NovelToon NovelToon

Di Kira Pengangguran

bab 1.

Nara Aulia Putri seorang wanita cantik berusia 25 tahun, adalah anak ketiga dari pasangan Wibowo dan Indah. Ia memiliki tiga saudara, dan keluarganya dikenal harmonis dan bahagia. Namun, di balik kecantikannya, Nara memiliki sisi ambisius yang sangat kuat dan pantang menyerah dalam mencapai apa yang diinginkannya.

Sejak kecil, Nara selalu berusaha keras untuk menunjukkan kemampuannya di berbagai bidang, baik dalam bidang akademik maupun non-akademik. Dia selalu ingin menjadi yang terbaik di antara saudara-saudaranya, bahkan di antara teman-temannya. Dalam mengejar cita-cita, Nara tidak pernah gentar menghadapi  rintangan dan tantangan yang ada.

Sebagai anak ketiga, Nara sering merasa diabaikan oleh orangtuanya yang lebih fokus pada anak pertama, kedua dan anak ke empat mereka. Hal ini membuat Nara berusaha lebih keras lagi untuk mencapai kesuksesan, agar keluarganya bangga padanya. Nara selalu menetapkan target yang tinggi dalam hidupnya, dan ia tidak akan berhenti sebelum mencapainya.

Yang sayang padanya cuma ayahnya saja.

Waktu Nara berusia 10 tahun, ayahnya meninggal dunia dalam kecelakaan kerja.

Setelah kepergian ayahnya tidak ada yang membela dirinya lagi, ibunya selalu memberi makan Nara seadanya.

***

Pagi hari di salah satu rumah sederhana di pinggiran kota, pagi itu di rumah sederhana kami di sibukkan berkutat di dapur, karena rencananya siang hari akan ada acara lamaran untuk adik perempuan ku. Yang cuma ada di dapur cuma kami bertiga yang sibuk mengolah makanan yang di beli ibu di pasar subuh tadi, yang kami maksud itu adalah Aku, Bukde dan anak bukde.

Rencananya kami akan memasak daging, opor ayam, orek tempe, sambal ati ampela dan masih banyak yang lainnya.

Jangan salah, ibu ku juga ada di dapur, beliau cuma duduk manis sambil memperhatikan pekerjaan kami. Tidak ada niatan untuk membantu pekerjaan kami, ibu duduk dengan santai sambil menikmati secangkir teh dan kue yang di beli ibu di pasar.

Ibu tidak ada niatan untuk menawari kue itu, ibu dengan asik memakan kue itu di hadapan kami.

Jangan salah, aku sebenarnya memiliki ke dua kakak. Dan ke dua kakak ku itu tidak nampak batang hidung nya sejak tadi, selalu jika di rumah ada acara mereka berdua kompak sekali menghilang. Dan pulang sudah hampir siang, ketika acara sebentar lagi akan di mulai.

Aku menoleh di mana ibu ku tadi duduk, dan aku sudah tidak mendapati ibuku di kursi itu lagi. Mungkin ibuku bosan dan memilih meninggalkan dapur, dan menikmati kue di ruang tengah. Kenapa aku bilang sambil menikmati kue di ruang tengah, karena aku juga tidak melihat kue itu ada di atas meja.

"Hu... Hu.. Hu...,"

Sampai suara tangisan bocah perempuan terdengar di gendang telinga mereka, Aku tahu siapa yang sedang menangis itu. Aku berdiri dari duduk ku, dan meninggalkan pekerjaan ku yang sedang  memarut kelapa untuk memasak rendang dan opor nanti.

"Mina," Panggil ku pada anak bukde Ratna yang sedang memisahkan cabe dari tangkainya.

Mina pun menoleh menatap ku.

"Iya mbak," sahut Mina.

"Tolong selesaiin ini dulu, mbak mau lihat ke depan." Ucapku sambil meminta tolong pada Mina untuk menyelesaikan memarut kelapa.

"Iya mbak," jawab Mina sambil berdiri dari duduknya.

Aku pun bergegas keluar dari dapur dan segera mencari asal sumber suara tangis itu.

Deg.

Jantung ku berdetak dengan cepat, kala sesampainya di ruang tengah ku lihat putri ku menangis dan di depan nya ada ibuku yang sedang memerahi nya. Di bawah lantai ada dua potong kue yang tergeletak di bawah kaki ibuku, Aku dan Bukde Ratna yang ternyata mengikutiku sampai ke ruang tengah segera mendekati ibu dan ke dua bocah yang masih berusia lima tahun yang sedang menunduk dan salah satu bocah itu menangis.

"Ada apa ini Ratmi?" Tanya Bukde Ratna saat kami sudah sampai di depan ibu ku.

Sedangkan aku sudah berjongkok dan lansung memeluk putriku yang menangis sesenggukan, agar putriku itu segera diam dan tak menangis lagi.

Lalu ku dongakkan kepalaku untuk menatap ibu ku yang tidak merasa kasihan melihat cucu nya menangis.

"Iya bu, ini sebenarnya ada apa? kenapa sampai Tiara menangis?" Tanya ku.

Mata ibu masih melotot menatap putriku, aku tidak tahu apa salah putriku sehingga ibuku itu marah pada cucunya.

"Nara, ajarin anakmu jangan sembarangan ambil kue milik ibu. Ibu cuma tinggal sebentar ke kamar mandi, anak mu dengan berani nya mengambil kue milik ibu." Omel ibu ku sehingga membuat Bukde Ratna geleng-geleng kepalanya.

