Zea Anggraini Nugroho merupakan seorang gadis berusia 25 tahun. Ia putri orang kaya yang lebih suka kesederhanaan, bahkan tidak banyak yang tahu siapa dirinya sebenarnya.
Sang pacar pun tidak luput dari ketidak tahuan nya tentang siapa Zea. Bukan bermaksud menyembunyikan apa yang ia punya dari pasangannya. Tapi karena Joni juga tidak pernah bertanya dan tidak pernah mau tahu siapa Zea sebenarnya.
Kini genap tiga tahun sudah keduanya menjalin hubungan jarak jauh. Setahun pacaran setelah lulus kuliah, Zea melanjutkan kuliah keluar negeri karena Joni yang ke luar kota untuk bekerja.
Zea menyetujui keinginan sang papa karena hal itu pula. Awalnya Zea keberatan dengan hubungan jarak jauh itu. Tapi lama-lama ia jadi terbiasa, apa lagi sudah setengah tahun lamanya Joni semakin sulit di hubungi.
"Kamu di mana, Dek?" Tanya seorang pria dari sambungan telepon.
"Sebentar lagi keluar, lagi ambil koper." Sahutan dari seberang membuat si penelpon lega.
"Gimana, Mas?" Tanya Diki.
"Ambil koper bentar katanya," sahut Riki.
"Lama banget sih, Adek ini," gerutu Hasan.
"Sabar kenapa sih, Mas. Seperti gak pernah naik pesawat saja," cibir Husen si kembaran.
"Ck, Mas sudah kangen berat ini." Hasan benar-benar bagai cacing kepanasan yang sudah tidak sabaran.
"Tenang lah, sayang. Sebentar lagi juga Adek keluar," kata bu Sari menenangkan anaknya.
Pak Bambang hanya bisa tersenyum melihat ke antusiasan keempat anaknya. Zea merupakan anak ke lima dari lima bersaudara dan ia merupakan putri satu-satunya.
Para istri dari keempat pria itu hanya bisa tersenyum sembari geleng kepala saja. Sudah biasa bagi mereka melihat hal seperti itu, apa pun yang berhubungan dengan si bungsu. Mereka semua akan sangat antusias.
Tidak ada rasa cemburu di hati para istri dari keempat saudara Zea. Karena para pria itu juga tahu menempatkan posisi sebagai suami dan saudara.
"Papa ..."
Suara teriakan dari orang yang sangat mereka rindukan terdengar begitu merdu di telinga. Dua tahun tidak bertemu membuat mereka sangat rindu dengan si bungsu.
Tapi apa lah daya kala pak Bambang yang lebih dulu mendapatkan pelukan. Karena memang Zea sangat dekat dengan sang papa, bu Sari juga memaklumi hal itu dan sangat mengerti.
"Kok Papa duluan sih yang di peluk? Mas, yang tunggu in kamu sedari tadi pada hal."
Hasan protes tidak terima karena rentangan tangannya di abaikan oleh Zea yang lebih memilih memeluk sang papa.
"Sabar, biar Adek sama Papa Mama dulu." Riki menepuk pundak Hasan agar tidak patah hati.
Diki dan Husen terkekeh geli melihat ekspresi Hasan. Apa lagi para istri mereka yang sejak tadi hanya bisa tersenyum geli melihat tingkah Hasan.
"Kangen, Mama." Bu Sari memeluk erat sang putri kala ia di peluk juga.
Tanpa terasa air matanya menetes karena bahagia bisa kembali memeluk permata hatinya.
"Mama, sangat merindukan kamu sayang."
Zea semakin mengeratkan pelukan keduanya yang membuat pak Bambang ikut memeluk istri dan putrinya. Tidak berapa lama pelukan itu terlepas dan kini gantian keempat pria itu yang mendapatkan giliran.
"My Princess, I Miss You." Hasan menjadi orang pertama yang memeluk sang adik.
"Miss You Too Mas-Mas ku semua," sahut Zea.
Sontak saja hal itu membuat Zea mendapatkan pelukan sekaligus dari keempat saudaranya. Terakhir barulah para kakak ipar dan keponakannya yang di peluk.
