Senyum begitu lebar terukir di wajah Reyn Salqa Ranendra, putri dari Restu Ranendra. Diam-diam ternyata dia menyukai kakak kelasnya sendiri, yang tak lain adalah teman sekelas sang Abang.
Selama setahun ini Reyn hanya bisa menatap lelaki itu dari kejauhan. Mengambil gambarnya diam-diam supaya dia bisa memandang wajah tampan lelaki itu di setiap saat.
Reyn menyandarkan tubuhnya. Dia mengingat pertemuan pertama dirinya dan juga lelaki yang dia kagumi. Itu bermula dari awal mula Reyn masuk SMA. Kegiatan MPLS mempertemukan Reyn dan Regara Bumintara. Dalam masa MPLS kelas Reyn dibimbing oleh Regara untuk mengenal lingkungan sekolah.
Awal mula melihat wajah tampan, alim dan tak banyak bicara biasa saja. Setelah suara bassnya terdengar, Reyn terpana dan jantungnya berdetak tak karuhan. Apalagi setiap kali dia senyum, Reyn akan menatapnya dengan penuh cinta.
Di kelas pun Reyn tak bosan untuk memandangi lelaki tampan itu. Namun, setiap kali Regara menatapnya, Reyn selalu memalingkan wajah. Seakan tak terjadi apa-apa. Padahal jantungnya seperti orang lari maraton.
Tangannya mulai mengusap salah satu foto candid. Regara adalah definisi obat tidak selalu berbentuk tablet maupun sirup.
"Kamu adalah alasan kenapa aku masih bisa hidup sampai sekarang."
Pintu terbuka, Reyn buru-buru menyimpan album foto tersebut. Kembarannya, yakni Rayyan Rajendra mulai masuk ke dalam kamar.
"Bisa gak sih ketok pintu dulu?" omel Reyn.
"Apaan sih lu, Mpok? Gegayaan kata gua mah."
Lelaki tampan itu merubuhkan tubuhnya di atas tempat tidur Reyn hingga sang pemilik berdecak kesal.
"Gua males padahal ikut ke acara wisuda Abang," keluh Rayyan.
Reyn terdiam untuk sesaat. Mendengar kata wisuda membuat hatinya sedih. Di mana dia tidak akan pernah bertemu lagi dengan lelaki yang dia kagumi.
"Empok! Lu kenapa bengong?"
Reyn sedikit terkejut dibentak oleh Rayyan. Kepalanya pun menggeleng pelan. Wajahnya terlihat begitu sedih.
"Gak usah sedih, Mpok. Abang kan ngelanjutin kuliahnya masih di sini. Gak boleh kuliah di luar sama Mami."
"Bukan itu yang gua sedihin, Yan. Apa gua akan bisa bertemu dia lagi?"
Pintu kamar kembali terbuka. Si kembar tak identik itupun menoleh dan sudah ada sang Abang yang berdiri di ambang pintu. Kedua alis Abang Er menukik tajam melihat wajah sang adik perempuan.
"Si Empok sedih Abang mau lulus SMA."
Kalimat Rayyan membuat Abang Er semakin menunjukkan wajah datarnya. Tak dia sangka sang adik perempuan berlari dan berhambur memeluk tubuhnya. Kaos bagian dadanya pun mulai basah. Tangan yang melingkar di pinggangnya pun begitu erat.
"Ray udah bilang kalau Abang gak akan kuliah di luar. Tapi, Empok tetep aja sedih."
Abang Er menghembuskan napas kasar. Perlahan dia memundurkan tubuh Reyn. Ya, adiknya menangis. Air mata yang sudah membasahi pipi diusap oleh sang Abang.
"Apa yang membuat lu sedih?"
Sebuah tanya yang membuat dada Reyn berdegup hebat. Dia tak berani menatap sang Abang.
"Reyn--"
Ingin Abang Er melanjutkan ucapannya. Namun, melihat Reyn seperti itu dia urungkan.
"Cuci muka! Terus ke bawah. Mami sudah nunggu kita."