"Oalah Ratmi, cuma masalah kue to." Bukde Ratna tidak habis pikir dengan kelakuan adiknya, cuma masalah kue yang di ambil cucunya saja sampai membuat wanita itu marah.

"Apa benar Nak, kamu ambil kue milik Nenek?" tanya Ku menatap lembut putriku yang masih sesenggukan.

"Ta... di.., Ti..ara... lihat kak Eka bawa kue ke luar. Ti....ara... minta sama kak Eka gak bo...leh..., terus kata kak Eka di dalam ada makanan. kata kak Eka kalau mau,  ambil aja sendiri." Jawab Tiara dengan terbata-bata karna menangis.

"Cuma kue aja bu, kenapa ibu tidak membiarkan saja Tiara mengambilnya bu. Sedangkan Eka sama ibu di perbolehkan," ujarku yang tidak habis pikir dengan sikap ibu ku yang pilih kasih dengan cucunya.

"Ibu gak rela kalau Tiara makan kue ibu, beda dengan Eka. Eka dan Maya mau menghabiskan kue milik ibu, ibu tidak masalah." Jawab ibu ku nyelekit.

Aku dan Bukde Ratna cuma bisa geleng-geleng kepala dengan jawaban yang keluar dari mulut ibu, itu sama saja ibu melukai hati ku.

Dari dulu ibu memang  selalu membedakan aku dengan ketiga saudaraku, dan sekarang ibu juga selalu membedakan ketiga cucunya.

"Aku juga bisa membeli nya bu," gumam ku yang sudah geram, selalu seperti itu kelakuan ibuku terhadap putri ku.

Setiap ibu ku beli kue, selalu putriku yang tidak pernah di kasih. Sedangkan ke dua cucu yang lain selalu di kasih, pernah juga saat ada penjual eskrim yang keliling di depan rumah. Ibu ku cuma membeli eskrim itu dua potong, kebetulan saat itu aku sedang berbelanja ke warung. Saat aku pulang tahu-tahu putri ku menangis sambil memegang plastik eskrim, sungguh keterlaluan ibu ku itu.

"Tiara mau kue seperti itu?" tanya ku menunjuk kue yang ada di atas meja yang masih terdapat tiga potong kue itu.

Tentu saja Tiara mengangguk.

Tidak ku pedulikan mata ibu yang melotot saat aku mengambil dua kue yang ada di atas meja dan ku berikan kepada Tiara dan cucu bukde Ratna.

"Lancang kamu Nara, mengambil kue milik ibu!" Marah ibuku matanya melotot hampir keluar dari sarangnya.

"Kenapa bu? tidak terima? Lagian kue ini di beli memakai uang dari Nara." Ucapku sambil tersenyum.

Wajah ibu berubah menjadi masam, dengan menahan kesal ibu ku pergi dari ruang tengah dan masuk ke dalam kamar dengan emosi.

Bukde Ratna mengacungkan jempolnya padaku, sesekali-kali biarlah aku melawan ibuku.

bab 2

"Bu...., ibu....!" Panggil Hani adik bungsu ku, ia berteriak memanggil ibu seperti rumah ini hutan saja.

"Mbak, di mana ibu?" Tanya adik ku yang sudah berdiri di ambang pintu dapur.

"Ibu ada di kamarnya Han," jawabku sambil menunjuk kamar ibu.

Hani melengos dan bergegas ke kamar ibu, memang seperti itu lah adik bungsu ku.

Tok.... Tok....

"Ibu, Ibu....!" Panggil Hani sambil mengetuk pintu kamar ibu.

Cklek.

"Bu, mana uang seragamnya?" Todong Hani langsung saat melihat sang ibu yang sudah berdiri di depan pintu.

"Cek," ibu berdecak dengan sebal sambil menepis tangan Hani yang menodongnya.

"Mana uang seragam nya bu, buruan Hani sama mas Pras mau ambil baju seragamnya." Desak Hani yang melihat ibu nya malah melewati begitu saja.

Hani berdecak dengan sebal, ia pun lalu mengikuti kemana ibunya pergi.

"Nara,"

Aku yang tengah membuat susu buat Tiara terpaksa menghentikan gerakan tanganku yang sedang menuang air ke dalam gelas berisi susu, ku lirik ibuku yang sudah berdiri di depan pintu dapur dan di belakangnya ada Hani.

"Ada apa Bu?" Tanya ku.

"Itu Hani mau ambil baju seragam buat kami," ibu menjeda ucapannya.

Sebenarnya aku tahu maksud ibu apa, namun ku pura-pura saja tidak tahu apa maksud dari ibu ku.

"Terus, apa hubungan nya seragam itu dengan Nara bu ?" Tanya ku yang pura-pura tidak tahu.

"Kok masih juga nanya apa hubungan nya dengan kamu, ya tentu saja ada hubungan nya." Sahut ibu ku dengan kesal.

Ku tatap ibu dengan dahi yang mengernyit, ku pura-pura saja tidak tahu apa hubungan seragam itu dengan ku.

"Ma, susu Tiara mana? Ara sudah haus ni ma."

Ku lihat Tiara yang baru masuk ke dapur.

