Matahari bersinar dengan cerah di pagi hari ini. Embun yang terkumpul di setiap helai daun tanaman di teras menyisakan kelembapan hujan yang terjadi semalam. Udara yang dingin dan segar berlahan masuk melewati lubang angin yang berada di atas jendela.
Saat ini jam telah menunjukan pukul 07.15. Aku bangun lebih awal dan sudah selesai bersiap-siap untuk berangkat bekerja. Aku menutup pintu kamar dengan berlahan agar temanku yang tidur tidak terbangun.
Namaku adalah Gill. Aku menjalani lembaran hidupku yang baru di kota ini sejak 2 tahun yang lalu dan untuk sekarang kehidupanku berjalan dengan normal.
Sambil berjalan ke arah dapur aku mengecek ponselku. Baru saja membuka pola kunci di layar, muncul sebuah notifikasi yang masuk.
TRING
Anda memiliki satu pesan baru yang belum terbaca :
"Selamat pagi! Leon tidak bisa tidur semalam. Hujannya lebat sekali dan petirnya sangat nyaring, apa disana juga hujan? Leon sudah belajar membuat buket bunga, jadi nanti akan Leon perlihatkan ya!
Oh iya, jangan lupa makan. Kata Nenek baik di rumah sebelah, kalau tidak makan nanti kurusan, kalau kurus jadi jelek!"
Setelah membacanya aku pun tersenyum. Anak yang sangat manis bukan?
Sesaat kemudian terdengar suara pintu kamar yang terbuka. Seseorang keluar dari kamar sambil menguap besar, jalannya masih terhuyung-huyung karena mengantuk.
KRIEEETT ...
"Wah... kamu ngak siap-siap terlalu awal nih?" ujarnya sambil menggeser kursi dan duduk di meja makan. Rambutnya masih acak-acakan dan bahkan belum mencuci muka.
"Siap-siap lebih awal itu bagus. Kalau hujan lagi bisa repot, kamu mau aku bikinin teh?"
Dia pun hanya mengangguk setuju. Dengan menumpukan satu tangan ke meja, wajah mengantuknya tidak tertolong.
"Hoaaamm~ Kamu itu terlalu rajin Gill," ucapnya.
Orang yang berada di depanku saat ini adalah Renata. Sahabat dekat yang sudah bertahun-tahun aku kenal bahkan sebelum datang ke kota ini. Kami merupakan teman semasa kecil dan Renata adalah putri pemilik toko tempatku bekerja sekarang.
Aku membuatkannya teh hangat. Sambil mengaduk, aku menyadari kalau Renata sedang menatapku dengan wajah yang sangat serius.
"Hei Gill," ucapnya tak lama setelah itu.
"Hm?"
Aku meletakan cangkir di depannya. Aku kembali duduk ke kursiku dan menyeruput teh. Suasana menjadi hening sesaat karena Renata tidak melanjutkan perkataannya. Sambil tersenyum jahil, kini dia mulai berkata sesuatu.
"Gill, kita berdua pacaran saja yuk~"
"PUUHHH!!!! Uhuk, uhuk, uhuk, A-Apa?"
Aku terkejut dan tersedak, airnya terciprat kemana-mana karena aku tidak bisa menahannya.
"Hahaha!! Ihh jorok, airnya kena aku nih!"
"Lagian kamu ngomong apaan sih?!"
"Kita kan udah dekat banget, kamu juga ngak punya pacar sampai sekarang dan aku udah bosen sama cowok~"
"Gila, aku ngak bakal ngikutin kamu. Hubungannya apa coba, aku masih normal tau!"
"Ya kali kan, hahaha!"
"Apaan yang kali, memangnya aku jeruk makan jeruk,"
"Eittss, aku bukan jeruk, aku kan lemon~"
"Iya lemon, mirip banget asemnya,"
Renata tertawa puas setelah mengerjaiku tapi tentu saja dia tidak serius dengan perkataannya. Renata ini tipe orang yang suka usil dan bercanda ; yaa walaupun terkadang itu bisa membuat tekanan darah menjadi naik.
"Habisnya aku kesal banget, semua cowok itu sama saja!" ucapnya lagi dengan sekali meneguk habis teh dalam cangkirnya.
"Ya iyalah sama. Namanya juga sudah cowok, C-O-W-O-K dengan lima huruf~" ucapku sambil sedikit mengerjai balik.
"Ah, kamu ini begitu deh. Kalau itu aku juga tau,"
"Hahaha, terus maksud kamu mau yang bagaimana?"
"Aku mau yang beda, hehehe. Jadi aku ajak kamu pacaran saja deh biar ngak samaan terus, hahaha!"
"Dasar sinting kamu, habis obat ya?"
"Pfftt! Gila dari tadi aku di sumpahin mulu, nanti malah kasihan kamunya yang dosanya nambah karena marahin aku terus,"
"Omong kosong, adanya kamu yang kena karma sudah menyiksa orang pagi-pagi buta,"
"Hahaha! Aku kan anak yang baik hati dan tidak sombong, karma pun akan sayang sama aku~"
"Karma baik sih mending, kalau karma buruk gimana tuh,"
"Idih, tega banget kamu, hahaha!"
Renata sering menginap di rumahku walaupun sebenarnya dia sendiri memiliki apartemen pribadi. Kadang dia seenaknya keluar masuk seperti halnya rumah sendiri.
Berada di sisi luar perumahan elit, kompleks Maple E5 ini merupakan lokasi tempat tinggal yang lumayan bagus. Aku membelinya satu tahun lalu sambil membayar cicilan setiap bulannya.
Harganya memang lumayan, aku harus menabung mati-matian dan mencari penghasilan tambahan dari menjual hasil desainku kepada beberapa agen online atau ikut beberapa event terbuka.
Aku tinggal sendirian disini dan keluargaku berada jauh di kota lain. Dengan alasan tertentu, aku memilih untuk pergi jauh dari kampung halaman. Berterimakasih pada Renata dan ibunya, aku jadi mendapat banyak kemudahan saat pindah kesini.
"Gill~ teh ku sudah habis, buatkan lagi ya~"
"Buat sendiri saja sana,"
"Aku ngak bisa. Teh buatanmu itu yang paling enak jadi aku mau minum buatanmu~"
"Jangan manja deh,"
"Huhuhu hiks, kamu sudah ngak sayang lagi sama aku," pura-pura menangis.
Renata memiliki darah campuran. Ayahnya merupakan orang asal Belanda sedangkan ibunya merupakan orang Indonesia. Saat orang tuanya bercerai, ayah kandung Renata kembali ke Belanda meninggalkan Renata dan Ibunya di Indonesia.
