NovelToon NovelToon

The Sniper

First Impression (One)

            “Hey, lihatlah sasaran kita dengan benar. Jika kau gagal malam ini, kita tidak akan bisa berpesta dengan wanita cantik.”

            “Ii iya kapten.”

            Pria muda itu kembali mengintai buruannya dengan serius, sambil sesekali menggeser letak topinya yang miring. Mengincar seseorang di tengah padang gersang yang kering, sungguh itu sebuah tantangan yang luar biasa. Apalagi mereka harus menyatu dengan alam menggunakan berbagai macam atribut penyamaran yang terasa sangat tidak nyaman di tubuh mereka. Namun hal itu tidak membuat goyah para sniper handal dari berbagai dunia yang saat ini sedang ditugaskan di perbatasan Iran, untuk membantu kaum sekutu membasmi musuh-musuh mereka.

            “Kau, minggir! Aku yang akan mengeksekusi target kita, kau benar-benar lambat.”

            Aiden membuang puntung rokoknya kasar, dan segera menendang jauh anak buahnya yang tidak bisa bekerja dengan benar. Padahal ia telah menunggu Ryuki untuk menyelesaikan tugasnya sejak satu jam yang lalu sambil menghabiskan tiga batang rokok yang ia dapatkan dari tenda miliknya di sisi timur tempatnya mengintai.

            “Tapi kapten, saya...”

Dor

            “Belum sempat Ryuki menyerukan suaranya pada Aiden, pria itu telah terlebihdahulu menarik pelatuk pistol laras panjangnya, disusul dengan suara debum nyaring dan suara teriakan heboh dari orang-orang yang baru saja melihat salah satu rekannya tewas di depan mereka.

            “Huh, kau benar-benar payah. Kembalilah ke Jepang malam ini juga, aku tidak butuh pecundang sepertimu.” Ucap Aiden sinis sambil mengelus pistol laras panjang kesayangannya yang telah menemani sepuluh tahun kehidupannya sebagai seorang sniper kebanggaan Korea.

            “Kapten, tolong jangan pulangkan aku ke Jepang. Aku akan berusaha sekali lagi.” Mohon Ryuki memelas. Ia tidak bisa kembali begitu saja ke tanah kelahirannya dengan cara yang tidak terhormat seperti ini, karena itu sama saja bunuh diri. Setidaknya jika ingin kembali, ia harus menorehkan satu prestasi yang membanggakan untuk negaranya.

            “Cepat, tanpa belas kasihan, dan keji adalah semboyanku. Kau jelas-jelas tidak memiliki ketiga hal itu dalam dirimu, lalu apa yang ingin kau pertahankan di sini? Aku tidak mau bekerja dengan seorang pecundang sepertimu. Sekarang bereskan semua kekacauan itu, dan segera pulanglah ke Jepang.”

            Setelah itu Aiden segera melangkah pergi meninggalkan Ryuki dengan wajah kecewa dan pundak terkulai yang tampak menyedihkan. Pulang dalam keadaan menjadi pecundang itu sangat memalukan. Apalagi di negara yang terkenal dengan loyalitasnya yang tinggi seperti Jepang. Ryuki harus benar-benar bersiap untuk menjadi

gelandangan yang tak terhormat setelah ini karena kegagalannya dalam menyelesaikan misi sore ini.

            Sementara Ryuki sedang membereskan semua atribut mengintainya, Aiden telah terlebihdulu melompat kedalam mobil jeep merahnya untuk pergi ke sebuah perkemahan milik penduduk asli yang kini telah berubah menjadi tempat pemuas nafsu bagi para tentara dan juga sniper seperti Aiden. Kemiskinan dan kelaparan membuat para wanita di perkemahan itu rela menjual tubuh mereka untuk dapat bertahan hidup dari keadaan yang mencekik mereka. Kesempatan itu tentu disambut baik oleh pria-pria bejat sekelas Aiden yang hanya membutuhkan wanita untuk melayani nafsu sesaat mereka, tanpa benar-benar ingin berkomitmen.

            “Hannah, seperti biasa.”

            Aiden berseru pelan pada seorang wanita cantik berambut ikal kecoklatan yang sedang duduk termenung di depan gubuk kayunya. Dengan senyum tipis yang terukir di wajahnya, Hannah segera masuk kedalam gubugnya untuk mempersiapkan segala yang hal yang diinginkan Aiden. Pria itu biasanya selalu suka dengan wanita seksi, dengan gaun malam terbuka dan segelas anggur kelas tinggi yang selalu ia dapatkan dari seorang penyelundup bernama Qudsy.

            “Tuan Aiden telah datang?”

            “Hmm, begitulah. Malam ini kau tidak memiliki tamu?” Tanya Hannah sambil memoles lipstik merah di bibir penuhnya. Rania, sang adik yang sedang mengamati sang kakak dari atas ranjang tempat tidurnya hanya menggeleng pelan. Dari raut wajahnya terlihat jika Rania sedang menyembunyikan sesuatu, namun ia ragu untuk mengatakannya pada sang kakak.

            “Ada apa? Aku melihatmu terus gelisah sejak tadi?”

            “Kenapa kita harus menjadi seperti ini? Bukankah kau tahu jika ayah dan ibu meninggal di tangan seniper-sniper itu? Tapi kenapa kita justru menjadi pemuas nafsu mereka?” Tanya Rania getir. Rasanya ia benar-benar tak terima dengan keadaan yang tidak pernah berpihak padanya itu. Ia benci dengan penguasa negaranya yang sangat lemah, sehingga mereka dapat diinjak-injak oleh orang lain dengan mudah. Bahkan mereka harus menjadi wanita serendah ini hanya untuk setitik udara yang dapat masuk kedalam paru-paru mereka. Kehidupan mereka selama ini sangat tidak aman. Sedikit melakukan kesalahan, maka tentara-tentara itu atau para sniper itu akan mengakhiri hidup mereka saat ini juga. Namun hidup dalam keadaan seperti ini lebih lama juga tidak ada gunanya. Hanya menjadi pemuas nafsu bagi para tentara dan sniper, lalu saat mereka tua, mereka juga akan ditinggalkan dan hanya dijadikan sebagai budak untuk membersihkan kotoran hewan-hewan ternak di negara musuh.

            “Rania, dengarkan aku. Saat ini mungkin kita memang hanya budak seks untuk mereka, tapi nanti kita pasti bisa segera keluar dari tempat ini. Aiden menjanjikan padaku sebuah kebebasan setelah ia berhasil memenangkan pertarungan dengan negara musuh, jadi bersabarlah untuk sementara. Aku juga tidak mau terus hidup seperti ini.” Ucap Hannah sungguh-sungguh sambil *** pundak adiknya pelan. Rania akhirnya hanya dapat mengangguk pasrah sambil membiarkan kakaknya pergi untuk menemui Aiden. Pria itu sejak awal memang sepertinya baik pada mereka. Ia tidak pernah mengecewakan kakaknya, dan terkadang memberikan makanan lezat untuk mereka. Namun ia tetap saja tidak bisa mempercayai Aiden begitu saja, karena ia tidak pernah tahu asal usul Aiden. Bisa saja semua itu hanya permainan Aiden untuk menjebak kakaknya, dan kemudian mencampakan kakaknya dengan seluruh janji-janji palsu yang berhasil ia buat.

Duarr!

Blaaarrr!!

            “Astaga! Suara apa itu?”

            Rania langsung berlari keluar dari gubugnya untuk mencaritahu apa yang baru saja terjadi. Sudah lama perkemahan milik sukunya tidak pernah diusik oleh suara yang sangat menggelegar seperti itu. Meskipun terkadang mereka masih dapat mendengar suara ledakan-ledakan dari balik bukit saat para tentara itu sedang

berperang. Namun kali ini suara ledakan itu sangat dahsyat, dan ia tahu jika sumber dari suara ledakan itu letaknya tak jauh dari tempatnya tinggal.

            “Rania, cepat selamatkan diri!”

            “Hannah, apa yang terjadi?” Tanya Rania bingung. Ia berusaha berlari menjangkau kakaknya yang sedang berdiri di sebelah Aiden. Namun beberapa kali ia sempat terjatuh karena ia menabrak orang-orang di perkemahannya yang sedang berlari kesana kemari dengan panik.

            “Musuh melakukan serangan dan menghentikan waktu gencatan senjata lebih cepat dari perjanjian yang telah disepakati. Kalian cepat selamatkan diri.”

            “Tapi kemana? Aiden, aku dan adikku pasti hanya akan menjadi budak bila tertangkap. Aku tidak mau pergi kemanapun.” Ucap Hannah tegas sambil mencengkeram lengan kekar Aiden yang berada di sampingnya. Aiden yang melihat sikap keras kepala Hannah hanya mampu berdecak kesal sambil melepas kasar cengkeraman Hannah di pundaknya.

            “Kau tidak akan selamat di sini, pergilah! Jika kau tertangkap, aku akan menyelamatkanmu dan adikmu, bagaimanapun caranya.” Janji Aiden terdengar meyakinkan. Namun Hannah seperti tidak percaya dan hanya terus bergeming di tempatnya hingga suara ledakan kembali terdengar di sekitar mereka.

            “Perkemahan kalian akan segera hancur, kau dan adikmu harus pergi ke bukit untuk menyelamatkan diri. Setelah semua ini berakhir, aku akan segera menemui kalian.”

            “Kau janji? Aku tidak mempercayaimu tuan Aiden, karena kau sering mengecewakan kakakku.”

            Tiba-tiba Rania berseru keras sambil menatap Aiden tajam. Masih teringat dengan jelas diingatannya bagaimana selama ini Aiden selalu mempermainkan kakaknya. Meskipun Aiden baik, namun terkadang pria itu juga mempermainkan kakaknya. Membuat kakaknya terus menunggu sepanjang malam hingga pernah kakaknya jatuh sakit, tapi ternyata pria itu justru sedang mabuk-mabukan bersama para penari perut dan beberapa jalang lain yang terlihat menjijikan.

            “Sudahlah Rania, aku tidak apa-apa.”

            “Pria ini harus tahu jika kau mencitainya.”

            “Rania!”

            Hannah membentak adiknya keras sambil menggelengkan kepalanya pada Aiden untuk menyangkal semua kata-kata adiknya. Meskipun sebenarnya ia memang mencintai Aiden, namun ia tidak mau pria itu tahu. Sejak awal mereka sudah sepakat jika hubungan mereka hanya sebatas teman tidur. Sayangnya perasaan laknat itu

benar-benar tidak bisa ia hindari dan justru terus tumbuh dengan subur di hatinya. Apalagi Aiden juga selalu memberikan janji-janji manis yang sangat menggiurkan untuk masa depannya, membuat perasaan itu semakin enggan untuk hilang dari hatinya.

