Di sudut kota kecil bernama Arwana, terdapat sebuah sekolah menengah atas yang dikenal dengan nama SMA Arwana. SMA ini terkenal bukan hanya karena prestasi akademiknya yang gemilang, tetapi juga karena lingkungan sosial yang penuh dengan dinamika remaja. Di antara ratusan siswa yang belajar di sana, terdapat seorang gadis yang selalu menjadi sorotan, bukan karena prestasinya, melainkan karena nasib buruk yang menimpanya.
Namanya adalah Clara. Clara adalah gadis berusia 16 tahun yang memiliki kecantikan alami yang mempesona. Rambutnya panjang dan hitam legam, mata cokelatnya berkilau seperti permata, dan senyumannya bisa meluluhkan hati siapa pun yang melihatnya. Namun, kecantikan Clara seolah menjadi kutukan baginya. Alih-alih dikagumi, Clara justru sering dirundung oleh teman-temannya.
Hari itu, Clara berjalan memasuki halaman sekolah dengan langkah yang ragu-ragu. Suara-suara bisikan dan tawa sinis dari sekelompok siswa yang berdiri di dekat gerbang sekolah terdengar jelas di telinganya. Clara menundukkan kepalanya, berusaha untuk tidak memperhatikan mereka.
“Lihat siapa yang datang,” seru seorang gadis bernama Rina dengan nada mengejek. Rina adalah ketua kelompok populer di sekolah, dan dia selalu merasa terancam oleh keberadaan Clara. Meski Clara tidak pernah mencoba untuk menyainginya, Rina selalu melihat Clara sebagai ancaman.
“Cantik sekali hari ini, Clara. Apa kamu mencoba menarik perhatian seseorang?” tanya Rina dengan senyum sinis di wajahnya. Clara hanya diam dan mempercepat langkahnya menuju kelas. Dia tahu bahwa menanggapi ejekan Rina hanya akan membuat situasi semakin buruk.
Setelah sampai di kelas, Clara duduk di kursinya yang terletak di barisan belakang. Ia selalu memilih duduk di sana agar bisa menghindari perhatian. Sambil menunggu guru datang, Clara membuka buku catatannya dan mulai membaca. Ia berharap bisa melarikan diri dari kenyataan melalui dunia dalam buku-bukunya.
Namun, ketenangan Clara tidak bertahan lama. Beberapa siswa mulai mengelilingi mejanya, termasuk Rina dan teman-temannya.
“Clara, apa yang kamu baca?” tanya Rina sambil meraih buku dari tangan Clara.
"Oh, ini novel roman. Apa kamu berharap ada pangeran tampan yang datang menyelamatkanmu?”
Rina dan teman-temannya tertawa terbahak-bahak. Clara merasa air mata mulai menggenang di matanya, tetapi ia menahannya. Ia tidak ingin memberikan kepuasan kepada mereka dengan menunjukkan kelemahannya.
“Sudahlah, Rina. Kita ada pelajaran sebentar lagi,” kata seorang siswa laki-laki bernama Arman. Arman adalah siswa yang cukup populer juga, tetapi berbeda dengan Rina, ia sering menunjukkan sikap simpatik terhadap Clara. Meski begitu, Arman jarang berani membela Clara secara terbuka karena takut juga menjadi target ejekan.
Setelah beberapa saat, bel berbunyi dan guru masuk ke kelas. Rina dan teman-temannya kembali ke tempat duduk mereka, meninggalkan Clara dalam kesunyian. Clara mencoba untuk fokus pada pelajaran, tetapi pikirannya terus mengembara. Ia bertanya-tanya, mengapa dirinya selalu menjadi sasaran? Apa salahnya sehingga dia layak mendapatkan perlakuan seperti itu?
---
Clara pulang ke rumah dengan perasaan campur aduk. Di rumah, Clara tinggal bersama ibunya, seorang wanita yang bekerja keras untuk menghidupi mereka berdua setelah ayah Clara meninggal dunia beberapa tahun yang lalu. Ibunya selalu menyemangati Clara untuk tetap kuat dan berusaha mencapai impiannya, meski Clara jarang menceritakan masalah yang dihadapinya di sekolah.
Sore itu, setelah makan malam, Clara duduk di kamarnya sambil menatap keluar jendela. Ia memikirkan kejadian di sekolah dan berharap suatu hari nanti semuanya akan berubah. Tiba-tiba, ponselnya bergetar. Ada pesan masuk dari nomor yang tidak dikenal.
