Gadis itu melangkah menyusuri lorong gedung tua yang disulap menjadi sebuah galeri lukisan. Terpampang puluhan, bahkan ratusan pigura cantik yang membungkus indahnya lukisan dari para pelukis ternama di negeri ini. Langkahnya terhenti di sebuah aula kecil yang berisikan lukisan yang tertata rapi di dinding aula. Pandangannya tertuju pada sebuah lukisan karya Mirabilis Stasi. Lukisan itu terletak persis di dinding tengah aula. Didekatkannya tubuhnya dan ia memandangi keindahan sebuah gambar yang memperlihatkan seorang pria berpakaian bak kaisar abad ke-18, dengan jubah merah di belakangnya dan kakinya tertutup oleh lebatnya hamparan bunga dandelion.
Pria itu berdiri di antara indahnya bunga dandelion sambil tersenyum kepada seekor lebah yang berada tepat di depan wajahnya. Wajah pria itu sangat tenang, senyumnya menawan, menghipnotis gadis itu dari segala penjuru pandangan.
"Bee!" Seorang pria menepuk pundaknya.
Bee, nama panggilan gadis itu, atau Betharia Ameswari nama lengkapnya, adalah gadis berusia 21 tahun yang sebenarnya tidak begitu menyukai lukisan, apalagi pergi ke sebuah pameran lukisan. Baginya, melihat jejeran gambar yang disusun rapi di dinding bukanlah suatu hal yang menarik. Namun, dengan siasat dan rayuan maut sang kekasih, akhirnya Bee mau untuk pergi melihat indahnya lukisan karya para pelukis terkenal, termasuk kekasihnya sendiri, William. Butuh perjuangan bagi William untuk menaklukkan hati sang kekasih agar mau melihat karya indahnya.
"Ngagetin aja sih?" jawab Bee ketus.
"Lagian, serius amat liatinnya. Giliran lukisan ku tadi biasa aja lihatnya," tanya William heran dengan sang kekasih yang katanya sama sekali tidak menyukai lukisan bahkan tidak begitu antusias ketika melihat lukisannya. Justru sebaliknya, dia terlihat sangat penasaran dan antusias, dilihat dari tatapannya yang begitu serius dan nampak terpesona dengan lukisan itu.
"Udah, ayo. Katanya kita mau makan," ajak William yang berjalan lebih dulu. Bee mengikutinya dari belakang.
Baru beberapa langkah, Bee terkejut karena gelangnya tersangkut pada jam tangan milik seorang pria yang berjalan tepat di sampingnya.
"Maaf!" Keduanya terkejut dan serempak meminta maaf.
Pria tersebut dengan cepat membantu melepaskan jeratan antara gelang milik Bee dan jam tangan miliknya. Bee hanya terdiam menatap wajah sang pria. Wajahnya teduh, tenang, damai, dan sangat tampan. Diperkirakan usianya sekitar empat puluh tahunan, namun dia masih terlihat sangat muda, bugar, dan badannya begitu tegap berotot.
Bee seperti mengingat sesuatu, namun ingatannya pudar setelah pria tersebut berhasil melepaskan jeratan itu.
Suasana hening, mereka saling tatap satu sama lain. Sampai akhirnya pria itu tersenyum dan pergi meninggalkan Bee. Bee hanya berdiri diam, wajahnya merah merona, badannya terasa kaku tak mampu ia gerakan. Dirinya seperti tersihir oleh sesuatu sampai melupakan keberadaan sang kekasih.
William hanya menatap diam ketika kekasihnya, Bee, terlihat terpana oleh pria lain. Namun, dalam pikiran William, ia justru memikirkan sesuatu yang berbeda.
“Apakah Bee mengingat semuanya? Masa itu hanya Bee yang memilikinya, bukan aku ataupun dia,” itulah kata-kata yang terlintas dalam pikiran William.
Kini William dan Bee sudah memulai perjalanan untuk mencari makan siang. Di tengah perjalanan, Bee menetaskan air mata dan lalu menangis terisak. William hanya menatap sang kekasih dalam diam.
“Entah kenapa aku menangis,” Bee berkata dalam tangisnya tanpa William bertanya apa yang terjadi pada kekasihnya tersebut. William hanya mengusap rambut Bee tanpa mengatakan sepatah kata pun seolah dia tahu apa yang membuat kekasihnya itu tiba-tiba menangis terisak.
“Kau menatap mimpi indahmu lagi?” Bee kaget dan tangisnya terhenti sejenak, namun derasnya air mata terus mengalir membasahi pipinya. Bee heran dengan pertanyaan William.
