NovelToon NovelToon

Fall In Love With You

PROLOG

"Gue suka sama Lo."

Eila menatap Lelaki yang baru saja mengucapkan kalimat tersebut dengan wajah tidak percaya.

Hell, pasti Ia salah dengar, kan. Eila sadar kalau indera pendengarannya itu kadang-kadang eror.

"Lo.. Apa?"

"Gue suka sama Lo, Eila." Lelaki itu menekan tiap perkata dengan masih memasang wajah tanpa ekspresi.

"Tapi.. Gue, kan, nggak kenal Lo!"

Menghiraukan ekspresi shock Eila, Lelaki itu justru menyodorkan uluran tangannya. "Gue Max."

Eila hampir terjengkang mendengar itu. "Ya, Gue tau!" Siapa yang nggak kenal Cowok berandalan kayak Lo!! Lanjut Eila yang hanya tertahan di benaknya. "Maksud Gue, kita, kan, nggak dekat."

"Kalo gitu izinin Gue deketin Lo." Ucap Max serius.

Ini orang kena Virus apa deh? Mendadak bilang suka padahal sebelumnya tegur sapa saja tidak! Heran deh.

"Loh, tapi--"

"Stt.. Mulai detik ini."

Lelaki itu mengacak pelan rambut Eila lalu nyelonong pergi begitu saja.

"Hei!" Seru Eila kesal, sedangkan Max abai tanpa menoleh sedikit pun. "Wah.. Gila ya?!"

Mimpi apa ya Eila semalam. Bisa-bisanya orang seperti Max William, Berandalan sekaligus Kapten Futsal yang di puja-puja hampir semua kaum hawa di Zenith High School.

Bolos, mabuk-mabukan, merokok,  berkelahi. Sudah menjadi aktifitas yang tidak terelakkan bagi Max, bahkan buku hitam BK sudah penuh dengan namanya.

Tapi pihak Sekolah tidak bisa berbuat apapun karena Ayah Max adalah seorang penyumbang Donatur terbanyak.

Benar-benar mempunyai Privilege.

Dan, jelas! Eila benci hal itu. Hidupnya sangat-sangat sederhana, Ia bisa bersekolah di sini saja karena Beasiswa dan Eila begitu bersikeras mendapatkan nya.

Sedangkan orang-orang seperti Max, benar-benar tidak mensyukuri itu.

"Eila Pertiwi!"

Eila tersentak dari lamunannya. Menoleh kearah Gadis yang baru saja menyebutkan namanya dengan lengkap.

"Iya, kenapa, Nat?"

Natalie mendengus. "Lo yang kenapa? Dari tadi Gue panggilin, Lo malah asik ngelamun di depan Toilet."

Eila menghela nafas, baru sadar dirinya memang baru keluar dari Toilet dan langsung di hadang Lelaki Berandalan itu.

"Nggak papa kok, Nat."

Natalie menyipit curiga. "Lo nggak lagi di gangguin sama si Centil, kan?"

Si Centil yang dimaksud itu Empat Primadona Zenith High School. Via, Ara, Vanya, Frisia. Mereka termasuk golongan Privilege yang dimaksud.

Entah kenapa, mereka akhir-akhir ini suka sekali merundung Eila. Padahal Ia merasa tidak pernah menyinggung ke empat sekawanan itu.

Mereka biasanya akan menganggu siapapun yang mengalahkan kepopuleran mereka.

Masalahnya disini, Eila tidak populer sama sekali. Dia hanya Murid biasa yang mendapat beasiswa dan mengikuti seluruh kegiatan Sekolah agar beasiswa nya berlanjut ke jenjang perkuliahan.

Itu saja, wajahnya pun biasa-biasa saja. Tidak secantik dan seheboh mereka yang pandai menggunakan make up.

Lalu kenapa mereka menganggu nya?

Sudahlah, Eila tidak perduli.

"La, ngelamun lagi. Lo digangguin nggak sama si Centil?" Tanya Natalie, gemas.

Eila cengengesan. "Nggak kok, Nat."

"Terus, kenapa betah ngelamun?"