Ku abaikan ibu dan Hani yang masih berdiri di depan pintu dapur, ku lanjut kan kembali membuat susu untuk putri ku. Setelah itu aku menyerahkan susu itu ke tangan Tiara, Tiara tersenyum menerima susu yang baru saja ku sodorkan ke arahnya.

"Mana uangnya Nara, adik mu mau ambil seragam." pinta ibu ku setelah cukup lama terdiam.

"Uang apa Bu?" Tanya Nara.

"Perasaan Nara tidak pegang uang milik Hani atau milik Ibu." Lanjutku lagi pura-pura berpikir.

"Siapa juga yang bilang duit ibu atau duit Hani," ujar Ibu yang sudah mulai jengah.

"Lalu uang siapa yang ibu maksud?" tanya ku masih terlihat sesantai mungkin.

"Udahlah mbak, buruan mana uang nya. Mas Pras udah nungguin sejak tadi tu." Hani yang sejak tadi diam saja akhirnya buka suara juga.

"Embak gak ada duit Hani," Ucap ku berbohong.

Enak saja mereka mau memakai uang ku untuk membeli baju seragam, sedangkan aku dan keluargaku tak akan di kasih baju seragam itu.

"Bu gimana ini, mas Pras sudah nungguin sejak tadi." Rengek Hani.

Ku abaikan mereka, ku lanjutkan pekerjaan ku yang sempat tertunda setelah membuat susu untuk putri ku.

"Ayo lah Nara, kamu pasti ada uang." Bujuk Ibu ku.

"Nara dapat uang dari mana bu?" Tanya ku sambil menyunggingkan senyum tipis.

Tak ingat kah ibu, ke dua kakak ku dan adikku yang menghina suami ku seorang pengangguran. Dengan tidak tahu malu nya ibu merengek minta uang pada ku.

"Apa ibu sudah lupa jika suami Nara pengangguran," ucap ku sehingga ibu tidak bisa berkata-kata lagi.

****

"Assalamualaikum ," suami ku mengucapkan salam saat baru pertama masuk ke dalam rumah.

"Waalaikumsalam mas," balas ku sambil mengambil tangan suami ku untuk aku cium punggung tangan nya.

"Bawa apa itu mas?" Tanya ku yang melihat suamiku membawa kantong kresek yang entah apa isinya.

"Oh ini tadi dari teman mas, dek." Jawab suamiku sambil menyerahkan bungkusan kresek yang ada di tangan nya ke tangan ku.

Aku yang penasaran langsung membuka kantong kresek berwarna hitam itu, mata ku melotot saat melihat isinya. Sebuah boneka yang selama ini Tiara inginkan, dan hanya ada di jual di kota. Tiara menginginkan boneka itu sejak lama, dan baru sekarang Tiara bisa memiliki boneka itu.

Saat bermain Tiara selalu memandangi boneka milik kakak sepupunya, Eka tidak memperbolehkan Tiara untuk memegang boneka itu.

"Mas, pasti Tiara senang ini," ucap ku tersenyum menatap suami ku.

"Ara nya sekarang kemana dek?" Tanya suamiku.

"Bawa apa kamu Rud?" Tanya ibu ku yang baru keluar dari dalam kamar.

"Bawa boneka buat Tiara, bu." Bukan mas Rudi yang menjawab, melainkan aku yang menjawab nya.

Tiara yang mendengar jawaban ku, langsung berlari mendekat ke arah kami.

"Bu, Tiara dengar bapak beliin boneka buat Ara ya?" Tanya Tiara antusias.

"Iya sayang, itu boneka buat Tiara." Ucap mas Rudi sambil mengeluarkan boneka dari dalam plastik.

"Ini boneka yang Ara mau pak," ucap Tiara sambil mendekap erat boneka di dalam pelukan nya.

"Dapat dari mana kamu Rud, uang buat beli boneka mahal itu?" Tanya ibu ku dengan tatapan menyelidiknya.

"Di kasih teman bu, katanya hadiah buat Tiara." Jawab Mas Rudi santai.

"Wajar saja sih bu di kasih sama temannya, mana mungkin si Rudi bisa beli boneka yang harganya mencapai ratusan ribu. Si Rudi kan pengangguran, bedalah sama suamiku yang pegawai." Sindir mbak Tika yang baru masuk ke dalam ruang tengah.

Ku lihat mas Rudi menanggapinya dengan tersenyum, mas Rudi sama sekali tidak tersinggung dengan sindiran dari kakak ku itu.

****

Malam harinya tepat nya jam 7, semua keluarga ku di buat sibuk. Terutama diriku yang sibuk membuat minuman, beruntung bukde dan anak nya membantu ku. Dan jangan tanyakan ke dua kakak ku, mana mau mereka menginjakkan kaki nya di dapur. Terlebih kakak ipar ku, yang takut kukunya rusak jika berkutat dengan dapur.

Hani cemberut karna keluarga nya dan keluarga calon suaminya tidak jadi memakai seragam yang sama.

"Perlu bantuan dek?" Tanya mas Rudi yang melihat ku sibuk di dapur.

"Gak usah mas, sebentar lagi juga selesai." Tolak ku.

"Dok, kue ini taroh mana?" Tanya bukde Ratna sambil memegang kue yang masih separo di atas loyang.

"Tarok sana saja bukde." Tunjuk ku pada rak piring yang ada di pojok ruangan.

Setelah selesai kami semua keluar dari dapur, niat kami ingin melihat pertunangan adik ku.