"Ahhh... ngomongin soal itu, semalam aku tidurnya nyenyak banget. Kayaknya aku mau pindah kesini saja deh," ujar Renata kemudian sambil meregangkan tubuhnya.
"Bukannya apartemen kamu ngak ada orang? Kalau pindah kesini, itu apartemen mau diapain? Lagian kamarnya cuma satu doang," ucapku dengan berbalik untuk mencuci cangkir.
"Aku kan bisa tidur bareng kamu. Kita sudah jadi sahabat yang bagaikan kepompong,"
"Ngak ada kepompong yang tidurnya kayak kamu, ngak bisa diam dan ujung-ujungnya malah aku yang tidur di lantai,"
"Hahaha, nanti aku beli kasur lagi deh,"
"Ngak muat, kamarnya sudah sempit,"
"Begitu banget kamu sama aku, sedihnya hatiku ini, huhuhu,"
"Jangan akting deh, ngak mempan sama aku,"
"Gini-gini aku juara akting drama sekolah lho, hahaha!"
Renata tau bahwa aku tidak serius menanggapinya dan dia tertawa lepas. Setelah itu Renata terdiam, ekspresi yang terlihat sedang kesal keluar dari wajahnya.
"Kenapa? Tante Emila berkunjung ke tempatmu lagi?" ucapku.
"Kamu ini sudah kayak penyihir saja ya, padahal kan aku belum bilang apa-apa,"
"Semua sudah tertulis jelas di wajahmu," tambahku.
"Kamu kira aku papan tulis, bisa tertulis jelas? Haaa... memang iya~ Mama datang lagi ke apartemen dan kayaknya aku sudah ngak kaget lagi deh dengan kunjungan dadakannya itu," ucap Renata cemberut. Wajahnya jadi cuek dan bibirnya langsung ditekuk.
Sebelumnya aku sudah tau kalau hubungan Renata dengan ibunya jadi sedikit tidak begitu baik. Tante Emila terus mendesak Renata untuk menikah dan Renata dengan jelas menolak itu.
Renata kan baru berumur 27 tahun, menurutku belum terlalu tua juga sih untuk nikah. Tapi memang kasihan kalau di desak terus
BRUKK!!
( aku terkejut! )
"Gill! Kamu juga pasti tau kondisi aku gimana kan?! Yaa aku tau sih niat mama baik, tapi aku belum mau nikah! Terus kamu tau ngak yang paling gilanya, minggu kemarin mama malah ajak aku ke biro jodoh!"
Seketika Renata memukul meja dan hal itu sontak membuatku terkejut. Dia tiba-tiba saja emosi ; untung cangkirnya sudah aku pinggirkan tadi
"Huhuhu bagaimana dengan nasibku ini.... Para mantanku juga pasti akan mengejek kalau tau aku ke biro jodoh. Tidak... masa aku harus nikah muda dan kalaupun jadi mama muda, aku mau jadi mama muda cantik yang berkualitas!" ucap Renata pada dirinya sendiri.
Kayaknya anak ini sudah stres level tinggi. Mau di biarin kasihan, mau di tolongin juga aku ngak tau caranya
Saat aku sedang menghibur Renata yang menangis dengan menepuk pundaknya, terdengar suara bel pintu yang berbunyi dari luar.
TING TONG
"Siapa itu? Hiks, pagi-pagi begini kamu sudah dapat tamu saja Gill." kata Renata sambil mengelap hidungnya.
"Ngak tau juga sih. Perasaan aku ngak pernah punya tamu lain selain kucing cengengku ini deh. Nih tisu buat lap ingus kamu,"
"Kamu ngeledek aku ya," balas Renata dengan menatap tajam.
"Pffft, ngak kok. Sudahlah, aku coba cek sebentar dulu,"
Aku berjalan menuju ruang tamu kemudian mengintip dari lubang intip yang ada di pintu. Aku melihat seorang pria yang memakai kaos hitam bergaris kuning. Wajahnya asing, aku tidak pernah bertemu dengannya.
"Siapa? Kok pintunya ngak dibuka Gill?" tanya Renata penasaran.
"Aku ngak kenal, didepan ada cowok asing Ren," jawabku.
"Jangan-jangan pacar kamu ya? Cieee pake acara pura-pura ngak kenal segala," ucap Renata dengan kejahilannya yang sudah kembali.
"Jangan aneh-aneh deh kamu,"
TING TONG
Bel pintu kembali berbunyi dan pria itu masih menunggu disana walaupun tidak ada respon dari dalam rumah. Renata yang merasa penasaran pun datang menghampiri.
"Coba aku lihat juga. Siapa sih pria ganteng diluar sini,"
"Yeee tau dari mana kamu? Lihat saja belum tapi bisa bilang dia ganteng?"
"Iss iss iss, kamu sih ngak tau apa-apa. Gini-gini aku punya sensor cowok ganteng. Sekali menjentikkan jari dan klik! Aku sudah bisa tebak dia ganteng atau ngak," guraunya.
"Kebanyakan mimpi kamu. Hoi sadar hoi,"
"Bwahahaha! Ngak mendukung banget sih kamu. Teman macam apa ini. Sudah-sudah, coba aku lihat,"
Renata memintaku bergeser dan dia memastikannya sendiri.
"Hmm... eh? Lho bukannya itu dia?"
"Ng? Siapa Ren?"
•
•
•
Aku menatapinya dengan penuh curiga. Renata berpura-pura tidak melihatku dan sedang berusaha mencari alasan.
"Kamu kenal dia? Dia siapa?" tanyaku lagi.
"Dia teman .... ( suara yang mengecil )"
"H-Ha?"
Suaranya mengecil dan aku tidak bisa mendengar perkataannya.
"Aku ngak dengar kamu ngomong apa,"
"Ahahaa... itu... sebenarnya. Dia teman kencan butaku minggu lalu," jawabnya sambil menggaruk-garuk pipi.
*Bukannya tadi dia sendiri yang marah dan mengeluh soal biro jodoh? Dan apa ini, taunya sudah ikut kencan buta lagi. Rasanya aku menyesal sudah prihatin*
"Bukannya tadi kamu sendiri yang bilang bosan dan sekarang?"
"Hehehe... maaf karena aku belum sempat menceritakannya. Aku punya kendala lain tapi Gill, aku minta bantuanmu! Tolong jangan katakan apapun ke Mama!" mohon Renata.