“Hai Clara, ini Arman. Aku hanya ingin tahu apakah kamu baik-baik saja.”
Clara terkejut sekaligus merasa sedikit lega. Ia tidak menyangka Arman akan menghubunginya. Dengan ragu-ragu, Clara membalas pesan tersebut.
“Hai Arman, aku baik-baik saja. Terima kasih sudah bertanya.”
Percakapan pun berlanjut, dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Clara merasa ada seseorang yang peduli padanya. Arman bercerita tentang hal-hal yang membuatnya tertarik, dan Clara mulai merasa lebih nyaman berbicara dengannya. Malam itu, Clara tidur dengan perasaan yang lebih tenang, berharap bahwa mungkin ada harapan untuknya di hari-hari mendatang.
---
Hari-hari berlalu, dan Clara tetap menjadi target ejekan di sekolah. Meskipun dia sudah mencoba berbagai cara untuk menghindari konflik, tampaknya para perundung tidak pernah kehabisan cara untuk membuat hidupnya sengsara. Setiap pagi, Clara berjalan dengan hati-hati, berharap bisa menghindari Rina dan gengnya.
Suatu hari, saat Clara sedang membuka loker untuk mengambil buku pelajaran, ia menemukan secarik kertas yang diselipkan di dalamnya. Dengan hati-hati, Clara membuka kertas tersebut dan membaca pesan yang tertulis di sana:
“Clara, kamu tidak pantas ada di sini. Pergilah dari sekolah ini sebelum kami membuat hidupmu semakin buruk.”
Clara merasakan dadanya sesak. Dia tidak tahu siapa yang menulis pesan tersebut, tetapi ia menduga kuat bahwa Rina dan teman-temannya yang melakukannya. Dengan tangan gemetar, Clara meremas kertas itu dan membuangnya ke tempat sampah. Ia merasa sangat lelah dengan semua ini, tetapi ia tidak ingin menyerah.
Hari itu, di kelas Matematika, Rina dan teman-temannya kembali mengganggu Clara. Ketika guru sedang menulis di papan tulis, Rina melemparkan selembar kertas ke arah Clara. Clara membuka kertas itu dengan enggan dan menemukan gambar karikatur dirinya yang dibuat dengan sangat menghina. Rina dan teman-temannya tertawa pelan, memastikan bahwa guru tidak mendengar mereka.
Clara merasakan air mata mulai menggenang di matanya. Ia menundukkan kepala dan berusaha untuk tetap fokus pada pelajaran, tetapi ejekan-ejekan itu terus menggema di telinganya. Tidak ada seorang pun di kelas yang berani membelanya. Mereka semua takut menjadi target berikutnya jika mencoba melawan Rina dan gengnya.
Saat jam istirahat tiba, Clara memutuskan untuk pergi ke perpustakaan, tempat di mana ia merasa sedikit lebih aman. Ia mengambil sebuah buku dan duduk di sudut ruangan, mencoba melarikan diri dari kenyataan. Namun, ketenangan Clara tidak bertahan lama. Rina dan teman-temannya datang ke perpustakaan dan melihat Clara duduk sendirian.
“Oh, lihat siapa yang bersembunyi di sini,” kata Rina dengan nada mengejek.
“Kamu pikir bisa menghindar dari kami dengan bersembunyi di perpustakaan?”
Clara merasa sangat terpojok. Ia berusaha untuk tetap tenang dan tidak menanggapi mereka. Namun, Rina tidak berhenti. Ia meraih buku yang sedang dibaca Clara dan melemparkannya ke lantai.
“Ayo, Clara, tunjukkan kalau kamu tidak takut pada kami,” kata Rina sambil menatap Clara dengan tajam.
Clara tidak bisa menahan lagi. Ia bangkit dari tempat duduknya dan mencoba untuk mengambil bukunya yang jatuh, tetapi Rina menendang buku itu menjauh. Teman-teman Rina tertawa terbahak-bahak.
Pada saat itulah, Arman masuk ke perpustakaan dan melihat apa yang terjadi. Ia segera berjalan mendekat dan berdiri di antara Clara dan Rina.
“Cukup, Rina. Sudah cukup,” kata Arman dengan tegas.
“Mengapa kamu terus mengganggu Clara? Apa yang telah dia lakukan padamu?”
Rina terkejut melihat Arman berani melawannya.
"Oh, jadi sekarang kamu membela Clara? Apa kamu jatuh cinta padanya atau apa?”