Eila menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, mencoba mencari alasan. "Gue cuman lagi kepikiran aja, mau daftar jadi Anggota OSIS, jadi apa enggak ya.." Ucapnya tidak sepenuhnya bohong.

"Oh, mikirin itu.." Natalie mengangguk mengerti, "Saran Gue, Lo daftarin diri aja. Bagus juga, kan, buat keberlangsungan beasiswa Lo."

Eila mengangguk. "Iya, Nat. Nanti Gue daftar kok."

"Ya udah, sekarang ke kantin yuk. Gue lapar.."

Eila mengangguk ragu. Jujur saja, uangnya hanya cukup untuk membeli minum. Tapi melihat ekspresi ceria Natalie saat mengajaknya membuat Eila sungkan menolak.

Sudahlah, Ia bisa beralasan Diet, kan...

Sesampainya mereka di Kantin. Suara ricuh terdengar, selalu seperti itu. Kantin mereka terbagi menjadi dua, Kantin Umum selalu ramai dan ricuh karena di sini semuanya terbilang murah.

Sedangkan Kantin Spesial menjadi langganan Siswa-siswi yang memiliki Privilege. Nilai higienis, dan praktis begitu di perhatikan disini. Itulah mengapa semua makanan yang ada harganya benar-benar membuat geleng.

"La, mau pesan apa?" Natalie bertanya, karena memang kali ini gilirannya antri dan memesan sedangkan Eila mencari tempat duduk.

"Um.. Jus Stroberi aja, Nat."

"Loh nggak pesan makan?" Natalie mengernyit heran.

Sesuai dugaannya, Natalie akan bertanya seperti itu.

"Gue lagi Diet. Hehe.." Eila nyengir kuda.

Natalie menatapnya gemas. "Tapi, Lo udah sekurus ini, mau sekurus apalagi si, La.."

Eila hanya tersenyum menanggapi. Uangnya benar-benar hanya cukup untuk membeli Minum dan Eila tidak mau jujur.

Natalie akan membelikannya seporsi khusus yang menjadi favoritnya tanpa sepengetahuan Eila, hingga membuatnya benar-benar merasa tak enak hati.

"Udah sana pesan. Tuh liat, Bu Ifti antriannya makin panjang nanti." Celetuk Eila, menunjuk salah satu Kedai yang menjadi langganan Eila dan Natalie.

"Oh iya! Ck, Gue nggak boleh kehabisan. Ya udah Gue antri dulu."

Eila mengangguk, membiarkan Natalie tergopoh-gopoh menuju antrian sedangkan dirinya mengedarkan pandangan mencari tempat duduk yang masih kosong.

Setelah menemukan meja yang kosong meski terletak di sudut Eila tetap bergerak menuju ke meja tersebut.

Eila menarik kursi, duduk dengan tangan terlipat di meja. Eila menelungkup kan wajahnya ke lipatan tangan.

Huft.. Perutnya terasa sakit, pasti asam lambungnya naik.

Gadis itu begitu tenggelam menikmati rasa sakit yang dirasakan perutnya. Hingga keributan semakin pelik, Eila yang kesal merasa telinganya mulai panas kembali mengangkat wajah.

Apa sih yang diributkan.

Eila mengernyit saat beberapa gerombolan memecah jalan, suasana kantin sudah sangat ricuh sekali, antriannya dibiarkan kosong karenanya.

Mereka lebih tertarik memperhatikan orang-orang yang baru memasuki Kantin.

Ini mata Eila tidak salah, kan. Ada apa anak-anak Berandalan yang mengagung-agungkan nama Orang Tuanya itu muncul di Kantin Umum.

Apa mereka mabuk?

Eila menatap tidak tertarik. Berbeda dengan hampir seisi Kantin yang dibuat mimisan karena ketampanan mereka.

"Marco! Cool banget sih.."

"Gila!! Mimpi apa ketemu Eric di Kantin Umum."

"Javier, I love you!"

"Cakep-cakep parah sih!"

"Max bikin Gue nggak bisa fokus!"

"Max, 08- berapa?!

