Pemuda itu bernama Wijaya Kusuma, dia adalah Kepala Desa termuda yang pernah tercatat dalam sejarah Desa Talaga Seungit. Sebuah desa terpencil yang masih memegang adat istiadat leluhur.
Berbeda dengan perkampungan lain yang sudah terjamah oleh teknologi, para penduduk di Desa Talaga Seungit enggan menggunakan peralatan elektronik, bahkan mereka pun menolak mentah-mentah tawaran pemerintah pusat: dipasangi listrik gratis dan diberi kompor gas beserta tabung gasnya.
Penduduk desa lebih memilih menggunakan cara-cara tradisional yang sudah diajarkan oleh leluhur mereka secara turun menurun dan Wijaya Kusuma sebagai Kepala Desa saat ini akan tetap menjaga 'kemurnian' desanya dari pengaruh luar.
Satu-satunya desa terdekat dengan desa mereka adalah Desa Karajaan Sagara yang menjadi satu-satunya akses antara desa mereka dengan wilayah luar. Desa Karajaan Sagara berada di bawah kaki pegunungan berbatasan langsung dengan jalan lintas provinsi yang dibangun oleh pemerintah beberapa tahun yang lalu, kehadiran jalan raya itu kini membuat desa tersebut terpisah menjadi dua bagian dan mulai menerima budaya luar yang masuk ke dalam kehidupan mereka.
Wijaya Kusuma terlihat berkeringat, dia dan para pemuda desa baru saja menukar hasil panen dengan ikan-ikan segar dari para nelayan yang menghuni Desa Sagara Dua; dahulu menjadi bagian dari Desa Karajaan Sagara namun kini sudah memiliki nama lain.
"Teman-teman lihat ya pasti wanita itu muncul lagi," bisik seorang pemuda ke pemuda lainnya, mereka sudah hapal betul dengan wanita yang selalu menggoda Wijaya Kusuma, tinggal beberapa langkah lagi mereka akan sampai di depan rumah wanita itu.
"Selamat sore Aa Wijaya, sini atuh masuk dulu?" seorang wanita tiba-tiba menghadang mereka.
"Selamat sore Ningsih," jawab Wijaya, meskipun wanita itu selalu genit padanya tapi Wijaya selalu memperlakukan dia dengan baik.
"Aa teh pasti capek, ayo atuh Neng buatin minuman dingin, mau es soda atau es teh manis? Pasti capek ya habis jalan jauh, Neng pijitin mau?"
"Es susu ada Teteh?" seorang pemuda bertanya balik pada wanita yang tergila-gila pada Wijaya Kusuma itu.
"Ih, da Neng mah cuma nawarin sama Aa Wijaya bukan sama kamu! Apalagi kamu!" tegas Ningsih emosi sambil menunjuk muka mereka karena kesal dengan tingkah genit para pemuda itu.
"Maaf Ningsih, kami tidak minum es. Kan Aa sudah bilang berapa kali, kami pantang minum es dari kulkas."
"Aa teh kenapa sih terlalu lurus hidupnya? Kan kalian cuma berempat, penduduk desa kalian gak ada yang tahu minum es dari kulkas. Lihat nih desa kami mah semenjak menerima bantuan listrik dari pemerintah pusat, kami jadi lebih maju," gerutu Ningsih.
Wijaya Kusuma lalu tersenyum, "sudah ceramahnya Ningsih? Aa harus segera pulang, terima kasih ya udah nawarin es."
"Jangan pergi dulu, tunggu ih!" tegas Ningsih, dia berlari ke dalam rumah mengambil makanan yang sudah dia siapkan dalam kresek putih, "ini atuh cemilan buat Aa. Namanya tanghulu, ini teh buah yang udah dilumuri gula putih terus di bekuin."
"Alah siah, tanghulu! Ini mah sate buah atuh Ningsih!" celetuk pemuda lain.
"Ih kalian teh kuper! Ini teh makanan viral! Tau gak viral! Udah ah capek ngejelasinnya juga! Pokoknya ini mah buat Aa Wijaya bukan buat kalian, jadi gak usah banyak komentar!"