Selesai dengan adengan peluk dan kangennya, keluarga besar pak Bambang pulang ke rumah mereka. Rumah besar bak istana itu kini kembali ramai karena berkumpulnya seluruh keluarga pak Bambang.
Para orang tua dari pak Bambang dan bu Sari datang untuk menyambut cucu perempuan satu-satunya mereka itu.
Zea benar-benar di sambut dengan tangisan haru dan rasa syukur semua orang. Apa lagi kelulusan Zea memberikan hasil yang sangat baik dan memuaskan. Tentu saja karena gadis itu merupakan perempuan yang cerdas dan bijak.
Selama masa kecilnya dulu, Zea tinggal di desa bersama kakek dan nenek dari pihak pak Bambang. Pak Joko lebih memilih tinggal di desa karena lebih ramah lingkungan. Apa lagi ke sehatan sang istri yang sempat bermasalah dan butuh suasana yang baik.
Jadi tinggal di desa adalah pilihannya agar kesehatan sang istri bisa cepat pulih karena udara yang masih sejuk. Tapi setelah setahun tinggal di desa, keduanya memutuskan untuk menetap di sana karena sangat betah.
Bahkan pak Joko terkenal sebagai jurangan tanah yang sangat dermawan. Lahan pertanian yang luas dan mempekerjakan banyak warga desa membuat pak Joko sangat di hormati.
Tapi beliau tidak pernah mau di panggil juragan oleh warga dan lebih suka di panggil kakek Joko. Dan Zea yang sejak sekolah dasar tinggal di sana jadi sangat senang dan betah. Hingga setelah selesai sekolah menengah pertama barulah Zea pulang ke kota.
Namun bukan ke rumah orang tuanya, melainkan ke rumah pak Mardi dan bu Heni. Kakek dan nenek dari pihak bu Sari.
Di sana Zea meneruskan sekolah tingkat atasnya hingga kuliah S1. Di sana pula Zea berkenalan dengan Joni yang merupakan anak pejabat setempat. Pak Mardi yang lebih sering mengantar jemput Zea menggunakan motor jadulnya.
Membuat banyak orang berpikir kalau Zea hanya anak orang tidak mampu. Pada hal semua yang di kenakan Zea dan kakek Mardi adalah barang-barang mahal dan berkualitas.
Hingga kuliah dulu, Zea yang tidak bisa mengendarai mobil atau motor sendiri memilih untuk naik angkutan umum saja. Di sana lah gadis itu sering di remehkan oleh teman-temannya yang lain.
Meski bukan satu-satunya yang pergi kuliah naik angkot. Namun karena kecantikan alami Zea membuat gadis itu mendapatkan cibiran dari banyak mahasiswa.
Bahkan banyak laki-laki yang pernah menyatakan cinta pada gadis cantik itu. Sayangnya Zea malah memilih Joni saat mereka setahun lagi selesai kuliah.
Joni sebenarnya kakak tingkat Zea, tapi karena Zea yang cerdas. Mereka lulus bersamaan dan hal itu sebenarnya membuat Joni iri akan kecerdasan sang kekasih. Tapi karena ia yang di pilih menjadi kekasih oleh gadis populer itu, jadi lah ia memanfaatkan kecerdasan Zea.
Bukannya mendapatkan manfaat dari kecerdasan Zea. Joni malah mendapatkan kesulitan karena Zea tidak mau mengerjakan tugasnya. Paling hanya menjelaskan saja apa masalahnya dari kesulitan itu.
Joni mendekati Zea juga bukan karena cinta tulus. Melainkan karena paras cantiknya, kalau kekayaan Joni memandang sebelah mata pada Zea yang di anggapnya sebenarnya tidak setara dengan keluarganya yang beberapa orang duduk di kursi pemerintah.
Tidak tahu saja Joni kalau Zea merupakan anak orang terkaya di peringkat pertama di negara mereka. Dan untuk tingkat Asia sendiri berada di tingkat ke dua.
Keberadaan Joni sendiri kini berada di ibu kota negara. Di mana sebenarnya rumah Zea ada di sana, namun demi karir Joni datang ke sana dan memanfaatkan koneksi keluarganya untuk mendapatkan keuntungan.
