NovelToon NovelToon

Kembalinya Sang Dewa Kegelapan

Bab 0

Terdengar suara teriakan dan dentuman besi yang dihantamkan tanpa henti. Lautan manusia yang saling membunuh satu sama lain meninggalkan bekas darah pada setiap inci tanah yang ada di sana. Pemandangan mengerikan ini adalah perang terakhir antara dua pihak terbesar yang ada di dunia saat ini. Perang penuh darah ini akan menjadi penentu nasib dunia ini di masa depan.

Di antara jutaan manusia itu berdirilah seorang lelaki dengan memegang tombak hitam yang sudah mulai tumpul karena terlalu banyak menebas tubuh musuhnya. Dia bagaikan kuda hitam yang terus maju menembus pertahanan musuh yang jumlahnya tidak ada habisnya. Napasnya masih terdengar teratur walaupun dia sudah berada di sana selama berjam-jam mengeluarkan semua kekuatan yang dia miliki.

Di sisi lain dia melihat pertarungan tujuh belas pendekar terhebat dari berbagai kerajaan dan faksi melawan sembilan belas orang barbar bertubuh tinggi kekar yang membawa senjata raksasa di tangan mereka. Pertarungan itu sangat mengerikan hingga membuat orang-orang yang ada di dekat pertarungan itu terhempas karena kekuatan yang tidak masuk akal yang mereka miliki. Laki-laki pemegang tombak itu merasa iri kepada mereka yang diberkahi dengan kekuatan magis yang melampaui semua potensi yang dimiliki orang lain. Bahkan mungkin mereka pantas disebut dewa dunia.

Tiba-tiba dia merasakan sebuah sayatan pedang yang cukup dalam di bahu sebelah kirinya. Dia cukup terkejut karena ada seseorang yang bisa menembus baju besi yang dibuat oleh salah satu pengrajin terbaik di kota asalnya. Dia segera berbalik dan menebas leher musuh yang baru saja melukainya dengan satu kali tebasan panjang.

Lelaki itu segera bergerak mundur di barisan sekutunya untuk mengobati luka yang baru saja ia dapatkan. Dia melepaskan baju besinya dan dia sadar kalau baju besi miliknya memang sudah terkoyak parah hampir di seluruh bagian. Musuh yang berhasil melukainya bukanlah orang yang kuat melainkan hanya beruntung karena kondisi baju besinya yang sudah tidak bisa diharapkan.

Tanpa pikir panjang dia melemparkan baju besi itu begitu saja lalu dia mengikat luka yang ada di bahunya dengan sehelai kain putih yang sebelumnya dia ikat di kepalanya. Walaupun dia memiliki kemampuan regenerasi tapi itu tidak instan. Butuh waktu setidaknya setengah jam untuk luka itu bisa pulih sepenuhnya.

Pria itu adalah salah satu dari dua puluh satu jendral tertinggi Asosiasi Dunia yang bertempur di medan perang ini. Dia mendapatkan gelar 'Sang Dewa Kegelapan'. Sungguh dia merasa itu sangat konyol. Gelar semacam itu tidak pantas dimiliki orang seperti dirinya. Dia memang kuat tapi belum bisa dibandingkan dengan 17 saint yang terkuat di asosiasi dunia.

Dalam perang ini dia harus melawan orang-orang dari Asosiasi Dark Heaven yang telah membuat kerusuhan sejak dua puluh tahun yang lalu untuk membuat dunia berada di bawah pijakan kaki mereka. Dia tidak akan membiarkan orang-orang barbar itu menguasai dunia dengan sifat kejam mereka.

Laki-laki bertombak hitam itu kembali maju dan menghancurkan apa saja yang ada di depannya. Baju besi berat yang sudah ia buang membuatnya bisa bergerak dengan lebih leluasa walaupun pertahanan tubuhnya kini terbuka lebar, ia sama sekali tak gentar. Sesekali dia mendapatkan luka kecil dari serangan prajurit musuh yang membabi buta.