Alis Eila menukik, mendengus geli mendengar seru-seruan keras yang memekakkan telinga itu.

"Lebay banget." Gumamnya.

Tapi heran juga sih, mereka datang ke sini. Tidak takut sakit perut kah?

Eila mendengus, di matanya anak-anak Privilege seperti mereka memang buruk. Eila benci sekali dengan rasa sombongnya itu, padahal itu hanya kekuasaan yang dimiliki orang tua mereka.

"Ikut Gue." Eila tersentak, menengadahkan wajahnya menatap Lelaki yang berbicara padanya itu.

Max berdiri di depan mejanya dengan ekspresi datar.

"Hah?"

"Ikut Gue, Eila.."

Eila melirik sekitarnya, mereka berdua tengah menjadi pusat perhatian dan hal itu jelas membuat Eila tidak nyaman.

Karena Eila yang hanya diam membuat Max berinisiatif untuk menarik tangannya di saksikan beberapa pasang mata.

Bahkan beberapa teman Max sudah bersiul menggoda mereka.

Seperti Drama telenovela saja!

Eila menyentak tangannya hingga lepas. Gadis itu menatap Max tajam. "Gue nggak mau!"

Max terdiam beberapa saat, Lelaki itu menghela nafas tanpa kata Ia menarik kursi untuk duduk tepat di hadapan Eila.

"Ric, pesan dua porsi Nasi Goreng di Kedai Bu Ifti jangan pakai acar sama tomat. Di kasih sambal sama timun. Minumnya Jus Stroberi."

Eila membulatkan matanya tidak percaya menatap Max yang barusan menerangkan pesanan khususnya pada Eric, salah satu cecunguk- ah maksudnya teman Max.

Kenapa begitu sama persis? Oh, mungkin memang kebetulan saja selera makan mereka sama.

"Ok, Boss! Lima menit." Eric berlalu pergi.

Eila menatap Max dan teman-temannya itu yang sudah menempati meja nya. "Kalian bisa cari meja lain?"

"Nggak bisa, Max pengennya di sini." Sahut Marco santai melirik Max yang tidak mengalihkan tatapannya pada Eila.

Eila berdecak. Bangkit dari duduknya, Ia sangat muak duduk bersama mereka. Sudah seperti menjadi Aktris saja, di perhatikan, di potret sana-sini.

Namun sebelum itu, Max sudah lebih dulu menggenggam tangannya dan membuatnya duduk kembali.

"Di sini aja."

Eila menarik diri. "Apa hak Lo?"

Max justru mengacak rambutnya. "Sebagai Calon Pacar tentu Gue berhak."

Eila melirik sinis. "Apa-apaan! Mimpi."

Mereka yang ada di meja nampak tegang, melirik Max takut-takut. Khawatirnya Lelaki dengan kesabaran setipis tisu itu melayangkan pukulan pada Eila.

Tapi yang dilihat mereka benar-benar jauh dari ekspetasi. Max justru lagi, lagi mengusak rambut Gadis itu seolah gemas.

Eila yang semakin kesal bergerak menjauhi posisi Lelaki itu membuatnya semakin berdekatan dengan Javier.

Melihat itu Max memandangnya tajam seolah Javier adalah ancaman.

Javier yang menyadari itu beranjak tiba-tiba. "G-gue cabut ya!"

"Kemana Lo?"

Javier menjawabnya berbisik. "Kemana aja, asal jauh dari Buaya yang insyaf lagi cemburu."

Dan setelah itu, Max dengan wajah lempeng menggantikan posisi Javier bahkan lebih merapat pada Eila.

"Ngapain dekat-dekat!" Eila melotot kesal.

Max mengangkat alis dengan eskpresi santai. "Kenapa? Ini Kantin Umum, kan. Bebas, dong."

Eila mendengus. Lelaki ini benar-benar tidak bisa didebat. Ingin menepi menjauhi juga tidak bisa karena dirinya benar-benar berada di pinggir saat ini.

Eila kembali diam dengan wajah bad mood nya. Ini lagi Natalie kemana?

Penasaran kenapa Gadis itu tidak balik-balik. Eila menengadah mencoba mencari-cari keberadaan Natalie di Kedai Bu Ifti yang mulai lenggang itu.