Zea sedang duduk termenung di balkon kamarnya. Ia dedang memikirkan sikaf Joni yang berubah beberapa bulan terakhir. Memang sudah hampir setahun hubungan mereka renggang karena Joni yang katanya terlalu sibuk.
Namun beberapa bulan terakhir pemuda itu semakin sulit saja di hubungi. Untuk seminggu sekali saja Joni tidak memberi kabar dan baru ada kabarnya setelah dua minggu atau bahkan hampir sebulan menghilang.
Tepukan di pundaknya membuat Zea menoleh, mendapati sang saudara sulung di belakangnya.
"Lagi ngelamunin apa?" Tanya Riki penasaran.
Helaan napas terdengar panjang dari gadis cantik itu. Ia kini memberanikan diri berbicara pada Riki. Selama ini memang tidak ada yang tahu kalau Zea sudah memiliki pacar karena memang gadis itu belum mau memberi tahukan kepada keluarganya tentang Joni.
Entah kenapa dulu ia tidak mau berbicara jujur pada Joni tentang dirinya yang sesungguhnya. Bahkan ketika ia di hina miskin dan orang tidak punya, gadis itu biasa saja.
"Aku punya pacar, Mas."
Kalimat dari Zea itu benar-benar mengejutkan bagi Riki. Ia kira sang adik masih lah gadis polos yang belum memiliki pacar. Tapi nyatanya gadis cantik nan manis itu mengatakan sudah punya pacar.
"Siapa? Kapan kalian jadiannya?" Tanya Riki mencoba setenang mungkin.
"Sudah tiga tahun berlalu, sejak kami masih kuliah. Tapi berpisah setelah setahun bersama, dia memutuskan untuk datang ke kota ini karena ingin bekerja di sini. Sedangkan aku di minta Papa untuk lanjut kuliah," ucap Zea menjelaskan secara singkat.
"Lalu, di mana dia bekerja sekarang? Kenapa gak ikut jemput kamu tadi siang?" Tanya Riki lagi.
Ada rasa penasaran dengan pacar sang adik bungsu yang baru di akui itu. Kalau memang memiliki pacar di kota itu, kenapa tadi tidak datang menjemput Zea? Sebagai seorang kekasih, tidak mungkin pemuda itu tidak mengetahui kepulangan Zea.
"Hah ... Itu lah uang jadi masalahnya, Mas. Sudah dua tahun kami ldr dan setahun sudah dia sulit di hubungi. Bahkan beberapa bulan terakhir dia bagaikan hilang," sahut Zea.
Kening Riki mengerut mendengar penjelasan adiknya. Sebagai seorang pria dewasa yang sudah lebih dulu mengenal cinta. Tentu saja Riki bisa menebak apa yang sebenarnya terjadi dengan sang adik bungsu.
"Tenanglah, nanti Mas akan coba minta orang mencari tahu tentang kabar pacar kamu itu. Siapa namanya?" Mencoba menenangkan sang adik di lakukan oleh Riki.
"Joni Syaputra," sahut Zea.
Riki mengangguk lalu mengambil ponselnya dari kantong celana. Beberapa menit kemudian pria itu mematikan telponnya.
"Sudah, Mas?" Tanya Zea heran.
"Sudah, kamu kirimkan fotonya saja, nanti biar di urus sama orangnya Mas."
Zea mengerjapkan kedua matanya cepat dan itu membuat Riki gemas.
"Astaga adik kecil ku yang manis dan cantik, gak terasa waktu cepat berlalu. Kamu sudah dewasa saja sekarang," ucap Riki seraya mengelus kepala Zea penuh kasih.
Gadis itu menundukkan kepalanya dengan wajah sendu. Ia masih merasa gamang dalam hatinya karena hubungan tidak jelas ini.
"Kenapa?" Suara dari belakang membuat keduanya menoleh.
"Kalian mau apa ke sini?" Tanya Riki.
"Ya mau lihat adek lah," sahut Husen santai.
"Kenapa Adek kelihatan gak semangat?" Tanya Diki penasaran.
"Lagi patah hati," sahut Riki yang membuat ketiga pria itu mengerutkan kening.
"Patah hati kenapa?" Tanya Hasan.