Wijaya Kusuma lalu mengambil makanan pemberian Ningsih karena ia tidak ingin membuat wanita itu sedih. Mereka lalu pamit melanjutkan perjalanan kembali ke Desa Talaga Seungit, meninggalkan Ningsih yang tatapannya tak pernah lepas dari sosok Wijaya Kusuma yang memiliki postur tubuh tegap dan kekar.
Saat mereka sudah jauh dari rumah Ningsih, tak disangka Wijaya Kusuma malah memberikan makanan itu kepada anak-anak kecil yang sedang berkumpul dan bermain di sebuah lapangan. Hal itu membuat para pemuda desa Talaga kesal, mereka sangat penasaran dengan sate buah yang disebut tanghulu itu, mereka hanya bisa menelan ludah melihat anak kecil yang sedang mengigit buah-buahan beku itu.
Wijaya sangat memegang teguh peraturan Desa Talaga Seungit yang melarang apapun yang bukan berasal dari budaya mereka, termasuk sate buah yang disebut sebagai tanghulu.
Wijaya Kusuma lalu mengajak mereka melanjutkan perjalanan pulang, keempat orang pemuda itu membawa ikan laut dengan cara ditandu, masing-masing dari mereka memikul ujung bambu di atas bahu mereka yang keras, hampir seluruh pemuda Desa Talaga Seungit memiliki tubuh yang kuat dan kekar karena mereka sudah terbiasa bekerja keras setiap hari, berbeda dengan pemuda di Desa Karajaan Sagara yang memiliki postur tubuh cenderung buncit berlemak.
Mereka kini melanjutkan perjalanan kembali ke Desa Talaga Seungit. Desa yang letaknya di atas pegunungan. Jauh dari hiruk pikuk perkotaan yang sudah dicemari polusi udara.
Meskipun menolak perkembangan jaman, warga Desa Talaga Seungit hidup dengan damai dan bahagia.
"Kang, tadi sate buahnya kenapa dikasih ke anak-anak, kami teh penasaran da dengan rasanya."
"Lebih enak buah segar yang baru dipetik dari pohon atuh, nanti sesudah menyimpan ikan-ikan ini kita makan buah sepuasnya," jawab Wijaya.
"Iya, tapi penasaran juga sama tanghulu buatan Ningsih," keluh pemuda yang memikul tandu bersama Wijaya Kusuma.
Malam ini, di Desa Talaga Seungit akan diadakan pesta panen untuk merayakan berakhirnya masa panen, biasanya warga desa akan berkumpul di balai desa, makan bersama sambil menonton pertunjukan kebudayaan.
Ini menjadi acara pertama yang dihadiri oleh Wijaya Kusuma sebagai seorang Kepala Desa, Wijaya Kusuma terpaksa menjadi Kepala Desa menggantikan bapaknya yang meninggal dunia.
Wijaya Kusuma akan menjabat selama tiga tahun kedepan, meskipun ada beberapa warga yang tidak setuju dipimpin oleh seseorang yang masih muda namun peraturan adat tidak boleh dilanggar.
Desa Talaga Seungit terletak di dataran tinggi, sehingga makanan laut menjadi barang yang sangat langka dan berharga. Para penduduk desa sangat menyukainya, namun meskipun menjadi favorit tak banyak warga yang mau naik turun gunung demi mendapatkan ikan-ikan laut, cumi, atau juga kepiting, karena mereka memiliki kesibukan masing-masing seperti bertani dan beternak.
Untuk itu, masakanan yang dibuat dari bahan ini hanya dihidangkan saat kesempatan-kesempatan tertentu saja. Seperti acara yang akan diadakan nanti malam.
Setiap kali ada warga yang datang dengan tandu berisi makanan laut, para warga akan berebut untuk ditukar dengan bahan lain yang mereka punya, ada yang menukarnya dengan telur, daging ayam, sayuran dan buah.
Wijaya Kusuma dan rombongannya sudah sampai, ada aturan leluhur yang harus mereka lakukan saat tiba di desa: mereka harus mencuci wajah, tangan dan kaki di air yang mengalir.
Hal itu menjadi simbol untuk mensucikan desa dari warganya yang baru saja keluar dari desa adat dan berbaur dengan budaya luar. Saat Wijaya mencuci kaki, tiba-tiba terdengar teriakan dari arah kolam ikan.
