Alunan musik rock terus mewarnai Hyde Park, London, memanjakan ribuan telinga yang memadati tempat tersebut. Bak lautan manusia, mereka kompak mengangkat tangan dan menggerakkan badan mengikuti irama yang terus menggema. Sesekali mereka mengikuti lirik yang dibawakan sang penyanyi, terkadang pula mengelu-elukan nama sang bintang yang sedang berdendang di atas panggung tersebut.
Di antara sekian banyak orang yang mengunjungi Hyde Park kala itu, salah satunya adalah Orion Brox, lelaki tampan nan kaya raya asal Indonesia. Pada usia yang baru genap 30 tahun, dia sudah mampu mengambil alih kendali perusahaan milik ayahnya. Dengan sikapnya yang dingin dan tegas, dia berhasil mendisiplinkan karyawan dan juga mitra bisnis yang berniat curang.
Kesibukan kerja yang sangat menyita waktu, sejak dua hari lalu berusaha ia abaikan. Dia ingin melepas penat sejenak dengan berlibur ke London, sekaligus mengunjungi kakak sepupunya yang tinggal di kota itu.
Lantas, di sinilah Orion sekarang, berdiri seorang diri di tengah bising orang-orang yang terhanyut dalam konser musik tersebut. Alih-alih ikut mengangkat tangan, Orion malah melipat tangannya di dada. Ia menatap cuek ke atas panggung, juga pada orang-orang di sekitar. Dia diam layaknya patung yang bernapas.
"Terlalu berisik," batin Orion, sebelum akhirnya memilih menjauh dari kerumunan di dekat panggung.
Memang dia yang aneh. Menghadiri konser musik, apakah mungkin suasananya akan sunyi? Atau ... dia berharap yang datang satu-dua orang saja, yang masing-masing diam mematung seperti dirinya? Sungguh konyol!
Dengan ekspresinya yang datar, Orion terus melangkah menjauh, tak tentu arah. Dia tak tahu harus ke mana, dalam hati malah merutuki diri sendiri, mengapa memilih taman itu yang jelas-jelas sedang menggelar acara konser. Padahal, dia kurang suka dengan suasana bising.
Sembari berjalan, Orion sempat melirik beberapa stand penjual. Mulai dari makanan, minuman, sampai bermacam merchandise. Namun, Orion juga tidak tertarik, lagi-lagi karena suasana yang bising. Seandainya ada satu saja stand yang tidak ramai, mungkin Orion akan melihat-lihat atau bahkan membelinya.
Selagi rasa bosan terus merongrong di benak Orion, bahkan mendorongnya untuk pulang saja, tiba-tiba mata hitamnya yang tajam menangkap objek yang sangat menarik. Saking menariknya, Orion sampai tak berpaling hingga beberapa detik.
Seorang perempuan. Itulah yang menarik perhatian Orion saat ini. Kulitnya yang putih dan rambutnya yang cokelat terang mencuri perhatian Orion. Entah mengapa, rasanya dia berbeda. Meski tadi sudah banyak menjumpai wanita dengan kulit dan rambut yang serupa, khas orang Eropa, tetapi baru detik ini Orion merasa tertarik. Sampai tak sadar, Orion melangkah mendekati perempuan yang saat itu sedang duduk di kursi sambil menikmati smoothie.
"Sangat cantik," gumam Orion sebelum tiba di depan perempuan itu.
Seperti tersihir, Orion benar-benar tak sanggup mengalihkan tatapannya. Sebentuk tubuh sintal yang dibalut kaus hitam dan celana pendek itu sungguh mengambil alih dunianya.
"Hai, sendirian saja, Nona?" sapa Orion dalam bahasa Inggris.
Perempuan itu menoleh dan kemudian melepas kacamata hitamnya. Dalam beberapa detik keduanya saling beradu pandang, dan sungguh sial Orion makin terpikat dengan sepasang mata cokelat yang menatapnya tanpa ragu.