Oho~ Apa ini? Sepertinya akan bagus kalau aku memanfaatkannya. Aku bisa menekan Renata jika sewaktu-waktu dia akan mengerjai aku
"Hmm.. aku tidak tau Ren. Aku tidak bisa menjaminnya~" kataku dengan tersenyum jahil.
"Aduh jangan begitu Gill. Kita kan sahabat dan kamu harus membantuku. A-Atau begini saja, aku akan traktir kamu kalau kita sepakat!"
Yes! Aku benar dan aku bisa menggunakannya
"Kamu serius? Waah sepertinya aku akan mendapatkan tiket makan malam gratis." kataku dengan menggantung.
"Benar! Serius! Soal makan malam itu gampang! Setuju? Oke aku setuju!"
Renata langsung memaksa dan tidak membiarkan aku menjawab. Jarang sekali melihatnya terjepit dan aku merasa puas.
"Apaan itu? Aku belum menjawabnya lho,"
"Pokoknya setuju dan tidak tergugat lagi!"
"Pffttt kamu tidak takut aku akan berkhianat nih?" godaku.
"Ngak! Aku yakin kamu ngak begitu!"
Renata mengatakannya dengan sangat yakin. Dia bisa begitu karena aku sendiri juga tidak akan tega menindasnya. Malah jujur saja, terkadang akulah yang sering tertindas dan itu membuatnya terasa tidak adil.
Aku pun membukakan pintu. Pria yang semulanya ingin pergi itu langsung tegap kembali melihat kami. Tidak tau ini pikiranku saja atau memang sebenarnya dia terlihat canggung dan kikuk?
"H-Halo maaf, aku jadi mengganggu kalian pagi-pagi begini," ucapnya dengan canggung.
Dia menundukkan kepala dan yang aku perhatikan, telinganya memerah. Dengan topi yang dikenakannya itu membuatku tidak bisa melihat jelas wajahnya.
Aku tau yang seperti ini. Aku sering melihatnya di komik dan membacanya di novel. Pria yang tersipu malu dengan efek blushing kemudian ada bunga-bunga yang mekar di sekelilingnya. Tunggu, apa tadi aku bilang bunga-bunga?
"T-Tidak! Tidak apa-apa kok. Aku hanya tidak mengira kamu akan kesini langsung," sambut Renata.
"Tidak karena ini salahku juga. Aku salah karena tidak mengabarinya dulu sebelum kemari,"
Mereka berdua saling mengobrol sampai cekikikan sendiri. Aku yang bersandaran di pintu hanya menyaksikan pemandangan ini ; apa aku hanya menjadi obat nyamuk?
Karena merasa tidak enak membiarkan teman Renata ini mengobrol di luar, aku pun menawarinya untuk masuk.
"Ren, apa kamu tidak ingin mengajaknya masuk ke dalam? Aku bisa membuatkan minuman ...."
Mereka masih terus mengobrol berdua dan tidak menghiraukan. Sepertinya keberadaan ku disini terasa tidak berarti.
Aku dicuekin?! Kalian mau menyiksa jomblo ini dengan mesra-mesraan begitu ya?!
"Ehem! Sepertinya aku punya hal yang harus dikerjakan. Aku pamit untuk masuk duluan."
Aku pura-pura batuk dan sengaja mengatakan itu. Sontak saja Renata tersentak kaget dan dia menyadari maksudku.
"Astaga aku hampir lupa! Gill mari aku perkenalkan. Ini adalah Dave dan Dave, ini adalah Gill sahabatku," respon Renata dengan cepat.
Itu bukan hampir tapi kamu sudah benar-benar lupa!
Dave menyalurkan tangannya untuk bersalaman dan aku meraihnya.
"Maafkan aku karena ini. Perkenalkan namaku Dave Bastian. Aku tinggal di kompleks Camelia C3, salam kenal dan senang bertemu denganmu," ucap Dave yang sedikit kikuk karena merasa bersalah akibat kejadian tadi.
"Namaku Gill, salam kenal dan senang bertemu dengan Anda juga,"
Renata menjelaskan bahwa dia mengenal Dave sekitar 2 minggu lalu dan sekarang mereka lebih sering ketemuan. Dave mengetahui alamatku dari Renata saat saling berbalas pesan dan dia mencoba datang langsung.
"Oh iya aku hampir melupakannya. Aku membawakan cake dan semoga kalian menyukainya," ucap Dave sambil menyerahkan sebuah bingkisan putih pada Renata.
"Aaah... sebenarnya kamu tidak perlu repot-repot begini," sambut Renata.
"Karena aku kebetulan lewat makanya sekalian saja. Jadi jangan merasa sungkan ya,"
"Terimakasih banyak lho,"
"Iya dan ngomong-ngomong aku harus lanjut lari pagi. Sampai ketemu lagi ya,"
Pria itu pamit dan melambaikan tangannya saat pergi. Aku memperhatikan Renata yang tidak berhenti menatap bayangan orang itu walaupun sudah jauh.
"Astaga... ternyata di depan rumahku banyak bunga yang mekar ya." sebutku dengan sengaja.
"Eh!" kaget Renata.
"Bunganya sangat indah sampai aku tidak bisa berhenti menatapnya~"
"Bhahaha! Kamu ini apa-apaan sih. Tadi juga sudah bilangkan kalau dia cuma kebetulan lewat?" elak Renata.
"Apanya yang kebetulan? Blok ini saja sudah beda tiga komplek dengan Blok Camelia. Kebetulan lewat yang jauh tapi sempat membelikan cake? Jangan membohongi aku deh."
"Jangan begitu dong~ Aku juga tidak menyangka dia akan datang langsung,"
"Kamu jadi senang banget ya?"
"Pastinya, hohoho!"
"Senang boleh tapi jangan lupa traktiran kamu ya," ucapku menyinggung topik sebelumnya.
"Eh?! Aku pikir tidak jadi karena kamu bilang belum bilang setuju?" pura-pura lupa.
Mau menghindar dari tanggung jawab ya? Hohoho tidak semudah itu~
"Hmm.... sebenarnya aku tidak apa-apa sih kalau batal. Lagi pula jika Tante Emila bertanya aku cukup bilang seperlunya saja kan~" balasku.
"O-Oke! Itu jadi! Itu jadi kok!" paniknya Renata.
"Nah begitu dong~"
"Kamu puas banget ya memeras aku," katanya dengan pasrah.
"Puas banget~"
Aku dan Renata kembali masuk kedalam sambil membicarakan kejadian ini. Aku terus menggodanya dan dia tidak bisa berkutik.
"Gill bagaimana kalau gantinya cake ini saja? Hitung-hitung traktiran kamu makan?"
