NovelToon NovelToon

Belenggu Cinta Tuan Muda Sombong

Bab 1. Sebagai Jaminan

"Maaf Tuan, ruko anda mengalami kebakaran. Barang-barangnya sudah ludes terbakar."

Seorang karyawan mendatangi Arnav di kediamannya dan mengabarkan berita buruk padanya.

Seketika Arnav lemas, mendengar kabar yang tak mengenakkan. Hancur sudah harapannya ingin kembali membangun usaha kain yang pernah bangkrut akibat dibodohi oleh istrinya.

"Apa! Kebakaran? Bagaimana bisa? Siapa yang sudah tega membakarnya?"

Dengan dadanya yang bergemuruh panas, Arnav berusaha bangkit.

Hatinya terkoyak sedih, belum bisa mengembalikan pinjaman pada rekan bisnisnya, kini sudah ditambah lagi musibah rukonya terbakar.

"Untuk saat ini masih belum diketahui Apa penyebabnya, Tuan. Petugas masih melakukan pemeriksaan dan Tuan diharap untuk datang ke sana."

Arnav geleng-geleng kepala. Ia tak yakin dengan penjelasan karyawannya.

Bagaimana mungkin ruko yang belum satu bulan dibuka sudah terbakar. Sedangkan barang-barang baru datang dan itu semua hasil dari pinjaman.

"Tidak! Ini tidak mungkin. Kamu pasti berbohong kan?"

Dengan tatapannya yang meredup, Arnav mencoba untuk yakin bahwa semuanya akan baik-baik saja. Apa yang dikatakan oleh karyawannya itu salah.

"Tidak Tuan, saya tidak berbohong Anda bisa menyaksikannya sendiri."

Seketika dadanya terasa sesak dengan tubuhnya gemetaran hebat.

Ditinggal oleh istrinya berselingkuh dengan laki-laki lain, dia harus membesarkan anak-anaknya seorang diri.

Dengan segala cara Arnav pertahankan untuk membahagiakan anak-anaknya, namun musibah datang tak mengenal waktu. Usaha yang baru dirintisnya kembali tumbang dengan meninggalkan puing-puing kehancuran.

"Tuan ..., Tuan tidak apa-apa kan?"

Karyawan itu langsung menangkap Arnav yang hampir tumbang. Dia memapahnya untuk didudukkan di sofa.

"Tolong antarkan aku ke ruko. Aku ingin melihat sendiri kondisinya."

"Tapi Tuan ..., kondisi Tuan ..?"

Pria itu mengkhawatirkan kondisi Arnav saat ini, begitu lemah dan tak berdaya.

Ia tak yakin Arnav bisa tegar setelah melihat rukonya yang terbakar dan menyisakan puing-puing bangunan.

"LEKAS ANTARKAN AKU KE SANA!"

"Baik Tuan."

Pria itu keluar dengan memapah Arnav menuju mobilnya yang terparkir di halaman rumah.

***

Setibanya di ruko, Arnav melihat sendiri banyak sekali orang-orang yang berkerumun melihat ruko yang sudah tidak berbentuk lagi. Bukan hanya rukonya Arnav saja yang terbakar, tapi api sudah merembet ke ruko lain dan tentunya sangatlah merugikan, dan Arnav lah yang harus bertanggung jawab.

'Ya Tuhan ..., ujian apalagi ini? Kenapa kau mengujiku tiada henti. Apakah aku sudah tak layak untuk menempati duniamu?'

Melihat bangunan luluh lantak, membuat arnav tak berdaya. Seakan-akan ia gagal menjadi seorang ayah yang bisa membahagiakan anaknya.

Ketiga anaknya masih berstatus sebagai pelajar, mereka butuh biaya besar dan dia ..., dia tidak bisa lagi membiayai dan mencukupi kebutuhan anaknya, bahkan untuk hutang-hutangnya sendiri dia tidak mampu untuk membayar.

'Maafkan Papa nak, Papa gagal menjadi orang tua yang baik dan tidak bisa membahagiakan kalian,' gumamnya dalam hati.

Beberapa orang datang menemui Arnav dengan tampangnya penuh amarah.

Orang-orang yang rukonya terbakar langsung meminta pertanggungjawaban Arnav seketika itu.