"Tolong! Ada mayat!" seorang wanita berteriak histeris, membuat ketenangan Desa Talaga Seungit berubah menjadi hiruk pikuk aktivitas penuh suara dan teriakan.
Semua warga tertuju pada kolam ikan milik warga desa, Wijaya Kusuma sudah sampai lebih dulu setelah jeritan wanita tadi, di depan matanya terlihat seseorang mengambang dengan posisi wajah berada di dalam air.
Semua orang menjadi bertanya-tanya: apa yang terjadi, siapa yang melakukannya. Wijaya tanpa berpikir panjang memilih menceburkan diri ke dalam kolam ikan dan menyeret jasad itu ke pinggir kolam, warga desa kemudian membantu menarik jasad itu naik ke atas.
Wijaya memeriksa denyut nadinya, namun tanda-tanda kehidupan tidak terasa lagi dan sudah dapat dipastikan orang ini telah meninggal dunia.
"Siapa dia? Apakah kalian kenal dengan pemuda ini?" tanya Wijaya, menatap para warga yang nampak kebingungan.
Semua warga yang datang dan berkumpul tidak ada satu pun yang mengenal pemuda malang itu.
"Tolong minta kain, kita tutupi dulu jasadnya dengan kain kasihan dia, petugas keamanan tolong segera turun dan hubungi pihak kepolisian ya," ucap Wijaya Kusuma, sambil mengambil kain yang diberikan oleh pemilik rumah.
Wijaya Kusuma sangat kesal jika ada kasus di desanya yang harus melibatkan pihak dari luar bukan karena dia tidak percaya dengan institusi dan lembaga pemerintah namun jika desa ini kedatangan warga dari luar, mereka selalu mengeluh dan menuntut banyak hal, banyak orang kota yang tidak pernah mau mengerti adat istiadat yang ada di desanya.
Tiba-tiba seorang pria paruh baya muncul dari balik kerumuman dia menunjuk-nunjuk jasad itu sambil berteriak, "ini mah pasti maling! Kita sering kehilangan ayam, pasti dia pelakunya! iya pasti ini maling!"
"Hentikan Pak, ayam yang hilang bisa jadi karena dimangsa macan tutul, sekarang kita kesampingkan dulu motif orang ini datang ke desa kita. Yang jadi pertanyaannya, kenapa dia bisa tewas di kolam ikan?" jawab Wijaya.
"Tidak usah panggil polisi lah! Langsung saja kubur mayatnya! Setuju tidak? Ini pasti maling!" pria paruh baya itu tak peduli dengan ucapan Wijaya Kusuma dan terus saja berteriak seakan ingin memancing warga agar tergiring dengan opininya.
"Pak Arifin, tolong stop! Sudah saya katakan, kita perlu cari tahu dulu identitas orang ini dan yang bisa menyelidiki kematiannya hanya polisi, kalau kalian tidak ada yang mau turun ke bawah, biar saya saja yang turun!"
"Jangan Den, itu mah tugas kita para petugas keamanan. Ayo kita ke Desa Karajaan Sagara meminjam telepon untuk menghubungi polisi," ajak seorang bapak tua dengan penuh semangat.
"Ah, kalian lupa ya dengan kasus sebelumnya? Saat kita meminta tolong ke Desa Karajaan Sagara, mereka mengejek kita karena tidak mau menerima peralatan elektronik tapi disaat kita kesusahan, kita menggunakan benda itu," timpal pria lainnya.
"Iya sih! Pasti mereka mengejek kita lagi!" keluh pemuda lainnya.
Wijaya Kusuma berdiri, dia lalu melepas pakaiannya yang basah, menggantung pakaian itu di pagar kayu sembari berkata, "kalian jaga jasad ini dan jangan pernah menyentuh apapun, saya yang akan turun ke Desa Karajaan Sagara untuk meminta bantuan."
Terpaksa, Wijaya turun gunung menuju Desa Karajaan Sagara, dia harus meminta bantuan warga desa itu lagi. Wijaya Kusuma masih ingat kasus sebelumnya saat warga desa keracunan masal dan harus meminta bantuan mereka untuk memanggil petugas medis.