Tanpa menyadari kalau di sebelahnya Max sudah menopang dagu menatap intens wajahnya.

Benar-benar membuat Marco geleng kepala. Mereka merasa aneh dengan pendekatan Max yang terbilang ekstrim ini.

Ya, wajar saja. Max belum pernah mendekati Gadis duluan, biasanya mereka yang akan dengan suka rela menyerahkan diri.

Tapi kali ini berbeda. Max mengaku kalau dirinya jatuh cinta pertama kali dengan Gadis bernama lengkap Eila Pertiwi.

Gadis yang benar-benar sederhana namun menarik secara bersamaan. Max juga rela mencari tahu segala yang disukai atau dibenci oleh Eila.

Benar, ini gejala Bucin akut.

Tapi ya sudahlah. Asal Max senang saja.

Lima menit sesuai yang dijanjikan. Eric kembali dengan Natalie juga, Gadis itu nampak kebingungan mendapati mereka.

"Loh, ngapain disini?" Tanya Natalie yang bingung.

"Sepupu Lo lagi Modus." Sahut Marco membuat Natalie terbengong.

"Sepupu?" Eila mengernyit.

Natalie yang berniat menjawab, lebih dulu Max sela. "Iya, Gue Sepupunya Nat."

Eila hampir menjatuhkan rahangnya. The Hell! Yang benar saja, Sepupu? Satu tahun berteman dengan Natalie dia baru tau kalau Gadis itu Sepupu Max.

Natalie menggaruk pipinya salah tingkah. "S-sorry, La. Baru kasih tau, soalnya nggak penting-penting banget si. Oh ya, tenang. Rahasia Lo aman!"

Max melirik. "Rahasia apa?"

"Kepo!"

"Udah, udah. Nih makan, kawan-kawan." Eric menengahi Max yang masih ingin memaksa Natalie buka mulut.

Lelaki itu meletakkan semua makanan yang sudah di pesannya ke meja.

Max menatap Marco sekilas, seolah memberi kode. Marco yang mengerti pun membawa pesanan mereka lalu menarik Eric dan Natalie memisahkan diri.

"Loh, hei. Mau bawa Gue kemana Lo?" Protes Natalie.

Eila juga bersiap berdiri mengikutinya tapi Max dengan sigap menariknya untuk kembali duduk. "Nat, aman sama mereka. Lo di sini aja."

Eila menatap nya kesal, berniat protes tapi dengan seenaknya Max menyuapkan sesendok nasi goreng yang dipesan Eric tadi.

"Makan, jangan ngomel."

Dengan pipi menggembung penuh nasi goreng, Eila menatap Max penuh dendam.

"Enak?"

Tak urung, Eila mengangguk membuat Max tidak bisa menahan diri untuk kembali mengacak rambutnya.

Suka sekali menyentuh kepala! Dasar tidak sopan, annoying, seenaknya sendiri, pemaksa.

Lengkap sudah umpatan yang bercokol dalam hati Eila, sedangkan yang ditatap lamat-lamat justru mencoba menahan senyum.

Salah tingkah.

Calon Pacar?

"Naik."

Eila yang semula fokus dengan ponselnya seketika menengadahkan wajahnya, alisnya seketika menyatu mendapati Lelaki dengan jaket berwarna hitam tidak terkancing menyodorkan helm padanya.

Eila menghela nafas. "Gue udah pesan Ojol." Sahutnya malas, kembali menatap layar ponselnya.

Kenapa seharian ini Lelaki itu terus mengganggu nya sih? Tidak punya perkejaan lain selain merecokinya?

Srett..

Tanpa sempat mempertahankannya, ponselnya ditarik dengan dengan mudah oleh Max.

Eila melotot tidak terima. "Hei, apa-apaan sih!? Balikin nggak!"

Perbedaan tinggi mereka yang benar-benar jomplang membuat Eila melompat-lompat berusaha menggapai ponselnya yang diangkat tinggi-tinggi oleh Max.

