udah nggak sabar buat nerkam lo," goda Devina.
Aleta menyunggingkan senyumnya. Lalu melirik ke arah Devina. "Gue nggak minat tuh," balasnya sontak membuat Devina menghentikan aktivitasnya.
"Ngaco aja lo," ujarnya.
"Ayolah.. Gue tau kalian udah nunggu saat bahagia ini selama 5 tahun, nggak normal banget sih kalau lo masih belum siap," jelas Devina kembali membantu Aleta melepas gaunnya.
Terdengar helaan napas dari Aleta. Ia menatap Devina dengan diam sampai membuat Devina menyipitkan matanya. Tatapan Aleta kini tiba-tiba berubah menjadi sendu, Devina semakin merasa aneh dengan perubahan Aleta yang tiba-tiba.
"Bu, boleh keluar sekarang, biar aku yang bantu Tata," ujar Devina diangguki oleh sang MUA.
Setelah kepergian MUA tadi. Devina kembali menatap Aleta dengan selidik.
"Tata, are you okay beb?" tanyanya.
Saat itu juga Aleta menggeleng, matanya sudah menggenang dan siap meluncurkan cairan bening di wajahnya. Devina semakin dibuat terkejut melihatnya.
"Tata, lo kenap-"
Ceklek
"Kaka boleh masuk Ta?" kepala Alesa nyembul dari balik pintu.
Tanpa menunggu jawaban, Alesa langsung masuk begitu saja. Sementara Aleta buru-buru menyeka air mata yang sudah keluar tadi.
"Belum selesai Vin?" tanya Alesa.
"Udah kok kak," balas Devina.
"Kenapa?" tanya Aleta datar.
"Gue cuma mau bilang, keluarga Dipta udah pada balik," ujar Alesa.
Aleta mengangguk. "Nggak papa tadi udah pada pamit kok sama gue," jelasnya.
"Oh ya udah gue istirahat dulu ya capek juga, jangan lupa bikinin ponakan buat gue," ujar Alesa diselingi bisikan pada akhir kalimatnya.
Aleta menyunggingkan senyumnya. Lalu kembali menganggukan kepalanya. "Kakak tenang aja, malam ini akan menjadi malam yang panas untuk aku sama kaka Dipta," terangnya.
Sial, Aleta merasa jijik sendiri setelah mengatakan itu. Ia bahkan tidak sudi disentuh oleh Dipta. Meski sekarang ini ia sangat berniat untuk membuat kakaknya kesal. Namun raut wajah Alesa tampak baik-baik saja. Seperti tidak sedang menahan sebuah amarah apa lagi rasa cemburu.
"Lo pemain emang kak," ujarnya dalam hati.
"Bye gue duluan, lo juga Vin. Jangan ganggu pengantin baru," ujar Alesa sebelum kepergiannya.
"Gue nginep di sini, biar Aleta nggak jadi keluarin suara halalnya sekarang," goda Devina mendapat gelak tawa dari Alesa bersamaan dengan kepergiaannya.
"Tata, lo tadi kenapa? Sebenarnya apa yang lo sembunyiin beb?" tanya Devina setelah kepergian Alesa.
"Gue nggak papa kok Vin. Udah sana lo pergi dari kamar pengantin ini," usirnya.
"Ngusir lo? Ck, awas aja lo," kesalnya.
"Kalau ada apa-apa bilang ya Ta," ujarnya diangguki oleh Aleta.
Kini Aleta seorang diri di dalam kamar. Ia memandangi luar dari jendela kamarnya. Meski ia bersikap seolah baik-baik saja. Nyatanya dirinya benar-benar hancur sekarang.
Bahkan jika kebanyakan pengantin baru sudah tidak sabar menunggu malam pertama mereka. Lain halnya dengan Aleta yang justru tanpa minat menghabiskan waktu malamnya bersama laki-laki yang sudah menjadi suaminya.
Pikiran Aleta kini sibuk mencari cara membalas rasa sakit hatinya.