Pertempuran itu berlanjut sampai berhari-hari hingga teriakan semakin lama semakin memudar dari pendengaran. Pasukan yang sebelumnya berjumlah jutaan kini hanya tersisa tidak lebih dari seribu orang yang kini sudah kehabisan tenaga. Tumpukan mayat yang penuh darah membanjiri medan pertempuran sejauh mata memandang.

Tiba-tiba sebuah kilatan cahaya raksasa terlihat menyambar di tengah-tengah mereka yang masih berdiri. Tujuh belas orang saint melawan sembilan belas orang di sisi lainnya telah mengeluarkan serangan terbaik mereka dan kini mereka terbaring tak berdaya di tanah tanpa bisa lagi bergerak. Kilatan cahaya terakhir akibat benturan kekuatan mereka meledak ke segala penjuru dunia. Dampak dari benturan kekuatan itu menghempas dan menyapu apapun yang dilewatinya

Lelaki bertombak hitam masih berdiri dan menatap tiga puluh enam mayat orang terkuat itu dengan pandangan kosong. Hempasan kekuatan terakhir dari mereka juga mengenai tubuh lelaki itu yang membuat ia terlempar beberapa ratus meter ke belakang bersama orang-orang lain yang tadinya masih berdiri di sampingnya.

Lelaki itu masih mencoba untuk berdiri dengan tubuh penuh luka sayatan benda tajam yang sebentar lagi mungkin akan membunuhnya. Tatapan matanya menyapu ke segala arah yang dipenuhi dengan mayat orang-orang yang mungkin sedang ditunggu keluarga mereka di rumah.

Tidak ada lagi terdengar suara teriakan atau dentuman benda tajam. Tidak ada lagi terdengar ada suara makhluk hidup di sana. Ia hanya mendengar suara angin berhembus pelan yang membawa bau darah segar yang menyengat ke segala penjuru.

Lelaki itu merasakan kemarahan yang ada di dalam dirinya memuncak. Tidak ada lagi alasan yang tersisa bagi dirinya untuk tetap hidup di dunia ini. Dia berharap dunia akan damai setelah pertempuran ini, tapi melihat tumpukan mayat yang ada di depannya membuat sadar akan keserakahan yang dimiliki manusia.

Mungkin dunia akan damai untuk sesaat. Namun saat orang-orang yang memimpin dunia ini mulai serakah lagi, maka kejadian ini akan terulang lagi dan lagi di masa depan. Padahal dia hanya ingin hidup damai dengan apa yang ia miliki, tapi dunia yang kejam ini tidak membiarkan dia melakukan itu sampai di akhir hidupnya.

Tubuh lelaki itu terjatuh ke tanah karena kehabisan darah. Dia merasakan pandangan matanya semakin memudar dan kesadarannya semakin menghilang. Ini adalah akhir dari sang dewa kegelapan.

Walaupun pelan terlihat bibirnya yang sudah membiru bergerak berusaha mengatakan sesuatu dengan sisa kekuatan terakhirnya.

 "Aku Aditya Nareswara bersumpah akan mengubah dunia ini jika saja ada kesempatan."

 Continued

Bab 1 - Awal

Pandangannya gelap, dadanya juga terasa sesak. Dia tidak bisa menggerakkan tubuhnya sama sekali. Rasanya seperti dia berada pada kehampaan. Tidak ada yang bisa ia rasakan. Hanya kekosongan dan kehampaan yang menyelimuti seluruh tubuhnya.

Tiba-tiba secara samar dia mendengar suara. Entah mengapa suara itu terasa sangat familiar. Suara itu semakin dekat dan terdengar semakin jelas. Suara itu terdengar seperti seorang wanita yang memanggil namanya.

"Aditya."

Dia mengenali suara itu. Suara itu adalah suara ibunya yang sudah meninggal lima belas tahun yang lalu. Suara yang paling ia rindukan seumur hidupnya.

