Seorang perempuan...Sherli namanya. Umur 18 tahun yang baru lulus dari SMA. Selepas SMA keinginannya langsung kerja agar bisa membantu papa dan mamanya. Hari itu. Pukul 19.00. Sherli bersama dengan mama dan adiknya, Gabi makan malam bersama. Sherli cerita semua tentang dirinya yang melamar pekerjaan dan dipanggil wawancara tapi mamanya sangat keberatan.
"Aku gak bohong kalau sudah dipanggil" kata Sherli.
"Kamu mau di sana? Kota itu?" tanya beliau sinis.
Sherli tahu mamanya keberatan bahkan bisa saja tidak diperbolehkan.
"Banyak polusi, penipu, bahkan terlalu berisik"
"Namanya juga kota besar"
"Makanya...gimana bisa kamu mau ke sana? Cari kota yang sekiranya aman untuk pendatang"
"...tapi kerja di sana akan membuat hidup aku berkembang dan penghasilannya lumayan"
"Lumayan dengan biaya hidup yang tinggi" kata beliau sinis.
"Kapan lo melamar di sana?" tanya Gabi.
"Kamu gak sopan memanggil nama kakak sendiri dengan sebutan 'lo'"
"Apa masih jadi masalah?"
"Masalah. Kita memang cuma selisih setahun tapi tetap saja yang keluar dari kandungan mama lebih dulu tetap aku" kata Sherli protes.
"Sherli, pokoknya mama tidak setuju. Mama takut terjadi sesuatu dengan kamu. Kamu berasal dari kota kecil. Apa kamu bisa menghadapi jika terjadi sesuatu dengan kamu di kota besar?"
"Apa mama tidak ingin hidup aku berkembang? Jika orang tua lain pasti akan mengizinkan"
"Bukan begitu. Setidaknya kamu coba dulu di kota lain yang tidak begitu besar selanjutnya kamu boleh di kota besar. Sekarang masih terlalu awal untuk berada di kota besar begitu"
"Seharusnya mama mengizinkan dan mendoakan agar aku selalu selamat di sana"
"Jika barang yang hilang tidak masalah untuk mama tapi bagaimana jika mahkota kamu hilang apalagi jika dibunuh seperti kasus di televisi"
"Aku tidak punya mahkota" kata Sherli dengan merasa heran.
Sherli tertawa sebentar.
"Mama, kita bukan orang kaya jadi tentu saja aku tidak punya mahkota. Jangankan aku bahkan mama juga"
"Maksud mama keperawanan lo. Apa begitu saja tidak tahu? Gimana, sih?" kata Gabi menjelaskan maksud perkataan mamanya.
Sherli melihat Gabi lalu melihat mamanya dan berpikir sebentar.
"Justru itu doakan aku agar selalu selamat dan aku bisa menjaga diri"
"Mama tetap tidak setuju. Kamu baru lulus SMA. Masih terlalu muda. Kota besar itu keras"
"Baiklah. Aku akan meminta izin kepada papa"
"Sherli!" tegur mamanya.
"Besok aku dipanggil wawancara. Mama berdoa saja agar aku tidak diterima jika mama tidak setuju aku di sana"
Sherli duduk dengan merasa sebal lalu mamanya dan Gabi melihat Sherli. Papa Sherli datang dan melihat mereka berkumpul di ruang makan. Mereka menoleh kepada papa. Inilah yang diinginkan Sherli yaitu kedatangan papanya. Beliau berhenti berjalan.
"Kenapa belum makan? Bukankah papa sudah bicara bahwa tidak perlu menunggu papa pulang?"
"Mama malas makan jika Sherli membuat sebal" kata mama Sherli dengan mengerutkan dahinya.
"Kenapa?"
"Papa ganti baju dulu. Kita bicara di ruang keluarga" kata mamanya dengan sesekali melihat Sherli karena merasa sebal.
Pukul 19.30. Mereka ada di ruang keluarga dan papa Sherli sudah mengetahui semuanya. Sherli memohon terus kepada papanya.
"Bukankah papa sudah bicara bahwa carilah pengalaman entah kamu harus di kota besar atau di kota kecil?"
Sherli tersenyum.
"Apa papa setuju?" tanya Sherli merasa punya harapan.
Beliau mengangguk dan Sherli tersenyum senang.
"Papa selalu bertentangan dengan mama" kata mama Sherli dengan merasa tidak senang.