"Pacarnya kemungkinan punya perempuan lain." Bukan Riki yang menjawab pertanyaan Hasan itu.
Semua orang di balkon kamar Zea menatap Diki dengan penuh tanya.
"Kok Mas bisa tahu? Tahu dari siapa?" Tanya Husen.
"Cuma nebak," sahut Diki santai sembari mengangkat kedua bahunya cepat.
Cibiran kompak terdengar dari si kembar Hasan dan Husen. Diki hanya nyengir saja mendengar hal itu dan mengajak semuanya masuk karena semakin malam.
"Tidur lah, Dek. Ini sudah malam dan gak baik tidur terlalu larut, masalah pacar kamu itu serahkan saja sama Mas. Nanti Mas kasih kabar kalau sudah ada hasilnya, tapi jangan lupa kirim fotonya."
Riki meminta Zea beristirahat dari pada harus meladeni para saudaranya yang sudah pasti akan banyak bertanya.
Zea menurut saja dan segera mengirim foto Joni pada Riki. Setelahnya keempat pria itu keluar dari kamar si bungsu dan membiarkannya istirahat.
Barulah di luar kamar Hasan protes, tadi ia sempat hendak bicara kala Zea di minta tidur oleh Riki. Tapi karena ia keburu di tarik pergi oleh Husen, jadilah keduanya hanya bisa menunggu di ruang keluarga.
Waktu yang semakin malam membuat semua orang sudah tidur begitu pun para istri mereka. Hanya tinggal keempat pria itu saja yang masih terjaga. Begitu pun juga dengan pak Bambang.
"Ini orangnya, pacar si Adek."
Riki menunjukkan foto seorang pria pada keluarganya. Satu persatu mereka melihat foto di ponsel Riki. Hingga saat giliran Husen, pria itu menatap lekat.
"Kenapa? Apa kamu mengenalnya, Sen?" Tanya Diki kala melihat ekspresi serius dari Husen.
"Sepertinya aku pernah bertemu dengannya, tapi aku lupa di mana dan kapannya. Yang pasti masih di kota ini juga," sahut Husen.
Hasan mendekati adik kembarannya lalu menepuk pundak Husen sedikit kuat.
"Kalau begitu kamu harus mencari tahu lagi, coba kamu ingat-ingat lagi tentang hal itu," pinta Hasan bersemangat.
"Ya gak semudah itu lah, Mas. Pertemuan itu walau belum terlalu lama tapi aku gak bisa ingat semua. Cuma memang seperti pernah bertemu dengan orang ini," ujar Husen.
"Sudah, biar Mas kalian yang mengurusnya. Kalau memang orang itu gak baik untuk adek, maka kita harus memberitahu adek secepatnya. Bagaimana pun caranya mereka harus berpisah kalau memang laki-laki itu gak baik," kata pak Bambang.
Ia tidak akan rela anak gadisnya mendapatkan pasangan yang tidak baik.
"Tenang saja, Pa. Besok pagi informasi itu sudah dapat," ucap Riki percaya diri.
Pak Bambang mengangguk mendengar perkataan anak sulungnya. Semua anaknya punya potensi masing-masing dan pak Bambang tidak pernah membeda-bedakan setiap anaknya. Hanya saja pada Zea lebih spesial meski tidak terlalu memanjakan juga.
Sementara di kamar tidur Zea, gadis itu belum memejamkan kedua matanya. Ia justru membuka sebuah akun yang mana pernah tanpa sengaja di temukannya. Sebenarnya tidak ada yang penting dari akun itu.
Hanya saja sesuatu menarik perhatiannya hingga membuat penasaran.
"Kalau ini memang benar kamu, Kak. Maka aku gak akan pernah maaf kan kamu. Dulu sebelum berpisah kamu pernah berjanji untuk selalu bersama dan setia. Tapi sepertinya semua itu palsu," gumam Zea.
Meski mencintai, Zea tidak mau menjadi bodoh dan terlalu buta akibat cinta. Jika di khianati maka buang. Jika di ratukan maka perlakukan pasangan dengan hal yang sama pula.
Pagi yang indah bagi Zea karena ia terbangun dengan di sambut senyuman manis sang mama. Bu Sari membangunkan anak gadisnya yang hari ini bangun ke siangan.
