👊👊👊👊👊
"SAA! Bisa lo berhenti nyetel musik nggak keruan kayak gini?" sahut Arion dari luar kamar Aksa.
Aksa tidak menggerakkan satu pun anggota tubuhnya untuk menuruti permintaan Arion. 'Enter Sandman' masih berkumandang di kamarnya dengan volume maksimal.
Arion menggedor-gedor pintu kamar Aksa dengan sekuat tenaga. "Sa! Gue lagi belajar nih!",serunya lagi.
Aksa memutar bola matanya, tapi tetap tak melakukan apa pun. Aksa memejamkan matanya lagi sambil menggerak-gerakkan tangannya sesuai irama drum.
"AKSA!" teriak Arion bersamaan dengan terbukanya pintu dengan paksa.
Aksa melirik kesal ke arah Arion. Arion menghela napas sebentar, lalu berjalan kaku ke arah tape dan menekan tombol stop. Seketika ruangan menjadi sepi.
Aksa bangkit dan terduduk di tempat tidurnya. "Lo tau, yg kata lo musik nggak keruan itu Metallica. Dan gue masih nggak ngerti, kalo ada cowok yg nggak bisa ngerti musiknya Metallica," kata Aksa sengit.
"Oh, gue jelas-jelas bisa ngerti musiknya Kord kalo dipasangnya sesuai batas ambang pendengaran manusia," balas Arion dengan tangan terlipat di dadanya.
"Alah, nggak usah bokis deh lo. Kayak lo bisa aja ngebedain Korn sama P.O.D.", kata Aksa kesal.
Aksa bangkit dari tempat tidurnya dan mulai mencari handuk. Arion memerhatikan saudara kembarnya sesaat.
"Gue bisa liat dengan jelas masa depan lo," katanya setelah melihat Aksa yg tak kunjung menemukan handuknya.
"Maksud gue, liat aja tempat ini. Tempat ini bahkan nggak pantes dibilang kamar. Kandang sapi masih lebih pantes dapet penghargaan dekorasi.", kata Arion hina.
Arion menendang handuk yg sedari tadi berada tepat di depan kakinya. Handuk itu mendarat mulus di kepala Aksa.
"Gue juga bisa liat masa depan lo," kata Aksa dingin sambil beranjak keluar kamarnya.
"Atlet hebat, penerima beasiswa, cowok populer di kampus... Ups, itu bukan masa depan ya? Cuma sayangnya, lo pernah salah ngebedain Marilyn Manson sama Marilyn Monroe...", kata Aksa sinis.
Arion menatap masam kakak kembarnya yg keluar tanpa memandangnya, lalu kembali menatap kamar yang dipenuhi segala macam barang milik Aksa.
Dindingnya sudah tak terlihat lagi warna aslinya, karna sudah penuh ditempeli poster-poster bintang-bintang rock dan alternative mulai dari Kurt Cobain, Queen, sampai Metallica.
Lantainya pun bernasib serupa. Baju-baju kotor atau bersih, Arion tak bisa membedakannya bercampur baur di sana dengan segala macam CD bertebaran diatasnya.
Arion menghela napas sebentar, lalu memutuskan untuk pergi dari kamar itu, karna
aura yang dikeluarkan poster-poster itu membuat Arion tidak nyaman. Tapi beberapa langkah sebelum mencapai pintu, kakinya menyandung sebuah travo.
"Sialan!" umpat Arion sambil memegangi jempolnya yg nyut-nyutan, lalu menatap ingin tahu ke arah benda yg tadi menghalanginya.
"Travo!" keluhnya kesal.
"Travo di tengah jalan!" sahutnya lagi sambil menendangnya dengan sekuat tenaga.
Tentu saja, travo itu tak bergerak dari tempatnya semula dan sekarang jempolnya terasa luar biasa sakit.
"Awas kalian semua!" kutuk Arion kepada kamar Aksa dan semua barang yg ada di dalamnya, lalu dengan langkah berjingkat dia keluar dari sana.
👊👊👊👊
"Sa, nggak kuliah?" tanya Ibu begitu Aksa keluar dari kamar mandi.
"Nggak," jawab Aksa singkat, lalu duduk di sofa. Tangannya sibuk memindah-mindahkan channel dengan remote.
"Oh, tapi kok barusan Arion berangkat kuliah ya?" tanya Ibu heran.
"Bu," tukas Aksa kesal.
"Aku sama Arion kan beda jurusan. Nggak mungkin lah jadwal kuliahnya bareng.", lanjut Aksa.
"Oh, iya ya. Ibu pikir kamu sama Arion sejurusan," kata Ibu lagi sambil mengaduk adonan kue.
"Makanya kasih perhatian dikit," gumam Aksa.
"Udah mau dua tahun kuliah, juga."
"Apa, Sa?" Ibu tak mendengar perkataan Aksa karna suara putaran mixer.
"Bukan apa-apa. Nggak penting." Aksa mematikan TV, lalu bergerak ke arah kamarnya.
"Sa, kamarnya diberesin dong," kata Ibu sebelum Aksa sempat menutup pintu.
"Kamu nih males banget. Liat tuh kamarnya Arion. Rapi, bersih..."
"Kayak kamar perempuan," sambar Aksa.
Ibu berhenti mengaduk adonan, lalu mengernyit kepada Aksa. "Kejantanan cowok bukan diukur dari keadaan kamarnya," katanya serius.
"Ha-ha," Aksa menanggapi dingin komentar Ibu, lalu masuk ke kamar.
Dia melangkahi travo-nya yg melintang, menggapai gitarnya, lalu duduk di pinggir jendela. Kejantanan seorang cowok tidak dilihat dari keadaan kamarnya. Yang benar saja, pikir Aksa sambil mendengus kesal.