Abang Er meninggalkan Reyn dan Rayyan. Sudah lama dia mengetahui sesuatu. Tapi, masih dia pendam dan dia pantau dari kejauhan karena belum saatnya dia tanyakan.
.
Memakai pakaian yang senada untuk menghadiri wisuda Erzan Akhtar Ranendra. Tak terasa lelaki yang begitu dingin dan datar itu sudah lulus SMA.
Mata Reyn seperti mencari sesuatu. Dia belum melihat lelaki yang dia kagumi. Tak lama berselang, lelaki tampan dengan memakai jas hitam berjalan menuju siswa yang lainnya. Wajah Reyn pun berubah seketika.
"Auramu, Kak. Buat jantung Reyn pengen lepas."
Sang mami menyenggol lengan sang putri. Sontak Reyn pun terkejut.
"Senyum sama siapa?"
"Eh, itu Mi--"
Untung saja suara MC sudah terdengar menandakan acara sudah dimulai. Reyn terlepas dari pertanyaan sang mami. Dia percaya insting seorang ibu itu begitu kuat.
Tangan Reyn sudah gatal ingin mengambil gambar Rega karena hari ini lelaki tersebut seribu kali lebih tampan dari sebelumnya. Namun, Reyn tengah diapit oleh keluarganya dan mengharuskan dia bersikap kalem.
Pemilik nilai tertinggi ujian mulai dipanggil. Rayyan begitu yakin jikalau nama sang Abang yang akan dipanggil.
"REGARA BUMINTARA."
Senyum Reyn begitu lebar ketika mendengar nama sang crush. Sudah pasti wajah tampannya akan terpampang di layar besar. Dia abaikan ocehan kembarannya. Dia hanya fokus pada layar besar di mana wajah Rega terpampang begitu jelas sekarang. Senyumnya begitu menawan hingga menular kepada Reyn.
"Andai tidak ada keluarga, akan aku abadikan wajah tampanmu, Kak."
Kedua orang tua Abang Er begitu bahagia melihat putra kebanggaan mereka sudah lulus sekarang. Pelukan hangat dari sang mami membuat hatinya sedikit terharu. Juga tinjuan pelan di lengan dari sang papi membuatnya tertawa.
"Kuliah yang benar dan jadi kebanggaan Mami dan Papi."
Anggukan pun Abang Er berikan. Senyum yang jarang sekali terukir kini malah dia tunjukkan. Namun, kalimat sang adik bungsu membuat senyum Abang Er menghilang.
"Kenapa bukan Abang yang jadi pemilik nilai ujian tertinggi?"
Ya, Rayyan tahu sang Abang memiliki kecerdasan di atas rata-rata. Meskipun, sering bolos tetap saja juara pertama bisa Abang Er raih.
Reyn menjambak rambut Rayyan yang sudah rapi hingga dia mengaduh. Tatapan tajam penuh arti Reyn tunjukkan.
.
Sebuah pesan masuk ke ponsel Reyn. Dahi Reyn mengkerut ternyata sang Abang yang mengirimkan pesan.
"Kita ngopi. Gua udah di atas motor."
Reyn menggelengkan kepala membaca pesan sang Abang. Lelaki yang tak pernah menginginkan penolakan dan juga sangat memaksa. Alhasil Reyn pun mengikuti kemauan sang Abang.
"Pegangan!"
Sejudes dan sejutek apapun Abang Er, dia adalah seorang kakak yang begitu perhatian. Cara menyampaikannya memang beda, tapi Reyn yakin sang Abang sangat menjaganya juga menyayanginya.
"Pesen yang lu mau!"
Sedang memilih minuman, Reyn terkejut ketika jaket yang dipakai sang Abang ditaruh di pundaknya.
"AC di sini sangat dingin."
Reyn tersenyum dengan air mata yang sedikit menggenang. Awalnya dia mengira sang Abang tak menyayanginya karena sikapnya yang seperti orang tak peduli. Namun, ketika dia sedang tak baik-baik saja. Pelukan hangat Abang Er mematahkan anggapannya.