Dengan bertelanjang dada Wijaya Kusuma turun ke desa tetangga untuk meminta bantuan. Sesampainya di desa itu, dia menemui Kepala Desa dan menceritakan kejadian yang terjadi di Desa Talaga Seungit.
Kepala Desa tiba-tiba melemparkan sebungkus rokok ke hadapan Wijaya seraya berucap, "kalau mau bantuan kami, hisap dulu rokok itu."
"Saya tidak bisa menghisap rokok itu, maaf Pak," tolak Wijaya dengan sopan.
"Hahaha!" Kepala Desa Karajaan Sagara malah tertawa keras, dia membuang puntung rokoknya ke tanah lalu berjalan ke arah kursi dan duduk di samping Wijaya.
"Kenapa kamu tidak merokok? Pantangan leluhur atau tidak suka merokok? Kalau mau rokok tradisional kita juga punya, mau?" ungkapnya.
"Saya tidak merokok Pak, jadi apakah saya bisa meminta beberapa orang dari desa ini pergi ke desa saya untuk memeriksa orang itu siapa tahu ada warga di desa ini yang kenal korban? Atau bantu kami panggilkan polisi?"
"Kubur saja! Untuk apa membela orang yang sudah mati! Buang-buang waktu dan tenaga!" tegas Kepala Desa, dia meraih bungkus rokok yang tergeletak di atas meja lalu mengambil sebatang rokok dan menyalakan korek api, menghisap rokok itu dalam dan menyemburkan asapnya ke atas.
"Kalau kamu melaporkan hal ini ke polisi, yang ada desamu akan diberitakan ke seluruh penjuru negeri, ujungnya pemerintah akan memaksa kalian memasang aliran listrik lagi, haha," ucap Kepala Desa lalu menyemburkan lagi asap rokok dari dalam mulut.
"Kalau tidak bisa membantu tidak apa-apa, saya izin pamit," Wijaya pergi meninggalkan Kepala Desa yang sombong itu, dia tidak mau membuang-buang waktu, lebih baik pergi menyebrang jalan menuju Desa Sagara Dua, desanya para nelayan.
Pantas saja para pemuda enggan untuk meminta tolong pada warga Desa Karajaan Sagara karena sikap mereka yang cenderung sombong dan tidak punya empati.
Wijaya Kusuma kini berada di pinggir jalan raya yang sepi, dia segera melintasi jalan itu menuju kampung para nelayan. Wijaya kenal seseorang di tempat itu karena dia sering melakukan barter dengan para nelayan, menukarkan hasil panen dengan hasil tangkapan para nelayan.
Langkah Wijaya Kusuma menjadi pusat perhatian para gadis desa yang terkesima dengan keelokan tubuhnya yang gagah perkasa. Mereka semua belum tahu jika pria yang lewat adalah seorang Kepala Desa yang sangat dihormati.
Wijaya sampai di sebuah rumah, kedatangannya disambut oleh seorang pria bernama Ujang, yang sedang memeriksa kondisi jaring alat menangkap ikan, kedatangan Wijaya yang bertelanjang dada membuat dia heran.
"Kang Wijaya tumben datang jam segini, ada apa ya? Hasil tangkapan saya mah sudah habis terjual," ucap Ujang.
"Kedatangan saya kesini bukan untuk menukar barang, tapi saya ingin meminta tolong."
"Minta tolong apa ya, Kang?" tanya Ujang kaget sekaligus heran.
"Di desa saya ada jasad tidak dikenal, jasad itu mengapung di salah satu kolam ikan lele milik warga."
"Astaga, orang mana ya? Disini juga tidak ada ribut-ribut orang hilang, apa warga Desa Karajaan Sagara ya?"
"Saya udah coba kesana tapi kedatangan saya gak diterima baik, mereka sepertinya tidak peduli dan malah menyuruh saya menguburkan saja jasadnya."
"Jangan atuh kasihan, tunggu ya," Ujang berdiri lalu masuk ke dalam rumah untuk mengambil ponselnya.
"Kita telepon polisi saja ya!" tegas Ujang memperlihatkan ponsel.
"Memangnya Mamang tahu nomornya?"
"Tahu atuh, kan kita bisa cari dulu di Doodle, nih kita ketik dulu, cari nomor telepon kantor polisi terdekat." Ujang mengetik dengan cekatan.