Kalau kamar cowok itu bersih, tidak ada satu poster pun, yg ada hanya foto-fotonya bersama piala-piala dan medali-medalinya, dengan banyak CD Glenn Fredly atau Josh Groban di atas meja, jelas saja kejantanannya patut dipertanyakan. Juga bisa dipastikan kalau pemilik kamar tersebut memiliki kadar kenarsisan yg sangat tinggi.
Aksa mulai memainkan lagu kebangsaannya. 'Creep' milik Radiohead.
'But I'm a creep, I'm a weirdo.
What the hell am I doing here?
I don't belong here.'
🫸🫷🫸🫷🫸🫷
"Hai Ri!"
Arion mencari sumber suara itu. Dia berbalik, dan mendapati Lala sedang berlari-lari kecil ke arahnya dengan riang. Arion tersenyum kepadanya. Lala masih belum berubah sejak Arion memutuskan hubungan dengannya.
"Hei," sapa Arion.
Lala menatap Arion dengan mata bulatnya. Arion lantas mengalihkan pandangannya, karna kenyataannya dia masih tidak bisa menahan keinginan untuk memeluk Lala setiap kali melihat sepasang mata yg bersinar itu.
"Kenapa lo?" tanya Lala.
"Lesu amat."
"O ya?" Arion tertawa kecil.
Lala mengangguk, lalu mulai berjalan. Arion mengikutinya. Mereka mengambil jurusan yang sama, dan juga kelas yang sama.
"Kenapa? Marahan lagi sama Aksa?" tanya Lala lagi. Mendengar pertanyaan Lala, Arion mendengus.
"Kapan sih gue pernah nggak marahan sama dia?"
Lala menatapnya dengan pandangan serius.
"La, gue kan pernah bilang, kalo gue sama Aksa itu udah ditakdirkan nggak bisa baikan. Kita malah udah berantem sejak masih di perut. Tendang-tendangan," kata Arion lagi.
Lala terbahak saat mendengarnya. "Hiperbolis lo," sahutnya sambil mendorong Arion.
"Serius," Arion balas mendorongnya.
"Udah deh," kata Lala setelah pulih dari gelinya.
"Bilang aja lo sayang sama Aksa. Kata orang, benci itu artinya peduli. Peduli itu artinya sayang."
"Kata siapa tuh?" Arion mengetuk kepala Lala pelan.
Lala hanya mengedikkan bahu sambil
melirik penuh arti kepada Arion. Arion menghela napas, lalu berhenti berjalan. Dia memegang kedua pundak Lala dan menatapnya lekat-lekat.
"La, kalo ada orang yg paling gue benci di dunia ini, itu udah pasti Aksa."
"Aksa!!"
Aksa membuka matanya dengan malas. Suara Ayah yang membuatnya mual seketika terdengar begitu nyaring.
"AKSA!" sahut Ayah lagi, kali ini sambil menggedor-gedor pintunya.
"Apaan?" sahut Aksa tanpa beranjak dari tempat tidurnya.
"Apaan? APAAN?! Makan malam bersama! Cepat keluar!" sahut Ayah lagi.
Aksa bangun dengan sangat terpaksa, lalu membuka pintu kamarnya. Seluruh keluarganya tampak sudah berkumpul di meja makan.
Walau demikian, Aksa lebih merasakan suasana yg suram dibandingkan dengan suasana yg hangat. Tanpa mencuci muka, Aksa langsung mengambil tempat di meja.
"Apa Ayah harus selalu teriak-teriak manggil kamu setiap kita mau makan?" tanya Ayah ketus begitu Aksa menampakkan diri.
"Kalian bisa mulai makan tanpa aku," jawab Aksa sambil memandang Ayah dingin.
"Saat makan malam itu waktu untuk keluarga berkumpul," Ayah tidak membalas pandangannya dan menyendok sosis.
"Kayak yg ada pembicaraan keluarga aja," gumam Aksa sengit.
Ayah tampak tak memedulikan kata-kata Aksa. Dia mengalihkan pandangannya kepada Arion yg sedang asyik melahap ayam goreng.
"Gimana kuliahnya, Nak?" tanyanya. Aksa langsung mendengus.
"Oh, baik, Yah. Bentar lagi ujian," jawab Arion tenang.
"Oh, gitu. Belajar yg rajin ya. Biar IP-mu nggak merosot kayak kakakmu ini," sindir Ayah membuat mata Aksa melotot.
"IP-ku nggak merosot," sambar Aksa.
"Oh, ya, sama kayak semester sebelumnya, tapi sama jeleknya," kata Ayah sambil melemparkan pandangan masam.
"Kamu tau Sa, kalo kamu begitu terus, kamu bisa di-DO."
"Cepat atau lambat aku juga bakal di DO, kan? Aku cuma mempermudah prosesnya aja," tandas Aksa.
"IP-mu yg cuma dua koma satu itu nggak bisa membanggakan siapa pun, Sa. Apa kamu nggak malu, hah?" Intonasi Ayah sekarang mulai naik.
"Malu? Untuk apa malu? Itu udah hasil terbaik yg aku bisa," jawab Aksa tak peduli.
Ayah mendengus. "Bohong. Kamu bisa lebih baik dari itu. Kamu aja yg nggak mau usaha."
"Kamu cuma mau cari sensasi supaya kamu lebih diperhatikan."
Aksa memandang Ayah tak percaya. "Aku ragu sensasi apa yang bisa aku lakuin supaya lebih diperhatiin. Mungkin aku harus ngebakar rumah ini baru bisa diperhatiin," jawab Aksa ketus
Aksa meninggalkan meja, tak berminat untuk makan malam dengan situasi seperti ini.
"Aksa! Kembali ke sini sekarang juga!" sahut Ayah garang.
Aksa tak memedulikan teriakan-teriakan Ayah. Dengan langkah besar, dia masuk ke kamarnya, lalu membanting pintunya.