"Bagaimana ini Pak Arnav! Lihatlah usaha kami hancur lebur gara-gara kebakaran di rukonya Pak Arnav. Pokoknya kami tidak mau tahu! Pak Arnav harus bertanggung jawab!"

Arnav benar-benar bingung dikerubuni oleh banyak orang yang meminta pertanggungjawaban padanya.

Bahkan untuk saat ini ia tidak memegang uang sama sekali, atau bisa jadi uangnya sangatlah menipis.

"Sabar ya Pak, saya akan usahakan, namanya juga musibah," jawab Arnav.

"Sabar! Sabar! Musibah terjadi karena keteledoranmu. Seharusnya anda itu stand by di sini. Jangan kelayapan saja, jadi di saat ada konsleting listrik atau hal-hal yang tidak diinginkan, anda ada di tempat. Pokoknya kamu tidak mau tahu sekarang juga Kami minta pertanggungjawaban anda! Kami kasih waktu 24 jam mulai dari sekarang, cepat urus semua kerugian yang kami terima. Karena kebakaran ini kami kehilangan pekerjaan kami, Pak Arnav! Dan itu gara-gara kecerobohan anda!"

Mendapatkan tekanan dari orang-orang di sekelilingnya membuat denyut jantung Arnav berdetak begitu kencang.

Tubuhnya seketika lemas dan gemetaran. Bagaimana ia bisa mengurus semua kerugian yang dialaminya dalam waktu 24 jam? Seorang miliarder pun pasti tak akan sanggup menyiapkan banyak dana dalam waktu yang singkat.

Di saat masalah belum terselesaikan, datanglah kembali seseorang dari dalam mobil mewah dengan dua bodyguardnya.

Dirgantara, anak dari seorang pengusaha garmen datang untuk melihat suasana di rukonya Arnav.

Almarhum orang tuanya memberikan pinjaman banyak modal pada Arnav untuk kembali memulai bisnisnya, karena melihat kebakaran itu, Dirgantara tak yakin Arnav bisa mengembalikan uang orang tuanya, namun dia tak ingin dirugikan, mau tak mau, uang itu harus dikembalikan, atau apapun juga akan dilakukannya.

"Bagaimana kejadian ini bisa terjadi Tuan Arnav?"

Dirgantara melangkahkan kakinya mendekati Arnav dikawal oleh bodyguardnya.

Tatapannya begitu dingin namun terhalang oleh kacamata hitam.

"Tuan Dirgantara, saya tidak tau kenapa musibah ini terjadi. Saya baru datang setelah mendapatkan kabar dari karyawan saya," jawab Arnav.

Arnav berharap Dirgantara tak seperti pemilik ruko lainnya yang memintanya untuk segera bertanggungjawab.

Dirgantara anak orang kaya, tentunya ia masih punya banyak harta dan tidak mengandalkan uang orang tuanya yang dipinjam untuk modal usahanya.

"Kalau sudah seperti ini, apa yang bisa anda lakukan untuk membayar hutang anda pada orang tua saya. Saya datang kemari sengaja ingin meminta anda untuk membayarnya, tapi melihat kondisi anda yang seperti ini, apa yang bisa anda lakukan?"

Bagai teriris pisau yang tajam, satu persatu orang meminta pertanggungjawabannya, dan tak sepeser uang pun dipegangnya.

"Tuan Dirgantara, saya mohon pengertiannya, saya janji akan membayar hutang-hutang saya pada anda, tapi beri waktu saya untuk mendapatkan uang."

Dirgantara tersenyum smirk. Memangnya  apa yang bisa dilakukan oleh Arnav untuk mendapatkan uang? Sedangkan usahanya saja sudah ludes terbakar. Hanya tinggal sisa puing-puing bangunan yang sudah tak tertata rapi. Kobaran api saja masih belum sepenuhnya padam.

"Tuan Arnav, anda sadar dengan apa yang anda katakan barusan? Memangnya anda yakin bisa mendapatkan uang setelah usaha anda hancur? Lihatlah, ruko anda sudah terbakar habis, dapat uang dari mana anda untuk membayar hutang-hutang anda pada almarhum Ayah saya. Saya tidak mau tau Tuan Arnav, anda harus segera membayar hutang anda pada saya. Dulu Ayah saya sudah berbaik hati memberikan pinjaman pada anda, sekarang giliran anda yang harus berbaik hati untuk mengembalikan hutang-hutang anda. Saya kasih waktu sampai besok, jika anda tidak bisa membayarnya, maka anda tau sendiri apa yang akan saya lakukan!"

