NovelToon NovelToon

Warm Life

Episode 1

Pagi itu, mentari mulai menembus lembut sela-sela dedaunan, membawa kehangatan pada lingkungan sepi perumahan. Farah, mengenakan blus putih bersih dan rok krem yang rapi, melangkah keluar dari rumahnya dengan semangat. Sepatunya yang mengkilap beradu lembut dengan trotoar, mengeluarkan bunyi yang nyaris tak terdengar.

"Selamat pagi, Paman," sapa Farah dengan senyum ceria kepada penjaga yang sedang berdiri di posnya.

"Pagi, Neng! Mau berangkat kerja?" sahut Paman dengan nada ramah, mengangkat topinya sedikit sebagai salam.

Farah mengangguk ringan, melambaikan tangan sebelum memasuki mobil putihnya. Suara mesin yang lembut terdengar saat Farah menyalakannya, dan dalam sekejap, mobilnya melaju meninggalkan perumahan yang masih tenang.

Di sepanjang perjalanan, Farah menikmati suasana pagi yang cerah, sinar matahari menari-nari di kaca depan mobilnya. Setibanya di gedung kantornya, sebuah bangunan modern dengan dinding kaca besar yang memantulkan langit biru, Farah segera turun dan memasuki lobi yang elegan. Lantai dasar gedung itu selalu sibuk, terutama di kantin yang berada di sudut dekat pintu masuk.

Mengingat di rumah dia belum sempat sarapan, Farah memutuskan untuk mampir sebentar. Di kantin yang harum dengan aroma kopi dan roti panggang, ia membeli roti lapis segar dan segelas susu hangat. Dengan senyuman kecil puas di bibir, dia melangkah menuju lift yang akan membawanya ke lantai 6, tempat ruang kerjanya berada.

Begitu pintu lift terbuka, Farah keluar dan menuju ruangannya yang nyaman, siap menyambut hari dengan penuh semangat.

"Tok, tok..." suara ketukan pintu menggema lembut di ruangan Farah, mengisi keheningan yang nyaman.

"Masuk!" ucap Farah lantang, suaranya tenang namun penuh antusiasme. Pintu terbuka, dan seorang pasien—atau seperti yang biasa Farah sebut dengan ramah, tamu—memasuki ruangan dengan raut wajah penuh keraguan namun berharap. Farah menyambutnya dengan senyuman hangat, mengisyaratkan agar ia duduk di kursi empuk yang berada di seberang meja.

Sudah empat tahun berlalu sejak Farah resmi meraih gelar magister psikologi. Selama itu pula, ia menjadikan ruang ini sebagai tempat aman bagi mereka yang datang mencari jawaban, tempat untuk berbagi cerita, tawa, dan terkadang air mata. Baginya, pekerjaan ini bukan sekadar profesi—ini adalah panggilan hati, yang memberikan kepuasan tersendiri saat bisa membantu orang lain mengurai perasaan mereka.

Kali ini, tamu pertamanya tampak gugup, seperti beban berat sedang dipikulnya. Farah menatap dengan penuh perhatian, mendengarkan setiap kata dengan seksama, menawarkan kehangatan yang membuat lawan bicaranya perlahan merasa nyaman.

Percakapan mengalir, jam-jam berlalu tanpa terasa. Farah terkadang tertawa kecil bersama tamunya, terkadang serius merenung, berusaha membantu mereka memahami perasaan yang kompleks.

Ketika Farah melirik jam di tangannya, waktu telah menunjukkan pukul 12:00 siang. Saatnya istirahat makan siang. Dia tersenyum lembut, menutup sesi dengan kalimat-kalimat penuh harapan, mengantar tamunya keluar dari ruangannya dengan perasaan yang lebih ringan.

Sekarang, dengan perut yang mulai keroncongan, Farah tahu bahwa ia pun perlu rehat sejenak sebelum kembali menyelami kisah-kisah lainnya di siang itu.

Farah yang merasa kelaparan segera bergegas turun ke lantai dasar menuju kantin. Suara sepatunya bergema di sepanjang koridor, mempercepat langkah demi langkah, berharap bisa segera menikmati makan siang yang sudah dibayangkannya. Namun, begitu ia tiba di kantin, langkahnya mendadak melambat saat mendengar percakapan dari salah satu tamu yang duduk di sana.

“Ada dokter psikiater baru yang datang hari ini,” kata seseorang dengan nada antusias.

Kata-kata itu menyentak perhatian Farah. Jantungnya tiba-tiba berdegup kencang, seperti ada sesuatu yang menusuk hatinya. “Apakah itu Kakak?” batinnya berbicara, kenangan lama tentang seseorang yang pernah dekat dengannya seketika berputar di benaknya.

Tanpa sadar, pikirannya mulai melayang, fokusnya kabur. Di saat yang bersamaan, Farah hampir saja menabrak seseorang di depannya. Kedua mereka berhenti mendadak, dan Farah terkejut, menarik napas cepat.

“Maaf!” Farah buru-buru berkata, mengangkat kepalanya. Saat matanya bertemu dengan pria di depannya, sekejap jantungnya berdegup semakin kencang. Pria itu tinggi, dengan mata yang tajam namun ramah, dan ada senyum tipis yang tampak familier.

Mungkinkah ini orang yang selama ini tak pernah ia lupakan?

“Maafkan saya!” ucap Farah terburu-buru, menatap pria yang hampir ditabraknya. Pria itu berdiri tegap, dengan rambut rapi dan mengenakan jubah dokter berwarna putih bersih. Ada kesan profesional namun ramah terpancar dari wajahnya.

“Kamu tidak apa-apa, apakah kamu terluka?” tanyanya dengan nada tenang, matanya mengamati Farah dengan penuh perhatian.

Farah tersenyum malu, sambil menggelengkan kepala. “Tidak, saya baik-baik saja,” jawabnya lembut.

Pria itu tersenyum kembali, senyumnya meneduhkan, membuat suasana yang sempat canggung berubah lebih hangat. “Apakah kamu bekerja di sini?” tanya pria itu, rasa penasaran tergambar jelas di raut wajahnya.

Farah mengangguk, menyadari betapa mudahnya ia merasa nyaman berbicara dengan pria ini. “Iya, saya seorang psikolog di sini,” balasnya dengan nada yang lebih santai.

Pria itu mengangguk-angguk, tampak terkesan. “Oh, begitu. Saya dokter psikiater baru di sini,” katanya sambil mengulurkan tangan, memperkenalkan dirinya, seakan ini adalah awal dari sebuah pertemuan yang akan membawa sesuatu yang lebih dalam.

Suasana yang semula hangat mendadak terpecah saat ponsel pria itu berbunyi keras dengan nada dering darurat. “DARURAT, DARURAT…” suara itu menggema, membuat pria tersebut mengangkat alis dan segera melihat layarnya.

Wajahnya berubah serius. “Kita pasti akan bertemu lagi,” ucapnya cepat, sambil berbalik meninggalkan Farah tanpa menoleh lagi. Langkahnya cepat, seakan ada sesuatu yang mendesak menunggunya.

Farah hanya bisa berdiri terpaku, menatap punggung pria itu yang semakin menjauh. “Padahal aku maunya bertemu Kakak, kenapa malah bertemu pria aneh itu…” gumamnya dalam hati, perasaan kecewa bercampur bingung. Ada harapan besar di hatinya untuk mengetahui apakah kakaknya yang lama tak ditemui adalah psikiater baru di rumah sakit ini. Namun, pertemuan dengan pria asing tadi justru membuat segalanya semakin rumit.