"Aditya."

Ah, sungguh. Seandainya dia bisa bertemu dengannya sekali saja dia akan rela bahkan jika dimasukkan ke dalam neraka.

"Aditya bangun!"

Suara itu terdengar jelas seolah ada di sampingnya. Kali ini dia juga merasakan sentuhan pelan di pipinya. Sentuhan tangan halus yang penuh dengan kehangatan.

"Aditya, bangun nak!"

Suara itu terdengar sangat nyata. Aditya merasa dia bisa membuka kedua matanya. Perlahan dia dapat melihat semua yang ada di depannya.

 "Bangun nak! Nanti kamu telat masuk ke akademi," kata seorang wanita paruh baya yang masih terlihat cantik di umur yang sudah menginjak empat puluh tahun. Wanita itu tersenyum hangat yang membuatnya terdiam tak percaya.

"Ibu?"

Wanita itu mengangkat alisnya bingung saat melihat putranya tiba-tiba meneteskan air mata. "Kenapa? Apa kamu bermimpi buruk?" tanyanya dengan nada khawatir.

Aditya menghapus air matanya lalu tersenyum. Jika ini adalah mimpi dia tidak ingin bangun dari tidur ini selama-lamanya. Dia ingin berada di sini sekalipun ini semua tidak nyata. Dia sangat merindukan senyum ibunya itu.

 "Kamu ini kenapa?" tanya ibunya lagi.

Aditya menggelengkan kepalanya. Dia bergerak dengan cepat memeluk tubuh ibunya. "Aku merindukanmu, Bu. Aku tidak ingin ibu mati untuk melindungiku." Dia tidak peduli jika terlihat seperti anak kecil. Dia hanya ingin melepaskan rasa rindunya.

Tiba-tiba dia merasakan sebuah pukulan keras di kepalanya. "Jangan ngawur kamu! Ibu ini masih hidup. Cepat mandi sana! Jangan aneh-aneh!"

Aditya merasakan sakit dari pukulan itu. Tunggu dulu! Sakit? Seharusnya dia tidak akan merasakan sakit di dalam mimpi. Dia mengelus kepalanya sambil menatap ke arah ibunya.

"Jangan diam aja! Mau ibu pukul lagi? Sana siap-siap ke akademi!" ucap ibunya sambil pergi meninggalkan kamar.

 Aditya menatap punggung ibunya yang menghilang di balik pintu. Dia tidak percaya kalau semua ini nyata. Seharusnya dia mati karena kehabisan darah dalam pertempuran itu. Dia bahkan masih bisa mencium bau darah segar dari medan pertempuran itu.

Sebelum kematiannya dia pernah membaca cerita tentang seseorang yang kembali ke masa lalu. Semua itu adalah cerita khayalan yang sangat tidak masuk akal baginya. Dia tidak percaya saat ini dia sedang mengalaminya sendiri.

Aditya berjalan menuju ke cermin kecil di kamarnya. Dia melihat pantulan wajahnya yang kembali saat dirinya masih berumur belasan tahun. Dia memiliki rambut hitam dengan mata yang juga hitam pekat dengan wajah yang bisa dibilang berada di atas rata-rata.

 "Apa dulu aku setampan ini?" katanya dengan penuh percaya diri. Ibunya adalah seorang keturunan Eropa sedangkan ayahnya adalah orang asli Asia Tenggara yang entah keturunan dari suku mana.

Dengan wajah seperti ini harusnya tidak sulit untuk mencari pasangan. Tapi dia tidak ingat ada satu pun perempuan yang pernah mendekatinya. Di saat semua teman-temannya sudah menikah dia tidak pernah mengenal atau bahkan berkencan dengan seorang gadis. Sungguh menyedihkan.

