Kabar tentang siswa baru yang akan pindah ke SMA Gemilang telah menyebar seperti api. Alya, nama gadis itu, menjadi topik hangat di setiap sudut sekolah. Desas-desus tentang kecantikannya yang alami dan mempesona membuat semua orang penasaran, terutama geng Syantik.
Di sebuah sudut kantin sekolah, Rina, Siska, Sari, dan Gea duduk bersama. Wajah mereka terlihat tegang, penuh kekhawatiran yang tidak bisa mereka sembunyikan. Rina, sang ketua, mengetuk-ngetukkan jarinya ke meja, mencoba menyusun rencana dalam kepalanya.
"Aku dengar dari anak kelas sebelah, Alya itu cantik banget," ujar Sari membuka pembicaraan, nada suaranya terdengar cemas. "Katanya dia pindahan dari desa, tapi kecantikannya bisa bikin kita kalah saing."
Rina mendesah, mengalihkan pandangannya ke arah jendela. "Kita nggak bisa biarin itu terjadi. Sekolah ini wilayah kita. Kita yang paling berkuasa di sini."
Gea mengangguk setuju. "Tapi gimana kalau Andre tertarik sama dia? Semua cewek di sekolah ini tahu Andre itu idola. Kalau Alya berhasil menarik perhatiannya, kita bakal kehilangan posisi kita."
"Tenang aja, kita harus bertindak sebelum dia datang," kata Rina akhirnya, suaranya penuh tekad. "Kita harus bikin dia nggak betah di sini. Bikin dia merasa terasingkan, supaya dia nggak punya kesempatan buat dekat sama Andre."
Siska, yang biasanya paling ceria, tampak serius. "Tapi gimana caranya? Kita belum pernah ketemu sama Alya. Kita nggak tahu apa yang dia suka atau nggak suka."
"Itu nggak penting," jawab Rina cepat. "Yang penting, kita harus buat dia merasa kalau dia nggak diterima di sini. Kita bisa mulai dari menyebar rumor tentang dia, bikin semua orang berpikir kalau dia aneh atau punya masalah."
"Kita bisa ajak teman-teman di kelas buat ikut bantu," tambah Sari. "Kita kan punya banyak pengaruh di sekolah ini. Kalau kita bilang sesuatu, pasti banyak yang percaya."
Rina tersenyum licik. "Bagus. Kita harus manfaatkan pengaruh kita. Buat Alya merasa kalau dia nggak punya tempat di sini. Kita harus pastikan dia merasa kesepian dan tertekan."
Hari-hari berikutnya, geng Syantik mulai menjalankan rencana mereka. Mereka menyebar gosip tentang Alya, meskipun gadis itu belum tiba di sekolah. Mereka mengatakan bahwa Alya adalah anak yang sombong, tidak ramah, dan suka mencari masalah. Desas-desus ini dengan cepat menyebar ke seluruh sekolah, membuat banyak siswa merasa was-was dan tidak sabar untuk melihat seperti apa Alya sebenarnya.
Sementara itu, Rina terus memantau perkembangan situasi. Setiap hari, dia memastikan bahwa rumor tentang Alya semakin meluas. Dia juga mulai memperhatikan gerak-gerik Andre, yang sepertinya juga penasaran dengan siswa baru itu.
"Andre nggak boleh sampai tertarik sama Alya," gumam Rina pada dirinya sendiri suatu hari saat melihat Andre berlatih basket. "Kalau sampai itu terjadi, kita semua akan kalah."
Siska, Sari, dan Gea juga ikut mengawasi Andre. Mereka memastikan bahwa Andre selalu dikelilingi oleh gadis-gadis yang mereka anggap lebih pantas daripada Alya. Mereka berusaha membuat Andre tetap sibuk dan tidak terlalu memikirkan siswa baru yang akan datang.