Setelah beberapa saat terdiam, Farah menghela napas panjang, mencoba menenangkan pikirannya. Ia akhirnya melanjutkan langkahnya menuju kantin. Meskipun hatinya sedikit kecewa, ia berusaha fokus untuk menghabiskan roti lapis dan susu yang telah dibelinya.

Begitu selesai makan, Farah segera kembali ke ruangannya. Waktu untuk merenung tak banyak, karena tamu berikutnya yang membutuhkan bantuannya akan segera datang. Dengan perasaan campur aduk, ia bersiap menghadapi hari yang terus berjalan, meski kepastian tentang kakaknya masih menyisakan tanda tanya di hatinya.

Hari itu benar-benar melelahkan bagi Farah. Jumlah tamu yang datang untuk konseling jauh lebih banyak dari biasanya. Bahkan, dia harus menerima beberapa tamu tambahan dari temannya yang sedang sakit. Meski begitu, Farah selalu menemukan kepuasan dalam setiap sesi, menikmati setiap percakapan, cerita, dan proses membantu orang lain menemukan jalan keluar dari masalah mereka.

Saat jam kerjanya berakhir, tubuhnya terasa lelah, namun hatinya tetap penuh semangat. Setelah merapikan meja dan memastikan ruangannya rapi, Farah melangkah keluar dari gedung, menyambut angin sore yang sejuk. Dalam perjalanan pulang, pikirannya melayang pada satu tempat yang selalu memberinya kedamaian—panti asuhan yang dibangun oleh neneknya, tempat yang ia kunjungi setiap kali ada kesempatan.

Farah memutuskan untuk mampir sebentar. Jalan menuju panti dihiasi pepohonan rindang, memberikan suasana tenang. Ketika sampai, ia disambut dengan senyum ceria anak-anak yang selalu membuatnya merasa diterima. Panti itu adalah warisan berharga dari neneknya, tempat di mana Farah bisa merasakan kedekatan emosional dengan neneknya, meski beliau sudah tiada.

Di sana, Farah menghabiskan waktu berbicara dengan para pengurus dan bermain dengan anak-anak, rasa lelahnya perlahan sirna seiring tawa dan keceriaan yang mengisi sore itu. Meski hari ini melelahkan, setiap kunjungan ke panti asuhan selalu mengisi hatinya dengan kebahagiaan dan ketenangan yang tak tergantikan.

Farah selalu menjadi sosok yang ditunggu-tunggu oleh anak-anak di panti asuhan. Setiap kali datang, dia tak pernah lupa membawa hadiah-hadiah yang unik dan menyenangkan. Mulai dari makanan berhias manis seperti permen payung hingga baju yang dipenuhi makanan di kantong-kantong kecilnya, Farah benar-benar wanita yang sangat mencintai anak-anak. Ia selalu memastikan kehadirannya membawa keceriaan, terutama bagi mereka yang kurang beruntung.

Namun, sore itu, begitu Farah tiba di panti asuhan, suasana terasa sepi. Tidak ada tawa riang atau suara kecil yang menyambutnya seperti biasanya. Salah satu pengurus panti kemudian memberitahu bahwa anak-anak sedang pergi berjalan-jalan ke taman hiburan bersama beberapa staf panti.

Farah tersenyum kecil, meski sedikit kecewa karena tak bisa bertemu dengan anak-anak yang biasanya begitu antusias menyambutnya. Ia meletakkan tas berisi hadiah yang sudah dipersiapkannya di meja depan, memastikan hadiah-hadiah itu nanti akan diterima oleh mereka. Meskipun tidak bisa bertemu kali ini, Farah tahu bahwa saat anak-anak kembali dan melihat hadiah yang ia bawa, mereka akan merasa senang.

Sebelum pergi, Farah berbicara sebentar dengan para pengurus, memastikan semuanya baik-baik saja di panti, lalu perlahan meninggalkan tempat itu. Meski tak bertemu dengan anak-anak hari ini, kunjungannya tetap memberikan kehangatan di hatinya, mengetahui bahwa mereka sedang bersenang-senang di luar.

Setelah menitipkan hadiah kepada pengasuh di panti, Farah melangkah ke mobil dengan langkah pelan. Saat duduk di kursi pengemudi, pikirannya mulai dipenuhi dengan renungan. Hari yang panjang dan melelahkan di rumah sakit benar-benar menguras energinya. “Bagaimana caranya mengembalikan semangatku ya?” batinnya bergumam, menimbang berbagai cara untuk menghilangkan rasa penat yang menggantung di tubuh dan pikirannya.

Lalu tiba-tiba, sebuah ide melintas. “Baiklah, kalau begitu aku akan tanding saja,” gumamnya dengan tekad. Karate, yang sudah menjadi bagian dari hidupnya, selalu berhasil mengembalikan semangatnya. Tanpa ragu, Farah mengarahkan mobilnya menuju tempat latihan karate milik Ega, seorang kenalannya yang dulunya adalah tamu konselingnya di rumah sakit, namun kini menjadi teman yang baik.

Sesampainya di dojo, Farah disambut oleh suara langkah kaki yang beradu dengan matras serta suasana kompetitif yang selalu membuatnya bersemangat. "Hai! Ega, gimana kabarmu?" sapa Farah dengan senyuman sambil melangkah masuk.

"Baik, Farah! Kamu mau tanding ya?" Ega membalas dengan semangat yang tak kalah, sudah hafal dengan kebiasaan Farah yang datang untuk melepas stres dengan bertanding.

"Iya nih, butuh sedikit pelepas lelah," sahut Farah dengan senyuman antusias.

"Aku punya lawan yang cocok buat kamu," kata Ega sambil menunjuk ke arah salah satu sudut dojo.

"Anak baru?" tanya Farah penasaran.

"Anak baru di sini, tapi aku sudah kenal lama. Dia seimbang denganmu, kamu pasti suka."

Farah tertawa kecil, menanggapi tantangan itu dengan senang hati. "Oke, aku pemanasan dulu. Kalau sudah selesai, aku langsung ke ruang tanding."

Farah kemudian mengganti bajunya dengan gi putih bersih yang sudah akrab di tubuhnya. Setelah itu, ia mulai pemanasan, melemaskan otot-otot yang tegang setelah seharian bekerja. Setelah sekitar 15 menit, Farah merasa siap. Dengan tubuh yang sudah lebih rileks, dia melangkah ke ruang tanding, siap menghadapi lawan baru yang sudah disiapkan oleh Ega. Energinya kembali membara, dan rasa lelah yang semula mendera perlahan-lahan sirna, digantikan oleh adrenalin dan semangat bertanding.

Betapa terkejutnya Farah ketika melihat siapa lawan tandingnya. Di tengah ruangan, berdiri pria aneh yang ditemuinya saat jam makan siang di rumah sakit. Pria itu menatapnya dengan senyum penuh arti, seakan mengingatkan pada pertemuan mereka sebelumnya.

"Ternyata pertemuan kedua kita bukan di rumah sakit," ucap pria itu dengan nada santai. "Sungguh takdir yang indah."

Farah hanya bisa tersenyum heran, tak menyangka pria yang sempat hampir ditabraknya kini berdiri sebagai lawan tandingnya. “Dunia ini memang kecil,” pikirnya. Sebelum sempat mengatakan apapun, Ega yang berdiri di antara mereka tersenyum lebar, seakan menikmati situasi yang tiba-tiba berubah menarik.

"Wah! Kalian sudah saling kenal ya?" ucap Ega, menatap keduanya bergantian.