"Apa aku punya semacam kutukan?" gumamnya sambil masih menatap ke arah cermin. Dia memegang lehernya yang terdapat sebuah tanda lahir berbentuk sabit. Tanda lahir itu membuatnya teringat dengan seorang pria tua yang mengatakan bahwa dirinya adalah keturunan seorang dewa. Aneh memang. Jika dia adalah keturunan dewa, dia tidak akan menderita di kehidupan sebelumnya.

Setelah puas mengingat masa lalunya Aditya segera menuju ke kamar mandi. Dia ingin segera melihat akademi yang sudah lama tidak pernah dia kunjungi lagi. Akademi itu memang tidak banyak menyimpan kenangan, tapi bukan berarti dia membencinya.

...****************...

Aditya memasuki gerbang akademi yang megah dengan tinggi yang lebih dari delapan meter. Tidak heran karena dia adalah siswa dari sebuah akademi paling elit di negara ini. Akademi ini nantinya juga akan naik tingkat menjadi salah satu dari sepuluh akademi terbaik di dunia.

Siswa lain yang melihat Aditya segera menyingkir dari jalannya dengan wajah tertunduk. Hal inilah yang membuat Aditya tidak memiliki banyak memori di sekolah ini. Tidak banyak siswa biasa yang berani mendekatinya karena dia adalah seorang bangsawan dari keluarga tingkat Duke.

Di dunia ini bangsawan adalah orang yang sangat dihormati. Apalagi dia keturunan dari seorang Archduke yang merupakan salah satu gelar kebangsawanan tertinggi di bawah raja. Tidak banyak siswa yang berani mendekatinya bahkan dari kalangan bangsawan lain sekalipun. Ia juga tidak terlalu tertarik untuk menjalin pertemanan dengan orang lain.

Aditya masuk ke dalam kelasnya lalu ia duduk di kursi tanpa mengatakan sepatah kata pun kepada orang lain. Dia hanya menunggu satu-satunya orang yang dia anggap sebagai teman sampai akhir hidupnya dulu.

"Tumben kau datang lebih pagi," ucap Rio seorang lelaki dengan seragam biru dengan wajah yang suka tersenyum. Di dadanya terdapat sebuah simbol perak yang menandakan bahwa dia adalah seorang bangsawan dari keluarga tingkat baron.

"Kenapa? Masalah untukmu?" balas Aditya dengan senyum tipis.

Seketika semua orang yang ada di kelas terdiam. Ini adalah pertama kalinya mereka melihat seorang Aditya tersenyum seperti itu. Biasanya Aditya hanya menunjukkan ekspresi dingin yang seolah dapat membekukan orang yang mendekatinya.

Melihat ekspresi teman-teman sekelasnya yang menurutnya aneh ia segera mengubah wajahnya kembali. Dia tidak ingin mendapatkan banyak perhatian karena hal itu menurutnya mendatangkan banyak masalah.

"Heh, jangan tersenyum sialan. Aku mau muntah melihatnya," ujar Rio sambil duduk di samping Aditya.

Aditya mengangkat bahunya acuh. Ia hanya diam menatap ke arah buku sihir di depannya. Dia ingat pada hari ini harusnya dia akan belajar membuat formasi sihir untuk pertama kalinya. Di kehidupan yang sebelumnya dia mengalami kegagalan berkali-kali saat mencoba untuk mempelajarinya, tapi sekarang hal ini terlalu mudah baginya.

"Lihat aku sudah bisa membuat formasi dasar penyembuhan tingkat tiga," pamer Rio pada Aditya sambil menunjukkan tangannya yang penuh kode dan garis yang bercahaya hijau. Seperti biasanya Rio adalah anak yang berbakat.

Rio Redd di masa depan adalah pemimpin dari tujuh belas orang terkuat '17 Saint' yang nantinya akan bertempur bersamanya. Tidak heran dia memiliki bakat dalam sihir yang luar biasa. Walaupun dia lahir dari bangsawan tingkat baron, di masa depan nanti dia akan mendapatkan gelar duke karena prestasinya yang luar biasa. Dia itu lebih terlihat seperti tokoh utama dari dunia ini.