Kepala Arnav berdenyut denyut seakan mau pecah. Ia tak lagi punya tempat untuk mengadu. Istri tak punya, apalagi keluarga, dia tak mungkin membangunkan orang tuanya yang sudah mati untuk meminta bantuan.

"Tuan Dirgantara, saya mohon belas asih anda. Untuk saat ini saya masih belum punya uang. Saya janji akan membayarnya, tapi~~

"Saya tunggu sampai besok. Jika besok anda belum bisa mengembalikan uang saya, maka anak perempuan anda harus menjadi jaminannya!"

Dengan arogannya Dirgantara membalikkan badannya melangkahkan kakinya pergi meninggalkan Arnav dengan sejuta kepedihan.

Halo brother, sister, ini novel baru author yang siap mengajak senam jantung. Jangan lupa mampir dan tinggalkan jejak vote, like dan komen ya??💃😘😘

Bab 2. Dipaksa Menikah

Arnav dibuat frustasi dengan keadaannya saat ini. Dia benar-benar hancur berkeping-keping. Rumah tangganya hancur, bisnisnya hancur, dan anaknya yang tidak tahu apa-apa harus menjadi jaminan hutang.

Dia tidak memiliki pilihan lain untuk menyelesaikan masalahnya. Rumah yang dimilikinya saja akan dijual untuk membayar kerugian pada orang-orang yang rukonya ikut terbakar bersama ruko miliknya.

"Papa, Viona pulang."

Viona memasuki rumah dan melihat Ayahnya duduk di sofa ruang tamu sendirian dengan wajah menunduk dan kedua tangan menyangga kepalanya.

Tak mendapati jawaban, Viona melangkahkan kakinya masuk dan menghampiri Ayahnya dan memutuskan untuk duduk di sebelahnya.

"Papa, Papa kenapa? Apakah Papa lagi sakit?"

Viona khawatir Ayahnya sedang sakit, karena sedari pagi Ayahnya mengeluh kepalanya sedang pusing.

Arnav mendongak dan menatap putri kecilnya yang masih duduk di bangku SMA.

Sangatlah tidak tega jika menyerahkan Viona sebagai jaminan hutangnya pada Dirgantara, tapi apa yang bisa diperbuatnya? Dia sudah tak memiliki apa-apa kecuali rumah yang ditempatinya, dan rumah itu akan dijadikan jaminan untuk mengganti kerugian ruko yang ikut terbakar bersama ruko miliknya.

"Vio, Papa ..., bagaimana dengan ujianmu hari ini? Apakah kamu bisa melewatinya dengan baik?"

Arnav hampir saja mengatakan bahwa dirinya diambang kehancuran, tapi melihat putrinya seketika lidahnya kelu, tak sanggup untuk bercerita.

"Ujianku tadi agak sulit, tapi aku bisa melewatinya dengan baik. Semoga saja nilaiku bagus Pa, aku ingin melanjutkan kuliahku di Belanda, di sana aku bisa berkumpul dengan kakak."

Harapan yang begitu besar ingin meneruskan kuliahnya di luar negeri.

Viona ingin menjadi pengusaha yang sukses agar tidak ada lagi orang yang meremehkannya. Ia belajar mati-matian agar bisa mewujudkan cita-citanya kuliah di luar negeri.

"Tapi sayangnya Papa nggak bisa mewujudkan keinginanmu."

Deg,

Detak jantung Viona berasa terhenti, kata-kata yang keluar dari mulut Ayahnya begitu menohok hatinya.

Di saat ia berharap agar bisa kuliah di luar negeri, tiba-tiba angan-angannya dibuyarkan oleh Ayahnya. Entah apa yang ada di pikiran orang tuanya, hingga tega mengatakan semua itu.

"Nggak bisa apa Pa? Papa nggak ngizinin aku kuliah di luar negeri? Kenapa?"

Banyak pertanyaan yang ingin diajukan, tapi hanya dijawab dengan gelengan kepala.