“Apa maksudmu?” Bee berbalik bertanya. William tidak menjawabnya, dia kembali fokus pada laju mobilnya, namun tangan kirinya tidak lepas membelai lembut rambut kekasih yang amat sangat dicintai itu.
**Dua tahun lalu**
Daun maple berguguran diterpa hembusan lembut angin sore. Bee duduk termenung di sebuah kursi yang terletak di Taman Dandelion. Taman ini berada tepat di sebuah bukit bernama Calendula, posisi kursi di taman ini kompak menatap indahnya Pantai Amaryllis. Matanya fokus memperhatikan ombak yang sibuk menyisir indahnya pasir putih pantai itu. Bukit Calendula yang berbentuk layaknya lingkaran disulap oleh pemerintah Magnolia menjadi sebuah taman kota, dengan dikelilingi pohon dan bunga-bunga indah menghiasi Taman Dandelion. Akses menuju taman ini hanyalah Jembatan Gardenia yang berdiri kokoh di atas Sungai Fuchsia. Jika dilihat dari atas, taman ini tampak seperti sebuah permen lolipop.
“Sssttt, jangan bergerak,” Bee terkejut ketika ada seorang pria memecah lamunannya.
Pria itu tiba-tiba mendekatinya dan mengisyaratkan kepadanya untuk diam dan jangan bergerak dulu. Bee memandang heran, namun setelah dia menunjuk ke arah sisi kursi yang diduduki Bee, ternyata di situ terdapat seekor lebah berukuran cukup besar yang hinggap di sisi kiri kursi taman. Dia berjalan pelan ke arah lebah itu, namun setelah cukup dekat, pria itu hanya jongkok dan mengamati lebah tersebut. Kemudian dia berkata,
"Ini adalah lebah ratu, dia adalah pemimpin koloni lebah pekerja.”
"Lebah ratu berukuran lebih besar dibanding lebah pekerja, bahkan lebah jantan," jelasnya.
Tidak lama kemudian, lebah tersebut terbang entah ke mana. Pria itu lalu duduk di samping Bee dan kembali menjelaskan,
"Lebah ratu akan saling bertarung dengan lebah ratu lainnya untuk memperebutkan wilayah dan kekuasaan di hadapan koloni mereka. Siapa yang kalah maka harus pergi dari wilayah tersebut dan bahkan jika lebah ratu sudah tidak berguna lagi untuk koloninya, dia akan dibunuh oleh para lebah pekerja yang merupakan koloninya sendiri."
Bee tetap diam dan mendengar secara seksama penjelasan pria itu.
“Oh iya, perkenalkan, namaku Awung,” dia memperkenalkan diri dan berusaha menjabat tangan Bee. Namun, seperti biasa, Bee hanya terdiam dan langsung beranjak dari tempat duduknya dan pergi meninggalkan pria itu. Baginya, pria itu hanyalah pria aneh yang ingin menggodanya.
Bee lalu pergi meninggalkan Taman Dandelion. Sesekali Bee menoleh ke arah pria itu, namun Awung masih menatapnya dan sedikit melempar senyum sambil melambaikan tangan. Bee merasa risih dan memilih untuk pergi secepatnya tanpa menoleh lagi. Awung hanya tersenyum menatap kepergian gadis itu.
Awung, nama pria itu, berperawakan cukup tinggi dan berkacamata. Dia adalah seorang pelukis dan fotografer yang berfokus pada alam, apalagi terkait flora dan fauna. Kebetulan hari itu dia sedang hunting lokasi untuk lukisannya dan tidak sengaja melihat seekor lebah ratu yang sudah lama dia cari dan tidak sengaja pula bertemu seorang gadis yang membuatnya tidak berhenti untuk tersenyum.
Taman Dandelion sore itu sangat indah, dibumbui gemerlap taburan warna senja yang menaunginya, namun tampak sepi. Hanya beberapa orang saja sore itu yang menikmati senja dihiasi hembusan lembut angin sore dan gemuruh merdu ombak pantai yang tidak jauh darinya.
Waktu menunjukkan pukul sepuluh pagi. Bee berlari menuju SD Adenium, napasnya memburu, jemarinya meremas tali tas dengan erat. Hari ini adiknya, Alamanda, tampil dalam pementasan musim gugur. Dia sudah berjanji akan datang, akan menyaksikan Alamanda menarikan pentas seni mewakili kelasnya. Namun langkahnya terhenti mendadak.
"Aduh!"