Wijaya Kusuma tertegun melihat kecanggihan ponsel yang dimiliki oleh temannya.
Setelah menemukan nomor kantor polisi di internet, Ujang pun segera menelpon dan meminta polisi untuk segera datang ke lokasi, setelah menutup telepon, Ujang lalu memanggil istrinya, "Neng, buatin kopi buat Kang Wijaya."
"Ah, tidak usah Mang. Saya kan tidak ngopi," Jawab Wijaya.
Mang Ujang tersenyum dia hanya sedikit usil, dia sudah tahu seperti apa kehidupan di Desa Talaga Seungit, terkadang dirinya selalu ingin membuat Wijaya melanggar peraturan desa itu. Bagi Ujang, beberapa peraturan di Desa Talaga Seungit tidak masuk akal dan konyol, apalagi peraturan itu sangat berbentrokan dengan keadaan di jaman sekarang yang sudah serba canggih dan modern.
Namun Ujang berbeda dengan warga Karajaan Sagara yang selalu mengejek warga yang menolak listrik dan segala perkembangan jaman. Ujang tidak mau usil, karena itu hak dan pilihan mereka untuk hidup dengan cara para leluhur.
Keberadaan teknologi menjadi dilema tersendiri bagi Wijaya Kusuma, di satu sisi barang elektronik yang mereka sebut ponsel itu sangat mempermudah kehidupan disaat keadaan sulit dan mendesak, namun di sisi lain, menggunakan ponsel sangat bertentangan dengan tradisi leluhur yang lebih menggunakan cara-cara tradisional dalam kehidupan keseharian mereka.
Sembari menunggu kedatangan polisi, kedua pemuda itu mengobrol banyak hal, Ujang menceritakan pengalamannya ketika di laut dan sebaliknya Wijaya menceritakan pengalaman dirinya menjadi Kepala Desa. Saling bertukar cerita dan pengalaman hidup membuat mereka lupa waktu hingga akhirnya datang dua mobil polisi diikuti dengan sebuah ambulans dan mobil dengan logo stasiun televisi, Wijaya sangat kaget karena tiba-tiba saja muncul wartawan.
Mobil-mobil itu lalu diparkir di Desa Karajaan Sagara karena akses menuju Desa Talaga Seungit hanya bisa dilalui dengan berjalan kaki. Saat orang-orang keluar dari mobil, beberapa penduduk Desa Karajaan Sagara berkerumun melihat mereka.
Sang Kepala Desa muncul sambil berkata, "di desamu sangat rawan kejahatan karena gelap, disuruh pasang listrik nggak mau, menyusahkan orang lain saja!"
"Tolong jaga ucapan anda Pak Toha, di desa saya belum pernah terjadi tindak kejahatan apapun, jangankan pembunuhan, pencurian saja jarang terjadi. Kami hidup dengan makmur dan damai," balas Wijaya menatap Pak Toha dengan tatapan tajam. Pak Toha adalah Kepala Desa Karajaan Sagara yang memiliki postur tubuh gempal dengan perut buncitnya menonjol ke depan, dia hanya terdiam dan tersenyum melihat Wijaya yang terlihat emosi.
Tiba-tiba seorang wanita menyelinap dibalik kerumunan warga, dia adalah Ningsih wanita muda yang selalu menunggu kedatangan Wijaya Kusuma. Ningsih sangat tergila-gila dengan Wijaya apalagi sekarang, dia bisa melihat tubuh kekar Wijaya yang mempesona.
"Aa, ayo atuh mampir dulu? Kita makan malam, pasti belum makan ya?" bisik Ningsih yang berdiri di samping Wijaya.
"Aa lagi sibuk, kapan-kapan saja ya Ningsih," balas Wijaya Kusuma.
"Tiap diajak makan pasti jawabanya kapan-kapan mulu, terus kapan makannya sih?" gerutu Ningsih.
"Aa pamit dulu ya," ucap Wijaya Kusuma berpamitan pada Ningsih yang terlihat kesal, karena sikap Wijaya Kusuma yang selalu dingin padanya.
"Ayo, sekarang kita ke atas!" ajak seorang polisi, mereka pun bergegas menuju atas meninggalkan Desa Karajaan Sagara dan Kepala Desanya yang menyebalkan.