"Gue balikin asal Lo pulang bareng Gue." Ucap Max datar lengkap dengan wajah tanpa ekspresinya.

Eila mendengus tidak percaya. "Nggak! Gue bilang nggak!" Tolaknya mentah-mentah.

"Ok, berarti ini." Max memamerkan ponsel yang masih di genggamnya saat Eila berusaha meraihnya Max lebih dulu memasukkan ponsel itu ke kantung Jaketnya."Gue bawa pulang."

Max berlalu berniat pergi namun dengan cepat Eila menarik pergelangan tangan Max.

"Fine! Gue pulang bareng Lo."

Max tersenyum tipis, tanpa sepengetahuan Eila karena posisinya yang memunggungi Gadis itu.

Lelaki itu berbalik, kembali menyodorkan helm berwarna Lilac itu. Eila menatap helm itu dengan pandangan mengernyit, seperti ada yang aneh.

Eila menerima helm tersebut dan memakainya. "Lo suka warna Lilac?"

Max menggeleng menjawabnya.

"Terus kenapa helm Lo warna Lilac?"

"Itu helm Lo. Lilac, warna favorit Lo." Ujarnya santai.

Eila menatapnya aneh. "Gue nggak pernah beli helm."

Dan kalaupun iya, untuk apa? Eila tidak bisa mengendarai Motor sendiri. Terlebih lagi Abangnya belum mengizinkannya.

"Gue yang beli, supaya Gue antar-jemput Lo tetap aman."

"Siapa juga yang mau diantar-jemput sama Lo?!" Sembur Eila kesal.

Lelaki itu hanya mengedikkan bahunya acuh. "Gue nggak butuh ijin Lo."

Dengan seenak jidat, Max menarik tangan Eila menjauhi Pos Securiti Sekolah menuju Motor Sport nya yang terparkir tepat di hadapan gerbang Sekolah.

Max menaiki Motor Sport hitamnya, memakai helm full face dan sarung tangan hitamnya yang menjaga kulit tangannya dari terik matahari, juga rintik hujan.

Lelaki itu menaikkan kaca helmnya. Memandang Eila yang cemberut memakai helm Lilac nya. "Naik."

Eila dengan amat terpaksa menaiki motor sport tinggi itu dengan mencengkeram kuat bahu lebar Max.

Setelah berhasil duduk, Gadis itu mengernyit tidak nyaman dengan posisinya saat ini. Well, Eila setengah menungging.

Bahkan kini rok abu-abunya sudah naik menampakkan paha putihnya, Eila berdecak, mencoba menarik roknya agar turun namun itu sia-sia saja.

"Nih, pakai buat tutupin." Max menyodorkan jaket nya yang entah kapan sudah di lepasnya.

Eila terkejut, tak urung Ia menerimanya. "Um.. Makasih."

Eila memakai jaket itu untuk menutupi pahanya yang terekspos.

"Udah?" Tanya Max memastikan Eila siap.

Eila mengangguk pelan meresponsnya.

"Pegangan."

Dengan ragu tangan Eila terulur, berpegangan pada pundak Max membuat sudut bibir Lelaki itu berkedut geli.

"Gue bukan Ojol."

Eila mengernyit, bingung. "Maksud Lo?"

Tanpa menyahut, tangan Max masing-masing membawa ke dua tangan Eila untuk melingkari perutnya.

"Modus!" Eila berniat menarik kembali tangannya tapi Max menahannya kuat.

"Pegangan, Eila. Gue nggak mau Cewek yang Gue suka, jatuh terus kelindes truk." Jawab Max.

Eila yang kesal dengan mulut asal bunyi Max, dengan jengkel membenturkan helm yang di pakainya pada helm Max menimbulkan getaran yang membuat kepalanya juga ikut pusing.

Max menoleh, "Lo nggak papa?"

Eila berdecak. "Gak!" Jawabnya gengsi, alisnya menukik kesal lantaran Max tampak tidak marah atas aksinya dia justru mengkhawatirkan nya.

Max menurunkan kaca helmnya, "Jangan lepas." Intrupsi nya pada tangan Eila yang melingkari perutnya, Lelaki itu pun kembali memegang stang Motornya.