Bee menabrak seorang wanita berpakaian serba hitam. Mata wanita itu sembab, seolah habis menangis semalaman. Wajahnya pucat di balik topi lebar yang menutupi sebagian besar wajahnya. Gaun panjang dan sepatu tingginya yang serba hitam menambah kesan misterius.
"Maaf, Bu! Saya terburu-buru. Saya benar-benar minta maaf..." Bee membungkuk berkali-kali, mengulang kata-kata maaf dengan cemas.
Namun wanita itu hanya memandangnya dengan tatapan dingin—tajam, namun terselip luka yang dalam. Tanpa sepatah kata, wanita itu berbalik, menyeka sudut matanya yang kembali basah, lalu melanjutkan langkahnya menjauh.
Bee terdiam, memandangi punggung wanita itu yang semakin menjauh. Ada sesuatu yang aneh, entah apa. Namun kesadarannya kembali begitu mengingat tujuannya semula. Ia menggeleng dan kembali berlari menuju aula sekolah.
Setibanya di sana, aula sudah dipenuhi suara riuh tepuk tangan. Bee menelusuri barisan kursi dengan panik, mencari adiknya. Pandangannya menangkap sosok Alamanda di baris kedua dari belakang. Namun senyumnya langsung memudar ketika mendengar nada ketus dari ibunya.
"Kamu telat. Manda sudah tampil tadi."
Bee terdiam, menatap adiknya dengan rasa bersalah yang menyesakkan dada.
"Kerjaan apa sih yang pernah benar dia selesaikan," tiba-tiba suara nenek Miskah, ibu dari ayah tirinya, menyusup tajam seperti belati.
Bee hanya terdiam. Kalimat itu menggores hatinya, meski sudah terlalu sering ia mendengarnya. Sejak ayah kandungnya meninggal sepuluh tahun lalu, komentar sinis seperti itu bukan lagi hal asing.
"Sudahlah, Bu. Yang penting Bee sudah datang, kan?" Anton, ayah tirinya, mencoba menenangkan suasana.
Alamanda yang sedari tadi mendengus kesal, perlahan melirik Bee yang hanya berdiri dengan kepala tertunduk.
"Kak, duduk sini sebelah Manda," ujarnya pelan, suaranya terdengar jauh lebih lembut. Senyum manis terulas di wajah mungilnya, dan Laura, ibu mereka, hanya terdiam memperhatikan.
Pementasan berakhir, dan saat mereka bersiap pulang, Bee harus kembali ke kafe tempatnya bekerja.
“Kakak pamit ya. Maaf tadi telat. Nanti kakak beliin cokelat deh. Manda mau?” Bee mencoba menghibur dengan nada ceria yang dipaksakan.
"Mau! Mau banget!" jawab Alamanda dengan mata berbinar.
Namun kebahagiaan itu segera terhenti oleh suara nenek Miskah yang kembali menyelipkan racun dalam kata-katanya.
"Kalau cuma cokelat, ayahmu juga bisa beliin. Bukan cuma satu, sepuluh juga bisa."
"Ibu! Cukup!" Anton menegur, namun Bee sudah memilih diam.
Laura menarik Alamanda masuk ke mobil, dan tanpa menawarkan tumpangan, mereka meninggalkan Bee begitu saja.
Bee hanya bisa menghela napas, lalu melanjutkan langkahnya pulang dengan berjalan kaki sejauh empat kilometer. Tanpa keluhan. Tanpa air mata. Hatinya sudah terlalu terbiasa dengan rasa sepi dan luka yang ditinggalkan sejak kecil, sejak kepergian ayahnya.
Sesampainya di kafe, ia kembali mendapat omelan dari manajernya, Manuel.
“Kamu janji datang jam satu, sekarang sudah jam berapa, hah? Kamu ini karyawan atau turis sih?” bentaknya.
"Maaf, Pak. Tadi acaranya selesai agak lama..."
"Halah, alasan! Kamu ini sering banget telat. Sudah, ini peringatan terakhir!"
Bee menunduk, menahan perih dalam diam. Dari sudut kafe, seorang wanita bergaun putih dengan lipstik merah terang memperhatikan mereka dengan sorot mata penuh makna.
"Bunga itu takkan layu, meski terus disiram air panas..."
Bee melihat bibir wanita itu bergerak membisikkan sesuatu, namun suara itu seolah hanya gema samar. Ketika mata mereka bertemu, wanita itu segera beranjak pergi.
Bee pulang lebih malam dari biasanya. Seharusnya ia selesai pukul tiga sore, namun hukuman atas keterlambatannya membuatnya baru bisa pulang pukul tujuh.