Lidah Arnav terasa kelu untuk menjelaskan permasalahannya pada Viona. Ia tak tega melihat Viona sedih, tapi ia tak sanggup lagi membiayai pendidikannya.

"Pa! Jawab Vio dong! Apa permasalahannya? Kenapa Papa nggak mau kuliahin aku ke luar negeri. Kak Rena di Belanda, Bang Erlan di Jepang, terus aku ...?"

Viona tak kuasa menahan kesedihannya. Ia merasa orang tuanya tak bisa bersikap adil padanya.

Kedua kakaknya bisa mendapatkan fasilitas hingga kuliah di luar negeri, tapi dia ...? Dia hanya bisa gigit jari.

"Viona, dengerin Papa. Hari ini ada kabar buruk yang menimpa Papa. Papa benar-benar dibuat stress oleh masalah ini. Maafin Papa yang udah bikin kamu kecewa, tapi Papa mohon, mengertilah."

Viona diam, dia pun malas mendengar apapun yang keluar dari mulut Ayahnya. Ia tak peduli dengan alasan Ayahnya, hatinya sudah terlanjur kecewa.

"Vi, ruko kita kebakaran. Barang dagangannya habis ludes terbakar. Bukan hanya itu, ruko yang ada di sebelah milik kita juga ludes terbakar, dan pemiliknya meminta ganti rugi. Papa dikasih waktu sampai besok, jika tidak ... Jika tidak Papa akan dipenjarakan."

Bola mata Viona seketika melebar. Ia terkejut mendengar penjelasan Ayahnya. Ia pikir permasalahnya tak seberat itu, ternyata permasalahannya lumayan besar, taruhannya penjara.

"Apa Pa? Rukonya terbakar? Jadi kita bangkrut lagi? Bagaimana ini bisa terjadi Pa? Kenapa bisa terbakar?"

Lemas sudah Viona mendengarnya. Bukan hanya ingin kuliah di luar negeri saja yang gagal, bisa jadi ia juga tidak bisa melanjutkan kuliahnya di sini.

Nasibnya selalu malang, ditinggalkan oleh ibunya dikala ia membutuhkan perhatian, Ayahnya bangkrut setelah dibohongi ibunya, dan saat ingin merintis usaha baru, kembali lagi bermasalah, dan kali ini masalahnya lumayan besar, karena untuk merintis usaha baru membutuhkan dana yang lumayan besar, dan dana itu diperoleh dari hasil pinjaman.

"Papa masih kurang tau kronologinya, dan petugas masih melakukan penyelidikan. Mungkin terjadi konsleting listrik, atau ada orang iseng yang sengaja membakarnya. Papa bingung Vi. Papa dikasih waktu sampai besok untuk melunasi hutang-hutang Papa, ditambah lagi ada tiga ruko yang ikut terbakar, dan pemiliknya juga minta pertanggungjawaban. Papa sudah tidak memiliki apa-apa lagi. Hanya rumah ini yang tersisa. Bagaimana Papa bisa membayar mereka semua?"

Viona bisa merasakan apa yang tengah dirasakan oleh Ayahnya, sedih itu pasti, tapi dia tak bisa membantunya. Sekolahnya saja baru selesai ujian nasional, dan masih harus menunggu kelulusan.

Viona menghela nafas dan membuangnya. Ditatapnya wajah sedih Ayahnya yang nampak begitu pucat. Pasti Ayahnya mengalami stres berat.

"Apa yang harus kita lakukan Pa? Apakah Papa akan menjual rumah ini? Kalau rumah ini sampai dijual, kita mau tinggal di mana? Apakah kita akan tinggal dikolong jembatan?"

Di saat mereka berkecamuk dalam pikiran yang kalut, tiba-tiba handphone Arnav kembali bergetar.

Nampak tertera nama Dirgantara tengah menghubunginya. Arnav yakin Dirgantara kembali menyerangnya dan meminta untuk segera mengembalikan uangnya.

"Bagaimana Tuan Arnav? Apakah anda sudah memiliki jawaban?"

Dengan suaranya yang dingin Dirgantara membuat Arnav gugup untuk memberikan penjelasan.