Samar-samar kami mendengar keributan di ruang tengah, kami saling berpandangan. Menerka-nerka apa yang terjadi sebenarnya, sehingga membuat mereka ribut-ribut.

"Ada apa ya bukde?" Tanya ku yang di balas gelengan kepala sang bukde.

"Ayo Nara, kita lihat apa yang terjadi." Ajak Bukde.

Aku dan Bukde melangkah ke ruang tamu, Aku dan Bukde terkejut saat melihat apa yang terjadi di ruang tamu.

Beruntung keluarga calon suami adik ku masih di dalam perjalanan, jika tidak pasti keluarga calon suami adik ku tahu jika kami kedatangan rentenir.

Ku lihat ibu ku duduk di kursi sambil memijat pelipis nya, Entah apa yang di bicarakan suamiku pada ke dua orang berbadan kekar itu sehingga ke dua orang itu segera pergi.

Saat aku ingin bertanya pada suamiku, niatku terhenti saat melihat rombongan keluarga calon suami adik ku telah tiba.

Kami semua menyambutnya dan melupakan kejadian tadi untuk sementara, walaupun rasa penasaran ku lebih besar kenapa ke dua pria berbadan kekar itu datang ke rumah di saat waktu yang tidak tepat.

Hani keluar dari dalam kamar bersama kakak ipar ku, Hani melempar senyum kepada semua orang yang ada di ruangan itu.

Hani duduk di kursi di apit oleh ibu dan kakak laki-laki ku, di depan nya calon suaminya yang duduk di apit oleh ke dua orang tuanya.

"Nara cepat ambilkan minum untuk keluarga calon suami adikmu," bisik ibu ku.

"Baik bu,"

"Mau kemana dek?" Tanya suamiku yang melihat aku ingin berdiri dari duduk ku.

"Mau ambil minum mas," jawab ku.

Ku langkahkan kaki menuju dapur, Aku mengambil nampan dan menata minuman di atas nampan itu.

"Mbak,"

Aku terlonjak kaget saat seseorang memanggil ku, beruntung minuman yang ada di tangan ku tidak tumpah.

Ku lihat seorang pria muda sudah berdiri di belakang ku, ku letakkan kembali nampan yang sudah tertata minuman ke atas meja kembali.

"Iya, ada yang bisa saya bantu?" Tanya ku

"Kamar mandi nya di mana ya mbak?" Tanya pria muda itu.

"Kamar mandi di sebelah sana," Tunjuk ku pada ruangan kecil yang ada di ujung.

"Terima kasih mbak,"

Ku balas menganggukkan kepalaku, aku pun bergegas melanjutkan langkah ku membawa minuman.

Kuletakkan minuman di atas meja, tidak lama kemudian ku lihat pria yang izin ke toilet sudah kembali bergabung dengan keluarganya lagi.

Acara lamaran pun di mulai, ku lihat ibu nya Pras mengeluarkan kotak cincin berwarna merah dari tas tangan yang di bawanya.

Hani tersenyum saat ibu nya Pras membuka kotak cincin itu, ibu nya Pras lalu mengambil dari kotak itu dan memakaikan di jari manis adik ku itu.

Aku memicingkan mataku saat melihat cincin yang baru saja di pake oleh adikku, cincin itu berbeda dengan cincin yang aku pake .

"Bu, besan surat cincin nya mana ya?" Celetuk ibu ku yang tiba-tiba menanyakan surat dari cincin itu.

"Aduh maaf besan, tadi karna terburu-buru surat nya tertinggal di rumah." Jawab Ibu nya Pras.

"Besok biar Pras yang memberikan surat itu pada Hani." Lanjutnya lagi.

Setelah mendengar penjelasan dari ibunya Pras, ibu ku tidak lagi mempermasalahkan soal surat emas itu.

Acara lamaran pun akhirnya selesai, dan kesepakatan ke dua belah pihak acara pernikahan dua bulan lagi.

Aku dan Bukde pun pamit ke belakang untuk menyuguhkan makanan, percuma juga minta bantuan pada ke dua kakak ku. Pasti mereka ada saja alasan nya, mereka cuma asik dengan ponsel masing-masing.

Setelah selesai, ku panggil mereka semua untuk makan.

Satu persatu dari mereka mengambil makanan yang sudah terhidang di atas meja, tanpa rasa malu dan sungkan mereka mengambil lauk yang banyak.

"Ndok lihat itu," ucap Bukde menyikut lengan ku.

"Ada apa bukde?" tanya ku sambil menatap Bukde.

"Lihatlah itu dok, mereka tidak tahu malu." Bukde menunjuk dengan dagunya.

Ku alihkan pandangan ku menatap arah tunduk Bukde, aku terkejut di buatnya. Ku lihat ibu serta saudaranya Pras memasukkan lauk yang ada di piring ke dalam plastik, setelah itu memasukkan lauk itu ke dalam tas.

"Biarin aja Bukde," sahut ku pura-pura tidak melihat.

"Itu hampir satu piring loe ndok, daging rendang nya di pindah kan ke dalam plastik." Bukde ku itu geleng-geleng kepala tidak habis pikir dengan kelakuan orang tua Pras.

"Wajar saja lah Bukde, di kampung selalu ada yang bawa pulang jatah nya pas kondangan." Jawab ku santai yang memang benar apa adanya.