            “Bukankah sejak awal aku telah memperingatkanmu untuk jangan mencintaiku. Kau hanya jalang yang kugunakan untuk bersenang-senang.”

            “Iiya aku tahu.” Jawab Hannah getir. Tak pernah terbayangkan sebelumnya jika Aiden akan mengucapkan kata-kata yang sangat kasar seperti itu di depannya. Terlebih dalam keadaan yang sangat kacau seperti ini. Ia pikir dulu ia mampu mengubah kepribadian kaku Aiden dan membuat pria itu perlahan-lahan berbalik mencintainya. Tapi ternyata, semua itu tidak pernah berhasil. Sikapnya yang lembut sama sekali tidak bekerja untuk Aiden.

            “Sekarang pergilah bersama adikmu, di sini terlalu berbahaya.” Ucap Aiden dingin tanpa

melihat kearah Hannah. Wanita itu lantas mengangguk pelan sambil berbalik pergi dengan perasaan hancur yang teramat sakit. Harapannya mungkin selama ini terlalu tinggi. Ia lupa jika Aiden bukanlah pria berkomitmen seperti pria-pria yang sering ia temui di sukunya.

            “Lihatlah, kau bodoh jika menganggap Aiden selama ini peduli padamu. Aiden hanya menginginkan tubuhmu.” Bentak Rania kesal. Ia dengan sadisnya terus menyalahkan kebodohan kakaknya di saat sang kakak sedang merasakan sakit yang luar biasa di hatinya.

            “Ya, aku memang bodoh.” Jawab Hannah terluka dengan air mata yang sebentar lagi akan menetes dari sudut matanya. Semua yang terjadi rasanya benar-benar tak teduga. Penyerangan ini, perasaanya, dan Aiden. Semuanya tiba-tiba meledak menjadi satu di hadapannya, dan meluluh lantahkan hatinya begitu saja hingga hancur berkeping-keping.

            “Aku... mengkhawatirkan Aiden.”

            Hannah tiba-tiba berhenti berjalan sambil menengok ke arah gubug kecilnya yang telah hancur oleh serbuan bom dari pihak musuh.

            “Hannah, jangan pedulikan pria itu. Dia bisa menjaga dirinya sendiri.” Ucap Rania gusar sambil menarik tangan sang kakak agar segera pergi menuju bukit. Namun tiba-tiba Hannah justru menyentak tangan Rania dari pergelangan tangannya, dan ia justru berlari dengan langkah lebar-lebar menuju kearah perkemahannya yang telah rata dengan tanah. Ia ingin menemani Aiden. Dan ia ingin memastikan jika pria itu baik-baik saja.

            “Hannah! Apa yang kau lakukan, itu terlalu berbahaya.”

            Rania dengan cepat segera menyusul kakaknya sambil menatap ngeri pemandangan perkemahannya yang telah rata dengan tanah. Api, asap, dan sisa puing-puing gubuk mereka terlihat hangus di sana sini dengan beberapa manusia yang ikut menjadi korban dari keganasan musuh mereka. Namun semua pemandangan mengerikan itu terpaksa ia abaikan demi menyeret Hannah agar menjauh dari perkemahan mereka. Saat ini pihak musuh masih melancarkan serangan-serangan bom kearah perkemahan mereka, bila Hannah tetap nekat ingin mencari Aiden diantara puing-puing gubugnya yang telah hancur, bisa-bisa Hannah mati konyol hanya untuk seorang pria yang sama sekali tidak pantas mendapatkan cinta tulus Hannah.

            “Hannah, jangan bodoh! Pikirkan nyawamu sendiri.”

            “Aku tidak peduli. Aku hanya ingin memastikan keadaan Aiden. Pergilah ke bukit, aku

akan menyusul setelah aku yakin jika Aiden baik-baik saja.”

            Rania memutar bola matanya jengah sambil terus mengikuti laju lari Hannah yang sangat cepat. Rasanya memang percuma jika ia ingin menghentikan kakaknya yang sedang dibutakan oleh cintanya untuk Aiden.

            “Hannah awas!”

            Rania berteriak heboh sambil menatap miris sebuah balok kayu yang hampir saja jatuh menimpa kakaknya. Banyaknya bom dan ledakan yang terjadi di sekitar mereka, membuat banyak material berbahaya yang terlempar kesana kemari seperti sebuah debu yang tampak ringan.

            “Hannah, ayolah. Ini sangat berbahaya.” Bujuk Rania setengah memohon. Saat ini ia sudah tidak berlari lagi, melainkan sedang berjalan menyusuri area perkemahannya sambil sesekali bersembunyi diantara reruntuhan bangunan-bangunan yang cukup besar untuk menghindari serangan peluru dari pihak musuh yang sedang melakukan serangan membabibuta.

            “Aku harus menemukan Aiden dan memastikan ia baik-baik saja untuk yang terakhir kalinya. Setelah ini aku janji akan melupakan Aiden, dan tidak lagi mencintai pria itu.”

            “Tapi ini berbahaya. Lihatlah apa yang terjadi di sekitarmu, kita sedang berada di medan perang Hannah.” Ucap Rania gemas. Entah bagaimana caranya menyadarkan Hannah jika posisi mereka saat ini sangat berbahaya. Sedikit saja mereka terlihat oleh pihak musuh, mereka pasti akan segera habis saat ini juga.

            “Kalau begitu diamlah, jangan sampai pihak musuh mengetahui keberadaan kita. Sekarang ayo bergerak.” Ucap Hannah keras kepala dan terus berjalan mengendap-endap diantara puing-puing bangunan yang masih cukup layak untuk melindungi tubuh mereka.

            Dari kejauhan samar-samar Hannah melihat siluet tubuh Aiden yang sedang bersembunyi dibalik reruntuhan bangunan sambil sesekali menembakkan beberapa peluru kearah musuhnya. Melihat itu Hannah rasanya benar-benar bersyukur karena ternyata Tuhan masih melindungi Aiden. Pria itu meskipun kejam, namun pria itu yang telah membuatnya jatuh cinta pada pandangan pertama. Ia bersumpah selamanya hanya akan ada Aiden di hatinya. Ia tidak akan pernah memberikan posisi pria itu pada pria lain di hatinya meskipun pada akhirnya ia akan hidup bersama seorang pria yang benar-benar mencintainya.

            “Ayo kita pergi, aku sudah puas melihat Aiden untuk yang terakhir kalinya.”

           Dengan senyum lega, Rania segera menggandeng tangan sang kakak untuk berbalik meninggalkan perkemahan mereka yang kacau balau. Namun baru beberapa langkah mereka berjalan, tiba-tiba Rania merasakan genggaman tangan Hannah mengendur, disusul dengan suara debum yang tersamarkan oleh suara bom yang saling bersahut-sahutan.

            “Hannah!”

            Rania berterika histeris saat ia melihat kakaknya telah jatuh dan bersimah darah di sebelah kakinya. Ia pun segera mengguncang tubuh Hannah dengan pilu sambil meminta pertolongan pada siapapun, yang sekiranya peduli pada mereka. Sayangnya tidak ada siapapun yang peduli pada mereka, pada nyawa kakaknya yang telah berada di ujung tenggorokan.

            “Hannah...”

            “Ra...rania, mma maafkan aku.”

            “Hannah, jangan pergi. Kenapa kau tidak mendengarkanku? Karena pria bodoh itu, sekarang kau justru sekarat! Seharusnya kau tidak perlu menghampirinya seperti ini.” Isak Rania pilu dibalik reruntuhan sebuah tembok yang cukup besar. Telapak tangannya terus menggenggam telapak tangan Hannah yang perlahan-lahan mulai terasa dingin. Ia tahu sebentar lagi Hannah pasti akan pergi meninggalkannya. Tapi ia masih tidak terima jika Hannah harus pergi dengan cara seperti ini.

            “Tti tidak apa-apa... Akk akku mencintainya. Aaaidenn...”

            Tiba-tiba Rania melihat Hannah menyunggingkan seulas senyum tipis  pada seseorang yang sedang berdiri di belakangnya. Dan saat ia berbalik, betapa terkejutnya Rania saat ia melihat Aiden justru sedang menodongkan pistol laras panjangnya kearah tubuh sekarat Hannah.

            “Apa yang akan kau lakukan pada Hannah? Dia sekarat! Cepat bawa Hannah ke tempat yang aman sebelum ia...”

Dor!

            Ranita tercekat kaget sambil menatap kaku pada kejadian tak teduga yang baru saja terjadi. Aiden... membunuh kakaknya tepat di depan matanya. Pria itu telah melenyapkan nyawa seorang wanita polos yang selama ini telah mencintainya dengan tulus.

            “Aapp apa yang kau lakukan pada kakaku? Apa yang kau lakukan brengsek!”

            Rania berteriak histeris sambil mendorong dada Aiden menjauh. Namun pria itu hanya bergeming di tempatnya sambil melepaskan masker yang menutup sebagian wajahnya untuk menghalau debu yang berterbangan disekitarnya.

            “Tidak ada harapan untuknya hidup. Lebih baik kau segera pergi, atau kau akan bernasib

sama dengan kakakmu.”

            Setelah itu Aiden segera berjalan pergi meninggalkan Rania dengan segala kebencian yang membumbung tinggi di kepalanya.

            “Sialan kau Aiden! Kau, suatu saat aku pasti akan membalas kematian kakaku.” Teriak Rania sekuat tenaga. Sayangnya Aiden tidak akan mungkin mendengarkan suara teriakannya karena semua sumpah serapahnya telah hilang, teredam oleh suara desing peluru yang saling bersahut-sahutan di udara.

First Impression (Two)

“Hey, kembalikan padaku. Dasar menyebalkan! Emily! Kembalikan paperku.”

            Emiliy tertawa terbahak-bahak, berlari di sepanjang lorong universitas Oxford yang panjang. Hari ini adalah hari terakhir di bulan Juni, itu berarti ini adalah hari terakhir untuk mengumpulkan tugas paper sebelum liburan musim panas resmi dimulai besok pagi. Sialnya Emily justru bermain-main dengannya, dan membawa lari tugas papernya yang seharusnya sudah dikumpulkan sejak lima belas menit yang lalu.