Namun, semakin mereka berusaha, semakin besar pula rasa cemas yang mereka rasakan. Mereka tahu bahwa kedatangan Alya bisa mengubah segalanya. Geng Syantik, yang selama ini selalu berada di puncak, bisa saja kehilangan posisi mereka jika Alya benar-benar seindah yang diceritakan.
"Rina, kita harus punya rencana cadangan," kata Gea suatu malam saat mereka berkumpul di rumah Rina. "Kalau Alya tetap bertahan di sini, kita harus siap untuk menghadapi segala kemungkinan."
Rina mengangguk. "Kita harus siap. Tapi satu hal yang pasti, kita nggak akan biarkan Alya merebut apa yang jadi milik kita. Kita akan lakukan apa saja untuk menjaga posisi kita."
Keesokan harinya, suasana sekolah semakin tegang. Semua orang berbicara tentang Alya, siswa baru yang belum mereka temui. Geng Syantik, meskipun tampak tenang di luar, sebenarnya sangat cemas di dalam. Mereka tahu bahwa hari kedatangan Alya akan segera tiba, dan mereka harus siap menghadapi apa pun yang akan terjadi.
Akan seperti apa Alya? Apakah benar kecantikannya bisa menyaingi geng Syantik? Dan yang paling penting, apakah Andre akan tergoda dengan pesonanya? Pertanyaan-pertanyaan ini terus berputar di kepala mereka, membuat suasana semakin menegangkan.
Dan di tengah ketegangan itu, semua mata tertuju pada satu hari yang akan menjadi penentu: hari kedatangan Alya di SMA Gemilang.
Mereka tidak tahu tujuan sebenarnya Alya pindah sekolah, bukan semata mengejar pendidikan. Namun, mengejar jodoh yang yang diamanatkan keluarganya. Ya, jodoh Alya berada di SMA Gemilang.
Apakah Alya gadis kampung, akan lugu, polos dan bisa ditindas begitu saja seperti pada kisah-kisah novel, atau FTV? Lalu, siapa jodoh Alya?
Bersambung...
Alya melangkah masuk ke dalam kelas dengan hati berdebar-debar. Suara langkah kakinya yang lembut hampir tenggelam oleh riuh rendah murid-murid yang baru saja kembali dari istirahat pertama. Matanya yang jernih dan berbinar-binar menatap sekitar, mencari-cari tempat kosong. Sesaat kemudian, seorang guru perempuan dengan senyum ramah mendekatinya.
“Anak-anak, tenang sebentar. Kita ada murid baru hari ini,” ujar Bu Aini dengan suara tegas namun lembut. Suara kelas perlahan-lahan mereda, dan semua mata kini tertuju pada Alya.
Dengan sedikit gugup, Alya berdiri di depan kelas. Ia menggenggam tali tasnya erat-erat, mencoba menenangkan dirinya. Walaupun wajahnya tampak tenang, hatinya berdetak kencang. Ia menarik napas dalam-dalam dan mulai berbicara.
“Nama saya Alya,” ucapnya dengan suara yang lembut namun tegas. “Saya baru pindah dari kampung Ngora. Senang bisa bergabung dengan kalian di sini.”
Seluruh kelas terdiam sejenak, menatap sosok Alya yang memancarkan kecantikan alami. Rambut panjangnya yang hitam legam tergerai dengan anggun, matanya yang bulat penuh ketulusan, dan senyumnya yang hangat menambah pesonanya. Ia tampak berbeda dari gadis kota pada umumnya, ada kesederhanaan yang memancar dari dirinya.
Alya melanjutkan, “Saya harap kita bisa berteman baik dan belajar bersama. Mohon bantuannya, ya.”
Bu Aini mengangguk dengan bangga. “Baik, Alya. Silakan duduk di sana,” katanya sambil menunjuk kursi kosong di barisan tengah. Alya berjalan ke tempat yang ditunjukkan, diiringi tatapan penasaran dari teman-teman barunya.
Saat ia duduk, seorang gadis dengan rambut kuncir kuda dan senyum ramah di sebelahnya memperkenalkan diri. “Hai, aku Lita. Selamat datang di sekolah kami. Kalau ada apa-apa, jangan sungkan untuk tanya aku ya.”