Dia melangkah ke tape, menyetel CD Disturbed dengan volume maksimum, lalu dengan kalap membanting semua benda yang dilihatnya.
"Brengsek!" serunya setelah dia kehabisan tenaga.
Aksa terduduk di samping tempat tidur, lalu menjambak-jambak rambutnya. Dunia tidak adil. Dunia tak pernah adil padanya.
Ayah memang menyebalkan. Ibu juga menyebalkan. Arion lebih menyebalkan. Seisi rumah ini menyebalkan.
Semuanya selalu bersikap seperti keluarga kecil bahagia. Aksa merasa dia tidak diterima di keluarga ini. Aksa selalu saja berbeda.
Aksa membanting tubuhnya ke tempat tidur, lalu mulai menyesali keberadaannya di dunia, sama seperti malam-malam sebelumnya.
Aksa perlahan membuka pintu kamarnya dan mendapati ruang keluarga pagi ini sudah kosong. Aksa mensyukuri keadaan itu, tak mau harinya diawali oleh suara salah satu anggota keluarganya.
Setelah mengembuskan napas lega, Aksa berjalan menuju lemari es. Dibukanya lemari es itu, tapi ternyata lemari es itu kosong. Tidak ada susu, tidak sereal, tidak juga roti. Aksa membanting pintu lemari es dengan sekuat tenaga.
"Wah, wah. Bisa rusak semua barang-barang elektronik di rumah ini kalo lo nyentuhnya pake tenaga dalam terus," komentar Arion yang tiba-tiba muncul dari balik lemari es.
Aksa menatapnya sebal. "Lo bisa beliin lagi, kan lo udah pasti sukses," kata Aksa ketus.
"Selalu ada hukum alam. Ada yang ngerusak, ada juga yang ciptain," sambungnya sambil melangkah keluar rumah dengan juga membanting pintunya. Arion menatapnya sambil geleng-geleng kepala.
👊👊👊👊
Segini dulu ya Reader's!!
Nb:
1. Karya ASLI MILIK AUTHOR.
2. Sedikit terinspirasi dari kisah nyata.
3. Gak suka, NO HUJAT & LAPOR.
4. DILARANG KERAS COPY CERITA SAYA!!!!!
5. Maaf kalau banyak typo dan kesalahan, karena saya juga manusia 🙏
Jangan Lupa!!!
LIKE!!!
KOMEN!!!
VOTE!!!
AND SUBSCRIBE!!!!
Oke Bye 😉
🎉🎉🎉🎉
Aksa melangkah cepat menuruni jalan kompleksnya. Tak seperti Arion yg memiliki motor, Aksa selalu naik bus saat pergi kuliah.
Bukannya Aksa tak pernah meminta, tapi dia 'tak mau' meminta apa pun dari Ayah, juga apa pun yg dimiliki Arion.
Ayah memberi motor itu kepada Arion karna dia lulus UAN dengan nilai rata2 delapan, bukan karna Arion memintanya dan Aksa tak bisa berbuat apa pun kecuali diam dan menelan bulat-bulat nilai rata-rata merahnya.
Tau-tau, Aksa melihat ke sebuah taman yang terletak tak jauh dari kompleks rumahnya. Aksa berhenti sebentar, dan menatap taman yg tak pernah berubah dari sejak dia masih kecil.
Taman yang asri dengan lapangan basket di tengahnya dan beberapa kursi taman di pinggirannya. Taman yg menyimpan banyak kenangan. Terlalu banyak kenangan.
Aksa memutuskan untuk memasuki taman itu. Entah kekuatan apa yg menariknya ke sana. Terakhir kali dia ke sana adalah ketika umurnya masih sembilan tahun.
Sejak itu, dia tak pernah ke sana lagi, untuk menunggu janji sepuluh tahun yg pernah dibuatnya dengan gadis kecil berkepang dua. Aksa memaksakan diri untuk berjalan ke sebuah pohon, tempat janji itu dipahat.
Setelah bertahun-tahun berlalu, tulisan itu masih di sana. Tulisan Aksa-Nay-Rion. Aksa menatapnya tanpa ekspresi. Baginya, janji ini hanya kekonyolan.
Hanya kerjaan iseng anak-anak. Gadis itu tak akan pernah muncul lagi. Tak akan pernah lagi setelah ia mengingkari janjinya sendiri.
Naya. Gadis kecil itu pergi ke Amerika sebulan tepat setelah mereka berjanji untuk selalu bersama. Dia pergi begitu saja setelah mereka membuat surat permohonan. Dan sekarang, sudah sepuluh tahun lebih semenjak perjanjian itu dibuat.
Tanggal 14 Februari 2010 bahkan masih terpahat di sana. Tidak mungkin kalau tulisan itu tulisan Reina yg dulu, pikir Aksa. Arion pasti sudah memahatnya kembali selama sepuluh tahun ini. Arion masih saja percaya bahwa gadis itu akan datang.
Dulu, anak bodoh itu bahkan pernah menyebut nama Naya muncul di sebuah forum di dunia maya. Benar-benar penuh imajinasi. Benar-benar sebuah lelucon. Gadis itu tak akan pernah datang. Naya tak mungkin datang lagi.
Aksa yakin, Reina bahkan tidak ingat lagi akan perjanjian ini. Aksa menatap pohon itu benci, lalu memukulnya dengan keras hingga buku2 jarinya terasa sakit. Aksa tak peduli lagi pada masa lalunya.
Tak ada lagi yg bisa diharapkan dari masa lalunya. Bahkan, kenyataan, tak ada lagi yg bisa diharapkannya dari masa kini maupun masa depannya.
Semuanya omong kosong. Aksa meninggalkan taman segera setelah menendang pohon itu.
"Ri, bantuin Ibu dong."
Arion langsung melompat dari sofa begitu melihat Ibu muncul di ambang pintu, tampak
kesusahan membawa barang2 belanjaan.