"Itu ngak termaksud makan."
"Kan dimakan juga kenapa tidak termaksud?"
"Yang namanya makan itu makan nasi. Kalau cuma makan cake, itu namanya cuma ngemil,"
"Buset deh! Apa bedanya itu?!"
"Jelas beda dong~"
...****************...
Kami pun berangkat bersama ke tempat kerja. Renata membawa mobilnya sehingga aku mendapatkan tumpangan dan tidak perlu berjalan kaki.
Walaupun aku sudah sangat sering naik mobil tapi rasanya mabuk kendaraan ku ini tidak bisa hilang.
"Lihat wajahmu itu. Sudah seperti ayam yang sedang sakit." ucap Renata sambil mengemudikan mobilnya.
"Diam lah .... aku sudah sangat pusing." jawabku sambil menekan kepala.
"Kayaknya kamu ngak bakal cocok jadi orang kaya deh. Sering naik mobil tapi masih saja mabuk, bhahaha!" lanjut Renata dengan senang melihatku begini.
"Bahagia banget ya kamu. Lihat nanti, aku akan muntah di mobil saja. Hoeekk~"
"Gill jangan bercanda! Aku baru membersihkannya kemarin!"
Tidak perlu memakan waktu yang lama dengan kisaran waktu 20 menit jalan memutar, kami pun sampai.
Renata menurunkan aku di depan dan dia harus memarkirkan mobilnya di gedung sebelah. Aku pun berjalan masuk segera.
Ini adalah Emila's Gift House. Sebuah toko kado dan peralatan tulis produksi sendiri yang berlokasi di pusat pertokoan besar ibu kota dengan bangunan dua tingkat. Toko ini adalah milik ibunya Renata, dia menyerahkan semuanya pada putrinya ini untuk di kelola.
Dengan suplai bahan baku berkualitas dari dalam dan luar negeri, toko ini memproduksi sendiri barang-barang yang dijualnya. Mereka punya rumah produksi sendiri dilokasi lain.
Pekerjaanku di sini bukan hanya karyawan yang melayani pembeli tetapi juga termaksud membantu pengelolaan stok dan gudang. Aku sering bolak-balik lantai bawah dan lantai atas tapi, yang paling aku sukai adalah masuk menjadi bagian staf pemasaran. Karena bagian staf pemasaran adalah bagian yang kuambil untuk memuat desain barang baru.
"Psst, apa kamu lihat itu,"
"Kayaknya dia bakal jadi karyawan kesayangan anak bos,"
"Benar, aku juga melihatnya sendiri mereka datang bareng. Mentang-mentang teman baik, dia jadi dimanjakan."
Orang-orang Ini hanya sekelompok yang tidak berguna. Sepagi ini sudah membicarakan orang. Aku juga tau siapa yang mereka maksud tapi masa bodoh dengan hal itu, aku tetap lanjut ke ruangan staf untuk meletakan barang.
"Kalian lihat kan? Dia bahkan tidak menegur kita,"
TAP TAP TAP
"Buat apa dia harus menegur kita? Kita hanya karyawan biasa dan dia anak spesial pemilik toko."
Wanita yang berjalan mendekat dengan senyuman sok manisnya itu adakah Yuni. Dia karyawan lama yang menjabat sebagai ketua tim pemasok barang. Setiap catatan dan hitungan barang masuk dari gudang harus dikelola olehnya.
"Gill sayang~ Ini masih pagi tapi kenapa kamu sibuk sekali? Apakah tidak ada waktu untuk saling menegur dengan kami?"
Wanita licik. Apa dia berpikir aku tidak tau maksudnya? Dia ingin membuatku ditekan oleh orang-orang yang memihak dirinya
"Maafkan aku Kakak Yuni. Aku harus segera bersiap karena toko akan segera buka. Kakak juga tau bukan? Disini semuanya dituntut untuk konsisten."
"Astaga kamu ini. Apa kamu ingin bilang bahwa kita semua yang sekarang ini tidak berkonsisten?"
"Aku tidak mengatakan para seniorku tidak konsisten. Aku hanya menjawab perkataan Kakak tadi mengenai kesibukanku."
"Hei anak sombong. Apa kamu pikir kerjamu yang paling bagus? Mentang-mentang bisa mengandalkan kedekatan mu dengan anak bos sekarang, kamu jadi besar kepala ya!"
Aku tidak akan menang beradu argumen dengan mereka. Selain Yuni yang awalnya sudah memprovokasi, yang lainnya juga pada dasarnya tidak menyukaiku.
"Tenanglah. Aku tidak ingin ada yang salah paham bahwa kita sedang menindas Gill." ucap Yuni sambil menepuk bahu orang yang menyerangku dengan kata-kata tadi.
Yuni tersenyum padaku dan aku membalasnya dengan tatapan dingin. Aku tidak akan tertipu dengan sandiwaranya.
"Mungkin kita masih kurang berkontribusi jadi Gill mencoba memberitahukannya. Seseorang yang mendapatkan perlakuan khusus pasti punya kelebihan jadi mungkin enggan untuk menegur kita yang dibawah. Apa aku benar?"
Dia mengajak ku untuk beradu argumen. Dengan sengaja Yuni mengumbar sesuatu yang membuatku terlihat merendahkan karyawan lainnya.
Tidak mempan untukku. Aku tersenyum dan membalas kata-kata mereka.
"Tentu saja karena harusnya para senior disini juga tau bukan? Pemilik toko tidak pandang hubungan kerabat soal kualitas kerja. Bahkan untuk putrinya sendiri, beliau memberikan ujian untuk dilalui. Yang aku ingin katakan adalah, daripada mengurusi dan membicarakan orang lain lebih baik para senior menaikan kualitas masing-masing."
"K-Kamu!"
Aku tidak memperdulikannya dan beranjak pergi. Yang hanya bisa mereka lakukan adakah membicarakan orang dibelakang. Bukannya memperbaiki dan meningkatkan kualitas diri, yang ada hanya mengisi hati dengan iri dengki.
Selama kamu bisa melakukan semuanya dan tenang menghadapi, kamu adalah pemenang
...****************...
Waktu berlalu dan sekarang aku sedang menulis data barang yang akan dimasukan minggu depan. Mereka akan menambahkan beberapa barang baru sebagai tanda pergantian musim berikutnya.
"Akan banyak daftar yang diubah dan harusnya ini lebih banyak mendapatkan kecocokan." ucapku sendiri.
Aku mendengar suara langkah kaki yang mendekat. Saat aku menoleh, itu adalah Renata yang turun dari lantai atas.