Pintu terbuka bersamaan dengan Dipta yang masuk dan langsung menghampirinya. Dipeluknya tubuh Aleta dari belakang, rasanya begitu nyaman setiap kali Dipta memeluknya seperti disaat mereka masih menjadi sepasang kekasih, tapi kenyamanan yang ia rasakan kini berbeda, ada sesuatu yang mengganjal di hatinya.
Cup
Tanpa izin Dipat mengecup punggung Aleta, tangan laki-laki itu juga mengusap lembut bagian perut Aleta. Posisi mereka kini masih sama seperti tadi, dimana Dipta memeluk Aleta dari bagian belakang.
"I love you Tata," bisiknya.
Suara Dipta sudah berat, meski Aleta belum melakukan apa-apa namun Aleta sangat yakin jika Dipta sudah menginginkan sesuatu, menginginkan haknya dari Aleta yang kini sudah resmi menjadi istrinya.
Aleta tidak menjawab, ia semakin merasa hancur setiap kali mengingat pengkhianatan Dipta. Sikap lembut Dipta sekarang dan bahkan selama ini hanya sebuah kebohongan, Dipta memang memperlakukannya dengan begitu baik, tetapi dibalik itu semua ternyata hanya sebuah kepalsuan, Dipta pemain ulung yang sampai bisa mendapat umpan dua sekaligus.
Dirasa pundaknya kini diremas oleh tangan yang biasanya menggenggam dengan begitu erat, Aleta memejamkan sejenak, sebelum akhirnya ia menoleh dan menatap Dipta yang juga sedang menatapnya dalam.
Ingin rasanya Aleta berteriak sekencang mungkin saat melihat tatapan teduh suaminya itu. Kenapa bisa mata teduh itu bersikap tidak adil padanya?
"Kak," lirihnya.
Sejujurnya ia berat mengatakannya, namun ia juga tidak rela jika tubuhnya diserahkan begitu saja untuk laki-laki yang sudah mengkhianatinya. Sekalipun itu suaminya.
"Tamu bulananku baru saja datang," ujarnya.
Aleta dapat melihat perubahan pada raut wajah Dipta, namun ia juga merasa lega.
"Jadi, sabar ya?" bisiknya begitu menggoda sebelum akhirnya pergi disertai senyum tipis pada sudut bibirnya.
Pagi harinya semua sudah berkumpul di meja makan, termasuk Dipta yang sudah lebih dulu di sana. Sementara Aleta baru saja datang dan langsung menuangkan air putih ke dalam gelas.
Melihat rambut Aleta yang masih kering seketika menimbulkan pertanyaan besar dalam diri Alesa. Begitu juga kedua orang tua mereka. Tetapi baik mama dan papanya tidak terlalu memikirkannya, mungkin saja keduanya lelah dan langsung istirahat. Berbeda dengan Alesa yang merasa penasaran dan memilih untuk langsung bertanya dengan yang bersangkutan.
"Ta," panggilnya membuat Aleta menoleh.
"Lo nggak keramas?"
Pertanyaan Alesa sontak membuat Dipta yang sudah berada di meja makan terkejut, tetapi tidak dengan Aleta yang seperti tenang dan tahu akan ada pertanyaan semacam itu.
"Tamu bulanan Tata datang."
Itu bukan Aleta yang menjawab, melainkan Dipta. Namun hal itu justru membuat mama mereka menyipitkan matanya.
"Bukannya baru 3 hari yang lalu kamu selesai Ta?" tanya sang mama dengan polosnya.
Duerrr
Seketika Dipta menatap Aleta seakan meminta penjelasan, Aleta sendiri tetap tenang, ia sudah memikirkan jawaban yang pas untuk suaminya nanti. Meski mungkin saja alasan yang akan ia berikan tergolong aneh.
Setelah sarapan bersama di meja makan. Kini Aleta dan Dipta berada di kamar bersama. Dipta terus mendiaminya seakan sedang kecewa atau marah dengan Aleta yang membohonginya. Namun itu tidak seberapa dibanding rasa sakit Aleta atas pengkhianatannya selama ini.