Farah mengangguk pelan, “Kami bertemu di rumah sakit saat makan siang tadi,” jawabnya dengan nada datar, masih belum sepenuhnya memercayai kebetulan ini.

Pria itu hanya tersenyum, tampak lebih santai dari sebelumnya, sementara Farah mulai fokus. Pertandingan ini bukan lagi tentang adu fisik saja, tapi juga tentang menebak siapa pria ini sebenarnya. Mereka berdua bersiap di posisi masing-masing, membungkukkan badan sebagai tanda hormat sebelum bertanding.

Ega berdiri di tengah, mengambil posisi sebagai wasit. Dengan suara tegas, dia mulai menghitung mundur. "Tiga... dua... satu..."

Pertandingan pun dimulai. Farah dengan cepat melangkah maju, matanya fokus pada setiap gerakan pria di depannya. Pria itu tampak tenang, mengamati gerakan Farah dengan tatapan yang tajam, seolah sudah tahu apa yang akan dia lakukan. Adrenalin Farah mulai mengalir deras, dan setiap tendangan serta pukulan yang ia lemparkan kini bukan hanya soal teknik, tetapi juga rasa ingin tahu yang terus tumbuh di dalam dirinya.

Pertandingan berlangsung selama kurang lebih 15 menit, dan meskipun Farah bertarung dengan sekuat tenaga, pada akhirnya dia harus mengakui kekalahan. Nafasnya masih terengah-engah saat pria di depannya tersenyum penuh kemenangan.

“Karena aku yang menang, aku akan mentraktirmu makan malam,” ucap pria itu dengan nada yang ringan, seakan itu sudah menjadi keputusan akhir.

Farah tersenyum keheranan, sedikit tak percaya dengan sikap santai pria itu. “Orang ini benar-benar aneh,” pikirnya, tetapi dia tidak berkata apa-apa, hanya menggeleng pelan sebelum pergi merenggangkan otot-ototnya yang tegang setelah pertandingan.

Setelah semuanya selesai, Farah menuju ruang ganti untuk berganti pakaian. Namun, betapa terkejutnya dia saat keluar dan melihat pria itu menunggunya tepat di depan pintu ruang ganti. Ekspresi Farah langsung berubah dingin. Dia tidak suka diperlakukan seperti ini—seolah-olah pria itu tidak bisa menghormati ruang pribadinya.

Farah menatapnya dengan tajam, tanpa sepatah kata pun. Dengan dingin, dia melewati pria itu dan terus berjalan menuju mobilnya. Namun, pria itu ternyata tidak menyerah begitu saja, ia terus mengikuti Farah hingga ke parkiran.

Merasa sudah tak bisa menahan diri lagi, Farah berhenti dan menatap pria itu dengan penuh ketegasan. Mata mereka bertemu, dan untuk beberapa saat, keduanya diam, terjebak dalam keheningan yang canggung. Farah menarik napas panjang, mencoba menenangkan dirinya, lalu menghembuskannya perlahan.

“Ada keperluan apa sebenarnya?” tanya Farah dengan nada tenang namun tegas, mencoba mengatasi rasa kesal yang mulai muncul.

“Bukankah aku sudah mengatakan ingin mentraktirmu makan malam?” jawab pria itu, matanya tetap tenang namun penuh keyakinan.

Farah menghela napas lagi. Di satu sisi, dia merasa terganggu dengan cara pria ini bertindak, tapi di sisi lain, ada sesuatu yang membuatnya merasa bahwa dia harus memberinya kesempatan. Lagipula, Farah adalah tipe orang yang selalu memberikan kesempatan pada siapa pun, tanpa pandang bulu, tak peduli siapa orang itu.

Akhirnya, Farah tersenyum tipis dan menganggukkan kepalanya. “Baiklah, tapi kali ini aku yang memilih tempatnya,” ucap Farah, dengan sedikit kepercayaan kembali di hatinya.

Mereka berdua masuk ke dalam mobil. Suasana sedikit canggung, namun Farah memutuskan untuk memecah kebekuan. "Siapa namamu?" tanyanya sambil menyalakan mesin mobil.

Pria itu tersenyum tipis sebelum menjawab. "Farah, ya? Nama yang indah," ucapnya, seolah mengabaikan pertanyaan sementara. "Yang berarti 'ceria' dalam Bahasa Persia, sangat cocok denganmu."

Farah melirik ke arahnya, sedikit terkejut dengan pengetahuannya tentang makna namanya. "Terima kasih," jawabnya singkat, tapi dia segera kembali pada rasa ingin tahunya. "Dan kamu? Siapa namamu? Dokter di bidang apa tugasmu?" tanyanya dengan nada lebih serius, ingin tahu lebih banyak tentang pria yang tiba-tiba muncul dalam hidupnya hari ini.

Pria itu tersenyum lebih lebar, tampak menikmati setiap pertanyaan yang diajukan. "Namaku Adrian," jawabnya. "Aku seorang psikiater, baru saja bergabung di rumah sakit tempatmu bekerja. Mungkin itulah kenapa kita bertemu lagi... takdir, bukan?"

Farah hanya mengangguk pelan, mencerna informasi itu. "Jadi dia benar-benar psikiater baru di rumah sakit," pikirnya dalam hati, mengingat momen saat dia mendengar kabar tentang dokter baru. Meski ada sedikit ketegangan, Farah mulai merasa penasaran lebih jauh tentang Adrian, terutama tentang cara dan sikapnya yang terkesan misterius namun ramah.

Farah menatap Adrian, masih terkejut dengan informasi yang baru dia terima. "Namaku Iplan, dokter psikiater," kata Adrian, seakan menjelaskan kebingungannya yang sebelumnya.

Farah melanjutkan pertanyaannya, "Apakah benar ada dokter psikiater baru yang masuk?"

"Benar," jawab Adrian. "Namanya Ruel."

Hati Farah berdegup kencang mendengar nama itu. "Ruel," pikirnya dengan penuh harapan. "Itu adalah nama kakakku." Rasa bahagia menyelimuti dirinya, mengetahui bahwa mungkin, hanya mungkin, dia akhirnya akan bertemu dengan kakaknya lagi.

Setelah informasi itu, Farah melanjutkan perjalanan dengan hati yang lebih ringan, senyumnya tak bisa tersembunyi. Hujan tipis mulai turun, membasahi tubuhnya yang tampak tenang di bawah payung mobil. Dalam suasana senja yang damai, dia melanjutkan perjalanan dengan langkah perlahan.

Namun, tiba-tiba, dari ujung jalan yang gelap, terdengar teriakan kencang. "A… KU… PAS… TI… BI… SA…"

Suara itu menggema dengan jelas, membuat Farah tertegun dan merasa bingung. Dia berhenti sejenak, memeriksa sekeliling untuk mencari sumber suara tersebut. Suasana yang tadinya tenang mendadak terasa tegang. Farah berusaha mengumpulkan keberanian, dan perlahan, dia melangkah menuju arah suara, berusaha memahami apa yang sedang terjadi di ujung jalan yang misterius.

Farah melangkah dengan hati berdebar, mencampurkan rasa takut dan penasaran yang saling bertabrakan dalam dirinya. Langkahnya terasa berat, tetapi dorongan untuk mengetahui apa yang terjadi membuatnya terus maju.

Saat sampai di tempat asal suara, dia melihat seorang pria berdiri di tengah jalan, rambutnya berantakan, baju basah kuyup, dan sepatu kotor penuh lumpur. Pria itu tampak sangat tidak terawat, seolah baru saja mengalami sesuatu yang sangat melelahkan.