"Wah wah~ jam istirahat begini kamu masih rajin banget isi data. Kayaknya janji traktirannya harus aku tambahin deh."
"Kamu ngak harus beneran traktir aku kok Ren. Aku kan masih punya uang makan."
Aku menutup tutup pulpen yang digunakan tadi dan merenggangkan tubuhku yang sudah kaku. Rasanya duduk beberapa jam membuat kursinya menempel padaku.
"Tadi pagi saja kamu maksa banget dan sekarang aku tawarin malah di tolak,"
"Aku kan ngak bilang harus hari ini~"
"Astaga orang ini benar-benar ya! Sudahlah dan sekarang temani aku makan diluar. Kemas barang-barangnya nanti saja,"
"Oke, oke bos~" jawabku dengan malas.
Renata mengajakku ke Food Hall yang ada di tengah kawasan pertokoan. Katanya ada kafe baru yang dibuka dan dia ingin mencobanya.
Kami berjalan kaki ke sana. Suasananya tidak terlalu ramai karena ini adalah Senin dan kebanyakan orang akan berdatangan sore nanti.
Sembari berjalan, Renata menceritakan secara lengkap hubungannya dengan Dave. Jujur saja aku sudah tidak terkejut lagi. Renata sering gonta-ganti pasangan tapi belum ada yang bisa menempel di hatinya.
Perasaan dia baru saja putus dengan mantannya beberapa waktu lalu dan sekarang sudah dapat gebetan baru lagi
"Jadi menurutmu bagaimana?" tanya Renata.
"Apanya yang bagaimana?"
"Si Dave itu,"
"Dave kenapa?"
"Aah kamu ngak peka deh. Aku tanya gimana pendapatmu soal Dave?"
Aku diam dan berpikir sejenak. Secara logika sekarang pengalamanku berpacaran itu tidak ada dan aku dimintai pendapat dengan orang yang sudah lebih banyak pengalaman?
"Kamu ngak salah tanya orang Ren?"
"Karena kamu jomblo jadi aku tanya kamu. Biasanya kan para jomblo itu jeli, hehehe,"
"Wah, kamu lagi memuji atau menghina nih ceritanya?"
"Pfftt! Hahaha jangan begitu~ Aku serius tanya pendapat karena kamu sahabatku kan?" ujarnya sambil merangkul pundakku.
"Sahabat juga ngak begini kali. Jangan kencang-kencang, kamu berat tau!"
"Ihh gemes deh kalau lihat kamu marah hahaha!"
Aku mengatakan pendapatku soal Dave dan Renata pun senang melihatku memberikan jawaban. Menurutku hubungan mereka teralu cepat jika harus dibilang cocok atau tidak. Belum juga sebulan dan bertemu langsung juga tidak tau baru berapa kali. Terutama orangnya seperti apa juga masih belum diketahui.
"Nah terus kenapa aku ngak boleh cerita kalau Tante Emila bertanya?" sahutku mengganti pembicaraan lain.
"Kamu kayak ngak kenal mama saja deh. Baru juga minggu lalu aku diajak ke biro jodoh dan bisa gawat kalau mama tau aku sudah dapat gebetan baru. Lagian seperti yang kamu bilang tadi, cocok atau tidak belum bisa ditebak,"
"Lah, bukannya Tante juga tau kamu sering ganti pacar?"
"Justru itu sekarang sudah diperketat sama mama. Bisa saja aku diseret ke kantor catatan sipil."
"Bagus dong, jadi masalah kebelet nikah kamu kan kelar?" jawabku sambil tertawa kecil.
"Memangnya kamu pikir nikah itu kayak balikin telur dadar? Serasa gampang?" kesal Renata.
"Idih, balikin telur dadar juga ngak gampang tau. Kamu saja gorengnya masih ada yang nempel di penggorengan,"
"Nah itu tau!"
"Hahaha! Oke-oke aku paham kok. Aku mendoakan sahabatku ini mendapatkan jodoh yang terbaik, yang ganteng, yang bertanggung jawab, yang berwibawa, yang akan selalu sayang istri,"
"Kamu kok kayak ngak ikhlas sih doain aku?" sela Renata meragukan.
"Doa yang baik harus di aminin tau, aminin dong~"
"Iya iya aku aminin sekarang. Puas kamu, puas?!" ucapnya dengan merasa kesal.
"Nah begitu dong, hahaha!"
Kami terus melangkah sambil melihat-lihat sekeliling. Banyak sekali barang-barang yang terpajang di sepanjang area pertokoan.
"Hei Gill," panggilnya.
"Hm, apa?"
"Aku jadi penasaran sama kamu deh,"
"Penasaran soal apa?"
"Kamu sudah dua tahun lebih disini, aku ngak pernah dengar kamu bahas soal cowok dan sebelumnya juga ngak pernah ingat kamu sudah pernah pacaran atau belum,"
"Nah terus?"
"Ya heran saja sih, padahal di toko aku perhatiin kamu juga anteng saja. Pulang langsung balik ke rumah, libur ngak kemana-mana, dekat sama orang juga ngak. Memangnya kamu ngak tertarik sama cinta?"
Mendengar pertanyaan Renata membuatku seperti merasakan luka lama. Perasaanku yang seperti sudah mati ini tidak ingin bersinggungan dengan asmara lagi akibat kejadian itu.
"Kok kamu diam?" tanya Renata.
"Yaa~ sebenarnya ada alasannya sih," jawabku.
"S-Serius?! Kenapa kamu ngak cerita?!"
Mata Renata menatapku dengan berbinar-binar. Wajahnya dengan jelas menggambarkan dia sangat penasaran dan merasa tidak sabar untuk mendengar nya dariku.
"Singkirkan tatapan mu. Itu membuatku takut tau ngak..."
"Aku begini karena penasaran! Gill yang tenang seperti air ini apakah sudah punya pacar rahasia? Pangeran tampan yang disembunyikan? Ah atau malah dia yang menyembunyikan kamu?!"
"Khayalan kamu itu tinggi banget. Kayaknya cocok untuk di tulis ke novel deh,"
"Gill aku serius! Kasi tau aku sedikittttt saja soal asmaramu itu, oke?!"
"Pffft baiklah kalau kamu penasaran banget. Jadi begini, sebenarnya .... "
"Sebenarnya .....???"
•
•
•
Untuk menghibur diri, aku sering membaca komik dan novel yang membuatku tertarik. Beberapa judul sudah aku masukan daftar favorit dan salah satunya adalah Novel itu berjudul "Bunga Berbicara".