"Zaman sekarang perlu pengalaman yang banyak. Dengan berada di kota besar banyak pengalaman yang didapat"
"Mama bukan tidak mengizinkan tapi mama ingin menunda. Sherli lebih baik berada di kota yang tidak besar dulu. Papa tahu keadaan di kota besar. Sangat membahayakan tidak hanya fisik tapi mental" kata mama Sherli dengan merasa sebal.
"...tapi jika Sherli ingin begitu kita cukup mendukung apalagi sudah dipanggil wawancara. Sangat sayang jika tidak diambil"
"Bagaimana jika terjadi sesuatu dengan Sherli? Diperkosa dan dibunuh. Bukankah kita juga rugi dan malu?"
"Sherli bisa menjaga diri sendiri"
Sherli mengangguk tanda setuju.
"Berapa persen Sherli bisa menjaga diri sendiri? Apalagi usia masih 18 tahun. Usia yang lebih dari 20 tahun saja masih bisa terjerumus"
"Mama, Sherli janji tidak akan terjerumus. Tujuan Sherli di sana untuk bekerja"
"Sekarang kamu bisa berkata begini"
Mamanya kembali merasa sebal.
"Terserah kamu"
Mamanya berdiri dan berjalan pergi dengan sebal. Sherli memikirkan sikap mamanya. Memang Sherli merasa bahwa pantangannya ada di mama.
"Yang penting kamu benar menjaga diri"
"Bukankah aku juga bisa membantu papa dan mama untuk membiayai sekolah Gabi jika aku diterima bekerja di perusahaan itu?"
"Tidak seperti biasanya kamu berpikir dewasa" kata papanya dengan tersenyum.
"Aku selalu berpikir dewasa"
"Iya. Iya. Kamu sekarang sudah dewasa"
Sherli tersenyum senang.
"...tapi pikirkan dulu keadaan kamu di sana...biaya hidup kamu. Di sana biaya hidup sangat tinggi"
Sherli mengangguk.
"Selalu saja papa membela Sherli" pikir mama Sherli dengan merasa sebal.
Keesokan harinya. Pukul 06.00. Mereka sudah sampai di terminal. Mamanya merasa berat hati untuk merelakan Sherli pergi sehingga sangat perhatian.
"Aku tahu sebenarnya mama tidak rela. Mama tidak akan kehilangan aku. Aku akan terus memberi kabar" kata Sherli dengan tersenyum.
"Kak Sherli, hati-hati"
"Kamu juga jadi aneh. Biasanya tidak pernah memanggil aku dengan 'Kak'. Coba sebelumnya sudah memanggil begitu" kata Sherli dengan tersenyum lucu.
"Kami akan selalu mendoakan untuk keselamatan kamu" kata papanya pelan.
Sherli mengangguk dengan tersenyum.
"Apa benar kamu sudah memberitahu teman kamu?" tanya mamanya.
"Aku akan memberitahu ketika mau sampai di sana" kata Sherli dengan tersenyum.
Papanya mengangguk tanda mengerti. Bus datang dan mereka menyuruh Sherli untuk masuk ke dalam bus tersebut. Sherli tersenyum dan masuk ke dalam bus. Beberapa orang yang akan menuju kota tersebut juga masuk sehingga Sherli tidak sendiri di dalam bus.
"Gue harus menjaga diri. Jangan mudah percaya dengan orang yang tidak gue kenal" pikir Sherli bertekad.
Pukul 10.30. Sherli sampai di kota itu lalu sudah keluar dari bus dan melihat sebentar di sekitarnya.
"Tidak seindah yang diceritakan teman gue dan berada di TV. Benar kata mama bahwa sangat ramai. Gue harus berhati-hati" pikir Sherli.
Sherli berharap selalu selamat.
"Gue harus telepon Ella" pikir Sherli.
Sherli mau mengambil handphone dalam tasnya tapi seketika seseorang mengambil tasnya dari belakang dan Sherli tidak jadi mengambil dengan terkejut. Seseorang berlari dengan cepat dan Sherli berteriak meminta pertolongan dengan berlari. Semua orang segera berlari mengejar pencopet tersebut.
"Copet!" teriak Sherli.
Sherli sungguh merasa kaget, bingung dan mau menangis. Sherli berhenti berlari karena percuma. Pencopet tersebut sudah hilang. Sherli menangis. Beberapa orang merasa kasihan dan beberapa orang menghibur Sherli.