Anak dari almarhum sahabatnya itu memiliki sifat yang jauh berbeda dengan Ayahnya, bisa dibilang Dirgantara seorang pria yang angkuh dan juga arogan.

"Maaf Tuan Dirgantara, ini kan perjanjiannya masih sampai besok, apakah nggak sebaik-baiknya kita bahas besok saja?"

Arnav mengingatkan Dirgantara untuk menepati janjinya sesuai dengan ketentuan. Walaupun ia tak yakin bisa mencari uang secara kilat, setidaknya Dirgantara masih bisa menghormatinya.

"Apa bedanya sekarang dengan besok, hanya terjeda satu malam saja. Saya hanya ingin tahu kepastiannya, apakah anda mampu melunasi hutang hutang anda pada saya! Saya tidak ingin dibodohi dengan berbagai alasan, karena apapun alasannya, saya tidak peduli!"

Viona meminta Ayahnya untuk melospeeker agar dia mendengar apa saja yang dikatakan oleh Dirgantara.

Arnav dengan matanya berkaca-kaca menatap sendu putrinya, tak ikhlas menjadikan putrinya sebagai jaminan hutang.

"Tuan Arnav, kenapa anda diam. Bisakah anda memberikan jawaban?"

Dirgantara selalu saja mendesaknya hingga ia tak bisa membuat alasan yang tepat. Apapun alasannya ia tetap tidak bisa mendapatkan uang dalam waktu singkat.

"Maaf Tuan, saya tidak sanggup untuk membayarnya. Saya sudah berupaya untuk mendapatkan pinjaman, tapi ..."

"Sudah kuduga! Anda tidak bisa lagi dipercaya untuk mendapatkan pinjaman. Di sini anda sudah bangkrut, dan anda kebingungan. Begini saja Tuan Arnav, saya akan sedikit meringankan beban anda. Jika anda ingin terbebas dari jeratan saya, maka serahkan putri anda untuk menjadi pengantin saya, dengan begitu hutang anda saya anggap lunas. Pikirkan baik-baik, dan segera berikan keputusan."

Seketika sambungan terputus sepihak, menyisakan kepedihan yang mendalam.

Viona menggelengkan kepalanya. Dia tak sudi menikah dengan pria sombong yang tak memiliki sopan santun. Dia tak mau menjadi korban kecerobohan orang tuanya, dia masih ingin hidup bebas mengejar cita-citanya.

"Tidak Papa! Aku tidak mau menikah dengannya. Aku masih ingin mengejar cita-citaku!"

Dengan helaan napas berat, Arnav mengambil keputusan. Walaupun berat, ia tak mau kehidupannya lebih buruk lagi.

"Persiapkan dirimu! Besok kau harus menikah dengan Dirgantara. Ini sudah menjadi keputusan Papa!"

Halo reader, bagaimana ya? Jika kita ada di posisi Viona? Sakit nggak? Dipaksa menikah untuk dijadikan jaminan hutang?

Ikuti terus kelanjutannya, jangan lupa tinggalkan jejak dengan vote, like, dan komennya ya? Thanks you 😘😘

Bab 3. Sah Menjadi Istri

Keesokan harinya, Viona dirias menggunakan gaun pengantin, gadis itu nampak begitu cantik, namun sayangnya dia tak bahagia, hatinya hancur ketika dipaksa untuk menikah dengan orang yang tidak disukainya. Viona masih belum siap untuk menikah, apalagi menikah dengan orang yang tidak disukainya.

Rasanya Viona ingin kabur atau loncat dari jendela kamar. Bahkan di setiap sudut dijaga begitu ketat untuk berjaga-jaga agar pengantin tidak kabur.

"Sudahkah kamu bersiap Vi? Di bawah Dirgantara tengah menunggumu. Penghulu sudah datang dan siap menikahkan kalian."

Viona menggeleng sembari menangis. Ia tak mau keluar untuk melakukan ijab qobul, ia ingin pernikahan itu dibatalkan.

Ia tak mau menikah dengan pria sombong yang suka merendahkan orang lain. Hanya dengan membayangkan untuk hidup bersamanya saja membuatnya gelisah tak tenang.

"Tidak Papa! Aku nggak mau menikah sama dia. Tolong batalkan pernikahan ini. Aku tidak mau jadi istrinya!"