Tiba-tiba seorang wanita berkacamata memasuki ruang kelas dengan membawa sebuah tongkat sihir merah menyala. Wajah wanita itu tampak cantik, namun terlihat pucat tidak seperti biasanya. Langkahnya juga tidak seimbang seolah dia sedang mabuk.

Aditya teringat dengan memori buruk yang akan terjadi pada momen ini. Dia menatap wajah Profesor Elena yang berusaha untuk tenang. Dia harus melakukan sesuatu sebelum ini berakhir seperti apa yang ada di ingatannya dulu.

^^^Continued^^^

Bab 2 - Insiden

Aditya mengikuti pelajaran dengan gelisah. Matanya menatap ke papan tulis, namun pikirannya melayang jauh ke tempat lain. Dia teringat dengan insiden terbunuhnya Profesor Elena yang menggemparkan seluruh sekolah. Jika dia tidak salah ingat kejadiannya tidak lama setelah ia belajar mengenai formasi untuk pertama kalinya.

"Professor Elena tidak terlihat seperti biasanya," ucap Rio yang membuyarkan lamunan Aditya. Dia segera melihat ke arah Professor Elena yang sedang menjelaskan. Memang benar aura di tubuhnya terlihat tidak stabil. Tidak heran Rio menjadi salah satu 17 Saint di masa depan. Sensitivitasnya dalam mendeteksi mana memang sangat luar biasa.

"Kau benar. Menurutmu apa yang terjadi padanya?" tanya Aditya pada Rio.

"Hmm, aku punya asumsi tapi aku harap itu salah."

"Apa memangnya?" tanya Aditya lagi

"Sepertinya dia terkena racun. Bukankah kita pernah melihat gejala semacam itu sebelumnya."

Aditya kembali menatap Professor Elena di depan kelas. Terbunuhnya profesor Elena memang peristiwa yang sangat janggal. Profesor Elena adalah salah satu orang yang terkenal kuat bahkan di antara para profesor akademi yang lain. Tapi dari yang dia ingat dulu profesor Elena terbunuh karena tusukan belati biasa di belakang lehernya. Bahkan katanya tidak ditemukan adanya jejak penggunaan magic di tempat kejadian sama sekali. Sungguh tak masuk akal dia terbunuh semudah itu.

Aditya kembali menatap Rio. "Apa yang membuatmu yakin dia terkena racun?" tanyanya.

Rio menghela napasnya. "Apa kau tidak ingat saat kecil kita pernah meminum air danau yang terdapat kelopak bunga Red Venena yang mengambang di atasnya? Saat itu kita benar-benar merasa kelelahan tanpa sebab dan kita hampir tidak bisa memakai magic sama sekali."

Aditya mengangguk-angguk teringat dengan kejadian itu. Memang benar saat itu dia merasa sangat kelelahan seolah semua energinya disedot keluar. Aura tubuhnya saat itu juga tidak stabil persis dengan yang dimiliki oleh Professor Elena saat ini. Kenapa dia bisa melupakan hal itu?

"Menurutmu apa yang ...."

Belum sempat Aditya menyelesaikan perkataannya dia merasakan pukulan benda tumpul di atas kepalanya. Entah sudah sejak kapan profesor Elena berada tepat di depannya. Matanya menatap tajam dan tangannya membawa tongkat sihir panjang yang baru mengenai kepalanya.

"Jangan mengobrol di kelasku, Nareswara! Aku tidak peduli kau ini putra Archduke atau bahkan raja. Bagiku peraturan adalah peraturan. Jika kau tidak suka silakan keluar!" ucap Professor Elena dengan nada bersungut-sungut.

Aditya mengelus kepalanya yang sakit. "Maaf, Prof."

Profesor Elena kembali melanjutkan pembelajaran. Rio menatap Aditya dengan senyuman mengejek. "Mantap," bisiknya pelan.

...****************...