"Sebaiknya lapor saja kepada polisi" kata salah seorang yang menolong Sherli.
"Pak, saya orang baru di sini jadi tidak mengerti jalan"
Orang tersebut merasa iba. Dia sudah berumur cukup. Umur 55 tahun. Seorang bapak.
"Saya antar, Nak"
Sherli berhenti menangis. Sherli diantar bapak itu dengan sepeda motor. Semua barang hilang termasuk handphone dan dompet karena itu Sherli bingung. Sherli semakin menangis dan tidak bisa berpikir apapun. Akhirnya Sherli sampai di kantor polisi. Sherli turun dari sepeda motor dan beliau pun juga.
"Saya antar ke dalam. Adik jangan menangis. Polisi pasti bisa menemukan"
Sherli berusaha berhenti menangis.
Orang itu melihat dua orang polisi yang berbincang dengan wajah serius sampai akhirnya salah seorang polisi itu datang dan duduk. Orang itu melihat name tag yang tertempel di baju dinas bernama...
"Kres Wijaya" pikir orang itu membaca.
"Baik. Ada yang bisa saya bantu, Pak?"
"Ehm...iya, Pak. Begini. Di terminal saya bertemu dengan Adik yang kecopetan" kata orang itu dengan melihat sebentar Sherli.
Kres melihat arah mata orang itu. Seorang perempuan yang masih sangat muda. Kres tebak dia masih sangat polos terlihat dari sikapnya bahkan bisa saja baru lulus sekolah, berkulit putih, memakai kaos warna oranye, rambut hitam panjang, dan matanya berkaca kaca. Kres mengangguk tanda mengerti.
"...Adik ini kehilangan semuanya. Bapak bisa membantu ya?"
"Perkenalkan nama saya Kres Wijaya"
"Baik, Pak Kres"
Orang itu melihat Sherli.
"Adik, silahkan bicara sama polisinya. Identitas Adik dari mana?" kata orang itu setengah berbisik.
Kres melihat Sherli dan air mata Sherli mulai jatuh sampai akhirnya...
"Huhuhu...huaaahhh...huhuhu"
Baik Kres dan orang itu tidak melihat Sherli bicara tapi justru menangis keras sampai kedua mata bengkak dan hidung merah.
"Pak, Maaf. Mungkin Adik ini masih shock karena memang sepertinya dia pendatang"
Kres merasa kasihan dan mengangguk pelan.
"Baik. Bisa Bapak tenangkan dulu" kata Kres pelan.
"Adik, mari saya bantu duduk di belakang. Adik memang harus tenang"
Sherli berusaha berhenti menangis dan menggeleng keras dengan mengusap air mata dengan lengan kanannya.
"Hiks...hiks..."
Terdengar Sherli yang mulai tenang meskipun masih terisak tapi akhirnya sudah bisa menyebutkan identitasnya. Selesai menyebutkan Sherli mengepalkan tangannya yang ada di atas meja penuh dendam.
"Pak, pokoknya saya mau dia dipenjara bahkan kalau bisa dihukum mati! Jangan karena saya pendatang Bapak gak adil terhadap saya! Harus dihukum mati karena dia merugikan saya!" kata Sherli teriak.
Kres sedikit tersentak kaget.
"Gue pikir dia penakut tapi ternyata bisa galak juga" pikir Kres.
"Tenang. Tenang dulu" kata Kres pelan dan mengangkat sebentar kedua tangannya.
Kres menahan napas sebentar.
"Laporan saya terima. Saran saya Adik pulang. Kalau barang sudah ditemukan saya akan kirim"
"Benar tidak apa apa kalau Adik ini pulang, Pak?" tanya orang itu.
"Lebih baik begitu. Di sini dia sudah kena copet. Jadi saya minta tolong Bapak antar dia ke terminal dan..."
Kres berdiri lalu mengambil dompet dari dalam saku yang terletak di pantatnya dan mengambil beberapa lembar uang kertas yang berwarna merah itu.
"Ini, Pak"
"Pak, kalau tentang ini biar saya saja. Saya ikhlas membantu"
"Tidak masalah. Ini salah satu bentuk tugas saya" kata Kres.