Ketika membuka pintu rumah, ia hanya menemukan kehangatan yang tidak pernah menyentuh dirinya. Tawa ayah, ibu, dan adik-adiknya terdengar begitu akrab, seolah ia tak pernah menjadi bagian dari keluarga itu.
Tanpa disapa, tanpa ditanya bagaimana harinya, Bee berjalan menuju dapur, mencari sisa makanan. Namun, seperti biasa, piring-piring kosong menjadi satu-satunya pemandangan yang tersisa.
Di lantai tiga, di loteng sempit yang disebut sebagai kamarnya, Bee duduk termenung. Sepotong roti pemberian pemilik kafe ia kunyah perlahan. Satu-satunya makanan yang menyentuh perutnya sejak pagi.
Hatinya berbisik lirih, “Kapan aku bisa merasakan rumah yang sesungguhnya? Atau... aku memang tak pernah benar-benar memilikinya?”
Dalam keheningan, Bee menatap jendela kecil yang menghadap langit malam. Terkenang ayahnya, sosok yang pernah memberikan cinta paling tulus. Sosok yang telah pergi, membawa serta kehangatan yang tak pernah kembali lagi.
# Sembilan tahun yang lalu
Pagi itu cerah, dengan angin bertiup lembut seiring datangnya musim panas. Sinar matahari menyinari tanpa amarah, memberikan kehangatan yang menyegarkan.
“Nek, kok Ayah belum datang juga?” tanya Bee kecil dengan penasaran.
“Mungkin sebentar lagi,” jawab neneknya dengan sabar sambil mendandani cucu semata wayangnya.
Bee kecil membalas dengan senyuman manis. Tak lama kemudian, Ivan datang membawa kamera dan menggandeng tangan tetangganya untuk memotretnya sebelum berangkat piknik merayakan ulang tahun Bee yang ke-8.
“Ayo, foto dulu sebelum berangkat!” ajak Ivan bersemangat.
“Hmmm, udah ya, kameranya minjem, masih disuruh fotoin juga,” dengus Dodo, tetangganya.
“Nanti aku bawain oleh-oleh sesuai pesananmu,” bela Ivan.
“Oke, awas loh ya!” ancam Dodo kepada sahabatnya itu.
Dengan gaya fotografer profesional, Dodo memotret keluarga kecil itu. Mereka bertiga pun berpose bersama sebelum berangkat.
Hari itu, tanggal 17 Maret, Ivan berencana mengajak keluarganya merayakan ulang tahun Bee di kawasan perbukitan kota Asoka. Di hari kerja seperti ini, kawasan tersebut biasanya sepi dari lalu-lalang kendaraan.
Ivan, dengan semangat, menggendong tubuh kecil Bee, menciumnya di pipi, dan mencubit hidung manisnya. Bee hanya tertawa kecil karena geli kumis ayahnya menusuk kulit wajah imutnya. Kini keluarga itu sudah berada dalam mobil dan siap menuju lokasi. Bee bersorak kegirangan ketika mesin mobil mulai menyala, bertepuk tangan menikmati momen indah bersama ayahnya.
Ivan mengendarai mobil lawas yang dipinjam dari kantornya, melewati hamparan perkebunan teh. Bee duduk manis di kursi depan di sampingnya, fokus pada wajah ayahnya, bukan pada pemandangan di luar.
“Kenapa lihatin wajah Ayah terus?” Ivan bertanya, menyadari keluguan putri kecilnya.
Bee hanya menjawab dengan senyuman manis.
“Dia kangen, kan jarang lihat kamu di rumah. Kamu pulang kerja, Bee sudah tidur; kamu berangkat kerja, Bee juga masih tidur,” jelas nenek yang duduk di kursi belakang, melihat tingkah lucu cucunya.
Ivan mengelus rambut halus Bee, merasa beruntung memiliki keluarga yang sangat dicintainya. Ia merasa semangat mencari nafkah demi keluarganya.
Setengah perjalanan, handphone Ivan berbunyi. Ternyata dari teman kantornya, mengabari bahwa mobil yang dia pinjam akan digunakan oleh atasan sesegera mungkin.
“Hah! Kemarin katanya bisa dipinjam sehari?” bentak Ivan di telepon.
“Iya, kemarin bisa. Tapi sekarang Pak Rudi mau pakai mobil itu,” jawab temannya.
“Aduh, gimana sih?” Ivan tampak kesal, tidak fokus menyetir hingga mobil sedikit oleng. Handphone-nya terjatuh saat dia berusaha mengendalikan laju mobil.
“Hati-hati dong, Van!” tegur nenek yang dengan sigap memegangi Bee dari kursi belakang.