"Ya."
Mendengar jawaban yang cukup singkat, tetapi juga jelas, Orion langsung tersadar dan buru-buru mengalihkan pandangan ke arah lain. Lantas, dengan sedikit gugup ia mengambil tempat di samping perempuan itu.
"Aku juga sendirian," ucap Orion sambil mencuri-curi pandang.
"Oh."
Orion menarik napas panjang. Perempuan yang ada di sampingnya sekarang benar-benar cuek, jauh berbeda dengan wanita kebanyakan. Selama ini, sering kali para wanita mendekatinya secara langsung, walau akhirnya ia abaikan. Namun, hari ini Orion seperti mendapat karma, ia sendiri yang diabaikan secara terang-terangan.
"Boleh aku tahu siapa namamu?"
Meski jelas-jelas kehadirannya kurang disambut, tetapi Orion tidak patah semangat. Dia malah memberanikan diri mengajak perempuan itu berkenalan.
Awalnya, Orion merasa lega karena dirinya langsung ditatap dan diberi senyuman manis. Namun, sedetik kemudian harapan luluh lantak, karena dengan tegas perempuan itu berkata 'tidak'.
"Lalu aku harus memanggilmu apa?" Seperti tak punya malu, Orion terus melayangkan pertanyaan, seolah tak ada niatan untuk beranjak dan pergi menjauh.
"Terserah."
Orion berpikir sejenak. "Bagaimana kalau kupanggil Sunny?"
Perempuan itu menoleh lagi, sembari mengernyitkan kening.
"Dari sekian banyak orang yang ada di sini, kamu yang paling bersinar. Kamu mencuri perhatianku, yang semula bosan dengan kebisingan ini. Bagiku, kamu seperti matahari," ujar Orion. Setiap kata ia lontarkan dengan lancar, seolah dia sudah pakar merayu wanita.
Namun bukannya tersipu atau tersanjung, perempuan berhidung mancung itu malah tertawa, seakan-akan menganggap omongan Orion hanyalah candaan receh.
"Kamu tidak ingin tahu namaku, Sunny?" Mentang-mentang di negara orang, Orion membuang jauh rasa malunya. Dia pasang muka tembok demi mendekati perempuan yang ia panggil Sunny.
"Tidak." Kali ini, Sunny malah tidak menoleh. Dia asyik saja menikmati smoothie yang tinggal setengah.
"Lantas, kamu mau memanggilku apa?" tanya Orion. Harapannya, Sunny juga akan memberikan nama panggilan yang spesial untuknya.
"Aku tidak akan memanggilmu karena aku tidak ingin mengenalmu," jawab Sunny, cukup pedas. Seharusnya sudah cukup untuk membuat Orion pergi.
Namun, Sunny salah. Orion justru tertawa sambil menyandarkan punggungnya.
"Kamu sangat jujur, Sunny," ucapnya.
"Aku tidak suka basa-basi."
"Ya, ya, bagus juga." Orion kembali mencuri pandang ke arah Sunny, sembari menebak kira-kira perempuan itu dari negara mana.
Sekilas dia mirip orang Eropa—dari warna rambut dan bola mata. Namun, bisa saja rambutnya karena dicat dan bola matanya karena softlens, karena tinggi badannya terlalu pendek untuk ukuran wanita Eropa.
"Jika dilihat lebih lama, dia malah mirip orang Asia, ahh ... apa mungkin Indonesia? Tapi ... apa mungkin malah blasteran?" batin Orion sambil terus menilik wajah Sunny, yang sama sekali tak menghiraukannya.
"Sunny, kamu tinggal di mana?" tanya Orion sesaat kemudian. Dia tak ingin mati penasaran.
"Sekarang aku ada di London."
"Sebelumnya?"
Sunny menoleh sekilas. "Yang jelas bukan di planet lain."