"...tapi uang ini banyak, Pak"
"Tidak masalah. Sisanya ambil Bapak saja"
"Pak, terima kasih. Memang Pak Kres pantas jadi seorang polisi. Selalu siap membantu orang"
"Pastikan dia selamat sampai di terminal, Pak"
"Baik, Pak" kata orang itu dengan mengambil uang dari tangan Kres.
Sikap Kres sopan dengan beliau dan sedikit menunduk.
"...tapi saya..."
"Tenang saja, Dik. Saya akan berusaha menemukan barangnya" kata Kres meyakinkan Sherli.
"Ayo, Adik" ajak orang itu.
"Kalau sekarang masih mau di sini...mungkin belum tenang silahkan. Saya akan membawakan air minum ke sini tapi sebelum sore lebih baik Adik pulang agar tidak kemalaman" kata Kres pelan.
Orang itu tampak keberatan jika sampai nanti karena dia harus kerja dan Kres paham.
"Bapak bisa meninggalkan Adik ini. Nanti saya saja yang akan mengantarkan" lanjut Kres.
"Adik mau di sini dulu atau langsung ke terminal?" tanya orang itu melihat Sherli.
"Pak, saya tidak mau" kata Sherli dengan menggeleng keras.
Kres tampak heran dan melihat beliau terus membujuk Sherli untuk mau ke terminal sampai akhirnya Sherli melihat raut wajah Kres begitu serius dan menunjukkan sikap tegasnya. Sherli sudah mulai menjauh dari pandangan Kres karena diajak pergi orang itu. Di terminal Sherli diantar sampai di bus yang arahnya menuju kota kelahiran Sherli.
"Pak, saya..."
"Adik, saya punya kewajiban untuk menjamin keselamatan. Pertama Pak Kres mempercayakan kepada saya. Kedua saya juga ikut merasa bersalah kalau sampai tidak bisa mengantarkan adik dengan selamat. Adik ikuti kata saya. Ayo masuk"
Sherli mau naik tapi ragu.
"Kenapa, Dik? Benar saja saya lupa"
Dia mengambil uang dari dalam sakunya.
"Ini uang dari polisi tadi. Ambil semuanya saja. Sisanya bisa Adik beli makan waktu ada pedagang keliling di bus nanti. Saya yakin nanti Adik akan lapar"
Sherli mau bicara.
"Sudah ambil saja semuanya. Tidak apa apa"
Sherli melihat uang itu.
"Lumayan banyak" pikir Sherli pelan.
Sherli mengambil uang itu dengan pelan.
"Terima kasih banyak, Pak"
"Hati-hati, Dik"
Sherli mengangguk pelan dan naik lalu mencari duduk dan menemukan tempat duduk yang kosong maka menghampiri. Sherli duduk di pojok dan orang itu sudah mulai menjauh.
"Gue gak bisa pulang. Apa kata mama? Mama selalu keras sama gue. Papa juga pasti shock. Gimana kalau penyakit jantung papa kambuh? Gue gak mau menjadi penyebab papa kambuh" pikir Sherli pelan.
Pukul 20.00. Irfan datang baru dari tugas dan duduk dengan menghela napas pelan. Kres melihat sebentar Irfan. Jika sudah mendengar Irfan menghela napas pasti ada sesuatu.
"Komandan"
Kres melihat Irfan dan segera menyuruh diam.
"Kenapa lagi? Jangan asal panggil komandan nanti terdengar Beliau. Tersinggung"
"Lo mau tahu? Lebih baik lo yang jadi komandan daripada Bapak yang sok terhormat itu"
"Kalau lo bicara dikondisikan. Nanti terdengar biar tahu rasa apalagi gue gak minat. Kenapa lagi menghela napas?"
"Gue gak paham. Apa salah gue? Gue selalu ditegur inilah itulah"
"Makanya hati-hati kalau bicara. Kita semua juga tahu Beliau memang begitu. Dijalani saja semuanya"
"Lo enak bicara begitu karena yang paling parah ditegur gue padahal selama ini gue menjalankan tugas dengan benar. Gue gak pernah sembarangan atau sekedar main-main"
"Sabar" kata Kres dengan menepuk sebentar punggung Irfan.
Irfan berdiri.
"Gue mau pulang. BT" kata Irfan sebal.
Kres melihat Irfan yang mulai menjauh dan cuma bisa menggelengkan kepalanya.