Alya membalas senyuman Lita. “Terima kasih, Lita.”
Di balik penampilan lugunya, Alya memiliki ketegasan dan kecerdasan yang luar biasa. Ia tahu, hidup di kota akan menjadi tantangan baru baginya, namun ia siap menghadapinya dengan segala kemampuan dan keanggunannya. Kelas kembali hidup dengan obrolan dan tawa, namun kini ada sosok baru yang memancarkan sinar berbeda, sosok Alya yang cerdas, cantik, dan tetap anggun dalam kesederhanaannya.
Di salah satu sudut kelas, sekelompok gadis terlihat saling berbisik dengan wajah penuh intrik. Mereka adalah geng wanita syantik paling populer di sekolah, yang selalu menjadi pusat perhatian. Saat Alya memperkenalkan diri di depan kelas, mata-mata mereka sudah tertuju padanya dengan tatapan curiga dan sinis.
“Dia cantik sekali, ya,” bisik Siska, gadis dengan rambut pirang yang selalu terlihat rapi.
Rina, pemimpin geng yang selalu tampil sempurna, menatap Alya dengan mata tajam. “Baru datang sudah menarik perhatian semua orang,” gumamnya dengan nada tak suka. “Kita harus berhati-hati. Jangan sampai dia merebut perhatian Andre.”
Andre adalah pria paling populer di sekolah, kapten tim basket yang juga diam-diam disukai oleh Rina. Selama ini, Rina dan gengnya selalu berhasil menjaga posisinya sebagai ratu sekolah tanpa saingan berarti. Namun, kedatangan Alya tampaknya mulai mengusik ketenangan mereka.
“Aku dengar dia pintar juga,” tambah Sari, gadis dengan kacamata tebal yang selalu tahu semua gosip terbaru. “Kabarnya, dia selalu juara kelas di sekolahnya yang lama.”
Rina mengerutkan keningnya, merasakan ada ancaman nyata di hadapannya. “Kita lihat saja nanti,” katanya dengan nada yang sarat dengan niat tersembunyi. “Kalau dia mencoba-coba mendekati Andre atau mengambil perhatian dari kita, dia harus siap menerima konsekuensinya.”
Geng syantik itu tertawa kecil, seolah sudah merencanakan langkah-langkah berikutnya. Sementara itu, Alya duduk di tempatnya dengan tenang, tidak menyadari bahwa kehadirannya sudah memicu perasaan tidak suka dari beberapa murid. Baginya, ini adalah awal yang baru dan ia hanya ingin fokus pada pelajaran serta beradaptasi dengan lingkungan barunya.
Namun, tanpa disadarinya, hari pertama di sekolah sudah menempatkannya di tengah-tengah permainan sosial yang rumit. Di satu sisi, ada teman-teman yang tulus menyambutnya, seperti Lita. Di sisi lain, ada geng syantik yang merasa terancam oleh pesona dan kecerdasan Alya. Alya harus pintar-pintar menavigasi dinamika ini sambil tetap menjadi dirinya sendiri—cerdas, anggun, dan lugu.
Hari pertama Alya di sekolah mungkin baru saja dimulai, tetapi gelombang pertama dari tantangan yang harus dihadapinya sudah tampak di kejauhan. Dengan ketegasan dan kecerdasannya, Alya bertekad untuk menghadapi segala rintangan, termasuk geng populer yang merasa tersaingi oleh kehadirannya.
Alya duduk di bangkunya dengan tenang, menyesuaikan diri dengan jadwal pelajaran yang telah diberikan kepadanya. Hari pertama di sekolah baru ternyata langsung diwarnai dengan tantangan: ulangan dadakan yang telah diumumkan oleh Bu Aini kemarin. Namun, bagi Alya, ulangan mendadak bukanlah sesuatu yang perlu ditakutkan. Ia selalu rajin belajar dan suka membaca informasi di media sosial sebagai tambahan pengetahuannya.