Ivan tidak menjawab, sibuk mencari handphone-nya yang terjatuh dengan tangan kiri. Tanpa sadar, mobilnya sudah terlalu masuk ke lajur kanan. Dari arah berlawanan, truk besar melaju kencang. Supir truk sempat membunyikan klakson. Ivan segera fokus pada kemudi, namun sudah terlambat. Ia membanting setir ke kiri, tapi tabrakan tak terhindarkan. Truk besar menghantam bagian kanan mobil di depan kemudi Ivan. Mobil terpental memutar, lalu jatuh ke jurang dangkal di tepian jalan.
Kecelakaan menarik perhatian beberapa pengendara lain. Ada yang menghubungi kepolisian dan ambulans, ada juga yang sigap menolong dengan turun ke jurang untuk mencari korban selamat. Salah satunya adalah pria berusia sekitar 30-an tahun, yang turun dengan hati-hati, menginjak tanah dan ranting pohon. Dia menemukan mobil terbalik dan ringsek. Terdengar suara erangan kesakitan dari dalam mobil.
Dia berhasil menemukan Bee, gadis kecil itu mengaduh kesakitan dengan wajah penuh darah, setengah tubuhnya sudah berada di luar mobil. Pria itu dengan sigap membantu Bee keluar tanpa memperparah lukanya. Setelah beberapa waktu, Bee berhasil dikeluarkan dari mobil.
“Ada yang selamat!” teriaknya.
Tim penyelamat dari jalan tol segera datang dengan alat untuk menarik tubuh pria itu dan Bee, karena lokasi yang terjal tidak memungkinkan untuk menggendong mereka. Setelah proses evakuasi, Ivan dan ibunya dinyatakan meninggal di lokasi kejadian, sementara Bee selamat dari kecelakaan dan hanya mengalami luka ringan. Kawasan yang sebelumnya sepi kini ramai dengan kendaraan yang tersendat karena proses evakuasi. Bee dibawa oleh pria yang menyelamatkannya ke rumah sakit terdekat.
Di ruang gawat darurat rumah sakit, Bee kecil menangis terisak sementara beberapa suster berusaha menenangkannya. Di luar kamar, anggota kepolisian berbincang dengan Laura, ibu kandung Bee, dan Anton, ayah sambung Bee. Mereka menceritakan kronologi kecelakaan dan bahwa hanya Bee yang selamat. Pria yang menyelamatkan Bee juga ikut menjelaskan kronologi kejadian.
“Kami sangat berterima kasih atas bantuan Bapak-Bapak semua,” ucap Anton, menyeka keringat yang membasahi keningnya. Laura hanya diam dengan wajah gusar.
“Maaf, apakah Bapak dan Ibu ini keluarga korban?” tanya salah satu polisi.
“Istri saya adalah ibu kandung gadis kecil yang selamat, sedangkan saya ayah sambungnya. Kami tidak memiliki hubungan keluarga dengan korban lainnya,” jawab Anton.
“Baik, kalau begitu, nanti Bapak dan Ibu bisa memberikan keterangan lebih lanjut di kantor,” pinta polisi, melirik Anton dan Laura secara bergiliran.
“Baik, terima kasih banyak,” jawab Anton. Laura tetap diam.
Pintu ruang gawat darurat terbuka. Seorang dokter menghampiri mereka dengan senyuman tipis di bibirnya.
“Gadis manis itu hanya mengalami luka ringan dan kehilangan cukup banyak darah. Dia perlu istirahat beberapa hari, dan kami sarankan agar diberikan tim psikolog anak untuk memulihkan kondisi psikisnya,” jelas dokter.
“Syukurlah,” jawab mereka serempak, kecuali Laura yang wajahnya semakin gusar. Dalam hatinya, ia bahkan lebih berharap anak itu ikut bersama ayah dan neneknya ke surga.
“Baik, kalau begitu kami ijin pamit. Semoga anak Bapak dan Ibu cepat sembuh. Kami tunggu kedatangan Bapak dan Ibu untuk keterangan lebih lanjut,” kata polisi.
“Baik, terima kasih banyak,” jawab Anton.
Mereka bersalaman dan meninggalkan ruang gawat darurat. Pria yang menyelamatkan Bee juga pamit, namun sebelum pergi, dia menatap kamar tempat Bee dirawat, khawatir dengan kondisi gadis kecil itu. Dia melihat Laura dan Anton sedang berdebat, walaupun tidak terdengar jelas apa yang mereka bicarakan. Laura, untuk pertama kalinya, terlihat berbicara.