“Apa urusanmu?” balas Arman. “Clara tidak pantas diperlakukan seperti ini. Jika kamu punya masalah dengannya, selesaikan dengan cara yang baik. Tidak perlu menghina dan merundung.”
Rina mendengus kesal. “Baiklah, kalau itu yang kamu inginkan. Tapi ingat, Arman, kamu baru saja membuat kesalahan besar.”
Rina dan teman-temannya pergi dengan wajah marah, meninggalkan Arman dan Clara sendirian di perpustakaan. Clara merasa lega tetapi juga cemas tentang apa yang mungkin terjadi selanjutnya.
“Terima kasih, Arman,” kata Clara dengan suara pelan. “Aku tidak tahu apa yang akan terjadi jika kamu tidak datang.”
“Tidak apa-apa, Clara. Aku hanya tidak bisa diam saja melihat mereka terus mengganggu kamu,” jawab Arman. “Kamu tidak sendirian, Clara. Aku di sini untukmu.”
Clara merasa sedikit lebih tenang setelah mendengar kata-kata Arman. Meskipun ia tahu bahwa masalahnya belum selesai, setidaknya sekarang ia tahu bahwa ada seseorang yang peduli padanya dan siap untuk membantunya menghadapi para perundung.
Bersambung
Hari-hari berlalu, dan meskipun Clara tahu Arman ada di sana untuk membantunya, rasa cemas dan takutnya terhadap Rina dan gengnya tidak sepenuhnya hilang. Setiap kali Clara melihat Rina di lorong sekolah, dia merasa jantungnya berdegup kencang. Arman sering kali berusaha untuk menemani Clara ke kelas, tetapi ada saat-saat di mana dia tidak bisa selalu berada di sana.
Suatu pagi, Clara terbangun dengan perasaan aneh. Dia merasa bahwa hari itu akan menjadi hari yang berat. Setelah bersiap-siap, dia berangkat ke sekolah dengan perasaan was-was. Ketika sampai di sekolah, Clara berjalan menuju lokernya dengan hati-hati. Namun, ketika membuka loker, dia menemukan sesuatu yang mengerikan.
Di dalam loker Clara, ada seekor tikus mati dengan darah yang menetes. Clara merasa mual dan hampir menangis. Dia segera menutup loker dan berlari ke kamar mandi untuk menenangkan diri. Rasa takut dan jijik bercampur menjadi satu, membuatnya merasa sangat tertekan.
Saat dia berada di kamar mandi, ponselnya bergetar. Clara membuka pesan dari Arman. “Clara, kamu di mana? Aku sudah di depan kelas.”
Clara dengan tangan gemetar membalas pesan tersebut. “Aku di kamar mandi. Ada sesuatu yang mengerikan di lokerku.”
Tidak lama kemudian, Arman muncul di depan pintu kamar mandi. “Clara, kamu tidak apa-apa?” tanyanya dengan wajah khawatir.
Clara menggeleng, mencoba menahan air mata. “Ada tikus mati di lokerku, Arman. Aku tidak tahu siapa yang melakukan ini, tapi aku yakin itu ulah Rina dan gengnya.”
Arman merasakan kemarahan membara di dadanya. “Ini sudah keterlaluan. Kita harus melaporkan ini kepada pihak sekolah, Clara. Mereka tidak bisa terus menerus mengganggu kamu seperti ini.”
Clara merasa ragu. “Tapi, Arman, aku takut jika kita melaporkannya, mereka akan semakin marah dan melakukan hal yang lebih buruk.”
“Tetapi kamu tidak bisa terus hidup dalam ketakutan, Clara. Kita harus mengambil tindakan,” desak Arman.
Dengan perasaan ragu-ragu, Clara akhirnya setuju. Mereka pergi ke ruang guru dan melaporkan kejadian tersebut kepada Pak Budi, salah satu guru yang dikenal tegas namun adil. Pak Budi mendengarkan dengan seksama dan terlihat sangat marah setelah mendengar cerita Clara.
“Ini sudah tidak bisa ditoleransi lagi,” kata Pak Budi dengan tegas. “Saya akan segera memanggil Rina dan teman-temannya ke ruang kepala sekolah.”
Beberapa saat kemudian, Rina dan gengnya dipanggil ke ruang kepala sekolah. Clara dan Arman juga diminta untuk datang. Ketika mereka semua berkumpul, kepala sekolah, Bu Anita, menatap mereka dengan serius.