Ketika Bu Aini membagikan lembar ulangan, Alya merasa siap. Soal-soal yang diberikan tidak terlalu sulit baginya. Dengan tenang, ia mengisi setiap jawaban dengan keyakinan penuh. Di sekelilingnya, suasana kelas terasa tegang. Beberapa murid tampak gelisah, namun Alya tetap fokus hingga selesai.
Setelah waktu habis, Bu Aini mengumpulkan lembar ulangan dan mulai melakukan koreksi secara terbuka. Caranya, dengan membagikan kembali lembar ulangan yang telah diisi kepada murid lain untuk dikoreksi. Teman yang memegang lembar ulangan harus jujur menandai jawaban yang salah saat Bu Rina menyebutkan jawaban yang benar.
Tanpa disadarinya, lembar ulangan Alya berada di tangan Rina, pemimpin geng syantik. Rina menatap kertas ulangan Alya dengan penuh perhatian, berusaha mencari kesalahan sekecil apapun. Saat Bu Aini mulai menyebutkan jawaban yang benar, Rina mendengarkan dengan seksama, sesekali melihat ke arah Alya.
“Sebutkan hasil panen utama di Pulau Jawa,” ujar Bu Aini.
“A. Padi,” jawab Alya dalam hati, sama seperti yang dituliskannya di lembar jawaban.
Rina mengecek dan menandainya benar. Satu demi satu jawaban diumumkan, dan Rina mulai merasa kesal karena tidak menemukan satu kesalahan pun.
“Jumlah planet di tata surya yang dikenal saat ini?” tanya Bu Aini.
“B. Delapan,” lagi-lagi jawaban Alya benar. Rina menggigit bibirnya, mencoba tetap tenang meskipun hatinya mendidih.
Saat semua jawaban sudah dibacakan, Rina tidak punya pilihan selain menyerahkan lembar jawaban Alya tanpa satu kesalahan pun. Bu Rina mengambilnya dan tersenyum bangga.
“Selamat, Alya. Hasilmu sempurna di hari pertama ini,” kata Bu Aini dengan bangga.
Alya tersenyum malu-malu dan mengucapkan terima kasih. Suasana kelas sejenak hening, semua murid terkesima dengan pencapaian Alya yang baru pertama kali masuk sudah mendapat nilai sempurna. Lita, yang duduk di sebelahnya, bertepuk tangan pelan.
“Hebat, Alya! Kamu benar-benar pintar,” kata Lita dengan kagum.
Namun, di sudut lain, geng wanita syantik tampak semakin tidak suka. Rina menatap Alya dengan tatapan tajam, merasa posisinya terancam oleh murid baru yang cerdas dan anggun ini. Di dalam hatinya, ia bertekad untuk tidak membiarkan Alya dengan mudah merebut perhatian dan popularitas yang selama ini menjadi miliknya.
Bersambung....
Bab 2
Alya mungkin tidak menyadari sepenuhnya, tetapi hari pertama di sekolah baru telah mengukir namanya sebagai siswa yang luar biasa. Tantangan baru sudah menunggu di hadapannya, dan ia siap menghadapinya dengan kecerdasan, ketegasan, dan keanggunannya yang khas. Di sudut kelas, duduk seorang pria dengan penampilan sederhana. Namanya Bimo, putra dari ibu kantin di sekolah tersebut. Bimo adalah murid yang pintar, sama seperti Alya, dan pada ulangan hari itu, ia juga mendapatkan nilai sempurna. Namun, tidak seperti Alya yang menjadi pusat perhatian, Bimo lebih memilih untuk tetap diam dan tidak mencolok.
Bimo memiliki wajah yang tampan dengan kulit bersih, tetapi penampilannya sering kali tidak mencerminkan itu. Pakaiannya terlihat usang karena sudah lama tidak diganti, tidak seperti teman-temannya yang sering membeli seragam baru setiap kali yang lama sudah kekecilan. Kendati demikian, mata Bimo yang tenang dan dalam menyiratkan kecerdasan dan ketulusan yang jarang terlihat.