Baru saja meminum minuman yang dipesan, pertanyaan sang Abang membuat Reyn tersedak.
"Lu suka sama si Rega?"
Tatapan tajam Abang Er sudah tertuju pada Reyn. Dan kalimat lain keluar dari bibirnya lagi.
"Yang lu tangisi itu bukan gua kan? Tapi crush lu itu."
Reyn semakin tak bisa berbicara. Untuk menegakkan kepala pun begitu sulit.
"Lihat wajah gua, Reyn!"
Ketika suara Abang Er sudah penuh dengan penekanan, disitulah Reyn harus mengikuti apa yang dikatakannya. Wajah datar dengan sorot mata penuh interogasi membuat mata Reyn memerah menahan tangis.
"Gua tahu semuanya, Reyn. Lu dan Rayyan selalu gua awasi. Gak akan ada yang bisa kalian tutupi."
Reyn tak bisa berkata lagi. Air matanya sudah menggenang dan sebentar lagi akan jatuh.
"Apa yang membuat lu diam-diam memperhatikan dan mencari tahu tentang Regara? Sampai-sampai lu tak pernah absen mengambil foto dia setiap kali lu liat dia."
Abang Er memberikan album foto yang Reyn tahu itu milik siapa.
"Dia alasan utama Reyn bisa survive dan berada di samping Abang, Yayan, Papi dan Mami sampai sekarang. Dia seperti obat untuk Reyn."
Bendungan bulir bening pun akhirnya jebol. Bibirnya bergetar ketika kembali berbicara.
"Ijinkan Reyn mencintai dia, Bang."
...***To Be Continue***...
Boleh minta komennya? Baca dari awal sampai akhir, ya. Jangan nimbun bab dan berhenti di tengah jalan.
Regara Bumintara, lelaki tampan, pintar dan begitu sopan. Dia jarang bicara, tapi ketika dia membuka suara akan membuat orang yang mendengar suaranya langsung suka pada sosok yang seusia dengan Abang Er. Kepribadiannya yang baik membuatnya banyak disukai oleh teman-temannya juga para siswi di sekolah. Namun, dia memiliki komitmen untuk tidak dulu pacaran.
Hidup hanya berdua dengan sang ibu. Dia adalah anak broken home sedari usia tujuh tahun. Tapi, dia tumbuh dengan sangat baik karena peran sang ibu yang luar biasa.
Melihat ibunya yang selalu berjuang sendiri membuat Regara memiliki impian besar. Dia harus menjadi orang sukses agar kelak dia bisa membesarkan toko roti ibunya dan memiliki banyak karyawan. Jadi, ibunya tak perlu bekerja keras lagi dan tinggal menikmati hidup.
Di sekolah banyak para siswi yang terang-terangan menyukainya, bahkan tak sedikit yang menyatakan cinta kepadanya. Sayangnya, Regara menolak semuanya. Ada siswi yang menangis, ada juga yang terus memaksa. Namun, Regara tetap pada komitmennya.
"Lu masih normal kan?" tanya Jamal, sang sahabat karib.
"Aneh pertanyaan Lu!"
Regara berjalan meninggalkan Jamal yang sudah memanggilnya dari belakang. Jamal tak habis pikir Regara tak tergoda pada siswi-siswi yang cantik jelita juga kaya.
Regara hanya ingin fokus belajar dan masuk ke universitas yang dia inginkan. Kuliah yang benar dan lulus dengan nilai terbaik. Lalu, melamar kerja ke sebuah perusahaan bonafit terbesar di negeri ini. Di mana kehidupan para karyawan yang bekerja di sana sangat terjamin. Gajibesar juga banyak tunjangan serta bonus.
Hari ini dia tersenyum lebar ketika namanya disebut sebagai siswa dengan nilai tertinggi di sekolah. Dia juga lulus masuk universitas yang diimpikan. Sungguh kebahagiaan yang tak terkira. Sang ibu memeluk tubuh Regara dengan penuh bangga.