Tawa Orion hampir meledak. Ternyata seorang Sunny bisa bercanda juga, dan itu pun tanpa tertawa. Sungguh, dia sangat mirip dengan pelawak profesional—bisa membuat orang tertawa tanpa ikut tertawa. Namun, di balik itu semua, sedikit banyak Orion juga kecewa. Jawaban barusan seolah menegaskan bahwa Sunny memang tak ingin berbagi apa pun dengannya. Ahh, mungkin memang benar kalau wanita itu tidak ingin mengenalnya.
"Ternyata begini rasanya diabaikan," batin Orion sambil memijit pelipis.
Sementara itu, Sunny hanya melirik sekilas. Lalu kembali menghabiskan smoothie yang masih tersisa.
"Besok aku sudah kembali ke negaraku, Indonesia." Orion menjeda kalimatnya sejenak. "Sunny, kamu sendirian, aku juga sendirian. Bagaimana kalau hari ini kita jelajahi tempat ini bersama? Ini baru pertama kalinya aku ke sini, mungkin ... kamu lebih paham dan bisa menunjukkan yang lebih rinci tentang bagian-bagian di sini. Kamu bersedia?" lanjutnya.
Ini adalah harapan terakhir Orion. Dia sangat tertarik dengan perempuan itu, dan kalaupun tidak bisa mengetahui nama ataupun alamatnya, setidaknya ada sedikit kenangan tentangnya.
Bersambung...
Sunny menarik napas panjang sambil sesekali memijit pelipis. Dia mendadak tersadar kalau ternyata lelaki di sampingnya itu sangat keras kepala. Padahal, sejak tadi dia sudah memberikan signal penolakan, tetapi lelaki itu masa bodoh dan tetap saja mendekatinya. Dasar, lelaki muka tembok!
"Sunny."
"Kalau aku mengajukan syarat, apa kamu bersedia?" Sunny balik bertanya, seraya menatap Orion.
"Apa syaratnya?" tanya Orion dengan penuh semangat. Sudah terbayang jelas dalam otaknya, menghabiskan waktu mengelilingi Hyde Park bersama Sunny. Ahh, Orion berjanji pada dirinya sendiri untuk meninggalkan kesan semanis mungkin, agar Sunny juga tak bisa melupakannya.
"Kamu bawa ponsel?"
Orion mengangguk, lagi-lagi dengan penuh semangat. Dia berpikir Sunny akan meminta nomornya. Namun, ternyata ia keliru untuk kesekian kalinya.
"Matikan ponselmu dan berikan padaku. Selama kita bersama, aku tidak mau melihatmu memegang ponsel," ujar Sunny, membuat Orion mengernyit seketika.
Apa pula maksudnya?
"Aku tidak suka berdekatan dengan orang asing. Tapi, kamu sangat pemaksa, jadi ... anggap saja kesediaanku ini untuk menghargai kerja kerasmu. Tapi, aku juga tidak akan memberimu kesempatan untuk mengabadikan momen-momen nanti, makanya kamu harus mematikan ponsel dan menyerahkannya padaku." Sunny menjelaskan tanpa dipinta, seolah ia bisa menebak apa yang ada dalam pikiran Orion.
"Tapi ...." Orion kehilangan kata-kata. Sebenarnya dia sudah merencanakan hal itu sejak awal—mengabadikan momen bersama Sunny. Namun sayang, perempuan itu terlebih dahulu mengetahui niatnya. Sialan!
"Aku tidak memaksa. Kamu bersedia, silakan. Tidak, juga silakan. Aku tidak masalah menghabiskan waktu sendirian," ujar Sunny sambil kembali menatap ke depan.
"Baik, aku bersedia. Tapi ... beri tahu aku siapa namamu dan di mana tempat tinggalmu. Nanti aku akan langsung menyerahkan ponsel ini ke kamu," kata Orion sembari menimang-nimang ponselnya, yang kala itu sudah dalam keadaan mati.