Langit mulai mendung, awan hitam menggelayuti gedung rumah sakit. Suara burung cabak menandakan senja akan menutup hari dengan selimut gelap, diiringi gerimis yang menggugurkan tirai hari yang penuh kepedihan.
Siang ini, awan menepi di tepian mendung. Bocah-bocah kecil berjalan sambil bercerita riang tentang pagi mereka. Suasana kota Magnolia terasa dingin lebih dari biasanya. Angin bertiup kencang, menyapu dedaunan yang berguguran. Bee menoleh ke arah jam dinding kafe yang masih menunjukkan jam 2 siang. Hari ini terasa begitu panjang, pikirnya.
Denting lonceng yang digantung berbunyi, menandakan satu atau dua pengunjung datang dan pergi dari kafe. Aroma roti menyeruak dari bilik dapur. Seorang pria dengan setelan jas berjalan gontai menuju kursi yang biasa ditempatinya. Pria ini adalah pelanggan setia yang selalu menikmati kopi hitam dan roti khas kafe.
Tak lama, segerombolan mahasiswa dan mahasiswi datang dengan candaan riang, membuat gaduh kafe yang sebelumnya sepi. Beberapa di antaranya adalah teman SMA Bee.
“Bee...” salah satu dari mereka memanggil.
Bee mendatangi mereka dengan sekumpulan buku besar berisi menu andalan. Sebenarnya, Bee tidak begitu antusias bertemu atau melayani mereka, terutama karena mereka membawa Thomas—mantan pacarnya dan orang yang paling tidak disukainya. Thomas adalah kapten tim basket sekaligus ketua OSIS SMA mereka, dan mereka putus dua tahun lalu setelah Bee gagal masuk perguruan tinggi.
Mereka datang berempat: Jihan, Alesia—sahabat Bee, Thomas, dan seorang lagi teman kuliah mereka bertiga. Bee merasa risih karena mereka jarang mengunjungi kafe, dan kali ini mereka membawa Thomas.
“Mau pesan apa?” tanya Bee dengan malas sambil menatap tajam ke arah sahabatnya.
“Dih, galak banget,” jawab Alesia ketus.
“Ini teman kalian? Ketus amat jadi pelayan,” ujar Zahara, teman kuliah Jihan dan Alesia, dengan sinis.
“Iya, dia emang gitu orangnya,” timpal Alesia.
Jihan dan Thomas hanya diam, tidak enak untuk ikut berkomentar.
“Baik, maaf ya... selamat siang, ada yang bisa saya bantu?” tanya Bee dengan nada yang diubah lebih lembut.
“Nah gitu dong. Alesia sama Thomas mau traktir kita untuk merayakan hari jadian mereka. Jadi, kita minta rekomendasi menu spesial,” Zahara menjelaskan dengan semangat.
Bee terdiam sejenak, tidak percaya, dan melirik Jihan untuk memastikan. Jihan mengangguk membenarkan perkataan Zahara.
“Heh, apaan? Ditanya malah diem kaya patung,” Alesia membentak.
Alesia terlihat berbeda dari biasanya—seperti singa kenyang yang menatap sinis seekor singa kelaparan. Bee merasa sangat sakit hati, terutama karena Alesia, yang selama ini dia anggap sahabat, kini resmi berhubungan dengan mantannya.
“Baik, kita ada menu baru: waffle with chocolate crumble and strawberry sauce. Sangat cocok untuk pasangan baru,” jawab Bee dengan tenang walau hatinya gusar.
“Mau, Beb?” tanya Alesia mesra pada Thomas.
“Ah, iya boleh. Boleh sayang,” jawab Thomas gagap sambil memandangi Bee.
Bee mencatat pesanan mereka satu per satu. Meskipun hatinya sakit dan merasa terhina, ia harus tetap profesional. Bee mengalami masa sulit setelah lulus SMA. Dia gagal masuk perguruan tinggi negeri favorit, dan teman-temannya menawarkan kuliah di kampus swasta, namun Anton—ayah tirinya—menolak membiayai kuliah Bee karena alasan fokus pada bisnis. Ibunya, Laura, hanya bisa diam dan tidak bisa berbuat banyak.
Thomas merasa gerah dengan masalah Bee dan memilih meninggalkannya. Teman-teman dan sahabat Bee pun melupakan dirinya. Bee kini harus bekerja keras seorang diri setelah melewati masa SMA yang indah baginya.