            “Emily please, tuan Joseph akan mengurangi waktu liburan musim panasku jika aku terlambat mengumpulkan papernya.” Teriak Calistha memelas. Tatapan aneh dari berbagai mahasiswa yang sedang berlalu lalang disekitarnya ia abaikan begitu saja. Saat ini fokus matanya hanya tertuju pada Emily yang sedang sibuk menertawakannya di ujung lorong.

            “Aku hanya ingin membuatmu berolahraga Cals. Kemarilah, ini kukembalikan papermu.”

            Calistha mendengus gusar di tempatnya sambil berjalan cepat kearah Emily. Dadanya seperti sedang diterpa gempa bumi berskala tinggi karena gemuruhnya yang menggila. Emily sialan itu benar-benar menyebalkan.

            “Terimakasih.”

            Emily sengaja menggoda Calistha saat gadis itu hanya merampas papernya tanpa mengucapkan sepatah katapun. Namun tentu saja hal itu wajar dilakukan oleh Calistha. Manusia mana yang akan berterimakasih untuk papernya yang baru saja dibawa kabur oleh seseorang yang sangat jahil?

            “Semoga saja tuan Joseph masih menerima paperku.” desah Calistha frustrasi. Semalam ia telah bekerja keras untuk menyelesaikan papernya agar siang ini ia tidak terlambat mengumpulkannya di meja tuan Joseph. Namun pengganggu itu justru mempersulit semuanya, dan membuat seluruh rencananya kacau.

            “Tuan Joseph tidak mungkin akan menolakmu, bukankah ia sangat menyukaimu.” Ucap Emily ringan sambil merangkul pundak Calistha. Mereka berdua tampak berjalan beriringan menuju ruangan tuan Joseph yang berada di lantai satu sambil bersenandung ringan. Sebenarnya hanya Emily yang bersenandung, sedangkan Calistha, ia masih dilingkupi oleh awan mendung karena ulah Emily beberapa saat yang

lalu.

            “Entahlah, aku tidak yakin. Apa kau pikir nama besar ayahku akan berpengaruh padanya?”

            “Tentu saja. Bahkan sebenarnya kau tidak perlu bersusah payah untuk mengerjakan paper itu karena kau adalah putri dari Jacob Im, seorang pengusaha super kaya dari Korea Selatan, dengan berbagai macam aset, dan bla bla bla...” Ucap Emily keras hingga beberapa mahasiswa sedikit menoleh kearahnya. Namun Calistha memilih

untuk mengabaikannya dan tetap berjalan menuju ruangan tuan Joseph di lantai satu. Gadis di sebelahnya ini memang cukup ajaib. Bahkan ia tak pernah menyangka jika ia akan memiliki seorang sahabat seperti Emily. Tapi setidaknya gadis itu memiliki hati yang baik, disamping sikapnya yang menyebalkan dan juga ajaib. Gadis itu tidak mendekati Calistha hanya karena Calistha adalah putri dari Jacob Im. Gadis itu berteman dengan Calistha karena mereka berdua memang cocok sebagai sahabat. Kepribadian Calistha yang sedikit tertutup dan juga pendiam sangat cocok dengan kepribadian Emily yang sangat blak-blakan dan juga berisik. Namun meskipun mereka telah bersahabat selama lebih dari tiga tahun, Calistha tetap tidak bisa membuka seluruh kehidupannya pada Emily. Hingga sejauh ini Emily hanya mengetahui setitik kecil dari seluruh kehidupannya yang luar biasa. Tapi bagi Calistha hal itu sudah jauh lebih dari cukup, karena ia tidak pernah mau menyeret sahabat baiknya kedalam kehidupannya yang sangat rumit.

            “Cals, apa kau ingin bergabung bersamaku dan adikku untuk berlibur ke pedesaan Skotlandia? Rencananya kami akan menghabiskan dua minggu liburan musim panas kami di rumah kakek dan nenek sambil membantu mereka memanen anggur. Apa kau ingat dengan ceritaku mengenai kakek dan nenekku yang memiliki perkebunan anggur seluas satu hektar?”

            “Ya, aku ingat.” Jawab Calistha pendek. Tentu saja ia akan selalu mengingat hal itu

karena setiap hari Emily tidak pernah berhenti menceritakan kesuksesan kakek dan neneknya yang berhasil merintis usaha perkebunan anggur dan juga wine terbaik di Skotlandia. Sayangnya kali ini ia harus menolak ajakan Emily lagi karena ayahnya jelas tidak akan mengijinkannya untuk pergi kemanapun selama liburan musim panas.

            “Jadi? Apa kau ingin bergabung bersama kami?”

            “Maafkan aku Emily, aku...”

            “Yayaya... aku tahu. Kau pasti akan menolakku lagi. Aku sudah hafal dengan jawabanmu Cals. Kau sudah menolakku sebanyak tiga kali, ini yang ke empat.” Ucap Emily cemberut. Calistha tampak merasa bersalah pada Emily sambil mengatupkan kedua telapak tangannya di depan dada, meminta maaf. Ia memang tidak akan pernah bisa pergi kemanapun selama liburan musim panas karena ayahnya terlalu khawatir dengan keadaanya yang jauh dari jangkauan yang sang ayah.

            “Maafkan aku Emily, ayahku tidak memperbolehkanku untuk pergi terlalu jauh. Dan musim panas ini mungkin aku akan pulang ke Seoul, atau entahlah, aku tidak tahu. Sejujurnya aku juga bosan dengan kehidupanku Emily.”

            Emiliy menepuk bahu Calistha pelan sambil menunjukan wajah prihatin pada teman baiknya itu. Menjadi putri dari seorang pria kaya raya terkadang memang tidak selalu menyenangkan, karena Calistha adalah salah satu contoh nyata yang justru merasa tidak bahagia dengan kekayaan yang ia miliki. Itu semua terjadi karena ayah

Calistha terlalu protektif dan selalu menempatkan bodyguard dimanapun putrinya berada. Bahkan diantara lalu lalang mahasiswa di kampus Oxford saat ini, tersembunyi berbagai macam bodyguard yang selalu mengawasi Calistha selama dua puluh empat jam penuh. Kebanyakan dari mereka memilih untuk menyamar menjadi penghuni kampus atau mahasiswa agar Calistha tidak risih dengan keberadaan mereka. Tapi tetap saja Calistha tahu jika sebagian besar mahasiswa di kampus Oxford bukanlah mahasiswa yang sesungguhnya.

            “Mungkin lain kali kita dapat menghabiskan liburan musim panas bersama. Nah sekarang cepatlah masuk, tuan Joseph pasti telah menunggumu dengan perasaan berdebar-debar di dalam sana.” Goda Emily jahil sambil mengerlingkan matanya nakal. Namun Calistha memilih untuk mengabaikan candaan Emily dan segera menghilang dibalik pintu kayu coklat bertuliskan “Mr Joseph Ph.D”. Siang ini juga ia harus segera menyelesaikan urusannya dengan dosen muda itu, atau pria itu akan mencari-cari alasan untuk membuatnya mengulang kelasnya tahun depan agar ia dapat bersikap genit di depannya seperti biasa.

-00-

            Calistha menatap datar rumah mewah di depannya sambil melangkah malas-malasan kedalam teras rumahnya. Di Oxford ia merasa sangat kesepian. Padahal dulu kehidupannya jauh lebih menyenangkan saat ia tinggal bersama neneknya di Seoul. Sayangnya neneknya meninggal saat ia berusia akhir lima belas tahun, sehingga ia harus kembali pada ayahnya untuk menjalani kehidupan yang sangat membosankan dan serba monoton seperti ini.

            “Nona, tuan Jacob ingin berbicara dengan anda.”

            “Apa? Ayahku ada di sini?” Tanya Calistha tak percaya di ujung pintu. Sudah lama ayahnya tidak datang ke Oxford untuk mengunjunginya yang sedang kesepian di sini. Sepertinya terakhir kali ayahnya datang adalah saat hari natal tahun lalu. Itupun ayahnya hanya tinggal selama dua hari untuk melakukan makan malam ala kadarnya dan memberikan kado sebuah gelang cantik yang saat ini sedang melingkar indah di pergelangan tangannya.

            “Ya, tuan Jacob baru saja tiba sepuluh menit yang lalu.”

            “Ayah!”

            Tanpa menghiraukan suara pelayannya, Calistha segera berjalan masuk sambil memanggil ayahnya. Ia mungkin memang kekanakan dengan berteriak-teriak seperti itu. Tapi kau akan tahu bagaimana rasanya jika kau menjalani kehidupan seperti Calistha.

            “Ayah di sini. Kenapa kau berteriak-teriak seperti itu.” Ucap sang ayah tenang sambil melipat korannya. Calistha langsung menghambur kedalam pelukan ayahnya begitu ia menemukan sang ayah sedang duduk dengan tenang di ruang tamu rumahnya yang biasanya selalu kosong.

            “Ayah sudah lama tidak datang ke Oxford, kukira ayah sudah lupa padaku.”

            “Maafkan ayah, akhir-akhir ini banyak masalah yang terjadi di perusahaan.”

            “Baiklah ayah, masalah itu aku sangat paham. Lebih baik kita membicarakan hal yang lain

saja, karena aku tidak mau menyia-nyiakan waktu ayah di sini hanya untuk membicarakan masalah perusahaan.”

            Calistha kemudian duduk dengan tenang di samping ayahnya sambil menunggu ayahnya mengatakan sesuatu. Ia merasa ada yang berbeda dari ayahnya siang ini. Seperti ada sesuatu yang ingin disampaikan oleh ayahnya, dan itu sangat penting.

            “Hari ini kau ikut ayah pulang ke Seoul.”

            “Apa ayah serius? Apa di sana sudah aman?” Tanya Calistha sambil mengerutkan alisnya. Ia masih ingat bagaimana mengerikannya Seoul tiga tahun yang lalu, sebelum ia dipindahkan ayahnya ke Oxford. Malam itu sekelompok pria bertopeng membobol rumahnya dan hampir membunuhnya dan juga ayahnya. Untung saja orang-orang kepercayaan ayahnya segera bertindak cepat melindunginya dan juga sang ayah sebelum hal-hal buruk sempat terjadi padanya. Namun tetap saja ia trauma. Terkadang ia tidak bisa tidur jika dalam sehari ayahnya tidak menghubunginya sedikitpun. Meskipun ayahnya sangat-sangat sibuk, dengan segudang pekerjaan yang sangat gila, tapi pria tua itu masih mencoba menyempatkan diri untuk menghubungi putri cantiknya. Setidaknya hanya itulah yang bisa ia lakukan pada putrinya untuk menunjukan jika ia sangat menyayangi putrinya.