"Kamu masih marah kak sama aku?" tanyanya.
Aleta mencoba mendekati Dipta yang sedang berdiri di balkon kamar. Sungguh, Aleta sangat malas melakukan hal itu, berpura-pura merasa bersalah dengan laki-laki di sebelahnya.
"Menurut kamu?" tanya Dipta yang langsung diangguki Aleta.
"Ck, gue yang harusnya marah brengsek," umpatnya dalam hati.
"Sorry kak, gue nggak bermaksud bohongi kakak apa lagi sampai buat kakak jadi marah seperti ini," ujarnya terjeda.
"Aku cuma-"
"Apa Ta? Kamu belum siap?" sela Dipta yang langsung diangguki oleh Aleta.
Dengan Dipta menyela ucapannya justru lebih baik. Ia tidak perlu beralasan lagi. Tadinya Aleta berniat akan memberitahu Dipta jika si putih pada dirinya datang, namun itu memang bukan alasan yang tepat, dan mungkin saja akan membuat laki-laki tersebut merasa jijik dengannya. Namun siapa sangka Dipta malah sudah menyela ucapannya dan membantunya agar alasan yang sudah ia rencanakan tidak perlu lagi diucapkan.
Tiba-tiba pundak Aleta sudah dicengkram Dipta, bukan dicengkram sebenarnya, tetapi dipegang dengan sedikit elusan di sana. Dan bahkan tangan Dipta kini sudah berada di dagu gadis itu.
Sial, lagi-lagi Dipta mencoba untuk merayunya agar hal itu cepat terjadi di antara mereka. Harus dengan cara apa lagi Aleta menghindar. Siapapun tolong Aleta sekarang. Ia bersumpah akan mengucapkan terimakasih sebanyak-banyaknya.
"Sayang, jangan takut. Aku akan melakukannya sepelan mungkin, membuat rasa sakit itu tergantikan dengan kenikmatan yang selama ini belum pernah kamu rasakan," ujar Dipta mengecup kening Aleta dengan lembut.
Ucapan Dipta memang patut Aleta acungi jempol, bukan karena keromantisan yang Dipta lakukan sampai membuatnya terbuai, tetapi apa yanh Dipta katakan persis seperti buaya yang sedang memancing mangsanya. Aleta sangat yakin hubungan Dipta dengan perempuan lain lebih dari seorang kekasih yang hanya hangout bersama, tetapi mungkin keduanya sudah pernah satu bantal dan juga satu selimut.
Mengingat itu membuat Aleta ingin muntah rasanya. Aleta tegaskan pada dirinya agar ia tidak sampai memberikan mahkotanya untuk laki-laki itu.
"Sayang, hmm?" suara Dipta kembali terdengar, bahkan nada suaranya sudah terdengar berat. Aleta bukan gadis polos yang tidak tahu hal itu.
Dipta benar-benar menginginkannya, bakan meski sekarang masih di pagi hari. Dipta seperti tidak peduli itu. Buktinya kini jari-jari Dipta mulai mengelus lembut pipi Aleta.
Ceklek
Pintu kamar keduanya terbuka. Menampilkan sosok Alesa yang berdiri diambang pintu.
"Sorry, gue nggak tahu."
Alesa berniat menutup kembali pintu kamar mereka. Namun dengan segera Aleta cegah dengan bersuara sejak diamnya tadi karena rayuan Dipta.
"Kenapa kak?" tanyanya.
Penyelamat yang Aleta inginkan ialah Alesa. Beruntung ia hanya bersumpah untuk berterimakasih sebanyak-banyaknya. Tidak melakukan sumpah bodoh yang bisa saja menjadi bumerang untuk dirinya nanti.
"Mama manggil kamu Ta, suruh ke bawah,"beritahu Alesa.
Sebelum pergi, Alesa sempat melihat ke arah Dipta, namun itu hanya berlangsung sebentar saja. Aleta melirik keduanya secara bergantian sebelum akhirnya tersenyum tipis.