"Ibu beli apaan aja sih? Heboh amat," komentar Arion sambil membawa belanjaan itu masuk dan menaruhnya ke meja makan.
"Makanan," jawab Ibu singkat sementara Arion mengernyitkan dahi.
"Persediaan buat setahun?" Arion memandang bungkusan-bungkusan besar di depan matanya.
"Apa sih ini?",Ibu tak banyak berkomentar dan hanya mengedikkan bahu.
"Ada, aja," jawabnya misterius sambil menata sayuran di lemari es.
Arion mencoba membuka sebuah bungkusan, tapi tangannya langsung ditepis oleh Ibu. Arion meringis sambil mengelus punggung tangannya.
"Ada apaan sih, Bu? Mau ada pesta?"
"Udah deh, kamu nonton aja sana, nggak usah banyak tanya. Ntar juga tau," kata Ibu, masih dengan nada misterius. Arion menuruti kata2 Ibu walaupun dengan menggerutu.
"Eh, Ri, Aksa ke mana?" tanya Ibu sambil melongok ke ruang TV.
"Kuliah, kali," jawab Arion malas, tangannya sibuk mengganti channel.
"Lho, trus dia sarapan apa? Kan nggak ada apa2 di kulkas," kata Ibu lagi.
Arion mengangkat bahu. "Paling sarapan di kampus," gumamnya.
Ibu mengangguk-anggukkan kepala, lalu mengamati Arion yg bergerak mendekat dan
mengambil sebuah apel dari salah satu bungkusan belanjaan yg sudah terbuka.
"Ri, Ibu khawatir sama Aksa... Beberapa hari ini dia semakin sering berantem sama Ayah," kata Ibu pelan.
Arion menatap ibunya yg sekilas tampak lebih tua dari biasanya, lalu mendesah pelan.
"Ibu tenang aja. Aksa udah gede. Dia bisa nyelesain masalahnya sendiri," kata Arion, lalu bergerak mengambil bola basketnya yg tergeletak di samping sofa.
"Aku main basket dulu ya Bu."
Setelah berpamitan pada ibunya Arion berjalan keluar rumah dan menghirup udara pagi yg segar.
Hari ini cuaca agak mendung. Arion mendesah pelan. Aksa itu, pikir Arion. Selalu saja membuat Ayah dan Ibu kesal. Selalu saja membuat keonaran supaya bisa diperhatikan.
Padahal perbuatannya justru tidak akan mendatangkan simpati dari siapa pun. Arion men-dribble bolanya sampai ke taman. Arion berhenti sebentar, menatap taman yg penuh akan kenangan masa kecilnya.
Setelah menghela napas, dengan mantap dia mulai berlari ke lapangan basket dan memasukkan bolanya ke ring.
Lima belas menit kemudian, dia terduduk di bawah pohon akasia besar yg terletak persis di samping lapangan. Dia mendongakkan kepala, lalu melihat tulisan 'Aksa-Nay-Rion' yg terpahat di pohon itu.
Pikirannya lantas melayang ke masa kecilnya. Naya. Gadis cilik berkepang dua yg selalu hadir dalam mimpi-mimpinya.
Seharusnya Arion melupakannya, tapi setiap kali berpikir seperti itu, dia semakin tidak bisa melakukannya. Seorang Naya malah tumbuh semakin besar dalam fantasi terliarnya dan menjadi sorang gadis yg sangat cantik.
Ingin rasanya Arion menganggap bahwa semua ini konyol dan tidak masuk akal, tapi ia tidak mampu. Tidak pernah mampu. Dia memiliki keyakinan itu. Keyakinan bahwa Naya, gadis kecilnya yg cantik, akan kembali suatu saat nanti.
Arion bangkit, mengambil sebuah batu berujung tajam, lalu menggoreskannya ke tempat yg sama di mana tulisan 'Aksa-Nay-Rion' terpahat.
Dia memahatnya kembali agar tidak hilang. Arion sudah melakukan hal itu selama sepuluh tahun ini. Dia masih berharap bahwa janji sepuluh tahun yg lalu itu masih berlaku, walaupun sudah melewati batas yang ditentukan.
Sejak beberapa bulan yg lalu, Arion sering berpikir untuk membongkar kaleng yg dikubur di dalam tanah, dengan persetujuan Aksa.
Tapi Arion tak pernah melakukannya. Aksa juga. Sepertinya orang itu bahkan sudah lupa akan perjanjian itu. Hal ini membuat Arion sedikit enggan menebalkan tulisan 'Aksa'-nya tapi entah mengapa, tangannya bergerak di luar keinginannya.
Arion merebahkan tubuhnya di rumput yg hijau. Selama sepuluh tahun ini, Aksa tak pernah bicara tentang Naya ataupun pohon, ataupun perjanjian itu.
Bahkan, Aksa tak banyak bicara tentang apa pun kepada Arion. Rasanya Aksa sudah melupakan semua memori masa kecilnya begitu saja. Tidak ada keingintahuan.
Bahkan, tidak ada respon saat Arion menyebut nama Naya di depannya sekitar dua bulan yg lalu, saat sebuah e-mail masuk ke kotak surat Orion. E-mail itu mengejutkan Arion dan membangkitkan semua kenangan yg selama ini terkubur dalam2 di otaknya.
E-mail itu dari Naya. Naya-nya. E-mail itu mengatakan semua yg ingin didengar Arion. Bahwa Naya baik2 saja, bahwa Naya tidak lupa akan perjanjiannya, bahwa Naya akan kembali, walaupun tidak akan tepat pada tanggal 14 Februari karna dia belum mendapat libur sekolah.
Senyum lebar menghias wajah Arion. Gadis itu masih SMA. Arion sering kali melupakannya, menganggap Naya seumuran dengannya. Tapi semua itu tidak penting.