Setelah beberapa menit, Bee mengantarkan beberapa menu. Di kafe ini, Bee bekerja sendiri sebagai pelayan, sehingga seringkali ia harus bolak-balik mengantarkan dan melayani tamu. Untungnya, kafe ini tidak terlalu ramai, jadi Bee masih sanggup melayani. Meskipun sudah beberapa kali meminta tambahan karyawan, permintaan Bee selalu ditolak Manuel, manajer kafe, yang lebih memilih turun tangan sendiri ketika tamu banyak.
"Praaangggg!"
“Aduh, gimana sih, kamu sengaja ya?!” Bentak Alesia, padahal Alesia dengan sengaja menumpahkan air minumnya.
“Maksudnya? Kau yang...” Bee belum sempat membela diri, Manuel datang.
“Maaf, ada apa ini?” Manuel bertanya sopan.
“Ini dia, sengaja sekali nyenggol, sampai gelasnya jatuh dan pecah!” Alesia berusaha menyudutkan Bee dengan wajah merah padam.
“Saya sama sekali tidak menyenggol, apalagi...” Bee belum sempat selesai berbicara, Alesia langsung menggebrak meja dan menuding Bee telah berbuat tidak sopan.
“Kamu nggak mau ngaku, hah!” teriak Alesia.
“Betul, saya lihat sendiri dia berlaku tidak sopan!” Zahara ikut menuduh Bee.
“Itu tidak benar, kan?” tanya Bee kepada Thomas dan Jihan, yang hanya diam menunduk, tidak berani menatap Bee.
Alesia dan Zahara makin di atas angin, karena kedatangan mereka memang sengaja ingin mempermalukan Bee di depan umum. Beberapa pengunjung di kafe mulai memperhatikan keributan ini.
“Sungguh, Pak, saya tidak melakukan apa yang mereka tuduhkan,” Bee berusaha membela diri.
“Minta maaf dan bersihkan semuanya!” bentak Manuel.
“Ayo bersihkan, anak haram!” Zahara membentak dan mencemooh Bee.
“Apa katamu!” Bee makin tersulut emosi.
“Iya, emang kamu anak haram! Ibumu saja malu punya anak sepertimu,” timpal Alesia.
Bee semakin marah dan dengan sigap menarik rambut Alesia hingga gadis itu terjatuh. Zahara, melihat temannya diperlakukan seperti itu, mencoba menampar Bee, namun Bee segera menangkis dan membalas memukul wajah Zahara.
Alesia bangkit dan berusaha memukul Bee, tapi gerakannya ditahan oleh Thomas. Jihan, Manuel, dan Adam, teman Bee yang bekerja di dapur, mencoba melerai. Suasana semakin gaduh. Bee dan Zahara masih bertengkar dengan saling jambak, tendang dan cakar.
“Hei, lepasin kalian berdua atau saya panggilkan polisi!” teriak Manuel tegas.
“Lepasin!” Zahara yang tersudut berteriak, tapi mereka tetap saling menarik rambut.
“Byuur!” Seorang nenek tiba-tiba menyiramkan air dari ember ke arah mereka.
Semua orang terkejut. Jihan, Manuel, dan Adam juga ikut tersiram air.
“Tidak baik membuat keributan di tempat makan. Tempat ini adalah tempat orang menikmati makanan, bukan berkelahi!” bentak si nenek sebelum pergi.
Bee dan Zahara akhirnya melepaskan diri, berdiri basah kuyup. Alesia dan Jihan membantu Zahara berdiri, sedangkan Bee dibantu oleh Adam.
“Maaf, sekali lagi kami meminta maaf,” Manuel meminta maaf kepada nenek dan tamu kafe.
“Diam kau! Lebah tidak akan menyengatmu jika kamu tidak menggangu sarangnya,” si nenek membentak Manuel sebelum meninggalkan kafe dengan embernya.
Bee merasa terpojok, ingin tetap bekerja di kafe ini namun tidak bisa meminta maaf kepada Alesia yang telah memfitnah dan mempermalukannya. Jihan dan Thomas hanya diam, padahal mereka mengetahui kebenarannya. Bee memilih meninggalkan mereka dan masuk ke dapur dengan emosi yang tertahan.
"Hei! Mau pergi kemana kau? Minta maaf dan bereskan semua ini!" bentak Manuel.
Bee tidak memperdulikannya.
"Ya sudah, mending kita pergi saja dari sini," ajak Jihan.
"Iya, ayo Za, Beb," tambah Alesia tanpa rasa bersalah.
“Baik, sebagai permintaan maaf, kalian tidak perlu membayar makanan yang telah kalian pesan,” terang Manuel.
Thomas menarik tangan Alesia keluar dari kafe, diikuti Zahara dan Jihan.