Ketika Farah muncul, pria itu segera menyadari kehadirannya. Mereka saling bertatap mata, dan pria itu memberikan senyuman yang ramah meski tampak kelelahan. Farah membalas senyuman tersebut dengan sedikit kebingungan, merasa aneh tetapi juga terhibur oleh sikap pria itu yang tidak tampak agresif.

Tanpa ragu, Farah duduk di jalan yang penuh lumpur, menunjukkan empati dan kepeduliannya. Ini adalah tindakan yang jarang dia lakukan, tetapi dalam situasi ini, rasa kemanusiaan dan keinginannya untuk membantu lebih kuat daripada rasa takutnya. Pria itu tampak semakin bingung melihat tindakan Farah, kepalanya sedikit miring seolah mencoba memahami alasan di balik tindakan tersebut.

Farah duduk di sana, merasa lumpur membasahi pakaiannya, tetapi tetap dengan sikap tenang. “Apa yang membuatmu berteriak seperti itu?” pikirnya dalam hati, sambil menunggu pria itu untuk menjelaskan situasinya.

Farah menatap pria itu dengan penuh rasa empati. “Apakah Anda ingin duduk juga? Saya lelah karena sudah berjalan jauh, jadi saya butuh istirahat,” ucap Farah dengan nada lembut.

Pria itu tertawa dengan lepas, seolah semua beban pikirannya lenyap begitu saja. Suara tawanya menciptakan suasana yang lebih santai, seiring dengan kedekatan yang semakin terasa.

Tanpa ragu, pria itu duduk di samping Farah, merasa sedikit lebih tenang. “Bolehkah aku bersandar di bahumu?” tanyanya dengan nada lembut dan penuh harapan. Farah, tanpa curiga sedikit pun, menganggukkan kepala.

Pria itu dengan senyum cerianya segera bersandar di bahu Farah, sementara Farah membalas dengan menyandarkan kepalanya ke arah pria itu. Mereka duduk di jalanan yang kotor dan basah, namun seolah-olah dunia di sekitar mereka berhenti berputar.

Di dalam keheningan malam, di tengah rintikan hujan, mereka hanya merasakan kehadiran masing-masing. Tidak ada kata-kata yang perlu diucapkan, hanya kehadiran yang saling memberi dukungan dan kenyamanan. Momen itu menjadi penghibur yang sederhana dan tulus, di mana Farah merasa tenang, melupakan seluruh kelelahan dan kecemasan yang melingkupinya.

Episode 2

Jalan di pinggir bukit itu terasa sangat sepi, seakan menjadi tempat yang terlalu sunyi untuk sebuah jalan besar. Hujan yang turun perlahan-lahan membuat udara semakin dingin, dan tangan Farah mulai gemetar karena kedinginan.

Pria yang duduk di samping Farah segera menyadari keadaan tersebut. Dengan lembut, dia meraih tangan Farah yang berada di sisi lain dan mulai menggosok tangan mereka secara bersamaan, berusaha untuk menghangatkannya.

“Apakah itu membaik?” tanya pria itu, suaranya penuh perhatian.

Farah merasakan kehangatan dari tangan pria itu dan mengangguk perlahan. “Ya, terima kasih,” jawabnya dengan nada lembut, merasa lebih nyaman dan hangat.

Mereka tetap duduk di sana dalam keheningan, berbagi kehangatan di tengah dinginnya malam. Suasana yang tadinya tampak menakutkan kini terasa lebih damai, berkat perhatian dan kebaikan pria itu. Farah merasakan rasa syukur dan kedekatan yang mendalam, menjadikan momen ini sebagai pengalaman yang menghangatkan hati.

Tak jauh dari tempat mereka berdiri, Farah dan pria itu melihat sebuah tempat pengisian minyak. Dengan semangat, mereka bergegas ke sana. Pria itu bertanya kepada penjaga tempat tersebut apakah dia bisa meminjam pengisi daya ponsel, dan penjaga itu dengan ramah mengizinkannya, sambil menyarankan agar mereka membersihkan diri dan beristirahat sejenak.

Setelah mendapatkan izin, Farah dan pria itu membersihkan tubuh mereka dari lumpur dan kotoran yang menempel. Mereka merasa lebih nyaman setelah membersihkan diri dan beristirahat sebentar.

Farah akhirnya memutuskan untuk menanyakan sesuatu yang penting. "Nama Anda siapa?" tanyanya dengan nada penasaran saat mereka sedang bersiap untuk melanjutkan perjalanan atau sekadar bersantai sejenak.

“Tidak perlu terlalu formal, namaku Ruel,” jawab pria itu dengan santai. Setelah memperkenalkan diri, Ruel pergi untuk meminjam selimut dari penjaga tempat pengisian minyak.

Sementara itu, ponsel Farah berbunyi. Ternyata, itu adalah panggilan dari ibunya. Farah melirik layar ponselnya dan memutuskan untuk tidak menjawabnya saat ini.

Ruel kembali dan melihat Farah sedang menatap ponselnya. "Kenapa tidak diangkat?" tanyanya dengan nada penasaran.

Farah hanya tersenyum, tidak memberikan jawaban langsung. Ruel merasakan ada sesuatu yang tidak diungkapkan, namun dia memilih untuk tidak memaksakan diri.

“Aku akan pergi sekarang. Mungkin kita tidak akan bertemu lagi,” kata Ruel dengan nada lembut. “Terima kasih untuk hari ini,” tambahnya sebelum dia mulai berjalan pergi.

Farah merasa sedikit sedih karena perpisahan ini, namun dia menghargai momen yang telah mereka habiskan bersama. Dia mengangguk, memberi salam perpisahan, dan melihat Ruel menjauh sambil merasakan rasa syukur dan kehangatan dari pertemuan singkat mereka.

Ruel kembali dengan selimut yang berhasil dipinjamnya dari penjaga. Dia membungkus diri dengan selimut itu dan mulai berjalan kaki meninggalkan tempat pengisian minyak. Langkah demi langkah, Ruel semakin menjauh, dan Farah hanya bisa berdiri di tempat, menatap kepergiannya hingga bayangannya menghilang dari pandangan.

Setelah beberapa saat, Farah akhirnya mengangkat telepon dari ibunya. “Bunda, tolong jemput aku di tempat pengisian minyak di jalan besar pinggir bukit,” ucap Farah dengan nada yang penuh harapan.

Saat telepon ditutup, Farah memikirkan pertemuan yang baru saja terjadi. Ini adalah awal dari sebuah kisah yang tak terduga, dan Farah merasa momen tersebut akan selalu dikenang sebagai pengalaman yang spesial.

Kembali ke masa kini, Farah dan Iplan berhenti di depan sebuah tempat makan sederhana. Iplan segera turun dari mobil dan mengajak Farah masuk ke dalam restoran kecil itu.

“Aku paling suka ash reshtehnya di sini,” ucap Iplan dengan antusias, sambil memandu Farah ke meja mereka.

Mereka memesan ash reshteh, sup khas Iran yang terkenal, bersama dengan air mineral sebagai minumannya. Farah menikmati makanannya dengan lahap, merasa kagum dengan rasa yang baru dan menyegarkan itu.

Iplan, yang juga tampak menikmati makanannya, bertanya, “Bagaimana, enakkan?” Farah menganggukkan kepalanya, tersenyum lebar, dan mengakui bahwa rasanya memang sangat lezat.

Setelah selesai makan, Iplan membayar tagihan dan segera beranjak pergi tanpa berpamitan lebih dulu. Farah merasa bingung dan sedikit terabaikan, terutama setelah Iplan menghilang dari pandangannya tanpa memberi penjelasan. Dia menunggu lebih dari setengah jam, memeriksa jam tangannya dan mengamati sekeliling, berharap Iplan akan kembali. Namun, kehadirannya tidak juga tampak.