“Rina, saya mendengar laporan bahwa kamu dan teman-temanmu telah melakukan tindakan yang sangat tidak pantas terhadap Clara,” kata Bu Anita dengan suara tegas. “Apa benar kalian melakukan hal itu?”
Rina mencoba tampak tidak bersalah. “Bu, kami tidak melakukan apa-apa. Itu pasti hanya salah paham.”
“Jangan berbohong, Rina,” kata Arman dengan suara keras. “Kami tahu bahwa kamu yang menaruh tikus mati di loker Clara.”
“Arman, tenang,” kata Bu Anita. “Kami akan mencari tahu kebenarannya. Rina, kami akan menyelidiki ini lebih lanjut. Jika benar kamu dan teman-temanmu yang melakukannya, maka akan ada konsekuensi serius.”
Setelah pertemuan itu, Clara merasa sedikit lega. Namun, dia tahu bahwa masalahnya belum sepenuhnya selesai. Dia masih harus menghadapi hari-hari yang sulit di sekolah. Meski begitu, dia merasa lebih kuat karena Arman selalu ada di sisinya.
---
Hari-hari berlalu dengan lambat. Rina dan gengnya tampak sedikit lebih tenang setelah peringatan dari Bu Anita. Namun, mereka masih menunjukkan sikap permusuhan terhadap Clara. Mereka sering kali menatapnya dengan tajam atau berbisik-bisik di belakangnya.
Suatu hari, saat Clara sedang duduk sendirian di kantin, Arman datang dengan membawa dua gelas jus. “Ini untukmu,” katanya sambil menyerahkan satu gelas kepada Clara.
“Terima kasih, Arman,” kata Clara sambil tersenyum. “Kamu selalu tahu bagaimana membuatku merasa lebih baik.”
“Aku hanya ingin kamu tahu bahwa kamu tidak sendirian,” jawab Arman. “Kita akan melewati ini bersama-sama.”
Ketika mereka sedang berbicara, tiba-tiba seorang siswa laki-laki yang tidak dikenal mendekati meja mereka. “Hai, Clara. Aku dengar kamu sering diganggu. Apakah kamu baik-baik saja?”
Clara sedikit terkejut. “Oh, hai. Aku baik-baik saja. Terima kasih sudah bertanya.”
“Aku Rendy, teman sekelas Arman. Jika kamu butuh bantuan, jangan ragu untuk meminta bantuan,” kata Rendy dengan senyum ramah.
“Terima kasih, Rendy,” jawab Clara. “Aku akan ingat itu.”
Setelah Rendy pergi, Arman menatap Clara dengan serius. “Clara, kamu lihat? Banyak orang yang peduli padamu. Kamu tidak perlu merasa sendirian.”
Clara merasa hatinya hangat. Meskipun masih ada banyak rintangan yang harus dihadapi, dia tahu bahwa ada orang-orang yang peduli dan siap membantunya. Itu memberinya kekuatan untuk terus bertahan.
---
Malam itu, Clara duduk di kamarnya dan memikirkan semua yang telah terjadi. Dia merasa lelah dengan semua perundungan yang terus-menerus dialaminya. Namun, dia juga merasa bahwa dia telah menemukan teman-teman yang bisa diandalkan. Arman, dan sekarang Rendy, membuatnya merasa bahwa dia tidak sendirian.
Clara memutuskan untuk menulis di buku hariannya, sesuatu yang jarang dia lakukan akhir-akhir ini. Dia menuliskan perasaannya, harapannya, dan rasa terima kasihnya kepada Arman dan Rendy. Menulis membuatnya merasa sedikit lebih lega.
Tiba-tiba, ponselnya bergetar. Ada pesan dari Arman. “Clara, besok ada acara sekolah. Apakah kamu ingin pergi bersama?”
Clara tersenyum dan membalas, “Tentu, Arman. Terima kasih telah mengajakku.”
Keesokan harinya, Clara dan Arman pergi ke acara sekolah bersama. Mereka menikmati waktu mereka, tertawa dan berbicara tentang banyak hal. Clara merasa bahwa hidupnya mulai berubah menjadi lebih baik. Meskipun masih ada tantangan yang harus dihadapi, dia tahu bahwa dia tidak perlu menghadapinya sendirian.
Saat acara berakhir, Clara merasa sangat berterima kasih kepada Arman. “Terima kasih, Arman. Hari ini sangat menyenangkan.”
“Aku juga senang, Clara. Kamu layak mendapatkan kebahagiaan,” jawab Arman sambil tersenyum.