            “Untuk saat ini cukup aman. Di sana ayah ingin mengenalkan beberapa relasi ayah dan menunjukan padamu apa saja bisnis ayah selama ini. Bukankah pada akhirnya kau juga akan menjadi pewaris ayah?”

            “Hahh...”

            Calistha tanpa sadar menghembuskan napasnya berat sambil menatap ayahnya sendu. Berbicara mengenai warisan, harta, dan tanggungjawabnya di masa depan selalu membuat Calistha resah. Entah kenapa ia tidak pernah menginginkan semua itu. Rasanya itu terlalu banyak untuk dihabiskan seorang diri. Jika boleh, ia hanya menginginkan sedikit properti milik ayahnya yang berhubungan dengan jurusan perkuliahannya saat ini, komunikasi. Suatu saat ia ingin mengembangkan perusahaan stasiun televisi milik ayahnya dan menjadikan perusahaan itu sebagai satu-satunya bidang usaha yang akan menjadi fokus perhatiannya.

            “Ayah, bisakah aku hanya memiliki perusahaan stasiun televisi milik ayah? Kurasa aku tidak akan pernah bisa menjalankan perusahaan ayah yang lain karena sejak dulu aku hanya tertarik pada bidang komunikasi.”

            “Sebagai putri ayah kau tidak bisa hanya memegang satu perusahaan Calistha, kau harus memimpin banyak perusahaan milik ayah.”

            “Tapi ayah, aku tidak bisa.” Ucap Caalistha frustrasi sambil mengacak rambutnya. Ia benar-benar kesal karena pertemuannya dengan sang ayah yang sangat jarang terjadi justru harus berakhir seperti ini. Seharusnya ia bisa memanfaatkannya dengan baik, dengan mengajak ayahnya pergi menonton ke bioskop, atau pergi ke London Eyes, seperti apa yang teman-temannya lakukan lima tahun yang lalu. Yah, memang itu sangat-sangat terlambat. Tapi sesekali ia ingin merasakan bagaimana rasanya pergi bersenang-senang bersama ayahnya seperti seorang anak normal.

            “Kau pasti bisa karena kau adalah putri ayah. Dulu ayah juga tidak bisa, merasa tidak mampu menjalankan semua masalah yang ditinggalkan oleh kakekmu.”

            Bahkan ayahnya sendiri menganggap semua tanggungjawab itu sebagai masalah. Lalu bagaimana dengan dirinya? Ia menganggapnya sebagai bencana!

            “Baiklah, jadi berapa lama aku akan tinggal di Seoul? Apakah selama libur musim panas?”

            “Ayah sebenarnya berencana untuk membawamu menetap di Seoul untuk selamanya.”

            “Maksud ayah?” Tanya Calistha tak mengerti sambil mencondongkan tubuhnya lebih dekat kearah sang ayah. Kali ini ia benar-benar berharap sang ayah tidak membuatnya harus berhenti berkuliah ditengah-tengah masa studinya yang hampir selesai.

            “Kau tidak akan kembali lagi ke Oxford.”

            “Lalu bagaimana dengan kuliahku?” Tanya Calistha setengah berteriak. Ia sepertinya harus melupakan semua angan-angan manisnya tentang menghabiskan satu hari yang indah bersama ayahnya, karena pada kenyataanya mereka justru berakhir seperti ini.

            “Kau tidak perlu melanjutkannya lagi. Ilmu yang telah kau dapatkan tiga tahun ini sudah lebih dari cukup untuk memegang kendali perusahaan ayah. Ada hal lain yang lebih penting yang harus kau pelajari. Dan itu tidak bisa kau pelajari di sini.”

            “Apa? Apa lagi yang harus kupelajari ayah? Aku ingin hidup normal.” Ucap Calistha setengah berbisik. Rasanya benar-benar sesak dan sakit saat ia tahu jika sebentar lagi kehidupannya akan berubah menjadi lebih mengerikan daripada semua kehidupan yang pernah ia rasakan selama ini.

            “Kau akan segera mengetahuinya setelah kau tiba di Seoul. Dan soal kehidupan normal, maafkan ayah karena kau tidak akan pernah mendapatkannya Calistha.” Ucap sang ayah tegas sebelum akhirnya meninggalkan Calistha sendiri dengan seluruh kesedihan yang berkecamuk di hatinya.

-00-

            “Siapa yang bertanggungjawab atas semua ini?”

            “Saya.”

            “Kau mengecewakanku kapten Aiden Lee, cepatlah berkemas dan segeralah kembali ke Seoul.”

            Aiden menatap datar Jenderal Sadev yang telah melenggang pergi meninggalkannya dengan seluruh harga diri yang terinjak-injak. Bagaimana bisa pria itu menghentikannya dengan tidak terhormat di depan seluruh anak buahnya dan beberapa pasukan elit dari negara lain yang bertugas di perbatasan Iran. Tapi ini memang salahnya.

Penembakan yang ia lakukan kemarin justru memicu serangan bom yang tidak pernah diduga oleh pihaknya, sehingga banyak nyawa yang mati sia-sia karena peristiwa tak terduga kemarin. Ditambah lagi mereka baru saja menghancurkan satu perkampungan milik warga sipil yang tidak pernah ikut campur dalam urusan mereka. Dosanya kali ini mungkin jauh lebih berat dari dosa-dosanya yang lain karena menyebabkan banyak orang yang tak berdosa mati sia-sia dalam insiden penyerangan kemarin malam.

           “Kapten kita akan berada di dalam satu helikopter.”

            Sial! Maki Aiden dalam hati. Kemarin ia yang menyuruh Ryuki untuk pulang ke negaranya. Dan sekarang justru dipulangkan dalam keadaan tidak terhormat oleh Jenderal Sadev, benar-benar memalukan.

            “Minggir! Jangan halangi jalanku Ryuki.” ucap Aiden gusar. Pria bermata sipit itu benar-benar menjengkelkan dan juga mengganggu sejak mereka ditempatkan di divisi yang sama. Sayangnya ia tidak bisa menghindari pria itu karena sejujurnya kemampuan Ryuki dalam menembak juga bagus. Bahkan pria itu dapat dimanfaatkan untuk menyamar di tengah-tengah penduduk sipil karena wajahnya yang terlalu normal. Ryuki memiliki wajah sempurna, dengan lesung pipit manis yang membuat orang-orang tidak akan menyangka jika ia adalah seorang sniper. Berbeda dengannya yang memiliki wajah dingin dan tak bersahabat yang selama ini banyak ditakuti oleh orang-orang. Ditambah lagi luka baret yang melintang disekitar pelipisnya membuatnya tampak seperti seorang berandal yang benar-benar menakuti dan harus segera dijauhi. Tapi wajah tentu saja bukan halangan untuk menjalankan pekerjaanya sebagai seorang sniper, karena selama lima tahun ia menjalankan pelatihan di camp khusus milik tentara rahasia pemerintah Amerika Serikat, ia telah dibekali banyak ilmu untuk menyamar dan menjadi mata-mata. Tentu saja selain menjadi seorang sniper, ia juga harus pintar mendekati korbannya agar ia dapat mengeksekusi korbannya dengan lancar.

            “Selamat jalan bung, semoga kita dapat bertemu lagi lain waktu.”

            Charles, seorang tentara asal Jerman menepuk pundak Aiden pelan saat ia melihat Aiden sedang memasukan beberapa barang-barangnya kedalam tas ransel hitam miliknya di dalam tenda.

            “Hmm, kuharap juga begitu. Tapi bukan dalam suasana peperangan seperti ini, sesekali aku ingin melihatmu bersantai di pinggir pantai.”

            Charles memukul bahu Aiden pelan sambil tergelak konyol dengan candaan Aiden. Memang, menjadi tentara atau ahli tembak seperti mereka tidak akan pernah bisa memiliki angan-angan untuk berlibur. Jangankan berlibur, bahkan untuk bertemu dengan anggota keluargapun sangat sulit. Jadi kebanyakan para tentara ataupun sniper yang ditugaskan di daerah-daerah berkonflik adalah orang-orang sebatang kara, yang memiliki kepribadian rusak tanpa jiwa, karena mereka dituntut untuk menghilangkan rasa kemanusiaan mereka saat bertugas.

            “Semoga kita memang dapat bertemu di momen-momen langka seperti itu. Ngomong-ngomong, apa yang akan terjadi padamu saat kau kembali nanti?”

            “Entahlah. Mungkin menjadi tentara bayaran seperti biasanya, atau pembunuh bayaran untuk menghilangkan nyawa-nyawa busuk yang tak berguna.” Jawab Aiden acuh tak acuh. Pengalamannya sebagai seorang sniper selama sepuluh tahun telah membuatnya cukup berpengalamana di dunia hitam pembunuhan yang selama ini telah membesarkannya.

            “Kudengar dari pembicaraan Jenderal Sadev, kau akan ditarik untuk menjadi pasukan elit pengawal presiden Korea, bagaimana menurutmu?”

            “Terlalu mudah dan kurang menantang menurutku, tapi layak dicoba. Aku belum pernah mengambil pekerjaan yang sangat santai seperti itu. Mungkin dengan begitu aku dapat menjalani kehidupanku seperti manusia normal pada umumnya.”

            “Yah, kehidupan kita memang terlalu tidak normal. Bahkan aku lupa kapan terakhir kali aku menangis. Dan aku juga lupa kapan terakhir kali aku bertemu dengan putraku.”

            Ada nada getir yang tersamarkan dari ucapan Charles, dan Aiden hanya mengedikan bahunya pelan sebagai jawaban karena ia juga tidak bisa berkomentar banyak jika itu menyangkut sebuah keluarga.

            “Kalau begitu aku pergi, semoga beruntung.”

            Aiden menepuk bahu Charles pelan dan segera berjalan pergi meninggalkan tenda kumal miliknya yang telah menjadi tempatnya berteduh sejak delapan bulan terakhir. Tentunya disamping menghabiskan waktunya di gubug sederhana milik Hannah, tenda itu adalah satu-satunya tempat yang paling nyaman untuk mengistirahatkan jiwa dan raganya yang lelah selepas menghabisi ratusan nyawa bersalah, tapi mungkin juga tidak. Entahlah, Aiden tidak pernah pandang bulu dalam menghabisi musuhnya. Salah atau tidak, ia hanya sekedar menjalankan perintah tanpa pernah benar-benar berpikir jika orang itu memang pantas untuk mati.