Aku mengikuti penulisnya di salah satu laman online aplikasi Nine Chat dan karyanya yang satu ini membuatku sangat tertarik.
"Apa kamu tau novel yang sering aku baca Ren?" ucapku.
"Huh? Tentu dan apa hubungannya dengan itu?"
"Kalau kamu tanya seperti apa kisah asmaraku, itu kisah yang sama persis dengan tokoh Naonie."
Aku sengaja menggantung ini untuk memicu rasa penasaran Renata semakin tinggi. Dia sering melihatku membacanya sehingga pada akhirnya Renata ikutan karena penasaran.
"Naonie... Naonie... bukannya itu teman si pemeran utama?" tanya Renata.
"Yups. Benar sekali" jawabku.
"Kamu mau ngerjain aku ya Gill? Aku tau kamu suka banget sama cerita itu tapi masa kisahnya bisa sama banget? Ceritanya si Naonie ini kan penyuka sesama jenis dan dia jatuh cinta pada sahabatnya yang telah menikah dengan keponakan raja.......... ASTAGA!!! Kamu penyuka sesama jenis?!!!"
Renata berteriak kencang sekali karena terkejut setelah menyadarinya. Beberapa orang yang kami lewati langsung melihat dengan kebingungan.
"Stttt!!! Diam! Suaramu kencang banget!"
Aku segera membungkam mulutnya agar tidak berteriak. Renata memberontak dan langsung menjauhiku.
"Bilang kalau ini bohong!" sambil menunjukku dengan jari telunjuknya.
Lihat wajah paniknya itu, aku sungguh tidak tahan! Pffftt haruskah aku lanjut mengerjainya?
"Ehmm... jujur saja saat pagi ini kamu mengajak aku pacaran, hatiku ini sangat bahagia. Tapi apalah dayaku karena hubungan kita pasti akan menjadi hubungan yang terlarang." ( berakting dengan sempurna )
"K-Kamu!" ucap Renata yang semakin kaku.
"Demi kamu Ren. Aku sudah mengumpulkan keberanian untuk berbicara. Alasanku tidak dekat dengan laki-laki adalah...."
"Cukup! Kamu pasti bohong! Semua itu pasti ngak mungkin!"
"Ren, kata-katamu menyakitiku. kamu ngak percaya sama aku padahal kamu sendiri yang bilang bisa tidur sekamar denganku dan kita sudah sahabat yang bagaikan kepompong."
"I-Itukan beda! Ayolah ini ngak serius kan?!"
"Ren aku, .... pfft!"
"Kampret! Kamu ketawa!"
Dari awal aku memang tidak berbakat di bidang akting. Akhirnya aku keceplosan karena tidak bisa menahan tawa.
"Kamu ngerjain aku ya?! Gila jantungku sudah mau copot tau ngak!"
"Habisnya kamu penasaran banget dan lagian langsung percaya sih. Hahaha!"
"Sungguh teganya. Sandiwaramu itu menakutkan banget ...." sahut Renata lagi yang lemas karena kaget.
"Jangan khawatir karena aku masih doyan dengan roti sobek~" hibur ku.
"Aku nyaris ngak bisa percaya kata-katamu lagi. Aku syok Gill, syok banget,"
"Sudah, sudah. Ayo kita jalan lagi dan sembuhkan syok kamu dengan makan~"
Aku mengelus pundak Renata dan kelihatannya dia masih kesal karena kejadian tadi.
...****************...
Kafe Hello Morning
Aku dan Renata tiba dan kami langsung memesan tempat. Ternyata tempat ini lebih ramai daripada yang dibicarakan orang-orang. Saat aku berpikir tidak ada tempat, ternyata secara kebetulan ada meja yang baru saja kosong ; Lucky!
"Syukurlah kita dapat tempat~" ucap Renata yang semangatnya sudah kembali.
"Memang ya tempat baru itu selalu ramai." jawabku.
Renata memanggil waiters untuk memesan. Sambil menunggu, aku melihat keluar dan perhatianku tertuju pada sebuah taman kecil di luar sana. Sebuah taman yang disusun dengan cantik memanfaatkan berbagai tanaman bunga anggrek.
Bukankah ini jenis anggrek yang sama seperti ditanam oleh Ibu di rumah?
"Gill, Gill? Hei Gill!"
"Aah i-iya?!"
Aku terkejut karena sempat melamun. Renata ternyata sudah memanggilku beberapa kali dan aku tidak mendengarnya.
"Kamu mikirin apa sih? Aku udah panggil tiga kali tapi masih saja bengong. Kamu mau pesan apa?"
"Ahaa haa haa, maaf aku cuma kurang fokus. Boleh aku lihat menunya?"
Setelah selesai memesan, kami mengembalikan buku menunya. Renata dan aku membicarakan suasana kafe ini. Pelayanannya cepat dan tanggap. Tidak membutuhkan waktu yang lama, pesanan kami berdua sudah datang semua.
Sepertinya pemilik kafe ini pasti sangat selektif memilih pekerja dan juga sangat teliti. Dilihat dari dekorasi dan tata ruang, semua benar-benar disusun dengan rapi dan mendetail
"Wah aku kenyang banget, makananya enak-enak deh," ujar Renata setelah menghabiskan makanannya.
"Iya, tumben pilihan kamu bagus," ucapku mulai mengusili.
"Maksudnya biasanya ngak bagus gitu?" jawab Renata yang tau kalau aku sedang usil padanya.
"Duh, kayaknya aku kebanyakan makan deh dan sekarang perutku mules. Kamu mau iku aku ke toilet ngak?"
"Hm? Ngak ah, ngapain aku ikut. Perutmu itu responnya cepat banget,"
"Iya nih aduh, begini nih yang buat ngak enaknya"
"Baru saja makan dan sekarang sudah mau dibuang, kalau kata orang tua dulu sih keberuntunganmu bisa ikut terbuang lho, hehehe "
"Pakai acara ketawa lagi, bodo ah! Aku sudah mules banget, titip tas ya!"
Renata langsung bergegas ke toilet, sepertinya sudah tidak tertahankan lagi. Aku menyelesaikan makan siangku dan pikiranku mulai terhanyut.
Beberapa tahun yang lalu hidupku benar-benar hancur. Segalanya harus dibuang dan tidak bisa diubah lagi, bahkan aku hampir mengalami gangguan mental kalau tidak bisa sadar.
Hari ini, pekerjaan ini dan hidup ini bisa aku dapatkan lagi adalah karena kalian. Beribu terimakasih bahkan sepertinya tidak cukup untuk itu, tapi apakah aku pantas?