Hari sudah berganti. Sherli masih bingung mau pergi ke tempat mana karena memang tidak tahu tujuan. Sherli juga tidak tahu saat itu jam berapa? Kedua mata Sherli juga perih karena semalam tidak bisa tertidur. Tentu saja Sherli harus menjaga dirinya agar tidak diganggu penjahat. Sherli berpikir yang harus dilakukan untuk selanjutnya. Cukup lama berpikir dengan terus berjalan akhirnya menemukan ide. Gimana kalau beli koran untuk cari pekerjaan? Sebelum beli koran Sherli cari warung untuk mengisi perutnya dulu karena sangat lapar. Memang dari semalam Sherli tidak menyentuh nasi sekalipun. Sherli menghela napas. Hidupnya menderita sejak kecopetan. Seharusnya memang mendengarkan perkataan mamanya tapi Sherli tidak bisa pulang. Tepat di depan warung Sherli masuk dan memesan makanan seadanya. Sherli masih harus menghemat karena tidak akan tahu ke depannya membutuhkan biaya. Sherli melihat jam dinding. Ternyata sudah pukul 08.00. Sherli makan dengan lahap sehingga tidak butuh waktu lama makanan habis lalu berdiri dan membayar. Alangkah terkejutnya Sherli. Makanan yang baru saja dimakan sangat mahal padahal hanya pilih menu sekedarnya.
"Astaga. Biaya hidup di sini..." pikir Sherli miris.
Sherli berjalan pergi dari warung dan masih terus berlanjut. Sepanjang jalan Sherli sudah cukup lama berjalan dan tiba di rambu lalu lintas ada orang yang menawarkan beli koran di setiap pengguna jalan yang berhenti menyetir karena lampu merah menyala. Sherli berjalan menghampiri orang muda itu.
"Mas"
Dia menoleh dan melihat Sherli.
"Beli korannya. Berapa?"
"Delapan ribu, Neng"
Sherli membelalakkan kedua matanya.
"Kenapa mahal?" pikir Sherli dengan merasa tidak percaya.
"Delapan ribu?"
"Iya, Neng"
Akhirnya Sherli memberikan uang senilai itu dengan merasa miris dan imbalannya Sherli menerima korannya lalu berjalan pergi dan mencari tempat yang sekiranya aman maka Sherli mau duduk di halte bus tapi tidak jadi karena seorang wanita paruh baya menjatuhkan dompetnya ketika hendak naik ke bus. Seketika Sherli memanggil.
"Bu. Bu. Permisi" panggil Sherli dengan mengambil dompet abu-abu itu.
Beliau menoleh lalu melihat Sherli dan Sherli melihat penampilan beliau.
"Elegan...tapi...kenapa bisa naik bus ya?" pikir Sherli dengan merasa heran.
"Iya?"
Sherli berhenti berpikir.
"Apa ini dompet Ibu?"
Beliau melihat dompet yang dipegang Sherli.
"Oh...benar dompet saya" kata beliau dengan mencari di dalam tasnya.
Beliau berpikir dengan bingung.
"Kenapa...?"
"Baru saja jatuh waktu Ibu mau naik"
"Astaga" kata beliau.
Beliau segera membuka dompet dan melihat isinya.
"Untung saja. Terima kasih. Kalau sampai hilang saya masih harus mengurus semua surat yang ada di dalam dompet ini" kata beliau dengan merasa lega.
"Tidak masalah, Bu. Saya cuma kebetulan melihat kejadian tadi"
Beliau mengambil dua lembar uang kertas berwarna merah dari dalam dompetnya.
"Ini untuk kamu"
"Ini...apa, Bu?" tanya Sherli dengan merasa tidak mengerti.
"Sebagai bentuk rasa terima kasih saya. Andai tidak ada kamu sudah pasti saya yang ribut"
"...apalagi dia jujur melihat penampilannya yang...dan saya lihat kamu memang tulus mengembalikan kepada saya" pikir beliau dengan merasa kagum.
"...menurut saya yang penting surat di dalamnya tidak hilang" lanjut beliau.
"Ah...tidak. Tidak perlu, Bu. Sungguh. Saya memang mau mengembalikan karena dompet itu punya Ibu"
"Sudah tidak masalah. Ambil saja. Ayo"
"Tidak, Bu. Sekali lagi maaf. Saya tidak bisa menerima"
"Saya paham kamu ikhlas tapi..."