-00-

            Aiden melirik sinis jajaran pasukan elit pengawal presiden yang sedang berbaris rapi di depannya. Setelah tiba kemarin sore dengan selamat di champ militer Korea Selatan, hari ini Aiden resmi bertugas sebagai kapten pasukan elit pengawal presiden. Namun di hari pertama ia bertugas, ia merasa benar-benar tidak nyaman dengan mereka semua. Ia merasa orang-orang itu jauh lebih buruk daripada Ryuki dan Ken, dua sniper paling buruk menurutnya di champ perbatasan Iran. Tapi ia jelas tidak bisa mengelak dari tugas ini, karena sementara reputasinya sedang buruk akibat insiden penyerangan dua hari yang lalu. Menjadi pemimpin pasukan elit pengawal presiden benar-benar akan menjadi pekerjaan selingan untuk mengembalikan reputasinya yang sempat jatuh di perbatasan Iran.

            “Selamat datang Aiden, senang akhirnya bisa bekerjasama denganmu.”

            Aiden tersenyum sinis menanggapi sapaan ramah dari tuan presiden yang saat ini sedang duduk di depannya.

            “Jadi tugasku adalah melindungi anda?”

            “Ya, secara tertulis, tapi sebenarnya bukan.”

            Aiden melirik sekilas kertas kontrak yang baru saja ia tanda tangani. Ada perasaan curiga yang tiba-tiba terbersit di hatinya, namun sebisa mungkin ia tetap berusaha tenang hingga tuan presiden itu menjelaskan maksud dan tujuannya menempatkannya di sini. Jika ia bukan ditugaskan untuk menjaga pria tua itu, lalu ia harus menjaga siapa?

            “Aku menyewamu dengan harga tinggi bukan semata-mata untuk melindungiku, tapi untuk melindungi Calistha Im. Kau pasti sudah tahu siapa wanita itu.”

           Presiden Moon tiba-tiba melemparkan setumpuk foto-foto seorang wanita dengan berbagai ekspresi di depannya. Sekilas Aiden merasa pernah melihat wanita itu, namun ia lupa dimana tepatnya ia pernah bertemu dengan wanita bernama Calistha Im itu.

            “Ia adalah putri dari Jacob Im, atau Im Seulong, kau mengenalnya?”

            “Ya, dia adalah salah satu mafia yang cukup berpengaruh di dunia. Tiga tahun yang lalu ia dikabarkan sedang menyembunyikan sebuah harta yang sangat berharga di suatu tempat yang sangat tersembunyi di Kuba. Apa kau salah satu pihak yang mencari harta itu tuan presiden?” Tanya Aiden dengan seringaian licik. Sekarang

ia merasa akan menyukai pekerjaan barunya karena ia akan berurusan dengan salah satu mafia yang sangat terkenal di dunia hitam.

            “Tidak, tapi aku hanya penasaran dengan harta curiannya yang menurut rumor adalah sesuatu yang sangat berharga. Menurutmu apa yang benar-benar paling berharga di dunia ini?” Tanya presiden Moon sambil mengernyitkan dahinya bingung. Aiden hanya menatap satu persatu potret wajah Calistha dalam diam sambil menerka-nerka jenis pekerjaannya setelah ini.

            “Tidak ada. Tidak ada yang benar-benar berharga di dunia ini, tuan Moon Hye Sin.” jawab Aiden lambat-lambat. Untuk ukuran pria sebatang kara sepertinya, tidak ada yang benar-benar berharga di dunia ini, bahkan nyawanya sekalipun juga sangat tidak berharga karena ia tidak pernah memiliki siapapun yang akan mempedulikan kehidupannya.

            “Tentu saja ada, meskipun hanya satu.” jawab presiden Moon datar. Pria tua itu seperti

sedang memikirkan sesuatu yang sulit di dalam kepalanya, namun Aiden enggan mencampuri urusan pria tua itu. Biarkan saja semua orang dengan masalahnya, dan ia juga akan tenggelam dengan masalahnya sendiri.

            “Ah, tapi itu tidak penting. Tugasmu sekarang adalah menjaga putri Im Seulong dari orang-orang yang mengincar harta curian ayahnya, sekaligus mencari tahu mengenai harta itu. Bagaimanapun Im Seulong selama ini telah merugikan negara dengan barang-barang ilegalnya yang dijual di pasar gelap. Meskipun di sisi lain ia juga memberikan keuntungan negara dengan menjalankan bisnis properti dan bisnis-bisnis lainnya yang legal.”

            “Tapi tuan Moon, aku heran, mengapa Im Seulong masih menjalankan bisnis ilegal disaat ia telah memiliki banyak bisnis legal?”

            “Semua bisnis legalnya dibangun dari bisnis ilegal yang dulu dimiliki oleh ayahnya. Semuanya terlalu rumit untuk dijelaskan, yang jelas kau harus menjalankan tugasmu dengan sebaik-baiknya karena sekarang kau bekerja padaku.” ucap presiden Moon tegas. Aiden menyeringai kecil kearah presiden Moon sambil meletakan salah satu foto Calistha yang baru saja ia lihat. Ia kemudian berjalan pelan menghampiri presiden Moon, dan berdiri tepat di depan pria itu dengan smirk licik andalannya.

            “Jika anda menyewaku, maka kesepakatannya anda harus memberikan separuh dari

bayaranku di awal. Anda pasti tahu jika pekerjaan ini sangat berisiko, jadi aku ingin anda segera memberikan uangku saat ini juga presiden Moon.”

            “Huh, kau tidak perlu khawatir soal itu. Aku telah menyiapkan bayaranmu di sana.”

            Presiden Moon menunjuk tiga kopor hitam yang telah ia sediakan di atas meja kecil di samping meja kerjanya. Pria itu kemudian mempersilahkan Aiden untuk melihat sendiri isi koper-koper itu dan menyelesaikan kesepakatan mereka secepatnya.

            “Baiklah, saya tidak akan mengecewakan anda tuan Moon, senang berbisnis dengan anda.” Ucap Aiden ringan disertai senyuman licik yang tercetak jelas di wajahnya.

            Untuk ukuran seorang sniper handal sepertinya, Aiden mungkin terlalu meremehkan tugas yang diberikan oleh presiden Moon, karena kenyataanya mungkin semua itu tidak akan mudah. Pekerjaanya kali ini akan sangat berbeda dengan misi-misi rahasia yang selama ini berhasil ia jalankan dengan baik. Dan seharusnya sejak awal Aiden harus berhati-hati pada semua orang yang terlibat padanya, dimulai dari presiden Moon.

-00-

            Calistha

mengaduk-aduk pastanya kesal sambil melirik ayahnya yang sedang melahap menu

makan malamnya dengan tenang. Rasanya ia benar-benar muak dengan semua

pelatihan yang telah dijadwalkan ayahnya sejak kemarin. Bahkan pagi tadi ia

telah resmi menjalani pelatihan menembak dan pelatihan bela diri di sebuah

ruangan khusus di rumahnya yang selama ini tidak pernah ia ketahui. Ia merasa

ayahnya benar-benar terlalu banyak menyembunyikan rahasia besar darinya. Bahkan

hingga detik ini ayahnya tidak pernah memberitahunya alasan dibalik kematian

ibunya.

            “Ayah, sebenarnya berapa banyak rahasia yang ayah sembunyikan dariku?”

            “Tidak sopan berbicara saat makan Calistha.” ucap Im Seulong tanpa mengalihkan tatapan

matanya pada Calistha. Entah kenapa pria itu saat ini sedang tidak ingin membicarakan apapun mengenai rahasia karena ia suatu saat pasti akan memberitahukan semuanya pada Calistha, satu persatu.

            “Aku ingin mengetahuinya ayah. Lalu untuk apa semua pelatihan yang telah kujalani hari ini? Menembak? Beladiri? Untuk apa semua itu? Aku tidak membutuhkannya ayah, aku telah memiliki banyak penjaga yang akan melindungiku selama dua puluh empat jam.” ucap Calistha dengan suara nyaring. Im Seulong tampak mencoba

bersabar dari mejanya sambil tetap memakan supnya dengan tenang. Calistha benar-benar mewarisi sifat keras kepalanya yang sangat menyebalkan. Bahkan ia dulu juga melakukan hal yang sama pada ayahnya saat ia dihadapkan pada berbagai macam hal-hal janggal yang selama ini tidak pernah diketahuinya. Namun Calistha mungkin memang terlalu terlambat untuk mengetahui semuanya karena saat ia seusia Calistha, ia telah menjalankan sebagian besar bisnis milik ayahnya dan telah mahir menggunakan senjata.

            “Suatu saat kau pasti akan memerlukannya. Sekarang habiskan makananmu dan temui ayah di ruang kerja.” tututp Im Seulong tegas sebelum beranjak pergi dari ruang makan. Calistha tampak bersungut-sungut menyaksikan kepergian sang ayah sambil melemparkan garpu emasnya kasar hingga terdengar bunyi dentingan yang cukup nyaring dari piringnya. Namun ia benar-benar tak peduli jika piring keramik mahal itu akan pecah karena sekarang ia sedang merasa kesal pada ayahnya. Ia perlu sesuatu untuk melampiaskannya atau ia perlu pergi menjauhi ayahnya dan tidak pergi ke ruang kerja ayahnya seperti permintaan sang ayah beberapa saat yang lalu.

            “Aku sudah kenyang, kalian boleh membereskannya.”

            Calistha berseru pelan pada pelayan-pelayannya dan segera melangkah pergi menuju taman belakang. Sebelum ia menemui sang ayah di ruang kerjanya, ia perlu mendinginkan kepalanya terlebihdahulu di taman belakang sambil menikmati pemandangan langit Seoul yang indah malam ini. Namun tiba-tiba Calistha menghentikan langkahnya saat ia melihat ada sesuatu yang aneh di sekitar semak-semak yang tumbuh dengan subur di taman belakang rumahnya. Ia kemudian mengamati lalu lalang penjaga rumahnya dan juga beberapa pelayan yang berjalan disekitar taman belakang. Mereka tampaknya tidak merasakan ada sesuatu yang aneh di sana, sehingga Calistha memutuskan untuk melupakannya dan segera melangkah menuju gazebo yang berjarak sepuluh meter dari tempatnya berdiri.

            “Jun, tolong katakan pada ayah jika aku akan pergi ke ruangannya saat aku telah siap. Aku ingin mendinginkan kepalaku dulu di sini.”