"Selamat, Nak. Mama bangga sama kamu."
Regara tak malu dicium oleh ibunya di tengah ramainya acara wisuda. Malah dia sangat bahagia. Meskipun, sedikit terlintas sedih karena dia tak seperti para siswa yang lain karena sang ayah tak ada menemaninya.
Regara melihat ke arah kanan. Tak jauh dari tempatnya berdiri lelaki tinggi yang menjadi rivalnya di kelas, yakni Erzan. Dahinya mengkerut ketika ada seorang gadis cantik yang merangkul lengan Erzan. Ketika dia fokus melihat ke arah Erzan, gadis itu menoleh. Regara terpana untuk beberapa saat akan kecantikan gadis itu. Apalagi senyum yang begitu manis tertuju padanya.
"Siapa dia? Kok seperti tidak asing."
Regara memang tidak pernah menghafal wajah siswa di sekolah, kecuali teman sekelasnya. Namun, wajah gadis yang bersama Erzan seperti pernah dia lihat cukup lama hingga dia bisa mengingat.
Sayangnya, keluarga Erzan sudah berlalu. Gadis cantik dirangkul oleh Erzan dan terlihat begitu mesra.
"Apa itu kekasihnya?"
.
Baru juga membuka toko, sang ibu dikejutkan dengan pesanan yang sangat banyak dari seorang perempuan yang mengenakan topi. Dia begitu cantik dan mungil. Kulitnya begitu menyatu dengan kaos putih yang digunakan.
"Seratus roti ya, Bu."
"Ibu gak salah denger kan, Dek?"
"Enggak, Bu."
Perempuan itu menyerahkan kartu miliknya untuk membayar total roti yang dia beli.
"Nanti Ibu tambahin 5 roti ya, Dek."
"Enggak usah, Bu."
Senyum perempuan itu begitu manis. Ibu Gendis begitu terpana pada cantiknya perempuan yang dia perkirakan usianya tak jauh beda dengan sang putra.
"Nanti tolong antar ke alamat ini, ya."
"Baik, Dek."
"Makasih banyak, Bu."
Jantung perempuan itu berdegup kencang ketika mendengar suara yang membuatnya jatuh cinta.
"Ma!"
Dia segera menundukkan kepala bertanda pamit kepada ibu Gendis. Lelaki yang baru saja masuk menatap customer ibunya dengan dahi mengkerut. Pasalnya, perempuan itu terus menunduk dengan ujung topi dia pegangi.
"Rega," panggil sang ibu.
Pandangan Rega pun kini beralih. Senyum ibunya membuatnya penasaran.
"Ada pesanan seratus roti untuk besok." Wajah bahagia ibunya tunjukkan.
"Alhamdulillah, Ma." Regara ikut bahagia.
"Minta kirim bahan-bahan, malam ini kita mulai produksi."
Toko roti ibu Gendis memang memakai bahan premium sehingga rasanya pun beda dari toko yang lain. Dia yang turun langsung untuk membuat roti tersebut.
Mau begadang sampai jam berapapun Rega akan lakukan demi membantu ibunya. Wanita tersayangnya selalu bersemangat dalam membuat roti.
"Biar Rega aja, Bu."
Jam tiga pagi mereka baru selesai membuat seratus roti juga roti yang sudah habis. Ibu Gendis menghela napas begitu kasar. Senyumnya terukir ketika dia merasakan pijatan di pundak.
Rega tak akan merasa lelah bekerja untuk sang ibu. Wanita yang amat dia sayangi dan apapun akan dia lakukan untuk ibunya.
Ibu Gendis sudah masuk ke kamar, Rega masih membereskan dapur yang masih berantakan. Di atas meja tergeletak ponsel ibunya. Dia penasaran dengan si pemesan roti. Alhasil, dia membuka ponsel ibunya yang memang tanpa password atau pin.
Dahinya mengkerut ketika melihat sebuah nama yang membuat dia tersenyum sembari menggelengkan kepala. Dia menyentuh foto profil itu. Senyum tipis pun terukir.