"Bukan saya tidak mau menerima atau sok tapi sejak dulu saya tidak pernah mau mendapat imbalan apapun. Saya diajarkan untuk ikhlas menolong orang" potong Sherli.
Beliau memandang Sherli dengan semakin kagum.
"Orang tua kamu...berhasil mengajarkan anaknya punya sifat tulus dan jujur" kata beliau dengan tersenyum.
"Tidak. Saya juga banyak kekurangan" kata Sherli dengan merasa segan.
Beliau melihat terus Sherli.
"Bahkan rendah hati" pikir beliau.
"Saya sangat berterima kasih"
"Iya, Bu" kata Sherli dengan tersenyum.
Beliau naik ke dalam bus dan Sherli berjalan menuju halte lalu duduk dan membuka koran di bagian lowongan kerja.
2 hari kemudian
Kres, Irfan, dan 3 teman lainnya berkumpul untuk sekedar makan malam bersama di sebuah mall sampai mereka saling cerita tentang beberapa kasus. Sherli berhenti berjalan dan melihat sekeliling lalu ketakutan lagi karena dari masuk dalam mall diikuti seseorang dan orang itu secara terus terang melihat terus Sherli dengan tatapan mengancam. Sherli segera berhenti melihat dan jantungnya berdegup kencang karena terlalu takut.
"Gimana ini? Kalau gue keluar justru bahaya tapi kalau tetap di sini yang mau gue lakukan apa?" pikir Sherli panik.
Seketika Sherli melihat gerombolan orang yang memakai baju polisi.
"Di sana ada beberapa polisi. Gimana kalau gue melapor?" pikir Sherli.
Sherli berusaha tenang.
"Gue harus jalan ke sana dengan tenang agar penjahat itu gak curiga kalau sebenarnya gue mau menghampiri gerombolan polisi di sana. Kenapa gue selalu dijahati orang?" pikir Sherli sebal.
Sherli berjalan perlahan sampai di gerombolan polisi itu.
"Maaf, Pak"
Salah seorang polisi itu menjawab panggilan Sherli.
"Iya, Dik?"
"Pak, saya minta tolong. Dari tadi saya diikuti orang jahat"
Polisi itu mau berdiri tapi Sherli mencegah.
"...tapi, Pak...jangan berdiri karena khawatir orang itu langsung pergi"
"Posisi orangnya di mana, Dik?"
"Di..."
"Kamu?"
Seketika Sherli mendengar suara seorang pria yang di samping polisi bicara dengan dirinya lalu Sherli menoleh dan melihat pria itu. Ternyata pria itu adalah polisi yang bernama Kres. Sherli merasa tidak menyangka bisa bertemu lagi dengan Kres.
"Kamu masih di sini? Tidak pulang?" tanya Kres dengan merasa heran.
"Pak, tidak...maksud saya...nanti saya akan menjelaskan tapi tolong sekarang bantu saya. Saya diikuti orang jahat dari awal masuk sini"
Kres mulai mengerutkan dahi dengan melihat terus Sherli.
"Ternyata Adik ini bandel. Kenapa dia tidak pulang saja? Akhirnya gue harus menangani kasusnya lagi" pikir Kres sebal.
Kres berusaha menahan emosinya.
"Di mana posisinya?"
"Saya yakin gak jauh dari tempat saya berdiri di sini. Cowok, pakai baju garis hitam, tidak begitu tinggi"
"Kres, gimana kalau gue bantu juga?" kata Irfan menawarkan diri.
Kres melihat Irfan.
"Kita juga bisa bantu" kata salah seorang polisi yang lain.
"Iya. Di sini begitu ramai. Yakin lo bisa melakukan sendiri?" tanya Irfan.
"Baiklah. Kita berpencar" kata Kres tegas.
"Kres, lebih baik lo yang bersama Adik ini. Gue tetap di posisi yang seperti biasanya. Cuma kita yang tidak memakai baju dinas jadi yang lain harus punya trik untuk sembunyi" kata Irfan.
Polisi lain mengangguk tanda setuju. Kres melihat Sherli.
"Kamu ikut saya. Kita pura-pura jalan bersama"
Sherli mengangguk pelan.
"Gue ke sebelah sana, Kres"kata Irfan dengan menunjuk sebentar arahnya dengan wajah.
Kres mengangguk dan polisi lainnya juga berpencar. Kres dan Sherli jalan bersama.
"Urusan kita belum selesai" kata Kres berhenti berjalan.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!