Tapi semua itu dapat di maklumi mengingat Zea pasti lelah setelah perjalanan jauh kemarin. Biasanya Zea memang tidak pernah bangun siang. Gadis itu selalu bangun tepat waktu dan akan membantu bu Sari di dapur membuat sarapan.
Meski anak orang kaya dan putri satu-satunya, hal itu tidak membuat Zea buta tentang dapur dan pekerjaan rumah. Gadis itu sangat cekatan dalam memasak karena di luar negeri pun Zea hidup sendiri dan membersihkan apartemen sendiri. Memasak juga sendiri, intinya semua di kerjakan sendiri oleh Zea tanpa banyak menuntut.
"Selamat pagi menjelang siang anak Mama yang cantik," ucap bu Sari seraya mengelus kepala Zea.
"Selamat pagi juga, Mama." Zea tersenyum senang lalu memeluk sang mama yang sedang duduk.
"Ayo turun lalu makan, ini sudah sangat terlambat untuk sarapan. Bahkan sudah mau masuk makan siang malah," ucap bu Sari.
Kedua mata indah Zea melotot tidak percaya mendengar ucapan bu Sari.
"Apa, Ma? Memangnya sekarang jam berapa?" Kaget Zea yang sontak melihat jam dinding.
"Jam sepuluh lewat lima belas menit," gumam gadis itu.
Secepat kilat Zea berlari ke kamar mandi untuk bersihkan diri. Ia yang tidak biasa bangun siang dan mandi saat sudah siang begini merasa tiba-tiba risih di tubuhnya.
Bu Sari sendiri terbengong melihat kecepatan sang anak. Memang ia tahu kebiasaan Zea seperti apa meski jarang tinggal bersama karena Zea yang dulu lebih suka tinggal bersama kakek dan neneknya. Tapi sebagai orang tua tentu saja bu Sari sangat memahami Zea.
"Baru bangun kesiangan sekali saja sudah heboh begitu. Pada hal gak mau pergi kemana-mana juga," kata bu Sari sembari geleng kepala.
Wanita yang berusia lima puluh tahun itu beranjak pergi meninggalkan kamar Zea. Ia ingin membiarkan sang anak bersiap dan menunggu di ruang keluarga saja.
Setelah selesai mandi dan berganti pakian dengan rapi. Zea keluar kamar menuju lantai bawah di mana hanya ada sang mama di ruang keluarga.
"Kemana semua orang, Ma?" Tanya Zea kala tidak mendapati yang lainnya.
Bu Sari menatap sang putri yang sudah cantik dan anggun meski hanya memakai gaun sederhana. Jangan pandang itu hanya sebuah gaun sederhana, harganya tidak se sederhana itu.
"Papa sama Mamas kamu semua sudah pergi bekerja. Kalau para Mbak mu pulang ke rumah mereka sendiri. Sekalian bekerja juga, kamu tahu sendiri lah Mbak-Mbak mu itu gak bisa diem meski sudah punya banyak uang dari suami mereka."
Zea mengangguk mendengar penjelasan bu Sari, tentu saja Zea tahu bagaimana kesibukan para iparnya itu. Ada yang punya usaha ada pula yang seorang model, juga desainer. Masing-masing dengan profesi mereka yang tidak di tinggalkan.
Tapi tetap keluarga yang utama bagi para ipar Zea itu. Sesibuk apa pun mereka dengan pekerjaan, mereka tetap akan pulang sebelum suami mereka kembali ke rumah. Itu lah yang membuat bu Sari bahagia.
Meski semua menantunya merupakan anak orang kaya dan berada. Tapi mereka tidak manja dan membangkang, tugas sebagai istri dan bakti pada suami tetap di laksanakan. Tidak sombong apa lagi tinggi hati. Semua menantu bu Sari di perlakukan dengan sama oleh wanita itu.
Itu sebabnya semuanya akur-akur saja tanpa ada yang merasa saling iri. Karena sebagai orang yang berpendidikan mereka juga berpikir realistis saja dan dewasa saja.
"Makan dulu, Nak. Nanti kamu sakit perut, ini sudah sangat terlambat." Zea mengangguk dan berjalan ke ruang makan.