"Anggrek itu berkata, saat hujan aku menunduk agar tidak basah, saat cerah aku melihat ke atas untuk berkaca,"
Seseorang seperti sedang membacakan salah satu bagian percakapan dari novel yang biasanya aku baca. Aku menoleh ke samping dan melihatnya sudah berdiri di sini.
"Aah Anda Dokter Federick ya?" ucapku dengan bertanya.
Pria tinggi berkulit putih ini sepertinya adalah Dokter Federick yang menangani pemeriksaan rutin Tante Emila. Ingatanku samar-samar, tapi aku mengenali kacamata yang digunakannya sama seperti saat di ruang praktik.
"Ternyata memang benar Nona Gill ya, saya senang bertemu dengan Anda di sini," ucapnya lagi sambil tersenyum ke arahku.
"Wah, saya juga tidak menyangka akan bertemu dengan Anda di sini Pak Dokter,"
Aku menawarkannya untuk duduk, sepertinya dia juga baru sampai di sini. Dia orang yang sangat ramah juga untuk seorang dokter yang bekerja di rumah sakit besar seperti Rumah Sakit Pelayanan Gabriella (RSPG), Dokter Federick ini pasti orang hebat.
"Itu, apakah ucapan Anda tadi diambil dari dialog novel Bunga Berbicara?" tanyaku penasaran.
Sejauh ini jarang ada yang megungkapkan sesuatu secara tidak langsung lewat kata-kata dari bacaan. Bahkan Renata saja tidak mengerti dan mempertanyakan kenapa aku suka membaca novel atau komik, dia itu timnya menonton drama.
"Wah Nona juga membaca novel itu? Saya kira tidak ada yang tau lho ketika saya menyebutkannya tadi," ucapnya terlihat senang akan pertanyaanku.
"Sebenarnya saya juga menebak saja, soalnya saya pernah membaca dan masih mengingatnya,"
"Berarti ingatan Anda sangat kuat ya, Anda juga langsung mengenali saya tadi,"
"Aah, itu juga cuma kebetulan karena saya mengenali kacamata Anda,"
"Oh kacamata ini? Luar biasa padahal biasanya tidak ada yang mengingat ke bagian ini," ujarnya kemudian.
Dokter Federick melepas kacamatanya dan menggantungnya di bagian kancing depan kemeja yang dia pakai.
Wajahnya kini terlihat jelas dan ini untuk pertama kalinya aku perhatikan. Dia melihat ke arahku dengan tersenyum manis, ternyata dia sangat ehem, tampan menurutku.
Terutama senyumnya, memang ya kalau orang ganteng ditambah senyuman itu kadar gulanya tinggi banget
"Oh iya, bagaimana Anda tau kalau ini saya?"
"Hmm sebenarnya saya sedang mengunjungi teman, tapi ketika masuk saya tidak sengaja melihat Anda jadi sekalian saja saya sapa," jawabnya.
"Ohh ternyata begitu ya,"
"Sempat terpikir juga kalau seandainya saya salah orang, saya akan pura-pura bicara sendiri,"
"Pfft maaf, jadi itu alasan Anda menggunakan kalimat dari novel itu tadi?" kataku dengan sedikit tertawa kecil.
"Iya mungkin jadi terdengar aneh ya," ucapnya ikut tertawa.
"Kalau saya tidak tau novel itu bagaimana?"
"Ya paling tidak Anda pasti akan menoleh ke arah saya bukan?"
"Ya memang benar juga sih, astaga mungkin lain kali saya akan mencoba cara ini,"
Sepertinya dia orang yang menyenangkan, obrolan kami nyambung dan dia juga tidak kikuk. Kami jadi membahas soal novel karena kebetulan membaca judul yang sama
"Tempat ini sangat bagus dan hampir sama dengan yang tergambar di novel, apa jangan-jangan pengelolanya juga pembaca yang sama ya," kataku sambil melihat lagi ke arah taman kecil di luar.
Federick sepertinya tidak merespon perkataanku dan aku pun menoleh ke arahnya. Disaat yang sama mata kami tidak sengaja saling bertemu, sedikit terkejut dan kami jadi canggung.
Federick terdiam dan langsung mengalihkan pandangannya, terlihat sedikit bahwa telinganya memerah dan dia pura-pura memperhatikan sekeliling.
Apa yang harus aku lakukan sekarang?! Suasananya jadi canggung banget dan aku ngak tau harus membahas apa. Dia juga terdiam begitu, ayolah Pak ngomong sesuatu
"Ehm, apakah Anda sedang tidak bertugas?" kataku yang mau tidak mau harus memecahkan keheningan ini.
"Aah iya, saya kebetulan sedang libur praktik,"
Itu saja? Dia hanya mengatakan itu dan kembali terdiam sementara aku pusing memikirkan topik pembicaraan. Situasi macam apa ini
"Apa nona suka makan di sini?" ucapnya kemudian.
Akhirnya dia yang memulai topik pembicaraan, kalau tidak aku bisa membeku karena keheningan ini
"Sebenarnya ini pertama kali saya kesini, makananya cocok dengan lidah saya dan sepertinya itu bisa masuk hitungan kalau saya suka,"
"Ternyata Anda menyukai masakan Asia yang direbus atau dikukus ya,"
"Iya itu karena rasanya tidak menyangkut di tenggorokan, tapi saya juga menyukai gorengan sih. Kalau Dokter Federick sendiri bagaimana?" tanyaku.
"Nona bisa memanggil saya dengan Federick saja, akan canggung kalau menyebutkan kata dokter bukan?" lanjut Federick yang kembali tersenyum ke arahku.
Ahahaha... astaga, senyum Anda cukup menggangguku karena rasanya silau banget
Kami kembali berbincang dan sesuatu yang aku ketahui bahwa Federick lebih menyukai masakan yang ditumis kering.
Tidak berselang lama kemudian, Renata kembali menghampiriku sehabis dari toilet. Sepertinya dia menyadari ada seseorang yang sedang bersamaku saat ini.
"Gill maaf buat kamu nunggu lama, tadi antriannya panjang banget. Ngomong-ngomong kamu lagi bareng siapa?" ucap Renata sambil memperhatikan Federick.
"Ren, kamu ngak mengenalinya?" tanyaku.
Renata memperhatikan, tapi sepertinya dia tidak bisa menangkap siapa yang sedang duduk bersebrangan denganku saat ini. Federick hanya tersenyum, sepertinya dia juga sengaja tidak langsung memperkenalkan diri.
"Aku ngak yakin sih, tapi kok rasanya pernah kenal ya? Gill kamu lagi ngerjain aku nih?" ujar Renata yang mencurigaiku.