Dari tempat duduknya, Bimo memperhatikan Alya dengan diam-diam. Ada sesuatu tentang Alya yang membuatnya tertarik. Bukan hanya karena kecantikan atau kepintarannya, tetapi juga karena keanggunannya yang alami dan ketegasan yang terlihat saat ia menghadapi tantangan. Alya tidak pernah terlihat sombong atau angkuh, meskipun dia baru saja mendapatkan nilai sempurna pada ulangan pertama di sekolah barunya.
Di dalam hati, Bimo mengagumi Alya. Namun, rasa minder karena latar belakang keluarganya membuatnya enggan untuk mendekati atau berbicara dengan Alya. Ia merasa bahwa dirinya tidak sepadan dengan Alya yang terlihat begitu sempurna dan datang dari desa dengan segala kesederhanaannya yang mempesona.
Ketika Bu Aini memuji Alya di depan kelas, Bimo hanya tersenyum kecil sambil menunduk, merasakan kebanggaan yang sama karena ia juga berhasil mendapatkan nilai sempurna. Namun, kebanggaan itu tidak terlihat di wajahnya yang lebih sering menyimpan emosi. Baginya, cukup mengetahui bahwa dirinya mampu bersaing dalam akademik tanpa harus mencari pengakuan dari orang lain.
Bimo sering membantu ibunya di kantin sepulang sekolah. Meski hidupnya sederhana, Bimo memiliki hati yang besar dan keinginan yang kuat untuk meraih masa depan yang lebih baik. Di sela-sela waktu luangnya, ia sering membaca buku dan belajar, berusaha mengejar impian yang mungkin terlihat jauh di mata banyak orang.
Suatu hari, di kantin, ketika Bimo sedang membantu ibunya, ia melihat Alya datang untuk membeli makanan. Alya tersenyum padanya, dan Bimo merasa jantungnya berdetak lebih cepat. Ia memberanikan diri untuk melayani Alya, meskipun tangannya sedikit gemetar.
“Selamat, nilai ulanganmu sempurna,” kata Bimo dengan suara pelan, mencoba menahan rasa malunya.
Alya tersenyum hangat, “Terima kasih. Aku dengar kamu juga dapat nilai sempurna. Hebat sekali.”
Bimo hanya mengangguk dan tersenyum tipis, merasa sedikit lebih percaya diri karena Alya mau berbicara dengannya. Di dalam hatinya, Bimo bertekad untuk lebih berani dan tidak membiarkan rasa mindernya menghalangi kesempatan untuk mengenal Alya lebih baik.
Hari-hari berlalu, dan meski Bimo masih banyak diam, ia mulai menyadari bahwa mungkin ada tempat untuknya di hati Alya. Ia tahu, perjalanan untuk mengatasi rasa mindernya masih panjang, tetapi dengan keberanian dan ketulusan, Bimo yakin bahwa dirinya bisa menjadi teman yang baik bagi Alya, meskipun dalam kesederhanaan hidupnya.
Di saat Bimo mulai menumbuhkan rasa percaya dirinya untuk mendekati Alya, seorang cowok populer dari tim basket bernama Andre juga mulai tertarik pada Alya. Andre adalah sosok yang selalu menjadi pusat perhatian, terutama di kalangan geng syantik. Meskipun Andre berada di kelas yang berbeda dengan Alya, kabar tentang murid baru yang cantik dan pintar ini sudah sampai ke telinganya.
Andre memiliki rencana tersendiri untuk mendekati Alya. Dia tidak terburu-buru, tetapi memilih pendekatan yang ramah dan sopan. Andre tahu bahwa untuk memikat hati Alya, dia harus menunjukkan sisi dewasanya dan kesopanan yang tidak dibuat-buat.