Clara merasa bahwa masa depannya mulai terlihat lebih cerah. Dengan dukungan teman-temannya, dia yakin bahwa dia bisa melewati segala rintangan yang ada. Dia berjanji pada dirinya sendiri untuk tetap kuat dan tidak menyerah, apapun yang terjadi.
---
Bersambung
Tetap setia ya guys untuk baca novel ini, dan mohon dukungannya
Hari-hari berlalu, dan meskipun Clara merasa sedikit lebih tenang dengan adanya Arman dan Rendy, rasa takutnya terhadap Rina dan gengnya masih menghantuinya. Di sekolah, Rina tampak tenang, tetapi Clara tahu bahwa ketenangan itu hanya sementara. Clara selalu merasa bahwa Rina sedang merencanakan sesuatu yang lebih besar.
Suatu pagi, ketika Clara tiba di sekolah, suasana terasa aneh. Bisikan dan tatapan aneh dari teman-temannya membuatnya merasa tidak nyaman. Saat dia berjalan ke arah lokernya, Arman tiba-tiba muncul di sampingnya dengan wajah cemas.
"Clara, aku mendengar sesuatu yang buruk," kata Arman dengan suara pelan.
"Apa maksudmu, Arman?" tanya Clara dengan rasa khawatir.
"Aku mendengar Rina dan gengnya merencanakan sesuatu untuk hari ini. Mereka berencana membuatmu malu di depan seluruh sekolah," jawab Arman.
Clara merasakan jantungnya berdetak kencang. "Apa yang harus kita lakukan?"
"Kita harus tetap waspada dan tidak terjebak dalam jebakan mereka," kata Arman dengan tegas. "Aku dan Rendy akan membantumu. Kita akan melalui ini bersama."
Ketika mereka sampai di kelas, Clara merasa ketegangan semakin meningkat. Rina dan gengnya terlihat berbisik-bisik di pojok kelas sambil menatap Clara dengan tatapan sinis. Clara mencoba fokus pada pelajaran, tetapi pikirannya terus dipenuhi dengan rasa cemas.
Saat istirahat tiba, Arman dan Rendy mengajak Clara untuk duduk di tempat yang lebih sepi di kantin. Mereka berharap bisa menghindari Rina dan gengnya. Namun, tiba-tiba, seorang siswa yang tidak dikenal mendekati mereka.
"Clara, kamu harus pergi ke aula sekarang. Ada sesuatu yang penting untukmu di sana," kata siswa tersebut dengan nada serius.
Clara merasa ragu, tetapi Arman dan Rendy saling berpandangan dengan cemas. "Kita harus pergi bersamanya, Clara. Aku tidak suka ini, tapi kita harus melihat apa yang mereka rencanakan," kata Rendy.
Dengan perasaan tidak tenang, mereka bertiga pergi ke aula. Ketika mereka tiba di sana, aula sudah penuh dengan siswa-siswa yang tampak menunggu sesuatu. Di depan aula, ada panggung kecil dengan mikrofon.
Tiba-tiba, Rina naik ke panggung dan mengambil mikrofon. "Hai, semuanya! Kami punya sesuatu yang spesial untuk kalian hari ini," serunya dengan senyum lebar. "Clara, bisakah kamu maju ke depan?"
Clara merasakan seluruh mata di aula tertuju padanya. Dengan langkah gemetar, dia maju ke depan, diikuti oleh Arman dan Rendy. Rina menatapnya dengan tatapan penuh kemenangan.
"Clara, kami tahu kamu suka menulis," kata Rina sambil melambai-lambaikan sebuah buku. "Jadi, kami pikir akan menyenangkan jika kami berbagi karya terbarumu dengan seluruh sekolah."
Clara terkejut. Itu adalah buku hariannya yang hilang beberapa hari yang lalu. Dia tidak tahu bagaimana Rina bisa mendapatkannya. Rina membuka buku itu dan mulai membacakan beberapa bagian yang paling pribadi dengan suara keras.
Siswa-siswa di aula mulai tertawa dan berbisik-bisik. Clara merasakan pipinya memerah dan air mata mulai menggenang di matanya. Namun, sebelum Rina bisa melanjutkan, Arman meraih mikrofon dari tangan Rina.
"Cukup, Rina!" teriak Arman. "Ini sudah keterlaluan. Kamu tidak punya hak untuk membacakan buku harian Clara di depan semua orang!"