Arnav melotot. Tak mungkin ia menuruti keinginan anaknya untuk membatalkan acara pernikahannya yang sudah dipersiapkan. Bahkan penghulu dan calon pengantin pria sudah datang dan siap untuk melakukan ijab qobul.

"Apa kau sudah gila, Viona! Kau tidak boleh sebodoh itu! Apa kau ingin melihat Papamu ini membusuk di penjara? Keselamatan Papa ada ditanganmu, Vi! Apa kau tega membiarkan Papamu ini mendekam di penjara?"

Viona menggeleng. Ia juga tidak tega melihat Ayahnya mendekam di dalam penjara, tapi dia juga tak sanggup untuk menikah dengan pria arogan seperti Dirgantara.

Viona tahu betul siapa Dirgantara. Dulu Dirgantara pernah menabraknya sewaktu berangkat sekolah, dan pria itu tak mau bertanggungjawab, dan sekarang, ia harus menikahinya?

"Kenapa harus aku yang menikah Pa! Kan masih ada kakak. Kakak lebih pantas untuk menikah, aku masih belum cukup umur untuk menikah. Ayolah Pa! Jangan keras kepala seperti ini. Kita bicara baik-baik, jangan memutuskan pernikahan ini secara sepihak. Aku tak setuju!"

Arnav menahan untuk tidak emosi. Tidak mungkin juga ia menghubungi anak keduanya untuk pulang dan menikah dengan Dirgantara. Dia tidak memiliki banyak waktu, jika sampai terlambat, jeruji besi menantinya.

"Nggak ada pilihan lain Vi! Turuti saja permintaan Papa! Kamu harus menikah hari ini juga. Cepatlah keluar, jangan sampai membuat Dirgantara marah karena ulahmu!"

Arnav langsung membalikkan badannya dan meninggalkan Viona yang ditemani oleh perias.

"Papa jahat! Papa Tega! Aku nggak nyangka demi bayar hutang Papa tega menjualku!"

Viona menangis duduk di ranjang. Ia merutuki nasibnya yang begitu buruk. Seharusnya ia masih bisa mengejar impiannya untuk menjadi pramugari,tapi kandas karena ia dipaksa menikah demi melunasi hutang Ayahnya.

"Mama! Ini semua gara-gara Mama. Karena ulah Mama, di sini aku jadi korbannya. Di mana letak hati nurani Mama sebagai seorang ibu?"

Seorang wanita yang berprofesi sebagai sekertaris ayahnya masih stand by di kamar Viona, wanita itu setia menemani Viona dan membenahi riasannya yang sudah tidak tertata rapi. Maskara dan airliner sudah meleleh tersapu oleh air mata. Wajah Viona juga nampak begitu sembab karena tak berhenti menangis.

"Nona Viona, sebaiknya nona lekas turun sebelum Tuan Dirgantara marah. Saya cukup mengenal siapa sosok calon suami nona."

Dengan helaan nafas berat, akhirnya Viona memutuskan untuk keluar dari kamarnya. Ia tak sendiri, sekertaris itupun menemaninya turun menuju tempat yang digunakan untuk acara ijab qobul.

Viona duduk di sebelah pria muda dengan mengenakan pakaian formal untuk melakukan ijab qobul.

Pernikahan yang diselenggarakan secara sederhana, tidak ada tamu undangan yang hadir, hanya beberapa rekan dekat Ayah Viona dan juga rekan dekat dari Dirgantara sebagai saksi jalannya prosesi pernikahan.

"Karena pengantin wanita sudah datang, bisakah acara kita mulai sekarang? Ini Tuan dan nona tandatangani sebagai surat perjanjian pra nikah."

Penghulu menyodorkan sebuah kertas yang harus ditandai oleh Dirgantara dan juga Viona.

Tanpa membaca isi suratnya, Viona langsung menandatanganinya, karena percuma, biarpun ia menolak, tak membuat orang tuanya membatalkan acara pernikahannya.

"Baik, kita lakukan ijab kabulnya sekarang."

Dirgantara berjabat tangan dengan penghulu untuk mengikrarkan ijab qobul. Tatapannya tegas, tak sedikitpun menoleh pada Viona.