Yang penting Naya akan kembali, walau entah kapan dan nanti malam, Naya akan masuk ke chat room untuk mengobrol dengannya lagi. Rutin selama dua bulan terakhir ini. Kegiatan yg membuatnya melupakan Lala.
Seperti biasa, Aksa memasuki kampus tanpa semangat macam apa pun. Tidak ada niat untuk belajar. Dia hanya datang ke kampus untuk menghindari rumah selama mungkin. Tidak ada alasan lain selain itu.
Aksa berjalan menuju kelas mata kuliah Drama Inggris. Aksa betul2 muak. Segala paket yg dihidangkan dalam mata kuliah, baik dosen, diktat, maupun Shakespeare membuatnya sakit perut seketika.
Selama dua tahun ini, Aksa menyesali seluruh kehidupan perkuliahannya. Aksa membuka pintu kelasnya dengan malas. Begitu menampakkan diri, Pak Wisnu, sang dosen lah yg pertama kali terlihat.
Aksa menatapnya sebal sesaat lalu memutuskan untuk mencari tempat duduk paling belakang, yg paling memungkinkannya untuk tidur dengan nyaman. Tapi sebelum Aksa sempat bergerak, Pak Wisnu menghalanginya.
"Look who's coming?" katanya sinis sambil memindai Aksa dari ujung rambut hingga ujung kaki.
"Worn out t-shirt, refugee-like pants, dog necklace... So a next generation. I'm wondering... What are you doing in my class, Mr Aksara?".
Aksa menatap Pak Wisnu dengan pandangan menantang. Si tua ini merasa dirinya sebagai pemilik kampus ini.
"You have a problem with that?" tanya Aksa dingin. Pak Wisnu langsung membelalakkan matanya.
"YOU!" seru Pak Wisnu berang, tapi detik berikutnya langsung mengendalikan diri karna seluruh kelas memperhatikannya.
"If you don't have any intention to get along in my class, you may leave now. Please," Pak Wisnu menunjuk ke pintu pintu.
Tanpa mengatakan apa pun lagi, Aksa melangkah keluar dengan menendang pintu kelas hingga menjeblak terbuka.
Di koridor, dia masih menendang apa pun yg dilihatnya. Tempat sampah, kursi, bahkan pot bunga. Tanahnya sampai berhamburan. Aksa diteriaki oleh semua orang, tapi Ares tak peduli. Saat ini, dia benar2 di luar kendali.
"Saa!"
Seseorang memanggil Aksa, tapi Aksa sedang tak ingin berbicara dengan siapa pun.
Yang memanggilnya ternyata Lala. Gadis manis itu berlari sekuat tenaga untuk menyamakan langkah Aksa.
"Saa! Lo kenapa sih? Kok semua ditendangin?" serunya setelah bisa sejajar dengan Aksa.
"Apa urusan lo?" bentak Aksa tanpa menoleh.
"Saa, lo tau si Rion ada di man-"
Langkah Aksa segera terhenti. Dia mendelik sengit ke arah Lala yg malah tersenyum. Aksa
menatapnya seakan ingin membunuh seseorang.
"Apa lo serius mau tau jawaban dari gue?" sahut Aksa keras.
"Nggak," jawab Lala tenang, sudah mengetahui watak Aksa dengan jelas.
"Gue cuma mau bikin lo berhenti jalan kayak The Flash aja," sambungnya, lalu tertawa kecil.
Aksa tidak ikut tertawa. Dia masih memandang tajam Lala, membuat Lala segera menghentikan tawanya.
"Gue mau ngomong," kata Lala akhirnya.
"Tapi setelah lo kasih tau kenapa lo jalan kayak orang kesurupan gitu."
"Gue udah bilang bukan urusan lo," tandas Aksa sambil kembali berjalan. Lala segera
mengikutinya.
"Kok bisa begitu? Perasaan gue, dulu apa pun urusan lo urusan gue juga," kata Lala lagi.
Aksa berhenti mendadak sehingga Lala menabrak punggungnya. Aksa menatap Lala lagi, lalu tertawa sinis.
"Lo bercanda, kan?" tanyanya.
"Bercanda gimana?" Lala balas bertanya.
"Gue serius, Saa. Kenapa sih lo?"
"Gue juga serius," Aksa mencondongkan wajahnya ke wajah Lala, tatapannya tajam.
"Lo jangan bercanda lagi. Gue muak dengan tampak sok innocent lo, dengan kata2 lo yg seakan nggak pernah terjadi apa2," sambung Aksa lalu kembali berjalan cepat menuju taman.
Lala terdiam sesaat, lalu mengejar Aksa. Lala meraih tangan Aksa yang kekar dan membalik tubuhnya.
"Apa, Saa? Apa? Apa yg udah terjadi? Kita baik2 aja, kan?" seru Lala, matanya sudah berkaca-kaca. Aksa benar-benar muak dengan gadis ini, walau juga diam-diam menyayanginya.
Tapi, perasaan itu segera sirna setelah dia ingat bahwa gadis ini, gadis yg sangat dekat dengannya setahun lalu, adalah kekasih Arion. Dan Aksa benci hal itu.
"Denger ya, La. Jangan lo pikir kita masih bisa baik-baik aja setelah apa yg lo lakuin terhadap gue! Udahlah, lo minggir, cari sana si atlit tengik itu," Aksa berkata lelah, lalu berbalik.
"Saa! Gue sama Arion udah putus!" sahut Lala, membuat langkah Aksa terhenti.
"Gue sama dia udah putus! Lo denger kan?"
Aksa bergeming. Berita itu mengejutkannya. Selama ini, dia menyangka hubungan Lala dan Arion baik-baik saja.
"Gue baru sadar kalo yg gue peduliin tuh elo. Dan gue nyesel banget kehilangan lo," kata Lala lagi, suaranya sudah bergetar.