Pada suatu hari, ketika jam istirahat kedua, Andre melihat Alya sedang duduk sendirian di taman sekolah, membaca buku. Ini adalah kesempatan yang sudah ditunggunya. Dengan langkah yang mantap, dia mendekati Alya, sambil melemparkan senyum hangat.
“Hai, kamu Alya, kan?” Andre memulai percakapan dengan nada ramah.
Alya menoleh dan tersenyum. “Iya, betul. Kamu siapa?”
“Aku Andre, dari tim basket. Aku dengar kamu baru saja pindah ke sini. Gimana, sudah mulai betah?” tanya Andre dengan nada yang hangat dan perhatian.
Alya mengangguk. “Iya, sudah mulai betah. Teman-teman di sini ramah-ramah.”
Andre duduk di bangku sebelah Alya, menjaga jarak yang sopan. “Senang mendengarnya. Oh iya, selamat ya, aku dengar nilai ulanganmu sempurna. Hebat banget!”
“Terima kasih, Andre,” jawab Alya dengan senyum. “Aku Cuma berusaha yang terbaik saja.”
Andre tersenyum lagi. “Sama-sama. Aku juga sering latihan keras di tim basket. Mungkin kita bisa saling membantu kalau ada tugas atau latihan.”
Alya merasa nyaman dengan percakapan ini. Andre tampak tulus dan tidak memaksa. “Tentu saja, Andre. Aku senang bisa berbagi ilmu.”
Seiring waktu, Andre terus mendekati Alya dengan cara yang elegan dan sopan. Dia tidak hanya berbicara tentang dirinya sendiri, tetapi juga mendengarkan Alya dengan penuh perhatian. Andre ingin Alya melihatnya sebagai teman yang bisa diandalkan, bukan hanya sebagai cowok populer.
Di sisi lain, Bimo memperhatikan interaksi ini dari kejauhan. Dia merasa sedikit cemas melihat Andre yang begitu mudah mendekati Alya, tetapi Bimo tidak menyerah. Dia tahu bahwa kejujuran dan ketulusannya adalah kekuatan yang tidak bisa diabaikan. Bimo terus berusaha untuk mendekati Alya dengan caranya sendiri, meskipun perlahan-lahan.
Suatu hari, Bimo memberanikan diri untuk mendekati Alya setelah jam pelajaran berakhir. Dia melihat Alya sedang mengemasi buku-bukunya di kelas.
“Hai, Alya,” sapa Bimo dengan suara pelan.
Alya menoleh dan tersenyum. “Hai, Bimo. Ada apa?”
Bimo mengambil napas dalam-dalam, mencoba mengatasi rasa gugupnya. “Aku hanya ingin bilang, kalau kamu butuh bantuan belajar atau ada tugas yang sulit, kamu bisa tanya aku. Aku senang bisa membantu.”
Alya tersenyum hangat. “Terima kasih, Bimo. Aku benar-benar menghargainya. Kamu juga hebat, nilaimu selalu bagus.”
Bimo merasa sedikit lega dan tersenyum. “Sama-sama. Kita bisa belajar bersama kalau kamu mau.”
Di tengah perhatian dari Andre yang populer dan Bimo yang sederhana, Alya merasa dihargai dan diperhatikan. Dia menghargai kebaikan dan ketulusan dari keduanya. Meskipun tantangan dan dinamika sosial di sekolah baru ini cukup rumit, Alya yakin bahwa dengan sikap yang baik dan hati yang tulus, dia bisa menemukan teman-teman sejati dan menjalani hari-harinya di sekolah dengan penuh semangat.
Dari kejauhan, geng cewek syantik memperhatikan dengan saksama saat Andre mendekati Alya di taman sekolah. Tatapan mereka penuh rasa tidak suka, terutama Rina, ketua geng yang merasa posisinya terancam. Hari pertama Alya di sekolah sudah membuat Rina khawatir, dan sekarang ketakutannya terbukti: Alya telah menarik perhatian Andre, pria yang menjadi pusat perhatian banyak gadis di sekolah.
Bersambung....
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!