Farah merasa bingung dan sedikit marah, berpikir bahwa dia mungkin baru saja ditipu oleh pria yang baru saja dia temui. Dengan perasaan campur aduk, dia berdiri dan menuju kasir untuk membayar makanan mereka, berharap bisa memperbaiki situasi.

Namun, saat dia sampai di kasir, dia mendapati bahwa Iplan sudah membayar semua tagihan mereka. Melihat itu, rasa marah dan kecurigaannya mulai mereda. Farah merasa sedikit malu karena sebelumnya telah berpikir negatif tentang Iplan.

“Maaf, aku sudah berpikir yang tidak baik tentangmu, Iplan,” gumam Farah, sambil tersenyum kepada kasir dan keluar dari restoran dengan perasaan yang campur aduk.

Dia merasa lega mengetahui bahwa Iplan masih memiliki niat baik, dan pengalaman tersebut menjadi pelajaran tentang pentingnya memberi kesempatan pada orang lain dan tidak cepat menilai seseorang hanya berdasarkan kesan pertama.

Setelah pulang dari restoran, Farah masuk ke mobilnya dan kembali ke rumah. Sesampainya di rumah, dia mengetuk pintu dengan lembut.

Begitu pintu terbuka, ibunya muncul dengan ekspresi khawatir dan sedikit marah. "Dari mana saja kamu?" tanyanya, meskipun dia sudah tahu siapa yang datang.

Farah tersenyum dan menjawab, "Masih ingat punya rumah yah! Bunda kira udah lupa."

"Ini masih jam sembilan," sahut Farah, mencoba menjelaskan sambil merasa sedikit geli dengan reaksi ibunya.

Ibunya memandang Farah dengan campuran rasa khawatir dan relief, akhirnya mendukung Farah masuk ke rumah sambil membahas apa yang terjadi hari itu.

“Apakah kau bertemu orang aneh lagi? Kalau saja kau mau berusaha lebih keras untuk masuk kedokteran, kau tak akan bertemu orang aneh,” ucap ibunya dengan nada yang campur aduk, mencerminkan kekhawatiran dan kekecewaan.

Farah hanya tersenyum lelah dan melanjutkan langkahnya tanpa menanggapi, menuju kamarnya. Setelah tiba di kamar, dia segera membersihkan tubuhnya dari kotoran dan kelelahan hari itu.

Kemudian, Farah duduk di meja kerjanya, membuka laptop, dan mulai mempersiapkan pekerjaan untuk besok. Meskipun lelah, dia tetap fokus dan berusaha mempersiapkan segala sesuatunya dengan baik, membiarkan pikiran tentang hari itu mengalir perlahan sambil menyelesaikan tugasnya.

Malam semakin larut, dan saat Farah melihat jam dinding, dia menyadari bahwa sudah pukul 11:00 malam. Dengan sedikit rasa lelah, dia mengucapkan terima kasih kepada dirinya sendiri atas kerja keras hari itu, sambil mendekap tubuhnya dalam keheningan malam.

Keesokan paginya, saat matahari mulai muncul, Farah yang sudah rapi bersiap untuk pergi bekerja. Dia menuju ruang makan dan melihat ibunya sedang sibuk di dapur.

“Ayah, tidak pulang ke rumah lagi?” tanya Farah, penasaran tentang keberadaan ayahnya.

Ibunya mengalihkan perhatian dari pekerjaannya dan menjawab, “Belum, Ayah masih ada urusan di luar kota. Dia akan kembali dalam beberapa hari.”

Farah mengangguk, memahami situasi, dan melanjutkan persiapannya untuk memulai hari yang baru.

“Eh, kenapa aku menanyakan hal yang sudah aku ketahui jawabannya,” keluh Farah kepada dirinya sendiri.

Bibi penjaga rumah yang sedang berada di dapur bertanya, “Neng, mau makan apa?”

“Aku akan makan buah saja dengan minum susu hangat. Bunda sudah pergi?” tanya Farah, sambil mengambil tempat di meja makan.

“Iya, Neng. Nyonya sudah pergi sebelum fajar,” jawab Bibi.

Farah mengangguk dan mulai menikmati buah yang ada di hadapannya, sambil merenung. “Lagi-lagi aku menanyakan pertanyaan yang sudah bisa aku jawab sendiri,” gumamnya dalam hati, merasa sedikit geli dengan kebiasaannya yang seperti itu.

Dia melanjutkan sarapannya dengan tenang, berusaha memulai hari dengan pikiran yang lebih fokus dan segar.

Dididik untuk selalu. menjadi yang nomor satu oleh orang tuanya, hidup dalam

tuntutan membuat Farah

tidak bisa menerima kegagalan. Meski pada saat itu

orang tuanya tidak marah. namun, itu tidak mengubah apapun untuk diri.Farah memandang Iplan dengan senyuman penuh arti, merasa sedikit gelisah dan bingung. Dalam hati, dia bergumam, “Kau memang bencana,” merujuk pada kebingungannya dengan situasi ini.

“Hari ini aku ingin nonton di bioskop, sudah lama aku tidak kesana,” ucap Iplan dengan antusias, sambil menarik tangan Farah ke dalam lift.

Farah merasa terkejut dan bingung dengan tingkah laku Iplan. Mereka turun hingga ke lantai dasar, tetapi hanya Iplan yang keluar dari lift. Farah, merasa tidak nyaman dengan situasi tersebut, menarik paksa genggaman tangan Iplan dari tangannya.

“Kenapa kamu bertindak seperti ini?” Farah bertanya dengan nada heran, sementara dia berdiri di dalam lift, menunggu penjelasan dari Iplan.

Sudah sebulan sejak pertemuan tak terduga antara Farah dan Ruel. “Apakah memang tidak ada kemungkinan aku akan bertemu dengan Ruel lagi?” gumam Farah, meresapi kerinduan dan rasa kecewa yang mengendap di dalam hatinya.

Farah merasa putus asa setelah gagal lolos seleksi jurusan kedokteran dua kali berturut-turut. Seleksi pertama diumumkan sebelum pertemuan dengan Ruel, dan kegagalan itu telah membuatnya sangat stres. Kini, kegagalan kedua hanya menambah beban emosional yang sudah dia rasakan.

Dengan perasaan campur aduk, Farah merenung di kamarnya, mempertanyakan masa depannya dan berharap agar dia dapat menemukan jalan menuju impiannya sambil berharap bahwa nasib baik akan membawanya bertemu dengan Ruel lagi.

Farah dididik untuk selalu menjadi yang nomor satu oleh orang tuanya. Tuntutan yang tinggi dalam hidupnya membuatnya sangat sulit menerima kegagalan. Meskipun orang tuanya tidak marah saat dia gagal, tekanan internal dan ekspektasi yang dia rasakan tidak berubah. Kegagalan dalam seleksi jurusan kedokteran bukan hanya sebuah kemunduran bagi Farah, tetapi juga cerminan dari beban emosional yang dia tanggung akibat tuntutan tinggi yang diterimanya sepanjang hidup.

Ini menciptakan sebuah perjuangan internal yang mendalam, di mana Farah merasa tertekan untuk memenuhi standar yang telah ditetapkan, dan setiap kegagalan terasa seperti cerminan dari ketidakmampuannya untuk memenuhi ekspektasi tersebut.