Seusai kelas Aditya segera mengejar profesor Elena yang baru keluar dari kelas. "Tunggu Profesor! Bolehkah saya bertanya sesuatu?" kata Aditya yang diikuti Rio di sampingnya.

Profesor Elena berbalik ke arah mereka. "Tentu, ada apa?"

"Uhm, apakah Profesor hari ini makan atau minum sesuatu yang aneh?" tanya Aditya.

Profesor Elena mengerutkan alisnya. "Untuk apa kau bertanya hal semacam itu? Aku pikir kau ingin bertanya tentang pelajaran."

Aditya menggaruk kepalanya yang tak gatal. "Sa-saya hanya merasa ada yang aneh dengan profesor hari ini"

Profesor Elena memandang Aditya dengan pandangan penuh selidik. "Maksudnya?"

Rio yang sejak tadi diam menghela napasnya jengkel. Dia dengan segera mengambil alih pembicaraan.

"Mohon maaf, Prof. Kami merasa yakin kalau Anda sedang terkena racun," kata Rio yang disetujui oleh Aditya dengan anggukan kepala cepat.

Profesor Elena terlihat semakin bingung. "Kenapa kalian berpikir seperti itu?"

Tanpa basa-basi Rio merapal Detect Magic ke tubuh Profesor Elena. Seketika itu juga cahaya hijau terang menyala menandakan adanya sesuatu yang asing mengganggu peredaran mana di tubuh profesor Elena. Kekuatan asing itu berwarna hijau pekat yang berati racun yang sangat kuat.

"Racun di tubuhnya lebih kuat dari yang aku bayangkan. Orang biasa pasti akan mati dalam kondisi ini," batin Aditya.

Profesor Elena terbelalak melihat racun di tubuhnya. Aditya segera meraih saku celananya dan memberikan sebuah botol potion kecil berwarna merah menyala. Botol itu berisi air biasa yang telah dirapal mantra penetral racun tingkat tinggi. Mantra semacam itu harusnya baru akan ditemukan 10 tahun yang akan datang. Diam-diam Aditya meraciknya selama pembelajaran.

"Ramuan apa ini Aditya?" tanya Profesor Elena.

"Itu penetral racun tingkat tinggi. Tenang saja Prof! Saya yakin ini efektif karena resepnya berasal dari keluarga saya," balas Aditya dengan kebohongan demi meyakinkan profesor Elena.

Profesor Elena merasa tidak yakin dengan potion yang diberikan oleh Aditya, namun saat melihat wajah serius dari mereka berdua membuatnya merasa tidak memiliki pilihan lain. Mereka juga sudah menunjukkan sebelumnya bahwa memang ada racun di dalam tubuhnya. Tidak mungkin mereka berniat buruk padanya.

Profesor Elena membuka penutup botol potion itu dan meminumnya dengan sekali tegukan. Seketika itu juga cahaya keemasan menyelimuti tubuh Profesor Elena. Aliran mana di tubuh profesor yang sebelumnya terganggu kini mengalir kembali seperti yang seharusnya. Wajah profesor yang sebelumnya pucat perlahan kembali normal.

Profesor Elena terlihat lega. "Ah, terima kasih. Aku pikir aliran mana-ku terganggu karena terlalu lelah melakukan penelitian sampai tidak tidur berhari-hari. Ternyata ada racun dalam tubuhku. Aku beruntung kalian memperingatkan ku," ucap professor Elena dengan senyum lebar.

"Uhm, kalau boleh tahu apa yang sedang profesor teliti?" tanya Aditya.

"Yah, itu adalah permintaan dari departemen kemiliteran negara. Jadi aku tidak bisa memberi tahu kalian detailnya, tapi yang jelas penelitian itu bisa dibilang sangat berbahaya," jawab profesor Elena.

Aditya tampak kecewa. Dia merasa racun di tubuh profesor Elena ada hubungannya dengan penelitian ini. Dia harus mencari tahu lebih jauh tentang hal ini.