Prangg

“Apa itu?”

Calistha langsung menoleh waspada ketika ia mendengar suara pecahan kaca yang cukup nyaring dari ruang utama. Jun dan beberapa penjaga yang sebelumnya sedang berada di taman belakang, langsung berbondong-bondong pergi menuju sumber suara untuk memastikan apa yang sedang terjadi. Namun untuk beberapa saat Calistha masih terpaku di tempat, hingga kemudian ia mendengar suara letusan senjata api yang saling bersahut-sahutan dari dalam rumahnya.

            “Apa yang sedang terjadi?” Tanya Calistha panik pada salah satu pelayan yang juga tampak panik.

            “Aa ada penyusup nona. Mereka menggunakan senjata, dan ada banyak darah di dalam. Nona sebaiknya segera bersembunyi, di dalam sangat tidak aman. Nona saya permisi.”

            Setelah mengatakan apa yang ia tahu, pelayan itu langsung lari terburu-buru menuju pintu belakang untuk melarikan diri. Semua orang pasti akan berpikir untuk menyelamatkan diri saat keadaan mengerikan seperti ini terjadi. Namun Calistha, ia justru hanya mematung di tempat sambil melihat satu persatu pelayan milik ayahnya mati mengenaskan di dalam rumahnya. Ia kemudian segera tersadar saat sekelompok pria bertopeng mulai melihat kearahnya dan mulai mengincarnya untuk dibunuh.

            “Itu putri Im Seulong, tangkap dia!”

            Calistha benar-benar merasa panik dan segera berlari tak tentu arah untuk bersembunyi. Suara letusan, teriakan, dan benda-benda pecah mulai membuat kaki Calistha semakin gemetar hingga akhirnya ia hanya mampu bersembunyi di balik semak-semak sambil menangis dalam diam dengan perasaan ketakutan.

            “Ayah... aku takut. Tuhan, tolong selam mpfhhh... tol... mpfhhh...”

            Ditengah kepanikan dan kekalutan yang tengah melanda Calistha, tiba-tiba seseorang membungkam

mulut Calistha, dan menyeret Calistha sekuat tenaga dari tempat persembunyiannya sambil menyiapkan sebuah benda mengkilap yang tampak mengerikan saat tertimpa cahaya bulan dari kejauhan. Sayangnya sebelum Calistha sempat berteriak dan melarikan diri dari pria misterius itu, tiba-tiba saja kesadarannya hilang. Ia baru saja disuntik obat bius oleh seorang pria dengan tato anjing hitam yang tercetak jelas di pergelangan tangannya yang kekar.

  Siapa kau?

Start From Here (Three)

[Breaking

News]

Telah terjadi penyerangan di kediaman Im Seulong hingga menewaskan banyak korban, termasuk sang pengusaha sendiri. Saat ini polisi sedang mengevakuasi jasad korban meninggal di rumah Im Seulong, yang diduga sebagian besar adalah anak buah Im Seulong dan beberapa pelayan yang bekerja di rumah pengusaha sukses itu. Namun hingga detik ini polisi belum menemukan jasad dari putri Im Seulong yang menurut kesaksian dari salah satu pelayan yang berhasil melarikan diri, saat penyerangan berlangsung putri Im Seulong sedang bersembunyi di taman belakang.

Klik

            Aiden menekan remot televisinya kasar sambil melirik wanita muda yang masih memejamkan matanya dengan damai di atas ranjang coklatnya. Akhirnya hari ini pekerjaan barunya resmi dimulai. Tapi ia tidak tahu apakah pekerjaanya kali ini akan mudah atau sulit, karena ia masih membutuhkan banyak informasi terkait keluarga Im di luar informasi sepihak yang diberikan oleh presiden Moon. Apalagi ia juga merasa aneh dengan pria tua itu. Seperti ada sesuatu yang janggal dari sorot matanya, namun ia belum dapat memastikan apa tepatnya kejanggalan itu.

            “Enghhh... Ayah....”

            Aiden menatap datar pergerakan Calistha di atas ranjangnya sambil mengantisipasi hal-hal berikutnya yang akan terjadi. Setidaknya wanita itu pasti akan berteriak untuk pertama kali saat mengetahui jika sekarang ia berada di suatu tempat yang asing untuknya. Setelah itu ia akan berteriak-teriak untuk meminta dilepaskan, atau yang paling parah ia akan menyerangnya dengan serangan membabi buta khas wanita. Ck, Aiden sudah terlalu hafal bagaimana reaksi-reaksi para wanita. Kehidupan liarnya yang tidak pernah lepas dari wanita membuatnya banyak belajar dari makhluk dengan perasaan lembut yang terlampau sensitif dan naif itu.

            “Apa kau salah satu anak buah ayahku?”

            Calistha berseru pelan kearah Aiden sambil sesekali memijit pelipisnya yang terasa pening. Sementara itu, Aiden tampak heran melihat reaksi tenang yang ditunjukan oleh Calistha sambil menghampiri wanita itu dengan langkah tenangnya.

            “Bukan.”

            “Lalu? Kau salah satu orang-orang yang menyerang rumahku semalam?” Tanya Calistha mulai waspada. Seketika mata coklatnya membulat, dan ia langsung beringsut mundur untuk menjauhi tubuh Aiden yang tampak mendominasi di hadapannya.

            “Bukan. Aku lebih dari itu.”

            “Kenapa kau membawaku ke sini? Aku ingin pulang.” ucap Calistha pelan dengan nada getir. Kesadarannya perlahan-lahan mulai terkumpul sempurna, dan sekarang ia mengingat semua kejadian mengerikan yang terjadi di rumahnya semalam. Suara kaca pecah, letusan senjata api, suara manusia-manusia yang saling beradu fisik, lalu suara teriakan. Semua itu sekarang mulai berputar-putar di otaknya hingga menciptakan sebuah ketakutan yang luar biasa di hatinya.

            “Kemana? Apa menurutmu kau masih memiliki tempat tinggal setelah apa yang terjadi semalam?”

            Aiden tiba-tiba meraih remot televisinya dan menyalakan benda persegi itu hingga tak berapa lama Calistha dapat melihat sekumpulan gambar-gambar yang mulai menayangkan proses evakuasi korban meninggal di rumahnya. Di sana, ia melihat rumahnya penuh dengan garis polisi dan orang-orang berseragam yang sedang sibuk membawa begitu banyak kantong yang ia perkirakan berisi jasad anak buah ayahnya. Seketika Calistha melompat turun dari ranjang coklat milik Aiden ketika televisi itu menayangkan gambar jasad ayahnya yang telah dimasukan kedalam kantong terpal berwarna kuning.

            “Ayah! Katakan padaku jika semua yang kulihat saat ini bohong!” teriak Calistha menangis pilu. Ia tak menyangka jika kebersamaannya dengan sang ayah yang sangat singkat itu akan berakhir seperti ini. Bahkan semalam ia belum datang ke ruang kerja ayahnya untuk membicarakan sebuah hal penting yang ingin dikatan ayahnya. Penyesalan memang selalu datang di akhir. Itulah emosi yang saat ini sedang dialami Calistha hingga ia sangat membenci dirinya sendiri. Seharusnya ia tidak melawan ayahnya, seharusnya ia menemui ayahnya, dan seharusnya ia tidak terus menerus merasa kesal pada ayahnya karena sesuatu yang jelas-jelas untuk kebaikannya sendiri. Sejak ayahnya memberikan jadwal pelatihan dan menghentikan kuliahnya secara sepihak, ia tak henti-hentinya menyalahkan sang ayah, membenci sang ayah yang terlalu banyak membawa kerumitan di hidupnya. Namun jika akhirnya seperti ini, ia bersumpah tidak akan pernah membenci ayahnya dan akan melakukan apapun yang diminta ayahnya, asalkan sang ayah tetap berada di sisinya untuk mendampinginya menjadi penerus keluarga Im.

            “Apa kau sudah selesai menangisi kematian ayahmu? Sudahlah, ia juga tidak akan kembali.” ucap Aiden datar tanpa perasaan. Baginya kematian adalah sesuatu yang sangat biasa, dan sering terjadi di dalam hidupnya. Kematian, adalah sesuatu yang selalu datang dan pergi seperti musim, selalu pasti, namun tidak dapat diprediksi bagaimana prosesnya, bahkan akhirnya.

            “Aku ingin melihat ayahku. Antarkan aku pada ayahku.” ucap Calistha dengan tangis pilu. Wanita itu memilih untuk memeluk lututnya sendiri di depan televisi hitam milik Aiden yang tidak lagi menayangkan berita kematian ayahnya.

            “Kau tidak bisa pergi kemanapun. Saat ini hanya di sinilah tempat yang aman.”

            “Aku tidak peduli. Lebih baik aku mati dan menyusul ayahku.”

            “Hah...”

            Aiden tergelak kecil mendengar kata-kata penuh nada frustrasi dan juga emosi yang baru saja terucap dari bibir bergetar Calistha. Ia pikir hidupnya akan berakhir dengan mudah jika ia menampakan dirinya sendiri saat ini juga? Sungguh itu adalah pikiran paling konyol yang pernah didengar Aiden. Calistha pasti tidak tahu berapa banyak orang di luar sana yang lebih menginginkannya tetap hidup daripada mati.

            “Kau pikir kau akan mati dengan mudah? Cih, jangan harap. Jika mereka menemukanmu, kau hanya akan menjadi wanita rendahan yang dipaksa untuk memberitahu rahasia besar milik ayahmu. Dunia ini lebih kejam dari apa yang kau pikirkan.”

            “Aku tidak tahu apapun tentang rahasia ayahku. Ia bahkan telah pergi sebelum memberitahukan seluruh rahasianya padaku.” jawab Calistha terseguk-seguk di tempatnya. Saat ini pikirannya benar-benar buntu karena semua hal yang dikatakan Aiden menjadi masuk akal untuk pikirannya. Sekarang ia pasti sedang dicari oleh banyak orang karena ia adalah satu-satunya pewaris ayahnya. Tapi sumpah demi apapun, ia bahkan tidak tahu apa-apa mengenai aset-aset milik ayahnya selain stasiun televisi yang telah ia inginkan sejak lama.

            “Kalau begitu kau harus mencari tahu, karena posisimu saat ini benar-benar sangat sulit. Mau tidak mau kau harus tetap mencari harta-harta yang selama ini disembunyikan oleh ayahmu. Dan oh... apa kau tahu jika ayahmu adalah seorang mafia?”