Episode 3

Di saat senja perlahan menyelimuti langit, disertai rintikan hujan, Farah merasa hidupnya tidak lagi memiliki arah atau tujuan. Dalam kesepian yang mendalam, dia memutuskan untuk mengakhiri hidupnya.

Farah berjalan sendirian melewati keramaian kota yang tampaknya tidak menyadarinya. Langkah demi langkah, dia melanjutkan perjalanan menuju bukit, tempat di mana dia berniat untuk mengakhiri penderitaannya.

Saat dia mendekati bukit, perjalanan yang panjang dan melelahkan tidak terasa membebani langkahnya. Setiap langkahnya semakin mendekat ke tempat yang telah dia pilih sebagai akhir dari segala kesulitan dan kesedihan yang dia rasakan.

Saat Farah mengikuti Ruel ke tangga darurat, dia mendengar rintihan tangisan yang memilukan. Ketika Farah mencari sumber suara, dia terkejut menemukan bahwa suara itu berasal dari Ruel. Tanpa sadar, langkahnya menjadi goyang, dan Farah terjatuh dari tangga.

Suara terjatuhnya Farah membuat Ruel sadar akan kehadirannya. Dengan cepat, Ruel menghentikan tangisannya, mengusap air matanya, dan berlari menghampiri Farah. Dengan cemas, Ruel membantu Farah berdiri dan memeriksa apakah dia terluka. Dalam momen itu, keduanya merasakan kehadiran dan dukungan satu sama lain, dengan rasa sakit dan harapan yang saling berbagi.

Farah tahu bahwa orang tuanya sangat sibuk di rumah sakit—Ayahnya adalah dokter spesialis bedah dan Ibunya adalah dokter spesialis penyakit dalam. Setelah menitipkan surat kepada perawat yang sedang bertugas, Farah berencana untuk pulang. Namun, saat akan keluar, dia melihat Ruel sedang menuju tangga darurat.

Tanpa pikir panjang, Farah memutuskan untuk mengikuti Ruel. Dengan hati berdebar, dia melangkah perlahan menuju tangga darurat, berusaha menjaga jarak agar tidak membuat kehadirannya terasa mencolok. Setiap langkahnya penuh rasa penasaran dan harapan bahwa dia bisa berbicara dengan Ruel, mungkin bahkan mengungkapkan rasa terima kasihnya atas inspirasi yang telah diberikan.

Saat Farah merasakan kehangatan tangan Ruel yang menggenggam tangannya, dia menyadari bahwa dia hanya perlu menenangkan diri sejenak sebelum bangkit kembali. Kehangatan dan dukungan dari Ruel membantunya melihat bahwa kegagalan bukanlah akhir dari segalanya, melainkan sebuah kesempatan untuk memperbaiki diri dan mencoba lagi.

Dengan tekad baru, Farah berkomitmen untuk memulai semuanya dari awal. Pada seleksi kedua, dia menghadapi tantangan dengan lebih tenang dan percaya diri, menyadari bahwa kegagalan bukanlah penghalang, melainkan bagian dari perjalanan hidupnya.

Farah berharap bisa bertemu dengan Ruel lagi dan merasakan kehangatan itu sekali lagi. Dia pergi ke rumah sakit tempat orang tuanya bekerja, memutuskan untuk menyerahkan hasil seleksi kepada mereka sebagai langkah awal dalam perjalanan barunya. Dengan perasaan campur aduk antara harapan dan keteguhan, Farah melangkah menuju ruang kerja orang tuanya, siap untuk menghadapi babak baru dalam hidupnya.

Saat Farah mendekati puncak bukit, teriakan yang mengejutkan memecah kesunyian malam. Suara itu berasal dari Ruel, yang tampaknya sedang berada di sekitar area tersebut. Teriakan itu penuh dengan semangat dan tekad, dan Farah merasa tergetar oleh energi yang disalurkan oleh suara tersebut.

Ruel, yang pernah Farah temui dalam keadaan yang penuh keputusasaan, tampaknya menunjukkan sikap yang sangat berbeda kali ini. Dia menghadapi kegagalan dengan keberanian dan semangat untuk bangkit kembali, bukannya menyerah. Melihat Ruel mampu menghadapi kegagalan dengan cara seperti itu membuat Farah merasa bingung.

Dia bertanya-tanya bagaimana Ruel bisa berbuat demikian, sedangkan dia sendiri merasa tersandung dan terpuruk oleh kegagalannya. Keputusan Ruel untuk terus berjuang, bukannya menyerah seperti yang dia lakukan, menciptakan perasaan yang membingungkan dalam diri Farah.

Ruel telah memberikan Farah perspektif baru tentang kegagalan—bahwa itu bukan akhir dari segalanya, melainkan sebuah kesempatan untuk mencoba lagi dan memperbaiki diri. Dengan pikiran yang penuh dengan kebingungan dan refleksi, Farah mulai mempertimbangkan kembali keputusan akhir yang telah dia buat.

Saat Farah merasakan kehangatan tangan Ruel yang menggenggam tangannya, dia menyadari bahwa dia hanya perlu menenangkan diri sejenak sebelum bangkit kembali. Kehangatan dan dukungan dari Ruel membantunya melihat bahwa kegagalan bukanlah akhir dari segalanya, melainkan sebuah kesempatan untuk memperbaiki diri dan mencoba lagi.

Dengan tekad baru, Farah berkomitmen untuk memulai semuanya dari awal. Pada seleksi kedua, dia menghadapi tantangan dengan lebih tenang dan percaya diri, menyadari bahwa kegagalan bukanlah penghalang, melainkan bagian dari perjalanan hidupnya.

Farah berharap bisa bertemu dengan Ruel lagi dan merasakan kehangatan itu sekali lagi. Dia pergi ke rumah sakit tempat orang tuanya bekerja, memutuskan untuk menyerahkan hasil seleksi kepada mereka sebagai langkah awal dalam perjalanan barunya. Dengan perasaan campur aduk antara harapan dan keteguhan, Farah melangkah menuju ruang kerja orang tuanya, siap untuk menghadapi babak baru dalam hidupnya.

Farah tahu bahwa orang tuanya sangat sibuk di rumah sakit—Ayahnya adalah dokter spesialis bedah dan Ibunya adalah dokter spesialis penyakit dalam. Setelah menitipkan surat kepada perawat yang sedang bertugas, Farah berencana untuk pulang. Namun, saat akan keluar, dia melihat Ruel sedang menuju tangga darurat.

Tanpa pikir panjang, Farah memutuskan untuk mengikuti Ruel. Dengan hati berdebar, dia melangkah perlahan menuju tangga darurat, berusaha menjaga jarak agar tidak membuat kehadirannya terasa mencolok. Setiap langkahnya penuh rasa penasaran dan harapan bahwa dia bisa berbicara dengan Ruel, mungkin bahkan mengungkapkan rasa terima kasihnya atas inspirasi yang telah diberikan.

Saat Farah mengikuti Ruel ke tangga darurat, dia mendengar rintihan tangisan yang memilukan. Ketika Farah mencari sumber suara, dia terkejut menemukan bahwa suara itu berasal dari Ruel. Tanpa sadar, langkahnya menjadi goyang, dan Farah terjatuh dari tangga.

Suara terjatuhnya Farah membuat Ruel sadar akan kehadirannya. Dengan cepat, Ruel menghentikan tangisannya, mengusap air matanya, dan berlari menghampiri Farah. Dengan cemas, Ruel membantu Farah berdiri dan memeriksa apakah dia terluka. Dalam momen itu, keduanya merasakan kehadiran dan dukungan satu sama lain, dengan rasa sakit dan harapan yang saling berbagi.