Melajukan Motor Sport hitam keluaran terbaru itu dengan kecepatan maksimal. Meliuk-liuk, menyalip beberapa pengendara lainnya hingga menimbulkan banyak bunyi klakson tanda protes.

Eila mencengkeram erat pegangannya pada pinggang Max. "Max! Lo gila!" Jeritnya histeris, memejamkan mata takut.

Benar-benar membuat perutnya bergejolak mual. Menyesal sekali Ia mau-mau saja, tapi kalau menolak pun ponselnya mau sampai kapan Lelaki itu sita.

Kenapa sih ada orang seperti Max!? Dan kenapa juga dia ngotot sekali ingin dekat dengannya?!

Lagi pula, kapan sampainya sih? Perasaan jarak Rumahnya tidak terlalu jauh. Eh tunggu.. Rumah? Oh iya, Eila lupa memberitahu Max alamatnya.

"Max!"

"Max!!"

"Ih, Max!"

Deru angin dan faktor memakai helm, membuat suaranya teredam. Max tidak kunjung menyahut, Eila mendengus kesal akhirnya tidak mencoba memanggilnya lagi.

"Cakep-cakep, budek." Lirih Eila.

Ya sudahlah, biar saja Eila lelah.

Hingga akhirnya Motor Sport tersebut berhenti, Eila yang tersadar tidak bisa menyembunyikan wajah bingungnya.

Motor Max benar-benar berhenti tepat di hadapan pagar sederhana Rumahnya.

"Nggak mau turun? Atau mau jalan-jalan?"

Eila tersadar, matanya menatap Max nampak linglung."Dari mana Lo bisa tau Rumah Gue?"

Max menaikkan kaca helmnya agar dapat melihat wajah Eila lebih jelas.

"Gue tau semua tentang Lo." Ucap Max membuat Eila menganga tak percaya.

"Lo.. Stalker ya?!"

Dalam helm nya, Max terkekeh geli.

Sepertinya pada dasarnya Eila sedang bicara dengan orang gila. Gadis itu mendengus, lantas turun dari Motor Sport nya dan melepas helmnya.

Eila memberikan helm dan Jaket itu pada Max. "Makasih!" Tanpa mau repot-repot menawari Lelaki itu untuk mampir, Eila nyelonong pergi masuk ke dalam rumahnya.

Max tersenyum tipis, tanpa berniat menjalankan Motornya lebih dulu. Lelaki itu mengeluarkan ponsel Eila dari saku jaketnya, terlihat mengotak-atik sesuatu.

Tidak membutuhkan waktu lama, Eila keluar dari Rumahnya dengan terburu-buru.

Gadis itu menghela nafas lega kala mendapati Max yang masih menduduki motornya di hadapan gerbang rumahnya.

Lelaki itu menoleh dengan salah satu alis naik, seolah mengejeknya.

"Kenapa Lo diam aja sih?! Balikin."

Max menyerahkan ponsel itu, Eila menerimanya dengan lirikan sinis dan alis menukik. Seperti animasi angry bird, Max mengulum senyum geli.

"Sudah sana pulang!" Usir Eila.

"Gue pulang setelah Lo masuk." Sahut Max tanpa beban.

Eila yang sudah malas berdebat sekaligus tidak perduli, melenggang masuk ke dalam gerbang.

Begitu mengunci gerbang rumahnya, Eila dengan penasaran melirik dimana Max berada. Lelaki itu sungguh masih berada di Motornya memperhatikannya dengan tangan terlipat.

Eila cepat-cepat mengalihkan pandangannya saat Max memergokinya.

Dasar menyebalkan!

Eila melangkah masuk ke rumahnya dengan kaki menghentak-hentak melampiaskan rasa kesalnya.

Di tempatnya, Max menggeleng samar. Gadis itu benar-benar membuatnya gila, sejak pertemuannya satu Minggu yang lalu. Sesingkat itu ternyata jatuh cinta.

Dengan begini dirinya jadi tau perasaan Gadis-gadis yang mengejar-ngejar nya selama ini.