            Aiden tersenyum mengejek saat ia melihat ekspresi wajah Calistha yang menyiratkan sebuah keterkejutan yang begitu pekat. Sudah ia duga jika wanita manja seperti Calistha pasti tidak pernah tahu apapun mengenai kehidupan gelap ayahnya. Yah, itu wajar terjadi karena semua ayah pasti hanya menginginkan putrinya bahagia. Tapi jika ternyata takdir yang mendorongnya untuk mengetahui semuanya, untuk apa semua kehidupan mewah itu? Justru semua hal yang didapatkan Calistha selama ini hanya akan menjadi omong kosong yang akan menyengsarakan kehidupan Calistha sendiri kedepannya. Seperti saat ini, Calistha sama sekali tidak siap dan

justru terlihat seperti wanita idiot setelah ayahnya pergi dengan sangat tragis tanpa memberi tahu kehidupan gelapnya yang sesungguhnya.

            “Ayahku.... mafia? Tidak mungkin! Ayahku adalah seorang pengusaha dengan berbagai macam properti di seluruh dunia. Kau jangan coba-coba membohongiku! Apa kau menginginkan harta ayahku juga? Aku pasti akan memberikan sebagian dari harta ayahku padamu, tapi lepaskan aku. Antarkan aku pada ayahku.”

            “Yah, itu cukup menggiurkan, tapi tidak sebanding dengan resiko yang harus kudapatkan. Kau tidak akan pernah pergi kemanapun Calistha, karena di luar sana kau tidak akan pernah aman.”

            “Tolong lepaskan aku. Kumohon. Aku tidak mau di sini, aku ingin melihat ayahku.” mohon Calistha dengan wajah memelas. Setelah ia sedikit tenang dan dapat mengendalikan emosinya, ia mencoba bernegosiasi dengan Aiden agar melepaskannya. Namun sepertinya hal itu tidak mudah karena Aiden jelas-jelas tidak akan melepaskannya. Aiden harus menjalankan pekerjaanya sebagai penjaga Calistha, sekaligus mencari tahu tempat tempat yang digunakan Im Seulong untuk menyembunyikan seluruh harta curiannya yang berharga itu. Namun jika melihat bagaimana kondisi Calistha yang sesungguhnya, ia menjadi tidak yakin. Bagaimana mungkin wanita itu akan mengantarkannya pada seluruh harta-harta milik ayahnya jika identitas gelap ayahnya sendiri saja ia tidak tahu. Setelah ini ia harus menemui presiden Moon dan mengatakan hal ini langsung pada pria tua itu agar ia tidak didorong untuk terus menerus berurusan dengan wanita merepotkan seperti Calistha.

            “Untuk saat ini tempatmu hanya di sini, kau tidak bisa pergi kemanapun. Lebih baik kau makan, atau membersihkan diri jika kau mau. Aku harus pergi.”

            Aiden melirik sekilas sekotak pizza yang ia letakan di atas nakas ranjangnya. Ia berharap Calistha bukanlah wanita manja dengan banyak permintaan seputar makanan karena ia tidak mungkin menyediakan menu makanan mewah seperti apa yang didapatkan wanita itu selama ini. Setidaknya sekotak pizza jauh lebih baik daripada ia

memberikan makanan-makanan murahan yang biasanya ia berikan pada tawanannya. Well, tapi Calistha memang bukantawanannya. Wanita itu adalah tanggungjawabnya sekarang.

-00-

           Dengan kecepatan sedang Aiden menjalankan mobilnya membelah jalanan lenggang kota

Seoul. Setelah menempuh perjalanan sekitar tiga puluh menit dari rumah terpencilnya, akhirnya ia telah tiba di pusat kota Seoul untuk bertemu presiden Moon. Ia harus segera menanyakan rencana selanjutnya pria itu setelah ia berhasil mengamankan Calistha dari orang-orang bertopeng yang semalam membobol rumahnya. Namun jika dipikir-pikir, semalam adalah peristiwa penyerangan yang cukup mengerikan. Sebelum menerima misi ini ia tidak pernah menyangka jika ia menyusup di tengah-tengah sebuah peperangan yang sedang terjadi di rumah Im Seulong. Terlebih lagi semalam ia benar-benar tidak menggunakan senjata apapun. Ia hanya sebatas mengawasi Calistha dari kejauhan, dan setelah melihat Calistha mulai bergetar ketakutan, ia segera menyeret wanita itu keluar dari rumahnya yang kacau setelah ia berhasil membius Calistha dengan obat racikannya. Itu adalah pengalaman pertama yang luar biasa. Adrenalinnya menjadi benar-benar tertantang untuk melakukan tugas selanjutnya dari presiden Moon.

            Setibanya di rumah pribadi presiden Moon, Aiden segera mengeluarkan kartu pengenalnya untuk ditunjukan pada dua orang penjaga pintu. Rasanya itu sungguh merepotkan karena ia harus berurusan dengan dua orang cerwet yang terlihat terus mencurigainya sejak tadi.

            “Aku adalah kapten pasukan pengamanan presiden saat ini.”

            “Benarkah? Apa presiden Moon telah memberhentikan Kang JinHyung?”

            Aiden rasanya tidak ingin berada di depan pos keamanan itu lebih lama lagi. Segera

setelah pintu hitam itu terbuka, Aiden langsung menginjak pedal gasnya kuat-kuat hingga menimbulkan asap tipis yang berhasil membuat dua penjaga itu terbatuk-batuk. Melihat itu, Aiden tersenyum puas dari kaca spionnya dan segera membawa mobilnya menuju tempat parkir yang telah disediakan.

            “Anda telah ditunggu oleh tuan Moon di ruang kerjanya.”

            Aiden mengangguk tipis pada pria paruh baya itu, dan segera mengikuti langkah lebarnya yang akan membawanya menuju ruangan presiden Moon.

            “Halo Aiden, bagaimana perasaanmu saat ini?”

            “Sepertinya kau sudah menduga jika aku akan segera datang setelah apa yang terjadi kemarin.

Apa itu adalah salah satu rencanamu? Membunuh Im Seulong dan anak buahnya?” Tebak Aiden dengan wajah menyeringai. Presiden Moon tampak tersenyum tenang di depannya sambil menggeleng pelan.

            “Bukan. Kau salah jika mengira itu aku. Aku sama sekali tidak menginginkan kematiannya karena Im Seulong adalah salah satu kolega bisnisku. Bisnis keluarga, kau pasti tahu jika aku tidak hanya menjadi presiden. Tapi sebelum ini Im Seulong memberitahuku jika suatu saat pasti akan ada orang-orang yang berbuat kekacauan

di rumahnya. Jadi aku sengaja menyewamu untuk melindungi putrinya. Apa putrinya aman bersamamu?”

            “Ya, dia aman. Tanpa luka dan cacat sedikitpun. Sejak ia sadar dari pingsannya ia terus menangis sambil memanggil-manggil nama ayahnya. Apa selama ini Im Seulong memang tidak pernah memberitahu putrinya mengenai kehidupan hitamnya?”

            Presiden Moon menggeleng pelan sebagai jawaban. Ia lalu mengisyaratkan Aiden agar duduk di salah satu sofa berwarna cream di ruangannya karena ia akan sedikit menceritakan sebuah dongeng pada Aiden.

            “Meskipun ia seorang mafia, tapi ia sangat menyayangi putrinya. Ia tidak ingin putrinya mengetahui kehidupan hitamnya dan seluruh hal-hal kejam yang terjadi di dunia itu. Bertahun-tahun ia menyembunyikan itu dari Calistha dan ia berusaha mendirikan bisnis legalnya agar kelak ia dapat hidup normal bersama putrinya dengan

tenang. Namun kau tahu jika dunia hitam itu kejam, ia tidak akan membiarkan siapapun keluar dari sana dengan mudah. Hal itulah yang akhir-akhir ini dialami Seulong. Saat ia ingin meninggalkan dunia hitam itu, banyak orang yang menentangnya. Terlebih lagi ia memegang banyak rahasia kotor milik orang-orang penting. Jika Seulong keluar, maka mereka semua akan terancam. Namun tekadnya sudah benar-benar bulat. Ia ingin meninggalkan dunia itu dan hidup dengan putrinya. Dan dua bulan lalu ia mulai menerima teror-teror mengerikan dari rivalnya atau dari orang-orang yang ingin menjatuhkannya, entahlah aku juga tidak tahu. Banyak hal yang terjadi padanya hingga ia sempat mengalami luka serius di kakinya karena kecelakaan mobil yang terjadi di luar nalar. Tapi ia tidak pernah memberi tahu putrinya. Ia sengaja menjauhkan Calistha dari Seoul agar putrinya dapat hidup tenang di luar negeri. Namun akhirnya ia menyerah dan memilih untuk menarik Calistha ke sini. Ia ingin memberitahu putrinya semua rahasia yang selama ini ia simpan. Tapi dari apa yang kau ceritakan, sepertinya Seulong belum berhasil melakukan itu. Kemungkinan ada orang dalam yang bekerja untuk musuh Seulong, sehingga ia langsung bertindak sebelum semua rahasia itu terbongkar. Apa kau bisa melindungi putrinya dengan baik dan mencari harta berharga milik Seulong yang ditinggalkan untuk putrinya? Ini, semua yang kau butuhkan ada di dalam sini.”

            Tiba-tiba presiden Moon memberikan sebuah kotak hitam yang penuh dengan ukiran-ukiran aneh pada Aiden. Dengan dahi berkerut pria itu mengelus permukaan kasar kotak hitam itu sambil menimang-nimang kotak hitam itu sejenak sebelum akhirnya diberikan pada Aiden.

            “Berikan ini pada Calistha, Seulong berpesan padaku agar memberikan ini pada Calistha setelah ia pergi.”

            “Apa isinya?” Tanya Aiden ingin tahu. Ia tidak mau mengambil resiko berbahaya dengan

hal-hal yang diperintahkan presiden Moon tanpa kejelasan seperti kemarin.

            “Aku tidak tahu. Seulong tidak memberitahuku. Tapi jika ia sampai menyiapkan hal itu untuk putrinya, pasti di dalamnya tersimpan sesuatu yang berharga. Jika kau ingin mengetahuinya, maka kau harus segera memberikan itu pada putrinya.” Jawabpresiden Moon tenang. Aiden mengernyit heran kearah kotak hitam  itu, namun akhirnya ia membawa kotak itu bersamanya sambil menatap wajah presiden Moon sungguh-sungguh.