Mendengar hal itu, Sunny langsung menoleh lagi. "Sayangnya aku tidak tawar-menawar denganmu."
"Baiklah. Terserah apa katamu, yang penting ... kita bersama hari ini." Orion menyerah, tak sanggup lagi membujuk Sunny.
"Oke."
Keputusan telah disepakati. Sunny bersedia menemani Orion sehari itu, sedangkan Orion bersedia memberikan ponselnya pada Sunny selama mereka bersama.
Setelah mencapai kesepakatan itu, Sunny bangkit dan mengajak Orion berjalan-jalan menyusuri taman, sampai akhirnya mereka tiba di bawah pohon maple yang berjajar rapi.
"Kamu sudah berapa kali ke sini?" tanya Orion ketika Sunny mengajaknya duduk di atas hamparan rumput hijau. Angin berembus sangat sejuk, sangat cocok untuk bersantai.
"Dua kali," jawab Sunny. Tidak bohong, memang baru dua kali dia ke sana.
Orion merekam jawaban itu, dan kemudian menarik kesimpulan bahwa Sunny tidak tinggal di London.
"Apa kesibukanmu, kerja atau kuliah? Kalau aku ... sudah kerja. Mengurus bisnisnya Papa."
"Aku masih kuliah, tapi terkadang juga kerja. Dan yang pasti ... mengurus anak." Sontak jawaban Sunny membuat Orion membelalak.
"Mengurus anak? Kamu ... sudah punya anak?" tanya Orion.
Sunny tertawa kecil. "Kenapa? Menyesal ya setelah tahu aku punya anak?"
Orion gelagapan seketika. Kalau dia punya anak, jangan-jangan juga punya pasangan. Oh tidak, jangan sampai dirinya dihajar dan babak belur karena mengganggu kekasih orang.
"Ini anakku, namanya Stivo. Sangat tampan, kan?" Sambil menahan tawa, Sunny menunjukkan layar ponselnya, yang mana sedang menampilkan kucing persia abu-abu dengan sepasang mata cokelat terang, seperti mata Sunny saat ini.
"Anak yang kamu maksud itu ... kucing?"
Sunny mengangguk. "Iya. Dari baru lahir dia kurawat, jadi kuanggap anak sendiri."
Orion mangut-mangut. Pikirnya, selera humor Sunny cukup tinggi juga. Namun, bukan itu yang menjadi fokusnya Orion, melainkan bentuk bangunan yang tampak di foto barusan. Meski hanya sekilas, tetapi Orion sudah memahami bangunan barusan, mirip penthouse di Eropa. Jadi, kemungkinan besar Sunny tidak tinggal di Asia.
"Kamu mau ke mana lagi?" tanya Sunny selagi Orion masih menerka-nerka di mana kira-kira negara asal Sunny.
"Terserah kamu saja. Ke mana pun aku suka, asal bersamamu."
Sunny hanya mencibir. Baginya, sangat jelas bahwa ucapan Orion barusan hanyalah rayuan khas playboy. Kendati begitu, Sunny tetap mengajaknya berkeliling Hyde Park. Menikmati taman bunganya yang luas dan indah, monumen-monumennya yang bersejarah, dan juga mencicip makanan-makanan khas London yang ada di sana. Tak lupa juga melihat-lihat merchandise unik nan cantik yang menggoda mata untuk membelinya. Kali ini, Orion berinisiatif membeli dua gantungan kunci yang berbentuk daun maple, satu untuk dirinya sendiri dan satu lagi untuk Sunny.
Awalnya, Sunny menolak. Namun setelah dipaksa, akhirnya mau menerimanya. Pikir Sunny, harganya tidak mahal, jadi tidak termasuk hutang budi kan?
Terlalu mengenangkan perjalanan mereka, sampai tak terasa kini sudah pukul 09.00 malam, sudah waktunya bagi mereka untuk pulang ke rumah masing-masing. Sunny tentu saja bersemangat. Namun, lain halnya dengan Orion, sangat berat hati berpisah dengan Sunny.