"Kamu apa-apaan sih narik-narik gitu?" tanya Alesia.
"Kamu yang apa-apaan? Ini sudah keterlaluan. Katanya kamu cuma mau buat Bee cemburu, tapi ini sudah di luar rencana,” keluh Thomas kesal.
“Kenapa? Kamu tidak suka? Apa kamu masih ada rasa sama gadis tengil itu?” balas Alesia.
“Terserah kamu lah, semua perempuan sama saja gilanya,” jawab Thomas sebelum pergi meninggalkan mereka.
“Eh, mau kemana? Tunggu!” Alesia mencoba menahan Thomas, tapi Thomas sudah terlanjur emosi dan memilih pergi begitu saja.
“Diihh, kok jadi begini?” Alesia kesal.
“Ya sudah, kita bertiga pulang naik taksi saja,” ajak Zahara.
“Aku pergi duluan, ya. Aku mau ke toko buku dekat sini,” jawab Jihan.
"Kamu juga marah, Han?" tanya Alesia dengan nada menyelidik.
"Ah, eh, enggak kok. Aku sebenarnya sudah ada rencana untuk mampir ke toko buku setelah dari kafe. Aku duluan ya," jawab Jihan sambil pergi meninggalkan mereka berdua.
Tak lama kemudian, Alesia dan Zahara juga meninggalkan kafe tanpa rasa bersalah, padahal tindakan mereka telah membuat mental dan kehidupan Bee jatuh dalam kesulitan yang mendalam.
"Kamu dipecat! Pergi dan jangan pernah kembali lagi!" bentak Manuel kepada Bee. Bee hanya diam termenung di pojok dapur, sambil membersihkan luka di kakinya akibat pecahan kaca gelas.
"Tapi, Pak, itu tidak adil!" protes Adam. Meskipun tidak melihat kejadian secara langsung, dia yakin Bee tidak mungkin melakukan hal seperti itu.
"Diam! Atau kamu juga mau dipecat?!" bentak Manuel dengan nada mengancam. Adam memilih untuk tidak membalas, merasa tertekan oleh sikap manajernya.
Bee akhirnya mengambil tasnya dan pergi tanpa sepatah kata pun. Ia melangkah gontai menyusuri jalanan kota yang dipenuhi daun-daun berguguran, bingung tentang apa yang harus dilakukan selanjutnya. Kegagalan demi kegagalan seakan terus menerpanya. Bee merasa seperti gadis paling tidak beruntung di dunia—kehilangan ayah kandung saat masih kecil, hidup tidak bahagia dengan keluarga baru ibunya, dan tidak bisa kuliah.
Semakin jauh ia melangkah, air matanya sudah kering, meninggalkan rasa sakit dalam diam. Ia hanya bisa berharap ada mimpi yang bisa diraih di masa depan, sementara di lubuk hatinya yang lain, rasa sakit yang berkepanjangan membuatnya berpikir tentang mengakhiri hidup.
"Awas!" teriak seorang pengendara motor sambil membunyikan klakson, namun terlambat. Bee terlempar tidak jauh dari lokasi. Beberapa orang di sekitar segera berlari membantu, sementara si pengendara motor juga mencoba menolong. Bee, dengan tubuh penuh luka, mencoba berdiri kembali.
"Kamu tidak apa-apa, kan?"
"Tunggu, kami panggilkan ambulans," beberapa orang menawarkan bantuan, namun Bee segera melarikan diri, enggan menerima pertolongan.
Dengan langkah gontai, pakaian robek, dan tubuh penuh luka, Bee sampai di taman dandelion. Taman itu terasa sepi dan kosong, mencerminkan perasaan dalam hatinya. Senja tampak mencemooh gadis malang yang duduk di situ, langit belum gelap sepenuhnya dan hawa dingin musim gugur menyentuh kulit Bee yang terluka. Bee duduk dengan tangan kiri menyanggah tangan kanannya, merasa mati rasa dengan keadaan sekitar, hanya ingin diam menikmati senja dan berharap senja akan membawanya menuju kegelapan yang lebih baik.
Suara langkah kaki terdengar di tengah taman yang kian remang, namun kesadaran Bee semakin melemah hingga ia terjatuh tersungkur. Tubuhnya menggigil kedinginan, wajahnya pucat pasi. Seekor lebah mendekat ke arah wajahnya, berdenging di sekitar telinga Bee seolah membisikan sesuatu, disertai langkah kaki yang semakin mendekat. Kesadaran Bee akhirnya menghilang, menutup cerita senja sore itu.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!