"Benar sih dok, palingan yang di bawa cuma satu atau dua biji. gak hampir satu piring di bawa pulang dok."

"Sudah lah Bukde, kita pura-pura saja tidak melihat." Sahut ku dan menghentikan percakapan ini.

Setelah acara makan-makan nya selesai, keluarga dari Pras pamit pulang.

****

Setelah keluarga Pras pulang, ibu langsung ke dapur. Saat itu aku bersama bukde sedang mencuci piring kotor, cuma aku dan bukde saja yang menyelesaikan pekerjaan di dapur.

"Nara, dimana sisa daging nya ?" Tanya ibu ku celingukan di depan lemari.

"Sudah habis bu, la ini tinggal piring dan mangkok ya saja." Jawab ku sambil menunjuk pring dan mangkok bekas daging rendang.

"Masa sudah habis Nara, pasti kamu dan bukde pasti yang sudah menyembunyikan daging itu." Tuduh Hani yang tiba-tiba berdiri di depan pintu dapur.

Astaghfirullah, Aku dan Bukde saling berpandangan. Aku cuma bisa mengelus dada atas tuduhan dari adik ku itu, aku cuma tidak enak pada bukde ku yang di tuduh oleh Hani.

"Eh, Hani. Walaupun bukde miskin, bukde tidak mungkin menyembunyikan daging itu. Asal kau tahu saja, daging rendang itu di bawa oleh keluarga calon suamimu." Ucap bukde sambil berapi-api mengeluarkan uneg-uneg nya.

"Gak usah fitnah keluarga calon suami ku bukde, mereka tiap hari makan enak. Beda jauh dengan bukde yang bisa di hitung menggunakan jari kapan terakhir kali bukde makan enak." Hina Hani sambil berkacak pinggang.

"Mbak Ratna kamu sembunyikan di mana sisa daging rendang itu?" tanya ibu sambil matanya melotot dan berkacak pinggang.

"Ya allah Ratmi, udah berapa kali aku bilang. Aku tidak menyembunyikan daging rendang itu." Bela budhe Ratna.

"Pasti, bukde sembunyiin daging itu di rumah nya Bu." Ucap Hani mengompori.

Dada bukde Ratna terlihat kembang kempis, Bukde pasti sakit hati dengan tuduhan yang di lontarkan ibu dan adik ku itu.

"Sabar bukde," ku elus lengan bukde agar emosinya tidak meledak.

"Bu Nara saksinya kalau bukde tidak mengambil dan menyembunyikan daging itu, Nara juga lihat keluarga Pras yang mengambil daging itu bu." Ucap ku membela bukde Siti.

"Sudah bu, masalah daging saja di permasalahkan." Lerai suami ku yang tiba-tiba masuk ke dalam dapur.

"Malu bu, di dengar sama tetangga." Lanjut mas Rudi lagi sambil menunjuk luar rumah.

Hani melengos, gadis itu lalu pergi begitu saja dari dapur.

"Maafin keluarga Nara bukde," ucap ku menatap bukde Siti dengan tatapan menyesal.

"Kamu gak salah ndok, mereka itu yang kebangetan." Jengkel bukde Siti.

Awalnya aku menyuruh bukde untuk pulang saja, lagian suasana hati bukde sedang tidak tidak enak.

Namun bukde yang kasian padaku, tetap ingin membantu ku menyelesaikan cucian piring yang menumpuk itu.

Akhirnya selesai juga pekerjaan ku yang di bantu oleh Bukde, Setelah itu bukde pun pamit pulang.

"Bukde, tunggu." Suruh ku menghentikan langkah bukde.

"Ada apa Nara?" Tanya bukde menatap ku.

"Ini bukde, ada sedikit kue." Ku angsurkan kresek berwarna hitam berisi kue.

Aku sengaja menyisikan kue untuk bukde ku itu.

Awalnya bukde ku menolak, namun atas bujukan dari ku akhirnya bukde pun menerima nya.

****

"Bukde sudah pulang dek?" Tanya mas Rudi saat aku baru saja masuk ke dalam kamar dan menutup pintu.

"Sudah mas, baru saja." Jawab ku sambil menghampiri suamiku yang tengah duduk di atas ranjang.

"Mas aku mau tanya?"

"Tanya apa dek?" Tanya Mas Rudi menatap wajah ku.

"Tadi siang dua laki-laki itu siapa mas?" Tanya ku kepo.

"Dua laki-laki itu rentenir dek," jawab mas Rudi yang membuat aku terkejut.

"Rentenir mas?" Tanya ku memastikan kalau aku tidak salah dengar.

Mas Rudi cuma mengangguk kan kepalanya.

Ternyata siang tadi rumah kami kedatangan rentenir, tapi yang menjadi pertanyaan ku siapa yang sudah meminjam ke rentenir.

"Siapa yang berurusan dengan rentenir mas?" Tanya ku penasaran.

"Mas Aldi dek," jawab mas Rudi.

"Mas Aldi, suami nya mbak Tika?" Tanya ku yang tidak menyangka jika suami mbak Tika berurusan dengan rentenir.

"Mas bilang apa pada mereka, sehingga mereka cepat pergi sebelum keluarga Pras datang?" Tanya ku lagi-lagi penasaran.

"Mas cuma bilang pada mereka untuk meminta waktu, dan mas juga bilang jika di rumah akan ada acara." Jawab suami ku.