"Sayang, aku ke mama dulu ya?" pamitnya dengan sangat manja.
Tidak hanya itu Aleta dengan sengaja mencium pipi Dipta, lalu meraba bagian dada bidang laki-laki itu. Hal itu langsung membuat Dipta langsung merasakan desiran pada sekujur tubuhnya. Namun lagi-lagi harus tertahan karena datangnya orang yang tidak diinginkan.
Aleta suka menggodanya, Aleta senang membuat Dipta merasa disiksa karena perbuatannya, itu baru permulaan, Aleta akan melakukan lebih dari itu untuk membalas perbuatan mereka. Namun untuk saat ini Aleta tetap harus melakukan sumpahnya tadi.
"Kak, thanks ya?" ujarnya disaat melewati Alesa yang sedang duduk di ruang TV.
"Makasih banyak," ujarnya lagi.
Done, itu sudah cukup bukan untuk melakukan janji yang sudah ia katakan tadi? Gadis itu pergi menemui mamanya sementara Alesa dibuat kebingungan dengan tingkah Aleta padanya.
"Ma," panggilnya menghampiri mamanya yang sedang duduk di taman belakang.
"Duduk Ta," titah beliau.
Aleta duduk di samping mamanya. Wanita cantik yang selama ini sudah memberikan kasih sayang luas untuknya. Bahkan Aleta tidak pernah merasa kesedihan selama hidupnya karena mamanya memperlakukannya layaknya seorang putri yang harus dijaga dengan sepenuh hati.
Sampai beliau lupa, memanjakan Aleta bisa saja membuat orang di sekitarnya merasa tidak nyaman, atau bahkan menimbulkan rasa cemburu dan iri karenanya.
"Soal yang tadi, kamu sengaja Ta menghindar?" tanya mamanya langsung.
"Kamu belum siap sayang? Hmm?"
Aleta menatap nanar manik mata teduh di depannya. Haruskan ia mengatakan yang sebenarnya? Tetapi ia tidak ingin membuat kedua orang tuanya merasa sedih dan kecewa. Aleta berusaha menyembunyikannya sebaik mungkin sampai tiba saatnya nanti.
Ia sendiri tidak tahu akan sampai kapan seperti ini. Tetapi yang jelas, Aleta tidak rela jika mahkotanya sampai direnggut laki-laki yang sudah membuat sakit hatinya, membuat rasa percayanya hilang tergantikan perasaan untuk balas dendam.
Terlihat anggukan di kepala dari gadis itu. "Tata belum siap ma," ujarnya pada akhirnya.
Mamanya langsung menggenggam tangan Aleta, selain untuk memberi rasa tenang, tentu saja untu memberi rasa berani pada gadis itu.
"Dengar sayang, kalian sudah menjalin kasih cukup lama, kamu pasti sudah sangat tahu bagaimana Dipta, dan kamu tahu sendiri usia Dipta juga sudah sangat matang, kamu paham bukan apa yang harus kamu lakukan kepada suamimu?"
"Mama bukannya memaksa, sesuatu yang dipaksakan juga tidak benar, tetapi kamu kini juga sudah cukup dewasa untuk mengerti peran istri untuk suami, mama harap kamu tidak bikin Dipta kecewa ya sayang," ujar beliau yang hanya dibalas senyum tipis oleh Aleta.
Andai mamanya tahu kelakuan bejat Dipta seperti apa sampai membuatnya tidak sudi memberikan hak untuk laki-laki itu. Andai saja semua yang ia rasakan semudah itu untuk ia katakan, andai saja semua tidak serumit itu sekarang, dan andai saja wanita itu bukan salah satu dari orang yang mamanya sayangi.
Mungkin semua sudah Aleta ungkapkan di hari dimana ia mengetahuinya. Namun semua tidak semudah itu, Aleta masih memikirkan perasaan kedua orang tuanya.
"Shit, kalian bener-bener bikin hidup gue nggak terarah," umpat Aleta ditujukan untuk dua orang yang kini sedang duduk berdua di depan TV.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!