"Waktu kita benar-benar selesai?" tanya Orion.
"Sudah malam, lagi pula sudah cukup lama kita bermain-main. Apa kami tidak lelah?"
"Sunny." Orion menatap Sunny dengan lekat. "Apa kamu benar-benar tidak mau berkenalan denganku? Namaku—"
"Tunggu sampai kita bertemu lagi, barulah berkenalan. Bahkan, mungkin kita juga bisa bertukar nomor," pungkas Sunny.
"Kalau kita tidak bertemu lagi?"
Sunny tersenyum. "Yakin saja dulu. Kalau dari awal kamu ragu begini, aku juga ragu untuk berkenalan denganmu."
Tanpa membuang waktu lagi, Sunny langsung pergi dan tak menghiraukan Orion yang masih mematung menatapnya.
Jawaban barusan hanyalah kata-kata sepintas lalu agar segera lepas dari Orion. Ya ... tak ada yang berkesan bagi Sunny, justru dia berpikir Orion hanyalah playboy yang selalu tergoda dengan wanita cantik. Walau ada kemungkinan mereka bertemu lagi—karena berasal dari negara yang sama, tetapi Sunny sangat berharap agar mereka tinggal di pulau yang berbeda. Jadi, kesempatan bertemu itu amat tipis.
Berbeda dengan Sunny yang langsung membuang jauh momen barusan, Orion justru menggenggamnya kuat-kuat dalam ingatan. Sunny, gadis musim panas yang ia temui di negara orang, menjadi satu-satunya perempuan yang berhasil menggetarkan hatinya.
"Aku sungguh berharap, Sunny, kelak kita akan bertemu lagi. Dan aku ... tidak akan melepaskanmu," gumam Orion sambil menggenggam gantungan kunci dan juga ponsel yang beberapa saat lalu dipegang oleh Sunny.
Bersambung...
Kepulangan Orion dari London mengejutkan semua penghuni rumah. Mulai dari orang tuanya—Riu dan Vale, saudara kembarnya—Olliver, sampai beberapa pelayan yang bekerja di rumah tersebut.
Bagaimana tidak, tuan muda yang biasa cuek, datar tanpa ekspresi, dan tidak peduli dengan hal lain selain pekerjaan, hari itu pulang sambil membawa sepasang kucing warna abu-abu. Orion tak hanya menggendong hewan itu, tetapi juga mengajaknya bicara dan tertawa, seolah-olah dia terlahir sebagai manusia pecinta kucing.
"Heh, kamu nggak salah makan? Mau ngobrol dan ketawa sama kucing? Nemu di mana kamu hewan itu?"
Olliver yang pertama kali menegur Orion. Sebagai saudara yang lahirnya hanya selisih empat menit, Olliver hafal benar seperti apa Orion. Jangankan mengobrol dan bercanda dengan kucing, memanggil sekilas saja dia tidak akan mau. Entah angin apa yang sekarang mengubah jalan pikiran Orion.
"Sembarangan aja nemu, ini aku beli. Mulai sekarang aku akan memelihara kucing. Awas kalau kamu sakiti!" ancam Orion sambil melotot tajam.
Alih-alih takut, Olliver justru makin mendekat dan menyentuh kening Orion.
"Nggak panas, tapi kok kayak kumat. Habis kesambet setan London ya?" ucapnya sambil tertawa renyah.
Vale hanya menggeleng-geleng melihat tingkah mereka yang kekanak-kanakan, padahal usia tak lagi muda. Namun, di balik itu semua Vale juga heran, apa gerangan yang membuat Orion tiba-tiba ingin memelihara kucing. Apakah ada sesuatu yang terjadi di London?
"Kelihatannya ... kamu sangat senang, Nak," ujar Vale sambil ikut mengelus-elus kucing yang dibawa Orion.
"Mama tahu aja."