Rina tertawa sinis. "Oh, Arman. Kamu selalu menjadi pahlawan bagi Clara. Tapi apa yang kamu lakukan tidak akan mengubah fakta bahwa dia adalah bahan tertawaan."
Rendy maju dan berdiri di samping Arman. "Rina, kamu pikir dengan melakukan ini, kamu akan terlihat lebih baik? Kamu hanya menunjukkan betapa rendahnya dirimu."
Suasana di aula semakin tegang. Beberapa siswa mulai merasa tidak nyaman dengan apa yang terjadi. Pak Budi, yang mendengar keributan, masuk ke aula dan melihat situasi yang sedang berlangsung.
"Apa yang terjadi di sini?" tanya Pak Budi dengan suara tegas.
Arman segera menjelaskan situasinya. Pak Budi menatap Rina dengan tatapan tajam. "Rina, ini sudah cukup. Kamu dan teman-temanmu akan mendapatkan konsekuensi yang serius atas tindakan kalian."
Rina mencoba membela diri, tetapi Pak Budi tidak mau mendengarnya. "Semua siswa, kembali ke kelas masing-masing. Pertunjukan ini sudah berakhir," kata Pak Budi.
Setelah semua orang pergi, Pak Budi membawa Clara, Arman, Rendy, Rina, dan teman-teman Rina ke ruang kepala sekolah. Di sana, Bu Anita menunggu dengan wajah serius.
"Rina, apa yang kamu lakukan tidak dapat diterima," kata Bu Anita. "Kamu dan teman-temanmu akan mendapat skorsing selama satu minggu. Dan jika ini terjadi lagi, kamu akan dikeluarkan dari sekolah."
Rina terlihat marah dan kecewa, tetapi dia tidak bisa membantah. Setelah pertemuan selesai, Clara, Arman, dan Rendy keluar dari ruang kepala sekolah dengan perasaan lega.
"Terima kasih, Arman, Rendy. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi jika kalian tidak ada," kata Clara dengan suara pelan.
"Kami akan selalu ada untukmu, Clara," kata Arman sambil tersenyum. "Kita adalah teman, dan teman selalu saling mendukung."
Meskipun kejadian itu sangat melelahkan, Clara merasa bahwa akhirnya ada keadilan. Rina dan gengnya akhirnya mendapatkan konsekuensi atas tindakan mereka. Clara merasa bahwa dia bisa mulai menjalani hari-harinya dengan sedikit lebih tenang.
---
Beberapa minggu berlalu, dan suasana di sekolah mulai membaik. Clara merasa lebih percaya diri dan mulai terlibat dalam kegiatan sekolah. Dia bergabung dengan klub sastra dan mulai menulis cerita pendek yang selalu ingin dia tulis.
Suatu hari, Arman dan Rendy mengajak Clara untuk pergi ke sebuah kafe di dekat sekolah setelah jam pelajaran. Mereka duduk di sana, menikmati kopi dan berbicara tentang banyak hal. Clara merasa sangat berterima kasih memiliki teman seperti mereka.
"Clara, bagaimana dengan cerita pendekmu? Sudah selesai?" tanya Rendy dengan antusias.
"Ya, aku sudah hampir selesai. Aku sangat bersemangat untuk menunjukkan kepada kalian," jawab Clara sambil tersenyum.
"Kami tidak sabar untuk membacanya," kata Arman. "Kamu memiliki bakat besar, Clara. Jangan biarkan siapa pun membuatmu merasa sebaliknya."
Clara merasa hatinya hangat. Dia tahu bahwa perjalanan masih panjang dan mungkin akan ada rintangan lain di depan, tetapi dengan teman-temannya di sisinya, dia merasa bisa menghadapi apapun.
Malam itu, Clara menulis di buku hariannya. Dia menuliskan perasaannya yang campur aduk - rasa syukur, harapan, dan kebahagiaan. Dia tahu bahwa hidupnya tidak akan pernah sama lagi, tetapi dia siap untuk menghadapi apapun yang datang dengan kepala tegak dan hati yang kuat.
Clara menutup buku hariannya dan memandang keluar jendela. Bintang-bintang bersinar terang di langit malam, memberikan harapan dan inspirasi. Clara tersenyum, merasa bahwa dia telah menemukan kekuatan di dalam dirinya yang tidak pernah dia sadari sebelumnya.
Dan dengan itu, Clara tahu bahwa apapun yang terjadi di masa depan, dia akan selalu bisa menghadapinya dengan keberanian dan dukungan dari teman-temannya.
---
Bersambung
Stay terus ya teman teman
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!