Ruel mengulurkan tangannya dengan cemas dan bertanya, "Kamu tidak apa-apa?" Farah tersenyum, merasakan kehangatan dari tangan Ruel yang penuh perhatian. "Iya, aku tidak apa-apa," jawab Farah sambil meraih dan menggenggam tangan Ruel dengan lembut.

Farah memandang Ruel dengan penuh rasa ingin tahu dan bertanya, "Kamu dokter muda, ya?" Ruel menganggukkan kepala, mengonfirmasi statusnya sebagai dokter muda. Dalam kehangatan genggaman tangan mereka, Farah merasa seolah ada jembatan yang menghubungkan kembali harapan dan kekuatan dalam dirinya.

Farah menatap Ruel dengan serius dan bertanya, “Berarti kamu lebih tua dari aku. Bolehkah aku memanggilmu kakak?” Ruel tersenyum dan menjawab, “Silahkan, panggil lah sesukamu.”

Farah melanjutkan, “Kakak, aku sebenarnya juga ingin menjadi dokter sepertimu, tapi aku merasa tidak cocok dan tidak sanggup.” Suara Farah bergetar sedikit, mencerminkan keraguan dan kesulitan yang dia rasakan.

Farah melanjutkan dengan nada yang lebih lembut, “Aku berpikir itu bukan keahlianku. Sudah dua kali aku gagal seleksi jurusan kedokteran.” Dia berharap dengan berbicara tentang kegagalannya, Ruel bisa melupakan masalah yang membuatnya menangis, walaupun hanya untuk sementara.

Ruel mengangguk dengan bijaksana dan berkata, “Menurutku, jika kamu merasa tidak cocok dan malah menjadi beban untuk diri sendiri, sebaiknya kamu ambil jurusan yang sesuai dengan minatmu. Agar kamu bisa menikmati setiap jalan yang akan dilewati.” Saran Ruel tersebut terasa menenangkan, seolah memberikan Farah izin untuk mengeksplorasi pilihan yang lebih cocok untuk dirinya.

Ruel melanjutkan dengan penuh keyakinan, “Semua jalan yang kamu pilih pasti tidak akan selalu mulus. Tapi jika jalan itu memang sesuai dengan yang kamu inginkan, saat ada yang menghambat bahkan menghalangi jalanmu, kamu tidak akan menyesali atau menyerah pada pilihanmu sendiri. Kamu malah menjadikan semua itu pengalaman, yang selalu kamu jadikan pelajaran di kemudian hari.”

Kata-kata Ruel terasa seperti pelukan hangat yang membangkitkan semangat Farah, memberinya kekuatan baru untuk terus berjuang meskipun menghadapi rintangan.

Ruel benar-benar telah mengubah pola pikir Farah untuk kedua kalinya. Farah menghela napas panjang, merasa lebih ringan setelah berbicara dengan Ruel. “Aku ingin mendengarkan masalah orang lain, membantu mereka menentukan pilihan terbaik versi diri mereka masing-masing,” ucap Farah dengan penuh tekad.

Ucapan Farah mencerminkan perubahan dalam dirinya, bahwa dia kini lebih fokus pada membantu orang lain dan menemukan kepuasan dalam mendukung mereka daripada sekadar mengejar cita-cita yang mungkin tidak cocok dengan dirinya.

Ruel mengangguk dan berkata, “Aku masih ada urusan,” sebelum berjalan keluar dari tangga darurat.

“Namaku Farah, jangan sampai lupa, ya, Kakak!” seru Farah, berharap agar nama dan kenangan mereka tetap terjaga dalam ingatan Ruel.

Sejak saat itu, Farah tidak pernah bertemu lagi dengan Ruel. Berita yang dia terima dari perawat di rumah sakit mengatakan bahwa Ruel melanjutkan studinya ke luar negeri untuk mengambil spesialis psikiatri. Meskipun mereka terpisah oleh jarak dan waktu, Farah selalu berharap bisa bertemu lagi dengan Ruel, terinspirasi oleh pertemuan singkat yang telah mengubah hidupnya.

KEMBALI KE MASA KINI

Farah menghela napas panjang dan berkata dengan nada lelah, “Sedang apa kamu di sini? Bukankah aku sudah menyuruhmu untuk mencari orang lain saja yang ingin menemanimu ke bioskop?”

Iplan tidak menghiraukannya dan langsung masuk ke mobil Farah. Farah yang sudah lelah dengan sikap semena-mena Iplan pun membiarkannya dan mengikuti permintaannya. Dia tahu bahwa Iplan kesepian, tapi Farah merasa ada cara yang lebih baik untuk mengatasi perasaan itu daripada memaksakan diri pada orang lain.

Mereka berdua pergi ke bioskop, dan saat sampai di sana, Farah berusaha membeli tiket sambil bertanya kepada Iplan film apa yang ingin ditonton. Namun, Iplan sudah mengeluarkan dua tiket dari sakunya. Farah hanya bisa menghela napas mengetahui hal itu, merasa terpaksa mengikuti keputusan Iplan.

“Jika begitu, aku akan membeli minuman. Kamu mau aku belikan apa?” tanya Farah.

Iplan hanya menggelengkan kepala, tidak ingin menambah beban. Farah akhirnya membeli air mineral dan mereka segera masuk ke dalam bioskop karena filmnya akan segera dimulai.

Setelah hampir dua jam menonton film, Farah dan Iplan keluar dari bioskop dan menuju parkiran mobil. Iplan tiba-tiba bertanya, “Apakah kamu dan aku bisa menjadi sahabat seperti SpongeBob dan Patrick di film tadi?”

Farah menjawab singkat, “Bisa.”

Iplan kemudian bertanya dengan suara pelan, “Kalau lebih...”

Farah kebingungan dan memiringkan kepalanya, tidak mengerti maksud Iplan. Namun, Iplan segera mengubah topik, “Lupakanlah!” lalu berlari menjauh sambil melambaikan tangan.

Farah terkejut dan hanya bisa mengangkat alisnya, sebelum akhirnya masuk ke dalam mobil dan pulang setelah melihat Iplan pergi begitu saja.

Setelah hampir dua jam menonton film, Farah dan Iplan keluar dari bioskop. Di parkiran mobil, Iplan bertanya, “Apakah kamu dan aku bisa menjadi sahabat seperti SpongeBob dan Patrick di film tadi?”

“Bisa,” jawab Farah.

Kemudian Iplan bertanya dengan suara pelan, “Kalau lebih...”

Farah bingung dan hanya memiringkan kepalanya, tidak mengerti maksud Iplan. “Lupakanlah!” ucap Iplan dengan cepat. Farah masih terkejut dan mengangkat alisnya melihat Iplan yang berlari menjauh sambil melambaikan tangan.

Farah hanya bisa melihat Iplan pergi dan segera masuk ke dalam mobilnya, merasakan campur aduk antara kebingungan dan keheranan.

“Nenek mau kamu pergi ke acara perayaan tahunan yang diadakan di komunitas tetangga. Itu adalah acara yang sangat penting bagi nenek dan biasanya dihadiri oleh banyak orang,” ucap nenek dengan senyum penuh arti.

Farah terlihat sedikit ragu, tetapi dia menyadari betapa pentingnya acara itu bagi neneknya. “Baiklah, nenek. Aku akan pergi ke acara itu,” jawab Farah, berusaha menenangkan diri dan menghibur neneknya.