"Ada apa? Ketemu calon menantu Mama kah di sana?" tebak Vale, sangat tepat sasaran.
Orang cuek kalau sedang jatuh cinta memang jelas sekali tanda-tandanya, dan Vale juga pernah muda, makanya tak sulit menebak ke arah sana.
"Ah, Mama sembarangan deh. Orang kayak kulkas macam dia mana bisa jatuh cinta. Melihat perempuan aja bawaannya langsung kabur. Nggak tahu deh, jangan-jangan tertariknya malah sama laki." Sebelum Orion menjawab, Olliver lebih dulu menyela, dan tentu saja sambil tertawa. Dia tak peduli meski Orion memelototinya lebih tajam.
"Kamu jangan meledek kakakmu seperti itu, Olliver. Asal kamu tahu, orang cuek dan dingin seperti Orion, sekali jatuh cinta tidak main-main." Kali ini Riu yang bicara. Teorinya tidak datang dari artikel mana pun, tetapi berkaca dari diri sendiri. Dulu dia juga dingin dan cuek, dan sekalinya jatuh cinta dengan Vale, jangan ditanyakan lagi sebesar apa cintanya.
Merasa mendapat pembelaan, Orion tersenyum seketika. Lantas dengan cepat menatap Olliver dan bicara keras padanya, "Dengar tuh apa kata Papa! Awas kalau lain kali sembarangan bicara, aku doain kamu nggak laku sampai tua!"
Olliver tertawa terbahak-bahak. Lalu menyahut dengan keras pula, "Seorang Olliver mustahil nggak laku, Bro! Para gadis udah antri di belakang. Kalau mau nikah tinggal pilih salah satu, beres!"
Meski sudah menaiki anak tangga, tetapi Orion masih bisa mendengar jawaban Olliver, dan dalam hati juga membenarkan pernyataan itu.
Olliver jauh berbeda dengan dirinya yang cuek. Laki-laki itu lebih ramah, hangat, dan pintar bergaul. Meski katanya hanya sebatas teman, tetapi nyatanya cukup banyak wanita di sekitar Olliver. Banyak pula di antara mereka yang memuji Olliver sebagai lelaki yang manis dan romantis.
Sementara Orion sendiri, ah entah bagaimana tanggapan wanita-wanita yang pernah mengejarnya. Sama sekali tidak dipedulikan, mungkin mereka akan menilai Orion sebagai lelaki yang menyebalkan.
Bahkan, meski dibandingkan dengan Reyver, adik bungsu mereka yang kini tinggal di Singapura, Orion juga kalah hangat. Tempo hari Reyver sudah mengenalkan kekasihnya pada Riu dan Vale. Walau hanya lewat panggilan video, tetapi setidaknya cukup untuk membuktikan bahwa Reyver bisa berhubungan dengan wanita, tidak seperti Orion yang hidupnya tanpa wanita.
"Tunggu aja nanti, aku akan mengenalkan Sunny pada Mama dan Papa. Aku yakin mereka akan kagum denganku karena bisa memenangkan hati gadis secantik Sunny," batin Orion sambil berjalan menuju kamarnya. Dua kucing yang sejak tadi masih digendong, sekarang pun masih dibawa serta.
Barulah ketika tiba di kamar, Orion melepasnya dan membiarkan mereka bermain di lantai. Pekerjaan baru untuk pelayan, yang pasti akan lebih sering membersihkan kamar sang tuan.
Selain memandangi kucing yang berlarian ke sana kemari, Orion mengeluarkan gantungan kunci berbentuk daun maple yang ia bawa dari London. Senyuman lebar kembali tercetak di bibir Orion. Bayangan tentang Sunny lagi-lagi menari dalam ingatannya, menciptakan rindu yang makin lama makin menggebu. Ahh, andai waktu bisa diulang dan dihentikan dalam menit yang diinginkan.
"Sunny, aku merindukanmu."
Bersambung...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!