Selama beberapa menit, yang terdengar hanyalah isakan Lala.
"Penyesalan selalu datang belakangan," komentar Aksa akhirnya, lalu untuk ke sekian kalinya mencoba untuk pergi.
Tapi untuk kesekian kalinya juga, tangan Lala mencegahnya.
"Saa, tolong dengerin gue!" jerit Lala.
🎉🎉🎉🎉🎉
Ingin tau kelanjutannya?!
Tunggu Update Selanjutnya ya!!!
JANGAN LUPA!!!
LIKE!!!
KOMEN!!!
AND SUBSCRIBE!!!!
See you next time guys 😉
Bye bye 👋😉
🌸🌸🌸🌸
Aksa menatap Lala lagi. Gadis yg pernah dekat dengannya, bahkan satu-satunya yg pernah berbicara dengannya. Gadis yg dulu pernah mendapat tempat di hatinya.
Tapi semua lenyap dan terbakar menjadi kemarahan saat Lala dengan cerianya mengatakan bahwa dirinya dan Arion sudah bersama. Ternyata, selama setahun Lala mendekati Aksa, hanyalah untuk
mendapatkan seorang Arion.
Oh, bukan 'hanya' seorang Arion, tapi seorang cowok yg hebat di segala bidang, baik akademis maupun ekstrakurikuler, sekaligus cowok paling populer di kampus.
"La, denger. Denger baik2 karna gue cuma mau ngomong sekali. Gue nggak mau dengerin apa pun lagi. Lo pikir, setelah lo putus sama Arion dan lo bilang nyesel dan segala macem, lo bisa deket lagi sama gue? Jangan mimpi lo," kata Aksa dingin sambil berusaha melepaskan tangan Lala.
Tapi gadis itu memegangnya dengan sekuat tenaga. "Saa, tolong kasih gue kesempatan...," kata Lala lirih.
"Gue mohon..."
Aksa menatap Lala jijik. Dia tak menyangka Orion sudah memutuskan hubungannya dengan gadis ini.
Dulu, Aksa mengira Arion tak akan menyia-nyiakan Lala. Tapi tidak. Ares tidak akan peduli apa pun lagi. Kebenciannya kepada Lala sudah terbentuk sejak Lala mengatakan bahwa diam mencintai Arion.
Dan karna statusnya sebagai pasangan dari Arion, Lala yg tadinya bukan siapa-siapa mendadak menjadi cewek terpopuler saat itu. Lala jelas menikmatinya sehingga melupakan keberadaan Aksa.
Tetapi dari semua itu, yg paling membuat Aksa muak adalah, Lala mengetahui ada persaingan di antara Aksa dan Arion.
Maka dari itu, dia mendekati Aksa dengan tujuan membuat Arion cemburu. Aksa tahu betul hal itu. Hal bahwa selama ini Lala sudah memperalatnya.
"La. Lo tau gue bukan tipe orang yg ngasih kesempatan kedua. Jadi lo harusnya tau nggak ada gunanya lo ngelakuin yg kayak begini," kata Aksa.
Disentaknya tangan Lala sehingga terlepas dari tangannya.
"Saa, gue nyesel! Gue nyesel, oke? Gue nyesel!" sahut Lala putus asa.
Gadis itu mulai menangis lagi. Aksa mencoba untuk tidak menatapnya.
"Bagus kalo lo nyesel. Tapi itu nggak ada artinya buat gue."
"Saa! Gue kangen elo. Gue kangen saat2 dulu kita main bareng!" sahut Lala lagi dan Aksa
hanya meliriknya tajam.
"La, lo kenapa sih? Pengen balik lagi sama Arion tapi nggak tau caranya? Mau gunain cara licik kayak dulu? Udah nggak populer lagi lo rupanya?" bentak Aksa, membuat Lala menangis lebih keras.
Aksa membuang mukanya. Kalau saja Lala menangis bukan karna hal sepenting ini, Aksa pasti sudah memeluknya untuk menenangkannya. Tapi Aksa pantang menyentuh apa pun yg sudah disentuh Arion.
Lala tiba2 melompat ke arah Aksa dan memeluknya erat. Sejenak, Aksa terdiam karna terkejut. Tapi detik berikutnya, dia sadar dan melepas pelukan Lala. Lala masih terisak.
"Saa, apa bener nggak ada jalan buat kita balik kayak dulu?" tanya Lala di tengah isakannya.
Aksa menghela napas. "Benar," katanya mantap.
"Jadi, jangan sangkut pautin gue ke dalam urusan lo sama Arion lagi."
Aksa meninggalkan Lala yg menatapnya sedih. Aksa tak mau tahu lagi soal Lala dan Arion. Cukup sudah semua pengkhianatan yg dialaminya.
"Aksa, lo dapet pesen. Ada yg manggil lo di belakang kampus." Seorang cewek tiba-tiba mendekati Aksa saat dia baru beranjak pulang.
Aksa menghabiskan sepanjang hari dengan berbaring di kursi taman kampusnya sambil menghabiskan dua bungkus rokok.
Aksa menatapnya heran. "Siapa?"
"Gue nggak tau. Gue nggak kenal. Tapi cowok-cowok," kata cewek itu, lalu pergi begitu saja, seolah tak mau berurusan lebih lanjut dengan Aksa.
Aksa menatap kepergian cewek itu, lalu menutup loker dan berjalan menuju belakang
kampusnya.
Dalam hati, dia merasakan adanya ketidakberesan. Benar saja, segerombolan anak lelaki yg tampak marah sedang menunggunya di sana.
"Mau apa cari gue?" tanya Aksa begitu dirinya sudah berjarak tiga meter dari gerombolan itu.
Salah satu dari mereka maju, tampaknya yg paling kuat. Wajahnya legam dan memiliki banyak bekas luka.