Saat Farah pulang, pikirannya masih terjebak pada permintaan nenek. Meski dia sudah berjanji untuk bertemu dengan calon yang nenek pilihkan, dia merasa campur aduk antara keengganan dan rasa ingin tahu. Dalam perjalanan pulang, Farah mencoba untuk fokus pada kegiatan sehari-harinya, tetapi bayangan pertemuan yang akan datang terus menghantuinya.

Farah berhati-hati saat mendekati lokasi ledakan, memastikan dirinya tetap aman dari sisa-sisa api dan puing-puing yang mungkin masih panas. Dia mencari petunjuk mengenai kemungkinan adanya korban di sekitar area tersebut. Dengan mobil yang terbakar habis, Farah sadar bahwa upayanya mungkin tidak membuahkan hasil, tetapi rasa kemanusiaan mendorongnya untuk memastikan tidak ada yang terluka atau terjebak di dalamnya.

Sambil terus mencari, dia menghubungi layanan darurat untuk melaporkan insiden tersebut dan memberikan informasi yang diperlukan. Selama menunggu bantuan, Farah tetap waspada dan terus mencari di sekitar lokasi untuk memastikan tidak ada yang membutuhkan pertolongan.

Farah melajukan mobilnya dengan hati-hati menuju lokasi ledakan, menghindari puing-puing yang berserakan. Dia memeriksa sekitar area dengan cermat, berharap menemukan tanda-tanda seseorang yang mungkin terjebak atau membutuhkan bantuan.

Dia menghubungi layanan darurat untuk melaporkan insiden tersebut dan memberi tahu mereka tentang ledakan dan kebakaran. Sambil menunggu bantuan tiba, Farah memastikan untuk menjaga jarak dari api dan puing-puing yang mungkin masih panas.

Dalam kegelapan malam dan asap tebal, Farah berusaha mencari di area sekeliling untuk memastikan tidak ada korban yang terabaikan. Keberanian dan rasa kemanusiaan mendorongnya untuk terus mencari dan membantu sesuai kemampuannya.

Farah kembali ke mobilnya, merasa lega bahwa mobil yang terbakar kosong, namun kekhawatiran tetap membayangi pikirannya. Dia memeriksa area sekitar dengan seksama, memastikan bahwa tidak ada korban lain yang mungkin terjatuh di luar pandangan.

Ketika layanan darurat akhirnya tiba, Farah memberikan informasi yang dia miliki dan menjelaskan situasinya. Petugas kemudian melakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk memastikan tidak ada yang terluka atau terjebak di sekitar lokasi.

Setelah memastikan semuanya aman, Farah melanjutkan perjalanannya pulang dengan hati yang masih diliputi kekhawatiran. Dia merasa lega karena bisa membantu, namun tetap berdoa agar tidak ada orang yang terlibat dalam kejadian tersebut.

Dalam gelap malam yang diselimuti hujan, suara rintihan minta tolong mengisi udara dingin, menggema di sepanjang jalan besar yang sepi. Farah, dalam kecemasan dan kebingungan, berusaha mencari sumber suara itu. Dengan kecepatan dan ketegangan yang semakin meningkat, dia melihat kilatan cahaya dari api yang berkobar dari mobil yang baru saja meledak. Namun, perhatian Farah segera tertuju pada sesuatu yang lebih mendesak.

Di pinggir jalan, terhalang oleh sisa-sisa puing, ada sosok pria yang tergantung di pembatas jalan, hanya berpegangan pada sehelai baju yang tersangkut. Kegelapan malam semakin membuat situasi ini terasa menakutkan. Hujan yang turun deras menambah kesulitan, membuat permukaan jalan menjadi licin dan tidak stabil.

Farah merasa jantungnya berdegup kencang. Dia mengerahkan seluruh tenaga dan tekadnya, melawan rasa takut dan kedinginan, menuju pria yang terjebak itu. Dengan sekuat tenaga, Farah mulai menarik baju yang tersangkut, berusaha untuk membebaskan pria itu dari cengkeraman pembatas jalan yang mengancam keselamatannya. Tangannya terasa dingin dan basah, tetapi dia tidak berhenti.

Setelah beberapa saat yang terasa seperti berjam-jam, Farah akhirnya berhasil mengangkat pria itu ke atas dengan susah payah. Pria itu, dalam kondisi lemah dan penuh kesakitan, tidak mampu membantu dirinya sendiri. Farah segera meraih tangan pria itu, dengan hati-hati menghindari luka-luka yang sudah mulai mengeluarkan darah. Farah tahu waktu sangat berharga; setiap detik bisa berarti perbedaan antara hidup dan mati.

Dalam cahaya redup dari lampu jalan, wajah Farah tampak penuh tekad dan kepedihan, sementara hujan terus menetes tanpa henti, seolah menjadi saksi bisu dari upaya heroiknya. Dengan tangan yang bergetar tetapi pasti, Farah berusaha menenangkan dirinya dan pria itu, berharap bantuan segera datang sebelum terlambat.

Farah dengan hati-hati menarik baju yang tersangkut di pembatas jalan dan meraih tangan pria tersebut. Dengan segenap tenaga, dia berhasil mengangkat pria itu ke atas, memastikan agar dia bisa kembali ke posisi yang aman.

“Terima kasih, aku hampir tidak bisa bergerak,” kata pria itu dengan napas terengah-engah.

“Tidak apa-apa, kamu baik-baik saja?” tanya Farah, memastikan keadaan pria itu.

Pria itu mengangguk, “Ya, tapi aku rasa aku mengalami beberapa luka lecet. Aku berterima kasih atas bantuanmu.”

Farah mengeluarkan ponselnya dan segera memanggil layanan darurat untuk meminta bantuan medis. Sambil menunggu, Farah memberikan beberapa pertolongan pertama sederhana kepada pria itu, memastikan dia merasa lebih nyaman dan aman hingga bantuan tiba.

Farah memutuskan bahwa waktu sangat penting dan tidak bisa menunggu ambulan. Dia segera menghubungi Iplan dan meminta bantuan untuk membawa pria itu ke rumah sakit. Iplan, dengan cepat, membantu Farah memindahkan pria itu ke kursi belakang mobil.

Sambil mengemudikan mobil ke rumah sakit, Farah terus memantau kondisi pria itu. Sesampainya di rumah sakit, mereka segera membawanya ke ruang gawat darurat.

“Cepat, ini kasus darurat!” seru Farah kepada petugas medis di ruang gawat darurat.

Petugas medis segera mengambil alih, dan Farah serta Iplan menunggu di luar sambil memastikan pria itu mendapatkan perawatan yang dibutuhkan. Farah merasa lega setelah mengetahui pria itu akhirnya mendapatkan pertolongan yang diperlukan.

Farah segera bergegas ke bagasi mobilnya dan mengambil baju cadangan yang dia miliki. Dengan cepat, dia membalut luka di tangan pria itu untuk menghentikan pendarahan. Sambil bekerja dengan cekatan, dia terus berbicara kepada Iplan agar tetap tenang dan membantu dengan segala yang diperlukan.

Setelah luka pria itu dibalut dengan cukup baik, Farah dan Iplan kembali ke rumah sakit. Farah menjelaskan situasinya kepada petugas medis dengan jelas, memastikan bahwa semua informasi penting sudah disampaikan.

Petugas medis, yang sangat berpengalaman, mulai menangani pria itu dengan cepat dan profesional. Farah merasa cemas namun lega karena pria itu sudah berada di tangan yang tepat.

Sementara itu, Iplan melihat Farah dengan penuh perhatian, jelas terkesan dengan keberanian dan kepedulian yang ditunjukkan Farah. Farah, meskipun lelah dan khawatir, tetap berusaha menjaga ketenangannya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!