"Apanya yang ngerjain, dia ini Dokter Federick yang di rumah sakit itu lho,"
"Halo apa kabar Nona Renata," jawab Federick kemudian saat aku memperkenalkannya.
"S-Serius?! Ya ampun aku beneran ngak ngenalin, astaga aku minta maaf Pak,"
"Tidak apa-apa kok, Anda tidak perlu meminta maaf. Bagaimana dengan kabar Nyonya Emila?"
"Mama sekarang semakin membaik, terimakasih juga karena semua berkat bantuan dari Dokter,"
Pada akhirnya kami duduk bertiga sambil mengobrol. Dengan sifat keingintahuan Renata yang besar, sepertinya Federick kewalahan untuk menjawabnya.
K**alau bareng Renata kayaknya ngak harus pusing cari topik pembicaraan deh. Aku jadi kasihan sama Federick yang bahkan belum sempat menjawab
DRRRTT DRRRTT
Ponsel Renata berdering dan dia pamit sebentar untuk menerima panggilan di luar. Federick langsung menghela nafas setelah itu.
"Pfftt! Sepertinya Anda kewalahan ya?" ucapku dengan menahan tawa.
"Saya hanya tidak menyangka ternyata Nona Renata begitu penasaran," ujarnya dengan tertawa kecil.
"Tapi dia juga orang yang menyenangkan untuk diajak bicara," kataku.
Tanpa sadar aku menunjukkan ekspresi yang begitu senang pada Federick. Dia melihatku dan tidak lama dia tersenyum sendiri.
"Nona juga orang yang menyenangkan,"
"A-Ah iya?"
Renata kembali setelah menerima telpon dan sepertinya ada hal yang mendesak kalau dilihat dari ekspresinya.
"Sepertinya kita harus balik lebih cepat Gill. Bagian pengiriman baru saja sampai dan minta konfirmasi pesanan, maaf nih kayaknya jam istirahatmu jadi berkurang," ucap Renata dengan sedikit tidak enak.
"Ngak apa kok Ren, lagipula jamnya juga sudah mau habis,"
"Aku minta maaf banget, nanti kapan-kapan biar aku ajak kamu kesini lagi ya,"
"Kamu tenang saja kok Ren, lagian tempatnya dekat. Bicara soal itu Dokter Federick aaa... maksud saya Federick, maaf sepertinya kami harus undur diri dulu,"
"Tidak masalah kok, kita bisa bertemu lagi lain kali," ucapnya dengan hangat.
Sekilas dari ucapannya, aku merasa kalau Federick ini sepertinya menyimpan sesuatu dan aku tidak tau apa itu
"Tenang saja Dokter Federick! Saya akan sering mengajak Gill kemari dan siapa tau akan bertemu dengan Anda lagi," ujar Renata dengan sangat bersemangat.
"Saya pasti akan menantikannya," jawab Federick dengan ramah.
Aku dan Renata akhirnya keluar dari kafe itu dan berjalan kembali ke toko. Saat ini Renata sedang menggodaku karena pertemuan dengan Federick tadi.
"Ehem, ehem, sekarang Gill sudah besar ya," katanya dengan nada yang usil.
"Apaan sih, ada-ada saja," jawabku dengan ketus.
"Gimana nih menurut kamu,"
"Menurut apanya?"
"Aaah anak ini, sudah diberi kode tapi ngak peka banget. Kayaknya Dokter ganteng naksir kamu deh, tadi saja curi-curi pandang,"
"Aku ngak perhatiin,"
"Serius ah! Respon dong Gill, respon! Kapan lagi bisa dekat sama cowok mapan dan ganteng banget kayak dia?" ucap Renata dengan semangat yang berkobar.
Bisa-bisanya Renata mengira begitu, aku saja ngak kebayang sama sekali
"Pfftt, kenapa ngak kamu saja yang incar dia?" balasku dengan nada bergurau.
"Yee, aku juga mikirin masa depan kamu. Masa kamu mau sendirian terus sampai tua, ingat sudah 23 dan tahun depan sudah 24 lho kamu," ujarnya dengan serius.
"Masih muda itu mah~"
"Muda sih muda, umur ngak bakalan nungguin tau,"
"Hahaha, ya kalau aku ngak tertarik mau bagaimana lagi,"
Saat kami sedang berjalan, aku seperti mendengar kalau ada yang memanggil namaku dan mengejar kami dari belakang.
"Nona Gill! Maaf, apa Anda bisa berhenti sebentar?!"
Federick mengejar kami, nafasnya menjadi tidak beraturan. Sepertinya dia berusaha menemukan kami sejak keluar dari kafe tadi.
"F-Federick, Anda tidak apa-apa?" ucapku dengan khawatir.
"I-iya saya tidak apa-apa, tadi saya melupakan sesuatu," ucap Federick sambil mengatur nafasnya kembali.
"Saya ingin memberikan Nona Gill ini,"
Federick memberikan aku sebuah kartu grup forum untuk aplikasi Nine Chat (NC). Disini bertuliskan ID resmi forum My Talking beserta kode undangannya.
"Kartu ini,"
"Ini kartu member khusus untuk forum My Talking di NC. Sebelumnya Nona mengatakan suka dengan novel bukan? Penulis dari novel Bunga Berbicara juga ada di forum ini, jadi Nona bisa berteman dengannya,"
Forum khusus yang pesertanya dibatasi itu?! Astaga, aku tidak tau darimana Federick mendapatkan ini tapi aku sangat senang bisa memilikinya
"Ini sungguh untuk saya?!" tanyaku untuk memastikan.
"Iya sungguh kok," jawabnya lagi.
"Wah Dokter Federick benar-benar baik, tapi Anda pasti lelah banget lari-larian untuk memberikan ini," kata Renata sambil menatap usil padaku.
"Tidak apa-apa, soalnya memang salah saya juga melupakannya tadi,"
"Saya sungguh berterimakasih! Saya sampai tidak tau harus bilang apa lagi karena senang,"
"Karena Nona menyukai itu, saja juga ikut senang kok,"
Setelah memberikan kartu itu Federick undur diri untuk kembali ke kafe. Aku tidak tau apa maksudnya, tapi aku benar-benar senang dengan hal ini.
"Cieee yang dapat hadiah dari calon gebetan~" goda Renata dengan berkata sangat dekat di telingaku.
"A-Apa-apaan kamu! Geli tau ngak?!"
Aku lupa kalau mahkluk iseng ini masih disini, habislah aku
•
•
•
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!