"Lo Aksa?" tanyanya dengan suara yg berat, khas perokok. Sama seperti yg dimiliki Aksa.
"Bisa dibilang begitu," jawab Aksa dengan nada menantang.
"Dan lo? Bang napi?" Laki-laki itu mendengus.
"Gede juga nyali lo."
"Mau apa kalian? Suruhan siapa?" tanya Aksa ringan.
Dirinya sudah terbiasa akan hal2 seperti ini. Orang yg membencinya tidak bisa dibilang sedikit. Malah orang yg menyukainya yg luar biasa sulit dicari.
"Nggak penting suruhan siapa. Yg jelas, lo pastinya udah tau kita mau ngapain," jawab seorang laki-laki lainnya.
Aksa menarik napas, lalu mengambil sebatang rokok dan menyalakannya. Diisapnya dalam-dalam lalu dihembuskannya tepat ke wajah si hitam.
"Gue tau," katanya singkat.
Laki-laki itu segera melayangkan tinjunya pada Aksa, yg dapat dihindari dengan mudah.
Secepat mungkin Aksa meraih tangannya, memelintirnya, lalu mematikan rokoknya pada tengkuk laki-laki itu, yg langsung berteriak kesakitan. Teman-temannya memandang Aksa geram.
"BAJINGAN!!" seru gerombolan itu, lalu menyerbu Aksa dengan membabi buta.
"Mau ada pertandingan lagi, Yah." Suara Arion terdengar ketika Aksa memasuki rumah.
Aksa menarik napas sebentar, menghembuskannya, lalu meneruskan langkahnya melewati ruang tamu.
Ayah, Ibu, dan Arion sedang duduk di sana. Benar-benar sial. Pertemuan keluarga tepat di saat keadaannya berantakan. Aksa memutuskan untuk bergerak cepat ke kamar, bermaksud menghindari pertemuan itu.
Tapi rupanya tak cukup cepat, karna semua keluarganya menyadari keadaan Aksa dan tubuhnya yg kotor dan wajahnya yg lebam.
"Aksa! Kamu berantem lagi ya?!" teriak Ayah.
Aksa tidak berhenti untuk menerima lebih banyak pukulan lagi. Dia segera masuk ke kamarnya dan membanting pintu tepat di depan hidung ayahnya.
"AKSA! AKSA! BUKA PINTUNYA! DASAR ANAK KUR-"
Suara Ayah teredam oldi suara Kurt Cobain dengan 'Smells Like Teen Spirit'-nya.
Aksa membanting tubuhnya ke atas ranjang, lalu terduduk karna rasa sakit luar biasa yang menyerang perutnya.
Gerombolan sialan tadi berhasil memukulnya sekali pada perut dengan sebuah balok kayu besar. Rupanya tadi Aksa bergerak kurang lincah. Biasanya dia tak pernah terluka separah ini.
Ares sudah melumat semua anak yg tadi menyerangnya. Semua dibiarkan terkapar tak berdaya dengan berbagai macam keluhan. Mungkin yg terbanyak adalah patah hidung dan gigi. Tapi Aksa cukup yakin tadi dia berhasil mematahkan tangan satu-dua orang.
Gerombolan tadi suruhan Raul, saingan utama Arion dalam kompetisi basket antar kampus. Dia adalah mantan pacar Lala sebelum Arion, dan ternyata kabar bahwa Lala memeluk Aksa langsung sampai ke telinganya. Aksa mendengus sebal.
Rupanya banyak sekali mata-mata Raul di kampus. Baru beberapa jam kejadian itu berlalu, si pengecut itu sudah mengirim pasukan tak berguna untuk menghabisi Aksa.
Aksa memaksakan dirinya untuk mendekati kaca, lalu memerhatikan wajahnya yg lebam di bagian tulang pipi kirinya.
Aksa bersumpah dalam hati, akan terus mengingat bajingan yg berhasil menempatkan kepalannya di sana, lalu balas dendam dua kali lebih parah.
Tiba-tiba Aksa bergeming. Bukan karna dia menemukan luka baru di wajahnya, tapi karna dia menemukan wajah Arion di sana. Wajah yg persis dengan yg dimilikinya. Wajah yg tidak diinginkannya.
Aksa pun sadar kalau dia sudah terlalu lama tidak bercermin. Dia terlalu takut untuk melihat wajah yg selalu membuatnya marah itu.
Karna itulah, cermin pernah menjadi hal terkutuk baginya. Aksa melangkah menjauhi cermin, lalu kembali terduduk di pinggiran ranjang.
Mungkin lebih baik dia merubah wajahnya agar tidak terlihat mirip lagi dengan sang atlet. Terlalu banyak yg terjadi dalam satu hari ini. Dan semuanya membuatnya luar biasa lelah, sampai dia merasa ingin mati.
Arion buru-buru melangkah ke kamarnya begitu waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Malam ini, Naya akan muncul di chat room, seperti janjinya.
Arion segera duduk, menyalakan notebook-nya yg segera terkoneksi dengan internet. Setelah beberapa lama mencari, nama Naya belum muncul.
Arion sudah mencoba berbagai nama yg mungkin digunakan Naya, tapi tak satu pun benar. Naya belum muncul. Selama satu jam dihabiskan Arion untuk menunggu kehadiran Naya.
Tapi, gadis itu tak muncul juga. Arion mulai menggigiti kuku jarinya. Apa mungkin Naya lupa? Arion memutuskan untuk menunggu lebih lama.
Sementara itu, dia mencoba membunuh waktu dengan membuka situs-situs tentang NBA. Walaupun demikian, Arion hanya bisa memandang sosok Jason Kidd dengan tatapan kosong. Nama Naya belum muncul juga.
Satu jam berikutnya, Arion memandang layar notebook-nya hampa. Mungkin Naya memang lupa. Orion mengklik tampilan compose new message, lalu mulai membuat pesan.