Di sana sudah tidak ada makanan lagi yang terhidang di meja makan. Gadis itu tidak marah atau mengeluh, Zea justru membuka kulkas. Kepala pelayan datang menghampiri Zea kala mendapati sang nona muda berada di dapur.
"Mbak Zea, lagi cari apa?" Tanya pak Mono.
Gadis itu menoleh menatap pria yang seumuran pak Bambang sedang berdiri tidak jauh darinya. Menatap dirinya penuh rasa penasaran. Karena Zea yang tidak mau di panggil nona muda, maka semua pekerja di rumah itu memanggilnya dengan nama meski akan di tambahi dengan kata 'Mbak'.
Hal itu di lakukan semata-mata hanya untuk menghargai gadis itu yang merupakan anak dari majikan mereka. Meski Zea sempat protes dan ingin di panggil nama saja. Tapi lama kelamaan ia jadi terbiasa karena semua pekerja sang papa tidak mau mendengarkan permintaannya.
"Aku mau masak sup untuk makan, Pak."
Pak Mono mendekat sepangkah lalu melihat apa yang di pegang Zea. Sosis, wortel, daun bawang, pakcoy, dan tiga bulat bakso. Semuanya sudah berada dalam wadah yang di ambil Zea sebelum kedatangan pak Mono.
Senyum pria tua itu mengembang kecil kala melihat kalau nona mudanya ingin memasak makanan kesukaannya sendiri.
"Apa mau saya masakkan, Mbak? Sudah lama loh Mbak Zea gak makan masakan saya," kata pak Mono menawarkan diri.
Dulu Zea paling suka masakan sup buatan pak Mono. Meski sederhana tapi itulah kesukaan gadis itu. Dan pak Mono sangat bahagia kala masakan sederhananya di sukai.
"Wah mau banget, Pak. Gak merepotkan, kan?" tanya Zea yang takut merepotkan pria itu.
"Sama sekali gak, Mbak. Selama Mbak Zea menghabiskan masakan saya pastinya," canda pak Mono yang membuat Zea terkekeh bahagia.
Kemudian bahan yang ada di tangan Zea berpindah ke tangan pak Mono. Gadis itu sendiri duduk di bar stool sembari melihat pak Mono memasak.
Dulu saat Zea masih kelas satu sekolah dasar dan sudah sangat betah di desa bersama sang kakek. Gadis kecil itu mogok makan kala di bawa pilang ke kota saat libur sekolah. Pada hal bu Sari dan pak Bambang serta ke empat saudaranya rindu.
Zea yang mogok makan dan ingin di antar pulang ke desa sama sekali tidak mau makan. Hal itu membuat keluarga kelimpungan, tapi untuk mengantarkan Zea kecil sangat berat bagi mereka yang masih rindu.
Sampai ayam goreng buatan bu Sari pun yang biasanya sangat di sukai hanya di makan secuil saja. Hingga pak Mono yang ikut resah tiba-tiba mendapatkan ide untuk membuat sesuatu yang menarik bagi gadis kecil itu.
Akhirnya terciptalah sup sederhana yang berisikan potongan sosis, bakso dan wortel yang di bentuk seperti bintang. Awalnya Zea juga tidak mau makan, tapi kala di perlihatkan wortel bentuk binta itu. Akhirnya Zea mau makan meski hanya sup itu saja.
Hal itu membuat keluarga bisa bernapas sedikit lega. Dan akhirnya Zea mau makan nasi setelah di bawa jalan-jalan ke kebun binatang.
"Wah, rasanya masih sama seperti dulu. Enak," kata Zea seraya mengacungkan jempol pada pak Mono.
Gadis itu langsung mencicipi begitu hidangan di siapkan di hadapannya. Pak Mono tersenyum bahagia karena Zea suka dengan masakannya. Melihat gadis itu makan dengan lahap membuat pak Mono tidak menyangkan kalau gadis kecil mereka yang dulu mogok makan karena ingin pulang ke desa. Kini sudah dewasa dan sangat cantik juga anggun.
Bahkan cara makannya saja terlihat sangat anggun dan elegan meski bagi Zea biasa saja. Namun orang yang melihatnya akan merasa berbeda.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!