"The power of filter," cibirnya.
Foto profil customer seratus roti memang sangat cantik. Tapi, Rega sangat yakin jika aslinya tidak seperti di foto karena dia sudah sering kena tipu.
Keesokan harinya, Rega bertugas untuk mengantarkan roti tersebut ke alamat yang sudah diberikan. Dengan menggunakan motor Rega menuju alamat yang tak jauh dari toko ibunya.
Kedua alisnya menukik tajam ketika dia membaca plang nama yang begitu besar, panti asuhan. Rega segera menghampiri petugas keamanan. Menanyakan alamat yang diberikan perempuan pemesan roti.
"Iya benar. Mas masuk aja."
Baru saja mematikan mesin motor, seorang ibu memakai hijab menghampirinya.
"Apa ini roti Ibu Gendis?"
"Iya, Bu."
Rega menyerahkan dus yang berisi roti. Ibu panti itupun menggelengkan kepala.
"Reyn selalu saja berlebihan," gumam ibu panti.
Rega yang tengah menurunkan dus yang lain mendengar jelas nama yang disebutkan oleh ibu panti. Rasa penasaran mulai hadir tentang si customer roti.
"Sudah semua ya, Bu. Bisa dihitung kembali," tuturnya dengan begitu sopan.
"Tidak perlu," balas ibu panti.
"Tolong bantu Ibu ya bawakan kardus ini ke dalam." Rega pun dengan cepat mengangguk.
Ada harapan kecil di hatinya, yakni melihat wajah asli si customer seratus roti. Ibu panti berhenti di halaman belakang yang cukup luas. Rega melihat anak-anak di sana sedang mengerumuni sesuatu.
"Anak-anak! Rotinya sudah datang."
Sorakan kebahagiaan mereka pun terdengar. Rega tersenyum melihat mereka berlari menuju ibu panti. Namun, pandangannya kini tertuju pada seorang perempuan yang begitu cantik. Dia teringat akan foto profil customer seratus roti. Senyumnya pun begitu manis.
"Eling, Mas. Neng Reyn emang sangat cantik."
Rega pun sedikit gelagapan mendengar bisikan ibu panti. Dia begitu malu karena tertangkap basah oleh ibu panti.
"Sepertinya pernah lihat. Tapi, di mana?"
...***B E R S A M B U N G***...
Jangan kendor ya komennya ..
Masih memikirkan sosok pemesan seratus roti, suara sang ibu membuat Rega menoleh. Senyum teduh ibu Gendis selalu membuat hati Rega menghangat.
"Mama punya kabar baik." Wajah bahagianya terlihat begitu jelas.
Rega mendengarkan dengan seksama. Dia yakin kabar baiklah yang akan ibunya berikan.
"Customer seratus roti Mama butuh guru les private."
Dahi Rega mengkerut. Urusannya apa dengan Rega. Begitulah yang ingin sekali Rega katakan. Namun, dia tak ingin menyela ibunya.
"Mama menyarankan kamu kepadanya. Dan dia langsung mau."
Mulut Rega pun menganga. Sungguh ibunya tak bisa ditebak. Padahal, waktu itu dia hanya bercanda ingin mencari pekerjaan sampingan yang tak memakan waktu banyak, yakni jadi guru les private.
"Tapi, Ma. Waktu itu Rega bercanda."
"Enggak apa-apa, Ga. Uangnya kan bisa kamu tabung. Namanya juga Mama cuma ngandelin toko. Kadang rame kadang sepi."
Rega pun mengangguk. Dia tak akan membantah kemauan sang ibu. Toh, mengajar les bisa sekalian mengerjakan tugas kuliahnya.
Rega sudah menunggu calon muridnya. Untuk kedua kalinya dia terpana pada sosok yang baru masuk ke toko kue ibu Gendis.
Sapaan begitu sopan Reyn berikan. Dia juga tersenyum ke arah Rega yang masih membeku.
"Belajarnya di rumah Ibu aja ya, Neng."