To: reinaya_thequeen@yahoo.com
Subject: Hi! Naya, lupa ya, janji kita ketemuan di chat world? Nggak apa2 deh, tapi besok ketemu ya? Banyak yg mau diobrolin nih!
Miss U always. Arion.
Arion menekan tampilan send, lalu mengempaskan tubuhnya ke sandaran kursi. Naya. Gadis itu sudah membuatnya gila.
Setelah menutup notebook-nya dengan berat hati, Arion bergerak menuju ranjang dan
membanting tubuhnya. Dia mencoba untuk menutup mata dan sosok Reina langsung
terbayang di pelupuk matanya.
Naya tidak pernah mau mengirimkan fotonya. Dia juga tidak menampilkan foto pada profil media sosialnya.
Gadis itu tidak tahu betapa Arion benar-benar merindukannya. Tidak lama kemudian, Arion tertidur pulas, masih memimpikan Reina yg tumbuh dewasa.
😉😉😉😉
Perlahan, Aksa membuka pintu kamarnya. Benar saja. Pagi ini semuanya berkumpul di ruang tamu, karna ini hari Minggu.
Harusnya Aksa tadi tetap berada di dalam kamar saja. Aksa tidak dapat mundur lagi, karna Ayah sudah keburu melihatnya dan memberinya tatapan tajam.
Jadi, dia melangkah ke luar kamar, lalu duduk di meja makan. Dia mencomot sosis
goreng dan makan dalam diam. Ayah mendengus sambil membuka koran dengan kasar setelah melihat wajah Aksa yg lebam.
"Kamu ini mau sampe kapan ngelakuin hal2 yg nggak berguna?" serunya tanpa melepaskan matanya dari koran.
Aksa terdiam sesaat. Ayah sudah mulai lagi membicarakan hal ini. Aksa hanya menggerakkan bahu, malas menjawab.
Begitu tahu Aksa tak menjawab, Ayah mendelik sewot kepadanya. Arion dan Ibu memilih diam. Sebentar lagi pasti terjadi pertengkaran, seperti yg biasa terjadi di hari Minggu pagi.
"Kamu ini kerjaannya mencoreng nama baik Ayah," kata Ayah lagi. Urat2 di dahinya sudah mulai tampak.
"Aku nggak pernah nyebut-nyebut nama Ayah waktu berantem," jawab Aksa tak peduli.
Ayah menghempaskan koran yg sedang dibacanya ke meja makan, lalu menatap Aksa galak.
"Kecuali kamu bukan anak Ayah, sana berantem sepuasnya!" serunya dengan suara
menggelegar.
Aksa balas menatapnya geram. Sosis yg dipegangnya sudah terasa lembek.
"Mungkin cuma kematian yg bisa buat kamu berhenti berkelahi," sambung Ayah, lalu mendesah panjang.
Aksa mendengus. "Mungkin aja," katanya, lalu kembali melahap sosisnya. Ibu menatap Aksa khawatir, lalu mengulurkan tangan untuk membelai pipinya yg biru dan bengkak. Aksa segera menepis tangan ibunya.
"Apa nggak sebaiknya kamu ke dokter aja, Sa?" tanya Ibu pelan.
"Nggak usah," tandas Ayah sebelum Aksa sempat mengeluarkan suara.
"Biar kapok.", lanjut Ayah.
Aksa memilih tak menanggapi perkataan Ayah. Aksa tak akan kapok hanya dengan pukulan ringan di pipi. Selama beberapa menit, keheningan merayapi keluarga itu.
"Yah. Pinjem korannya," Arion mencoba mencairkan suasana. Ayah menyodorkan koran ke tangan Arion, sambil melirik Aksa yg tampak tidak berminat.
"Coba sekali-kali kamu baca koran. Kerjaannya denger musik aneh terus. Gimana bisa nambah pengetahuan, kamu?" sindir Ayah sinis.
Baca koran. Kerja yg bagus, Arion, pikir Aksa. Membaca koran adalah hal yg paling dibenci Aksa selain apa pun yg berhubungan dengan Ayah dan Arion. Bukannya Aksa tidak mau membaca, tapi Aksa divonis menderita disleksia lima tahun yg lalu.
Tidak ada yg mengetahui hal tersebut di keluarganya, karna Aksa selalu menutupinya. Seumur hidupnya, Aksa menderita dan dia tidak tahu apa yg terjadi padanya.
Baru setelah remaja, Aksa memutuskan untuk memeriksakan diri tanpa ada yg menemani, dan dari dokter dia tahu bahwa dia ternyata penderita disleksia, penyakit gangguan saraf pada otak yg menyerang anak yg lahir
prematur atau otaknya kekurangan oksigen saat baru lahir.
Kemungkinan besar, penyebab kedua lah yg terjadi kepada Aksa, karna dia dan Arion lahir pada waktunya. Penyakit ini menyebabkan Aksa tidak dapat membaca, menulis, atau mengeja dengan benar.
Walaupun disleksia yg terjadi pada Aksa tidak begitu parah, dia tumbuh menjadi anak yg emosinya labil karna terbiasa dikatakan bodoh oleh semua orang.
🌸🌸🌸🌸
Kira-kira siapakah gadis yang menarik itu? Apakah ia ada hubungannya dengan Aksa dan Arion?! Saksikan di episode berikutnya!!
Sorry ya dikit, soalnya aku capek banget hari ini. Rasanya ingin tidur aja...
Kata-kata pagi ini
Kita pernah saling tatap sebelum saling ratap; pernah sama-sama berharap sebelum rasa itu lenyap; pernah sejenak menerap meski tak berujung satu atap
~🌸Shea🌸~
Oke itu dulu, Jangan Lupa!!
Like!!!
Komen!!!
And Subscribe!!!
See You, bye 😉
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!