Setelah sampai di lokasi, polisi melakukan olah tempat kejadian perkara, lalu memeriksa jasad yang ditemukan mengambang di kolam ikan lele. Malam itu seluruh penduduk desa berkerumun untuk melihat prosesnya.
Dari balik kerumuman warga, Wijaya melirik ke arah wartawan yang tadi ikut dengan rombongan polisi, mereka terlihat sedang mengobrol dengan keluarga pemilik kolam ikan. Namun sepertinya keluarga itu menolak untuk diwawancarai, Wijaya lalu berlari mendekati mereka.
"Kang, gimana ini saya dan istri tidak mau masuk berita, tapi mereka meuni maksa terus!" keluh pemilik kolam ikan resah.
"Sebentar saja ya Pak, kita cuma mau tanya-tanya kronologi saat Bapak dan Ibu menemukan mayat itu, bisa ya Pak?" wartawan itu terus mendesak.
"Bagaimana kalau saya gantikan? Saya juga ada di lokasi saat jasad ini baru ditemukan oleh mereka," ungkap Wijaya Kusuma.
"Oh, boleh-boleh Pak, nama anda siapa?"
"Saya Wijaya Kusuma, Kepala Desa ini."
"Oh, Kepala Desanya masih muda ya," ucap wartawan itu yang terkesima melihat sosok Wijaya Kusuma.
Wijaya Kusuma terpaksa melakukannya, karena dia kasihan pada pasangan suami istri itu yang terlihat ketakutan dan panik, mereka belum pernah diwawancarai wartawan dan beranggapan jika mereka masuk berita akan membuat mereka dicap sebagai tersangka.
Wartawan dan Wijaya Kusuma pun mengobrol dengan kondisi dalam keadaan disorot lensa kamera.
"Baik pemirsa di samping saya sudah hadir Kepala Desa Talaga Seungit dengan Pak Wijaya, benar ya? Pak Wijaya Kusuma bisa ceritakan sedikit kronologi saat jasad tersebut ditemukan? Dan apakah benar jasad itu bukan warga desa ini?"
"Iya, jasad itu ditemukan pada sore hari. Saat saya baru saja kembali ke desa ini, saat itu ibu pemilik kolam tiba-tiba berteriak ketakutan, lalu saya pun berlari kearah kolam di depan rumahnya, di sana jasad itu terlihat."
"Kenapa jasad itu baru terlihat di sore hari Pak? Apakah sebelumnya tidak ada yang menyadari?" tanya wartawan penasaran.
"Kalau soal itu saya juga tidak tahu ya, lebih baik kita menunggu hasil pemeriksaan polisi untuk mengetahui sudah berapa lama jasad itu berada di kolam ikan, yang jelas dia bukan warga desa ini." jawab Wijaya tegas di depan mikrofon yang disodorkan dekat mulutnya.
"Kenapa di desa ini tidak ada aliran listrik Pak? Apa benar warga menolak memakai listrik?"
Tiba-tiba saja wartawan itu melontarkan pertanyaan yang tidak ada hubunganya dengan kejadian penemuan mayat. Tapi Wijaya berusaha tetap tenang dan dia sudah bisa menebak, orang-orang kota yang datang kesini pasti akan mengeluh persoalan seperti itu.
"Desa Talaga Seungit adalah desa adat, kami hidup di bawah aturan yang sudah ditetapkan oleh leluhur kami, dan kami memegang teguh nilai-nilai tersebut, kebudayaan disini masih sangat kental dan belum bercampur dengan kebudayaan luar."
"Oh, seperti itu rupanya ya, baik-baik. Terima kasih atas informasinya" jawab wartawan lalu menutup wawancara singkatnya. Selanjutnya dia dan kameramen akan mewawancarai kepolisian yang tengah memeriksa lokasi tempat kejadian perkara.
"Terima kasih atas waktunya ya Pak Wijaya, oh iya ini kontak kami, siapa tahu nanti ada yang perlu kami liput lagi, kami siap datang ke desa ini," wartawan tadi memberikan kartu nama dan Wijaya Kusuma pun mengangguk lalu memasukan kartu nama itu ke dalam saku celana yang masih basah.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!