"Iya, Bu."
Ibu Gendis berdecak kesal ketika melihat sang putra malah terdiam membeku. Dia memukul lengan Rega. Hingga akhirnya sang putra pun tersadar.
"Ajak ke rumah. Belajarnya di rumah aja."
Jarak rumah Rega dan toko hanya lima puluh meter. Mereka berdua berjalan tanpa membuka suara.
"Kamu kelas berapa?"
Tiba-tiba Rega memulai membuka percakapan. Reyn sedikit terkejut. Dia menatap ke arah Rega yang berjalan di sampingnya.
"Aku adik kelas Kak Rega."
Langkah Rega pun terhenti. Dia menukikkan kedua alisnya. Dia merasa tak pernah melihat Reyn.
"Malah aku pernah dibimbing Kak Rega ketika MPLS."
"Iyakah?" Rega masih tak percaya.
"Serius."
Di rumah ibu Gendis hanya ada mereka berdua. Suasana mendadak hening. Bingung mau memulai percakapan dari mana. Deheman Rega membuat Reyn menatap ke arah guru private-nya itu.
"Pelajaran apa yang gak kamu ngerti?"
Rega mulai pada inti saja. Reyn pun mengeluarkan buku yang dia bawa.
"Matematika," ujar Rega. Reyn pun mengangguk.
"Di mana yang gak ngertinya?" tanya Rega sembari membuka buku pelajaran tersebut.
"Berapa sih hasil satu bagi satu?"
Rega terkejut mendengar pertanyaan Reyn. Dia menggelengkan kepala karena soal mudah begitu saja Reyn tidak tahu. Anak SD saja pasti tahu jawabannya tanpa haru berpikir lama.
"Ya satulah!" jawab Rega sedikit emosi.
"Iya, seperti kamu yang ada di hati aku."
Rega sangat syok mendengar jawaban Reyn. Dia kira Reyn perempuan manis, ternyata dia salah. Dia benar-benar tertipu. Namun, melihat senyum manis Reyn membuatnya tak bisa marah.
Tak terasa waktu les selesai. Reyn memasukkan bukunya, tapi dia juga menyodorkan ponsel mahal ke arah Rega.
"Apa?"
"Minta nomor ponsel."
Reyn bagai anak kecil yang tengah merayu ibunya. Senyum manis pun dia berikan.
"Enggak boleh!"
Bibir Reyn pun mengerucut. Dia menatap sebal ke arah guru les tampannya. Namun, Rega malah mengulum senyum melihat wajah Reyn yang begitu lucu.
"Ya udah aku minta ke Bu Gendis."
Reyn menjulurkan lidah ke arah Rega sambil berlari. Sungguh kelakuan Reyn begitu lucu. Orangnya sudah menghilang, tapi senyum Rega masih terpampang.
"Kok gua gak ngeh ya kalau punya adik kelas macam begitu," gumamnya seraya tertawa.
.
Dahi Rega mengkerut ketika melihat Reyn sudah ada di toko roti pagi-pagi. Dia menggunakan seragam sekolah.
"Udah mau berangkat?" tanya sang ibu kepada Rega. Putranya pun mengangguk.
Penampilan Reyn begitu berbeda jika memakai seragam sekolah. Lebih cantik memakai pakaian biasa. Sambil menunggu roti yang dia pesan. Mata Reyn tertuju pada sosok lelaki yang sudah memakai tas di pundak karena hendak berangkat kuliah. Sebuah gambar pun dia ambil diam-diam.
Reyn terus mendekati Rega dengan caranya. Semakin hari Reyn semakin berani. Meskipun Rega masih bersikap cuek kepadanya.
"Kak Rega," panggil Reyn.
"Hm."
"Aku pengen ngomong serius."
Rega menegakkan kepalanya. Menatap Reyn yang hari ini terlihat begitu feminin.
"Aku ingin jujur sama Kak Rega."
"Tentang?"
"Aku sayang Kak Rega sedari lama."