"Mas yakin bilang begitu?" Tanya ku yang tidak percaya sepenuhnya ucapan suamiku.

Karna setau ku, Rentenir itu akan pergi jika sudah mendapat apa yang mereka inginkan.

"Iya sayang, mana mungkin mas bohong." Jawab suamiku sambil memegang dagu ku.

Saat suami ku memajukan wajah nya ke hadapan ku, reflek saja aku memejamkan mata.

Belum sempat suamiku melabuhkan ciuman nya, putri kecil ku terlebih dahulu membuka pintu.

"Ayah, bunda lagi apa?" Tanya putri ku polos.

Sontak saja membuat kami salah tingkah, saat kepergok oleh putri ku sendiri.

bab 3.

Tiara masuk ke dalam kamar sambil mendekap boneka miliknya dengan erat, jam sudah menunjukkan angka 10 malam tapi Tiara belum juga tidur.

"Sayang kok belum tidur?" Tanya suami ku sambil mendudukan Tiara di pangkuannya.

"Ara ingin tidur bersama mama dan papa," Sahut Tiara dengan polosnya.

"Apa boleh Ara tidur bersama mama dan papa?" Tanya putri ku dengan penuh harap.

"Tentu saja boleh dong sayang." Jawab ku.

Tiara tersenyum dan langsung tidur di tengah-tengah kami, sebelum Tiara tidur tak lupa ku suruh baca doa dulu sebelum tidur.

"Selamat malam pa, ma." Ucap Tiara sambil mengecup pipi kami secara bergantian.

"Selamat malam sayang," balas ku sambil mengecup pipi putri ku.

Sebelum tidur kami berbincang-bincang sebentar, aku teringat soal cincin tunangan milik Hani.

"Mas," panggil ku menatap mas Rudi yang sedang sibuk dengan ponselnya.

"Ada apa sayang?" Tanya mas Rudi

"Aku kok penasaran sama cincin Hani ya mas." Ucapku yang mulai membahas soal cincin.

Mas Rudi meletakkan ponsel di atas meja kecil samping tempat tidur kami.

"Penasaran kenapa dek?" Tanya mas Rudi menatap ku dengan raut penasaran nya.

"Aku penasaran sama Cincin Hani mas, kok cincin nya beda ya kaya punyaku." Ucapku sambil menatap cincin yang melingkar di jari manis ku.

"Ya tentu saja beda lah dek," sahut mas Rudi cepat sehingga aku menoleh menatapnya.

"Punya adek kan udah lama mas beli cincin itu, sedangkan punya Hani masih baru dek. Tentu saja kilau nya beda dek." Komentar mas Rudi yang mengerti rasa penasaran ku yang menatapnya.

"Tapi cincin Hani itu, kaya bukan asli lo mas. Dan kalau asli kenapa surat nya sekalian gak di berikan."

"Adek kan dengar sendiri katanya suratnya ketinggalan, dan akan di berikan langsung pada Hani besok." Ucap mas Rudi.

"Sudah dek gak usah di pikirin, lebih baik adek tidur ini udah malam." Suruh mas Rudi sebelum aku membuka suara kembali.

"Iya mas," sahut ku cepat sambil merabahkan tubuhku di atas kasur empuk milikku.

Ku tarik selimut sebatas dada, ku lihat Tiara putriku yang sudah terlelap tertidur di tengah-tengah kami. Sebelum aku memejamkan mataku, ku cium lebih dahulu pipi putriku.

Aku menoleh menatap mas Rudi, dan ku lihat mas Rudi masih sibuk dengan ponsel yang ada di tangan nya. Sebenarnya mas Rudi itu sedang lihat apa pada layar ponsel nya, sehingga mas Rudi betah berlama-lama dengan ponselnya.

Padahal ini sudah malam, tapi mas Rudi masih sibuk saja di jam segini.

"Mas," panggil ku.

"Kenapa dek?" Tanya mas Rudi tanpa mengalihkan pandangan nya pada layar ponsel yang ada di depan nya.

"Mas ini udah malam loh, sebaiknya mas juga tidur lo." Suruh ku agar lelaki ku itu tidak sibuk dengan ponselnya.

"Bentar lagi dek, nanggung sebentar lagi juga selesai kok." Jawabnya sehingga membuat aku curiga jika suamiku itu sedang berbalas pesan pada wanita lain.

"Sebenarnya mas sedang kirim pesan sama siapa sih mas?" Tanya ku yang sejak tadi kepo dan ingin mengambil ponsel mas Rudi secara paksa.

Mas Rudi tidak menjawab, suamiku cuma tersenyum menatapku. Ih kesel rasanya saat mas Rudi tak berkata jujur pada ku, ku lihat mas Rudi meletakkan ponsel miliknya di atas meja di samping nya. Suamiku itu lantas merabahkan tubuhnya di samping putri kecil kami, ku palingkan wajahku saat mas Rudi menatap ku.

"Aku tidak berkirim pesan dengan siapa-siapa dek, udah dong gak usah ngambek." Ucapnya sehingga membuat ku langsung menoleh menatap nya.

"Mas tadi ngecek kerjaan," jelas nya lagi sebelum aku kembali bertanya.

Setelah mendengar penjelasan nya, akhirnya aku bisa tidur dengan tenang dan tidak berpikiran macam-macam pada suami ku.