"Kalian berdua ikut ke ruanganku! Aku ingin memberikan kalian sesuatu," ajak profesor Elena.

Aditya dan Rio saling menatap sebelum mengikuti langkah profesor Elena kembali ke ruangannya. Sesampainya mereka di sana terlihat berbagai macam barang seperti buku-buku dan item sihir berserakan di meja. Ada juga beberapa formasi aneh yang digambar di lantai.

"Maaf sedikit berantakan di sini. Aku tidak punya waktu untuk membereskannya," kata profesor Elena sambil membuka laci meja mencari sesuatu.

Aditya mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan. Dia berusaha mencari sesuatu yang mungkin dapat memberikan petunjuk. Tiba-tiba pandangan matanya tertarik pada sebuah kalung hitam dengan logo yang tidak asing terukir di atasnya. Aditya mendekat untuk memeriksa kalung itu.

"Hey, jangan dipegang! Itu adalah benda yang terkutuk," ujar profesor Elena memperingatkan.

"Apa benda ini yang sedang Anda teliti?" tanya Aditya.

Profesor Elena mengambil sesuatu dari dalam sebuah kotak kemudian berjalan ke arah Aditya. "Ya, benda itu harusnya menjadi rahasia. Jangan mengatakan apapun tentang benda itu."

Aditya sudah terlanjur memegang dan mengamati kalung itu. Logo yang terukir di atasnya jelas adalah logo dari Asosiasi Dark Heaven. Tapi ini sangat aneh. Asosiasi Dark Heaven seharusnya baru akan muncul sekitar 3 tahun lagi. Kenapa mereka sudah muncul sekarang?

"Apa profesor menemukan sesuatu tentang kalung ini?" tanya Aditya.

Profesor Elena menghela napas panjang. "Sepertinya kau ini adalah orang yang sangat suka ikut campur urusan orang lain ya, Nareswara? Tapi ya, aku akan memberitahumu sesuatu. Anggap saja ini imbalan atas ramuan yang kau berikan padaku," ucap profesor Elena sambil mengambil kalung itu sari tangan Aditya.

"Kalung ini adalah kalung yang digunakan sebuah kelompok sesat yang akhir-akhir ini sering membuat masalah. Dari yang aku teliti seharusnya kalung ini memiliki fungsi komunikasi, tapi aku belum tahu cara mengaktifkannya," jelas profesor Elena.

"Kelompok sesat?" tanya Rio.

"Sudahlah! Kalian tidak perlu tahu tentang hal itu. Sekarang ambilah ini sebagai hadiah untuk kalian." Profesor Elena memberikan dua buah cincin berwarna perak.

"Profesor. Ini kan?" ujar Rio tak percaya.

Profesor Elena mengangguk. "Ya, ini adalah cincin ruang. Aku memberikan ini pada kalian karena aku tidak tahu apa yang akan terjadi padaku jika racun itu menyebar lebih luas."

Aditya dan Rio menerima cincin itu. Wajah Rio tampak sangat senang dengan cincin itu sedangkan Aditya tidak terlihat berekspresi. Pikirannya masih berputar pada kalung dari Asosiasi Dark Heaven itu.

"Kau tampak kecewa, Nareswara," ucap profesor Elena.

"Tidak, Prof. Saya hanya sedang memikirkan hal lain," balas Aditya.

"Kalau begitu kembalilah ke kelas! Pelajaran selanjutnya pasti sudah dimulai."

Aditya dan Rio mengangguk dan berpamitan, tapi belum sempat keluar ruangan mereka merasakan aura membunuh yang sangat kuat di sekitar mereka.

"Praaang!" Beberapa orang berjubah hitam masuk ke ruangan dengan memecahkan jendela. Aditya dan Rio memasang posisi siaga saat menyaksikan orang-orang berjubah hitam itu mengarahkan belati pada profesor Elena.

"Siapa kalian ini?"

^^^^^^Continued^^^^^^

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!