Tak ada basa-basi. Reyn langsung bicara ke inti. Rega pun terdiam untuk beberapa detik saking syoknya.
"Aku ingin Kak Rega jadi pacar aku."
Hembusan napas kasar keluar dari mulut Rega. Dia pun mulai menjawab.
"Masih kecil gak boleh pacaran."
"Kak Rega!" rengek Reyn.
"AKU SAYANG KAK REGA!!"
Mulai mencintai ugal-ugalan. Bahkan blak-blakan kepada ibunda Rega. Reyn benar-benar berubah. Dia menjadi cegil sungguhan yang mengejar cinta Regara Bumintara.
"I love you."
Kalimat itu yang akan Reyn ucapkan jikalau bertemu dengan Rega. Lelaki itu hanya menggeleng karena dia sudah mulai terbiasa dengan kalimat tersebut.
"Capek tahu bilang cinta, tapi gak pernah dibalas."
Rega mulai menatap Reyn yang memasang wajah sendu. Ada secercah harapan dari sorot matanya..
"Belajar yang bener! Matematika aja masih dapet tiga puluh."
"Kan aku udah bilang kalau aku gak suka sama Matematika." Dia menatap tajam ke arah Rega.
"Aku kan sukanya sama kamu."
Reyn menunjukkan heart finger ke arah Rega dengan senyum yang begitu cantik.
Rega tetaplah Rega. Dia sama sekali tak menghiraukan ucapan Reyn. Mungkin jika lelaki lain digoda seperti itu akan baper, tapi beda dengan Rega. Itu bukanlah kalimat yang penuh makna, melainkan kalimat biasa. Sudah hampir dua tahun Reyn tak kenal lelah mengatakan cinta pada Rega yang selalu membisu.
.
Rega menatap ponselnya dengan senyum tipis. Jamal, Dafa juga Joni saling tatap. Pasalnya semenjak Rega menceritakan murid lesnya, senyum itu sering mereka lihat.
"Penasaran deh gua sama murid lu," ucap Jamal.
"Tahu ih! Kenalin Napa?"
"Enggak!" jawab Rega dengan begitu tegas.
Ketiga sahabatnya itu terus memaksa untuk dikenalkan kepada Reyn. Namun, Rega terus menolak.
"Ada ye guru les posesif sama murid," cibir Joni.
.
Masa ujian telah tiba dan tinggal menunggu hasilnya. Sudah seminggu ini Rega tak bertemu dengan Reyn. Ponselnya pun bak kuburan cina. Ada rasa sepi hingga jarinya mulai menari-nari di atas benda pipih.
Hembusan napas kasar keluar dari bibir Rega ketika membaca balasan chat terakhir Reyn. Dia sudah meletakkan ponsel di atas meja dan wajahnya kembali datar.
.
"Gak selamanya perjuangan itu membuahkan hasil indah," ujar sang Abang yang ada di sampingnya sekarang.
"Apalagi sampai sekarang gak ada kemajuan," tambahnya.
Reyn bisa ugal-ugalan karena sudah ada lampu hijau darinya. Namun, masih dalam pengawasannya. Sekarang ini dia melihat wajah Reyn yang mendadak sendu setelah membalas pesan.
"Apapun risikonya akan Reyn terima, Bang." Senyum indah Reyn ukirkan.
"Sekiranya nanti Reyn yang kalah. Jangan pernah menyalahkan Kak Rega. Dia tak tahu apa-apa. Salahkan Reyn saja yang memang keras kepala."
Hati Abang Er seperti disayat silet. Perih sekali mendengar jawaban dari adiknya. Dia mendekat ke arah sang adik yang begitu pucat. Menatapnya dengan begitu dalam.
"Kalau sudah lelah, gak apa-apa menyerah." Reyn terdiam dengan mata yang sudah nanar
"Datanglah ke gua. Kedua tangan gua akan terbuka lebar untuk menyambut lu ke dalam pelukan gua."
...*** B E R S A M B U N G ***...
Jangan makin kendor dong komennya ..
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!