            “Apa yang harus kulakukan setelah ini?”

            “Cari harta yang selama ini menjadi incaran orang-orang serakah di luar sana. Beberapa saat yang lalu pengacaranya baru saja dibunuh oleh orang-orang yang diduga adalah penyerang yang sama dengan yang terjadi di rumah Seulong, tapi mereka tidak mendapatkan apapun dari pengacara itu.  Saat ini dalang dibalik penyerangan itu sedang mencari putrinya untuk mencari aset-aset yang dimiliki oleh Seulong selama ini.”

            “Bagaimana dengan rumahnya?” Tanya Aiden sambil memainkan kotak hitam di tangannya. Ia

memutar-mutarnya sekali menggunakan tangannya sambil menerka-nerka isi dari kotak hitam misterius di tangannya.

            “Tidak ada apapun di dalam sana, hanya sedikit uang dan barang-barang tak berguna yang telah rusak karena penyerangan semalam. Kau sebaiknya segera memberikan kotak itu pada Calistha dan mencari semua harta milik Seulong yang diwariskan untuk Calistha. Wanita itu adalah kunci dari semua harta warisan Seulong, jadi kau benar-benar harus melindunginya agar ia tidak menjadi incaran orang-orang yang menginginkan harta ayahnya.”

            “Hmm, aku tahu. Aku akan segera menyelesaikan misi ini secepatnya.”

            Setelah itu Aiden langsung pergi tanpa menghiraukan presiden Moon yang sedang menatapnya penuh kelicikan. Entah apa yang disembunyikan oleh pria itu, namun sorot matanya perlahan-lahan mulai menunjukan sorot kelicikan yang begitu pekat dengan berbagai rencana yang mulai tersusun dengan apik di dalam kepalanya.

            “Luca... kau harus menyiapkan semuanya, dia mulai bergerak, dan kemungkinan akan ada banyak kerikil yang mengganggu jalan kita.”

-00-

            Aiden memasuki rumahnya yang sepi dan segera meletakan kotak hitam pemberian presiden Moon di atas meja. Dua jam yang lalu ia meninggalkan wanita itu sendiri di rumahnya dengan seluruh pintu yang telah ia kunci agar wanita itu tidak kabur untuk melihat ayahnya. Jadi jika wanita itu tidak nekat, saat ini ia pasti masih berada di kamarnya.

Brughh

            Tiba-tiba Aiden mendengar suara benda jatuh dari belakang rumahnya. Dengan gerakan sigap, Aiden segera berlari menuju halaman belakangnya untuk mengecek apa yang terjadi. Dugaanya, kemungkinan wanita itu sedang mencoba kabur dengan melompat dari jendela kamarnya di lantai dua.

            “Calistha!”

            “Aaakkhh...”

            Calistha berteriak panik dan segera berlari tak tentu arah untuk menghindari Aiden. Baru saja ia berhasil turun dari jendela kamar Aiden yang sangat tinggi di lantai dua. Tapi sialnya Aiden justru memergoki aksi kaburnya dengan cepat, sehingga sekarang ia harus berlari menghindari pria gila itu untuk segera kabur dari rumahnya yang aneh ini.

            “Berhenti! Kubilang berhenti Calistha!”

            “Tidak, aku ingin melihat ayahku. Kau pria gila psychopath, aku tahu siapa dirimu.”

            “Kalau begitu seharusnya kau takut padaku karena aku tidak akan segan-segan untuk melukaimu.” Ancam Aiden geram. Ia mulai mengeluarkan sesuatu dari saku bajunya dan sedikit menggeram kesal karena ia benar-benar tak memiliki pilihan lain selain melakukan hal ini.

Srett

            “Akhh....”

            Calistha tiba-tiba jatuh terduduk sambil memegangi betisnya yang terasa hangat. Darah

tiba-tiba merembes dari kakinya hingga membuat Calistha meringis sakit sambil mencoba mencabut pisau kecil yang baru saja menancap di kakinya.

            “Sudah kukatakan untuk berhenti Calistha, apa kau sengaja menantangku?”

            “Kau pria sakit jiwa gila, aku ingin pergi dari sini!” teriak Calistha frustrasi sambil menekan lukanya yang mengucurkan darah di kakinya. Rasanya telah selamat dari penyerangan yang terjadi di rumahnya tidak ada gunanya jika ia justru bertemu dengan pria sakit jiwa seperti Aiden yang memiliki banyak koleksi senjata di dalam lemarinya. Andai ia tidak berinisiatif untuk mencari selimut di dalam lemari Aiden, ia tidak akan tahu jika pria itu memiliki berbagai macam senjata yang tersembunyi dibalik lemari kayu coklatnya.

            “Aku memang pria sakit jiwa karena aku adalah sniper. Jika aku pria normal, aku tidak akan mungkin menjadi sniper. Sekarang bangunlah.”

            Dengan kasar Aiden segera menarik tangan Calistha dan menyeret langkah Calistha yang tertatih-tatih menuju rumahnya. Jika saja ia tidak dibayar untuk melindungi Calistha, mungkin ia akan menghabisi wanita itu saat ini juga, sama seperti Hannah yang mati mengenaskan di medan perang.

            “Apa yang akan kau lakukan padaku? Kenapa kau mengurungku di sini?”

            “Duduklah, kau nanti juga akan tahu.”

            “Aku tidak akan tahu jika kau tidak pernah memberitahu apapun padaku. Bahkan kau juga tidak memberitahu namamu padaku.” Ucap Calistha pelan di akhir kalimatnya. Seluruh tenaganya seperti telah terkuras habis untuk menahan rasa perih yang menjalar di kakinya hingga sekarang telah menjalar ke seluruh tubuhnya. Pria itu benar-benar tidak pandang bulu dalam memperlakukan korbannya. Sekali melawan, maka Aiden tidak akan segan-segan untuk menggunakan kekerasan. Meskipun Calistha adalah orang yang seharusnya ia lindungi.

            “Gigit ini.”

            Tiba-tiba Aiden menyumpalkan sebuah kain kearah Calistha yang membuat wanita itu langsung

meronta pelan, mencoba untuk membuang kain itu dari mulutnya. Namun akhirnya Calistha terpaksa menggigit kain putih itu karena Aiden terus memaksanya dan membuatnya hampir tersedak karena terus melawan.

            “Gigit dan jangan lepaskan.”

            “Aaammppffff....”

            Aiden mencabut kasar pisau kecilnya dari betis Calistha, dan langsung mengguyur luka itu menggunakan sebotol alkohol. Calistha yang melihat itu hanya mampu menggigit kain putihnya kuat-kuat sambil memejamkan matanya yang mulai berair.

            “Pegang ini, aku akan menjahit lukamu.”

            “Ammpff... kau bukan dokter!” Teriak Calistha ketika Aiden mulai mengambil peralatan medisnya dari kotak p3k. Namun pria itu seperti tidak peduli, dan tetap membawa peralatan menjahitnya di hadapan Calistha.

            “Kau akan kehabisan darah jika menungguku membawamu ke dokter. Ini akan sakit karena aku tidak menggunakan obat bius, jadi gigit lagi kainnya.”

            Aiden menyumpalkan lagi kain putih itu kedalam mulut Calistha dan mulai menyiapkan jarum khususnya untuk menjahit kulit. Pengalamannya sebagai seorang sniper memaksanya untuk dapat menjahit lukanya sendiri, apapun kondisinya. Saat di medan perang tentu ia tidak dapat mengandalkan dokter, atau relawan medis yang akan menolongnya karena di sana ada terlalu banyak prajurit yang membutuhkan pertolongan. Mau tidak mau ia harus mampu menjahit lukanya sendiri dengan alat-alat yang dapat ditemukan di sekitarnya. Bahkan ia pernah menjahit lukanya menggunakan jarum tanpa disterilkan menggunakan alkohol, dan hanya membakar jarum itu seadanya karena posisinya yang benar-benar sedang di tengah hutan, tanpa alat-alat yang dapat ia gunakan untuk mengobati lukanya. Untung saja hingga detik ini ia masih baik-baik saja dengan segala keterbatasan yang selama ini mengelilinginya.

Takk

            Suara gunting yang diletakan kasar di atas meja menjadi sebuah tanda bagi Calistha jika siksaannya telah berakhir. Setidaknya Aiden telah menyelesaikan serangkaian proses menusuk kulitnya menggunakan jarum kecil berukuran dua belas mili meter yang terasa benar-benar seperti neraka untuknya. Ia belum pernah sekalipun menjalankan sebuah pengobatan yang begitu sembarangan, berisiko, dan sangat tidak steril seperti ini. Bahkan saat ia mengalami luka lecet karena terjatuh dari sepedapun, ia mendapatkan pengobatan yang sangat steril dari dokter pribadinya. Jadi bila setelah ini ia mengalami hal-hal buruk karena terkontaminasi bakteri, pria sialan itu yang harus bertanggungjawab.

            “Sakit!” Ucap Calistha penuh penekanan sambil melihat pemandangan mengerikan di kakinya. Ceceran darah, sisa alkohol yang tumpah di lantai, dan bentuk betisnya yang menjadi tidak cantik karena bekas-bekas jahitan yang dilakukan oleh Aiden membuat Calistha tiba-tiba menjadi horor. Ia takut setelah ini tidak dapat

berjalan dengan lancar karena luka-luka yang bersarang di kakinya.

            “Kau akan sembuh dalam dua hingga tiga hari.”

            “Aku tidak yakin. Jadi siapa namamu?”

            “Aiden.” jawab pria itu singkat sambil membereskan alat-alat medisnya yang bercecer.

Setelah itu ia meninggalkan Calistha sendiri di ruang tamu dengan terlebih dulu mengunci pintu utama di rumahnya agar Calistha tidak coba-coba untuk melarikan diri lagi darinya.

            “Aiden....”

            Aiden menghentikan langkahnya sejenak sambil menunggu Calistha melanjutkan kata-katanya. Ia tahu, bukan tanpa alasan wanita itu memanggilnya. Pasti ada masalah penting yang ingin dikatakan wanita itu padanya.

            “Terimakasih.”

            Aiden hanya meresponnya wajah datar sambil berlalu pergi meninggalkan Calistha pergi tanpa kata. Wanita itu mungkin terlalu dini mengucapkan terimakasih padanya disaat ia tidak tahu bagaimana nasibnya setelah

ini. Di masa depan, mungkin saja Calistha akan berbalik membencinya dan memberikan kata-kata sumpah serapah yang kasar.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!