****

Suara adzan subuh membangunkan ku dari tidur lelap ku, aku melirik suami dan putri kecilku yang sedang tidur. Ku bangunkan mas Rudi untuk segera sholat subuh, biasa nya mas Rudi akan solat subuh di masjid.

"Jam berapa ni dek?" Tanya mas Rudi sambil mengucek matanya.

"Sudah subuh mas," Jawab ku sambil turun dari atas ranjang.

Mas Rudi bangun dan turun dari atas ranjang, kami berdua lalu mengambil wudhu terlebih dahulu.

Setelah itu mas Rudi mengambil sarung dan peci di dalam lemari, setelah menggunakan nya suamiku itu berpamitan pergi ke masjid.

Aku pun bergegas menjalankan solat subuh, setelah selesai aku pun langsung menuju dapur.

Penghuni di rumah ini sedang terlelap tidur, cuma aku dan ibu yang sudah sibuk di dapur.

Sekitar satu jam kami berkutat di dapur, akhirnya makanan udah selesai.

Satu persatu anggota keluarga sudah terbangun saat pekerja rumah hampir beres, mereka pun mulai duduk di kursi mereka masing-masing.

"Ibu mau bicara pada kalian." Ucap Ibu sambil menatap kami semua.

Aku yang sedang membereskan meja makan, aku langsung menoleh cepat ke arah ibu. Sebenarnya apa yang ingin ibu bicarakan pada kami semua, apa ibu mau bagi warisan.

Ah tapi tidak mungkin, ku buang jauh-jauh pikiran itu.

Setelah sarapan ibu mengumpulkan kami di ruang keluarga, aku sudah menebak ibu pasti akan membahas acara pernikahan Hani.

Ku lihat mas Rudi berbicara di telepon, entah dia berbicara dengan siapa. yang jelas ku tangkap dari pembicaraan mereka, mas Rudi meminta maaf karna datang terlambat.

Aku sebagai istrinya memang tidak tahu pekerjaan suamiku apa, yang jelas setiap seminggu sekali suami ku itu pergi ke kota. Aku sendiri tidak tahu mas Rudi itu ke kota untuk apa, setiap ku tanya selalu dia berkata ada urusan bisnis dengan temannya.

Kami semua sudah duduk di ruang keluarga, dan ku lihat mas Rudi sudah selesai menelpon.

Ibu keluar dari dalam kamar dan duduk di kursi tunggal yang ada di depan kami, entah apa yang akan ibu bicarakan sampai mengumpulkan kami sepagi ini.

"Ada apa bu, pagi-pagi sudah mengumpulkan kami semua di sini?" Tanya mbak Tika mewakili kami semua.

Ibu menarik nafas panjang sebelum membuka suaranya, ibu lalu menatap kami satu persatu yang sedang menunggu nya berbicara.

"Ibu memang sengaja mengumpulkan kalian semua untuk membicarakan masalah pernikahan Hani," ibu menjeda ucapan nya.

Kami masih diam menyimak, apa yang akan di ucapkan ibu lagi.

"Ibu minta pada kalian untuk membantu biaya pernikahan Hani, karna kalian semua tahu keluarga Fras membebankan biaya pernikahan pada keluarga kita." Lanjut ibuku.

sesuai kesepakatan keluarga Pras tidak mau membantu biaya resepsi pernikahan Hani dan Pras, walaupun begitu mereka meminta pesta yang mewah.

"Bagaimana? apa kalian semua bisa membantu biaya pernikahan Hani?" Tanya ibu ku menatap satu persatu anaknya.

"Aku bisa saja sih bu membantu biaya pernikahan Hani," mbak Tika menjeda ucapan nya sejenak.

Ibu dan Hani tersenyum sumringah saat mendengar mbak Tika bicara seperti itu, namun hanya sesaat setelah itu wajah ibu dan Hani berubah masam saat mbak Tika melanjutkan ucapan nya.

"Tapi ya itu uang nya udah di pake buat bisnis oleh Mas Haikal, ibu sih ngomong nya telat." ucap Mbak Tika tanpa rasa bersalah.

"Jadi maaf Bu, Tika gak bisa bantu." Ucap mbak Tika lagi.

"Hendra bagaimana dengan kamu?" Tanya Ibu sehingga membuat mas Hendra terkesiap.

Hendra tidak langsung menjawab, kakak ku itu menatap istrinya untuk meminta persetujuan.

Ku lihat mbak Rasti menggelengkan kepalanya, sudah ku duga kakak iparku itu pasti tidak mau mengeluarkan uang yang bukan untuk kepentingan nya.

"Maaf Bu, Hendra tidak bisa membantu. Uang itu mau buat Hendra beli mobil baru." Jawab Hendra.

"Mobil bisa kapan-kapan kak, uang nya lebih baik buat biaya pernikahan ku dulu." Saran Hani.

"Gak bisa gitu dong, mobil itu besok harus ada. Mas Hendra udah janji mau beliin aku mobil baru, aku udah lama loh nungguin mobil itu." Rasti tidak terima dengan saran dari adik iparnya.

Hani mencebikkan bibirnya.

"Hen, mobil itu bisa kamu belinya sehabis adik kamu nikah. Uang itu lebih baik di gunakan untuk biaya pernikahan adik kamu dulu." Bujuk ibu ku kepada mas Hendra.

Ku lihat kakak ku itu bingung, ia bingung mau menuruti ibu atau menuruti istrinya.