"Saya nikah dan kawinkan engkau saudara Dirgantara bin almarhum Yahya dengan putri kami Viona Rosalina bin Arnav dengan mas kawin emas 50 karat berserta uang tunai senilai tujuh milyar dibayar tunai!"

"Saya terima nikahnya Viona Rosalina binti Arnav dengan mas kawin tersebut dibayar tunai!"

"Bagaimana para saksi? Apakah pernikahan ini sah?" tanya Penghulu.

"Sah!!"

Semua orang yang ada di dalam ruangan itu serempak mengesahkan pernikahan mereka.

Viona lemas dengan air mata yang tak berhenti menetes. Bukan kebahagiaan yang dirasakan, tapi penderitaan yang menyambutnya.

Satu persatu orang membubarkan diri setelah ijab qobul selesai.

Tinggal beberapa orang saja yang masih ada di dalam rumah Viona.

"Bersiaplah. Mulai hari ini kau sudah menjadi istri dari Dirgantara. Ikutlah bersama suamimu, dan berjanjilah untuk menjadi istri yang baik buat dia."

Arnav menahan untuk tidak menangis. Dia melenggang pergi meninggalkan Viona yang belum sempat menjawabnya.

"Papa benar-benar jahat! Dia benar-benar tak peduli dengan perasaanku! Aku bahkan tidak diberi kesempatan untuk menjawab, atau bahkan memilih."

Viona melangkahkan kakinya keluar rumah menuju mobil yang sudah terparkir di halaman rumah.

Dia tak lagi mendapati Dirgantara, pria itu sudah meninggalkannya setelah ijab qobul selesai.

"Mari nyonya, saya akan mengantarkan anda ke rumah Tuan Dirga."

Asisten pribadi Dirgantara membukakan pintu mobil dengan wajah menunduk. Viona sebenarnya sangat malas untuk ikut bersamanya, tapi mengingat statusnya bukan lagi lajang, dia tak bisa berbuat apa-apa.

"Di mana dia sekarang?" tanya Viona yang tak mendapati pria yang sudah menikahinya.

"Tuan Dirgantara sedang sibuk. Beliau sedang pergi ke kantor."

***

Setibanya di kediaman Dirgantara yang mewah berlantai empat, Viona mendapatkan sambutan hangat dari penghuni rumah. Di situ ada seorang wanita muda yang seumuran dengannya. Dia langsung memberikan sambutan dan menyapanya dengan ramah.

"Kakak ipar Viona ya?"

Viona mengerutkan keningnya. Dia dipanggil dengan sebutan kakak ipar, berarti wanita itu adik perempuannya Dirgantara, tapi sifatnya jauh berbeda dengan Dirgantara.

"Selamat datang di rumah kami kak. Kenalin dulu, namaku Sania,  aku adiknya Bang Dirga."

Sania mengulurkan tangannya untuk menjabat tangan Viona, dan Viona membalas jabatan tangannya. Dia bersyukur, setidaknya di rumah Dirga dia masih mendapatkan sambutan baik dari keluarganya.

"Ayo kita masuk kak, jangan sungkan-sungkan. Kamu kan sudah menjadi kakak iparku, berarti kamu sudah menjadi kakakku. Aku senang sekali bang Dirga mau menikah, dengan begini aku memiliki teman."

Tujuan Dirga memilih untuk menikahi Viona, sebenarnya ingin mencarikan teman buat adiknya. Selama ini adiknya kesepian dan tidak pernah memiliki teman, selain itu ia juga tak mau kehilangan uangnya yang tak mungkin bisa terbayarkan oleh Arnav.

"Kakak Viona! Aku harap kakak betah tinggal di sini ya? Apapun yang terjadi berjanjilah untuk tidak meninggalkanku."

Tak bisa dibayangkan menikah dengan orang yang bukan pilihan, sudah pasti kehidupannya bakalan nano-nano. Semoga saja kehidupan Viona tak menyeramkan setelah menikah. 😔😔

Kalau tak bahagia, lebih baik kabur saja 🏃🏃 eits, tapi jangan besti online yang kabur😁😁, simak terus perjalanan Viona menghadapi pria dingin yang menjadi pasangannya. Jangan lupa tinggalkan jejak ya guys, vote like dan komennya, thanks 😘🥰

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!