Mas Hendra kembali menatap istrinya, ku lihat Mbak Rasti melotot menatap kakak itu.

"Maaf Bu, Hendra gak bisa. Hendra sudah lama ngumpulin uang itu buat beli mobil," Putus Hendra akhirnya.

"Nikah sederhana aja ngapa Han, gak usah mewah-mewah kalah gak ada dananya." Ucap mbak Tika.

"Benar tu kata mbak Tika, kalau gak ada dananya lebih baik nikahnya di KUA aja." Timpal Rasti yang sejak tadi diam saja.

"Gak bisa gitu dong, aku gak mau ya nikah di KUA. Keluarga mas Pras pasti malu kalau kita cuma nikah di KUA, keluarga mas Pras itu orang terpandang." Protes Hani yang tidak terima jika harus nikah di KUA.

"Dan satu lagi, ibu harus nyediain baju seragam buat keluarga mas Pras 25 potong." Ucap Hani lagi.

Semua terkejut saat mendengar apa yang di ucapkan Hani, mereka seenaknya saja membebankan baju seragam keluarganya ke keluarga kami.

"Kenapa baju seragam calon suami kamu kita yang menanggung nya Han?" Tanya mbak Rasti kakak ipar ku.

"Keluarga mas Pras mau nya kita yang menyediakan seragam keluarganya, apa salah nya sih nyediain baju seragam itu. sekalian pesan nya sama punya kita." Sahut Hani dengan enteng.

di kira baju seragam 25 potong gak mahal apa, untuk biaya pesta aja ibu pusing. Malah ini seenaknya Hani minta sediain 25 seragam keluarga untuk keluarga calon suaminya.

"Gak bisa gitu dong Han, masa seragam keluarga Pras masa kita juga yang nyediain. biar mereka sendiri yang nyediain baju seragam milik mereka sendiri." protes mbak Tika yang juga tidak terima.

Aku diam saja, ingin melihat reaksi ibu. ku lihat ibu memijat pelipisnya, pasti ibu sekarang sedang pusing dengan masalah uang.

Hani melengos tidak mempedulikan protesan dari mbak Tika, ia lalu menatap ibu nya yang sejak tadi memijat pelipis nya.

"Maaf semua nya aku menyela," ucap Bang Rudi yang sejak tadi diam saja.

Aku menoleh menatap bang Rudi, aku takut bang Rudi mau mengeluarkan uang untuk biaya pernikahan Hani.

Atensi semua orang yang ada di ruang tamu terarah ke mas Rudi, mereka menatap dengan tatapan yang berbeda.

"Saya harus segera pergi, biar urusan ini saya serahkan pada Nara saja." Setelah mengatakan itu bang Rudi berdiri dari duduk nya.

"Cih, sok sibuk." Ledek mas Aldi suami mbak Tika.

Aku bernafas lega, ku kira mas Rudi mau membiayai pernikahan adik ku. Rupanya aku salah, mas Rudi angkat bicara rupanya karna dia sudah terlambat untuk pergi ke kota.

Setelah berpamitan padaku, mas Rudi keluar dari rumah tanpa mempedulikan hinaan dan ledekan kakak ku.

"Bu, aku gak mau tahu uang untuk pernikahan ku harus ada dan juga baju seragam keluarga untuk keluarga nya mas Pras harus ada lo bu." Desak Hani yang tidak mau tahu kesusahan ibu.

"Hanya satu anak ibu yang belum ibu mintai bantuan." Ucap ibu akhirnya setelah cukup lama terdiam.

perasaan ku tiba-tiba tidak enak saat ibu mengatakan itu.

"Siapa Bu?" Tanya mas Hendra penasaran.

Ku lihat mbak Tika dan suaminya juga penasaran dengan apa yang di ucapkan ibu, begitu pun dengan Hani.

Ibu mengalihkan pandangan nya menatap ku, begitu pun kakak dan adik ku yang melihat ibu menatap ku.

Detik selanjutnya, Mbak Tika tertawa saat ibu mau meminta bantuan ku.

"Ha.... ha.... ha...., ibu gak salah mau meminta bantuan sama dia yang suaminya pengangguran?" Tanya Mbak Tika sambil menuding ku.

"Dia mana ada uang Bu, beda jauh dengan suami kami yang pegawai." Timpal mbak Rasti.

Tidak ingat kah dia tadi menolak permintaan ibu gara-gara sebuah mobil, dirinya masih juga berbicara sombong.

Aku diam saja saat mbak Tika dan mbak Rasti yang terus menghina suami ku, Aku bisa saja membantu biaya pernikahan untuk Hani. Tapi aku malas mengeluarkan uang ku untuk dia, dia saja tidak ada etika baik nya sama sekali pada ku.

Ku lihat Hani menggerakkan bibirnya ingin mengatakan sesuatu, tapi cukup lama dia tidak juga kunjung membuka suara.

"Ibu kan cuma mau bertanya Tik, siapa tahu memang Nara punya simpanan." Ucap Ibu yang tidak menyerah untuk mendapatkan uang untuk biaya pernikahan Hani.

"Percuma bu tanya sama Nara, aku yakin dia nggak punya tabungan." kekeh mbak Tika.

"Suami nya saja pengangguran, mana mungkin dia punya tabungan." Mas Hendra menimpali ucapan mbak Tika.

"Beda jauh lah bu sama kami yang punya tabungan."

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!