Setelah memastikan Eila hilang dari pandangannya, Max menurunkan kaca helm full face nya. Memacu Motornya dengan kecepatan tinggi.

"Liatin apa kamu, La?"

Eila terlonjak kaget, "Bang Rega! ngagetin aja!"

Rega tertawa. "Lagian kamu, pulang sekolah bukannya ganti baju malah ngelamun sambil liatin jendela. Ada apaan sih?" Rega dengan penasaran ikut melihat apa yang dilihat adiknya bungsunya itu.

Namun Eila dengan cepat menarik gordennya. "Nggak ada apa-apa! Kepo."

Dengan bibir mengerucut, Gadis itu berbalik pergi meninggalkan Rega yang keheranan dengan sikap Adiknya.

Eila memasuki kamarnya. Kamarnya tidak terlalu besar namun rapih dengan didominasi warna Lilac, juga putih.

Ia meletakkan tas nya begitu saja, menjatuhkan tubuhnya ke ranjangnya. Memandangi plafon kamarnya dengan pandangan menerawang.

Jujur saja, Eila sebelumnya belum pernah dekat dengan Lelaki. Sikapnya yang cuek dan meledak-ledak membuat Lelaki yang ingin mendekatinya kabur duluan.

Tapi herannya Max sangat keras kepala. Dia seolah tidak mempermasalahkan sikapnya. Padahal yang Eila tau dari gosip-gosip yang beredar, Max berandalan yang begitu menjunjung tinggi harga dirinya.

Siapapun yang mencari masalah dengannya bisa dengan mudah di habisi nya atau yang fatal dikeluarkan dari sekolah.

Isu yang tersebar pula mengatakan kalau Max dan teman-temannya pernah menghilangkan nyawa seseorang, tapi pihak sekolah tidak mencoba memastikan isu itu benar atau tidak nya.

Lagi-lagi karena hak istimewa yang dimiliki mereka.

Drrt..

Eila tersadar dari lamunannya singkatnya, begitu mendengar dering telepon dari ponselnya. Dengan malas Eila melirik siapa yang menelfon nya.

Calon Pacar.

Eila mengernyit bingung, perasaan Ia tidak pernah menyimpan nomor seseorang dengan nama menggelikan seperti itu.

Dengan penasaran Eila menggeser icon hijau untuk menjawab panggilan teleponnya.

"Hai." Suara bariton di sebrang sana membuat Eila mengerutkan keningnya.

"Siapa?"

"Calon pacar Eila, Max."

Eila membelakkan matanya tidak percaya. Refleks Gadis itu beranjak dari posisi berbaring nya.

"Lo gila ya!? Seenaknya buka-buka ponsel Gue." Serunya kesal.

Terdengar kekehan serak yang berat dari sebrang sana. "Gue juga baru tau kalo Gue gila.."

"Gila karena Lo, Eila."

Tut..

Setelah menutup panggilan teleponnya, berniat melempar ponselnya namun Eila urungkan. Gadis itu meletakkan ponselnya dengan wajah memerah, bukan karena blushing tapi karena benar-benar marah.

Tiga Penjaga Eila

"Pagi! Adik Abang yang cantik.."

Tanpa berniat menoleh, Eila mendengus kesal tetap melanjutkan acara memasak nasi gorengnya. Setelah siap Ia meletakkannya ke meja makan yang sudah dihuni ke tiga Kakak Lelakinya.

"Wih, enak nih." Celetuk Elang, Lelaki yang memiliki jarak usia tiga tahun dari Eila itu adalah Kakaknya urutan ke-tiga.

Saat tangan Elang terulur berniat mengambil porsinya, sebuah tangan menepisnya.

"Biar Eila yang ambil dulu." Ujar Farel, sebagai Kakak tertua dia faham kalau ke dua Adiknya benar-benar rakus dan akhirnya Adik bungsunya berangkat ke Sekolah tanpa sarapan.

Elang cemberut. Namun tak urung dia kembali diam menunggu. Sedangkan Eila mulai membagi porsi ke tiga Kakaknya itu dengan adil, setelah itu sisanya untuk dirinya sendiri.

"Nasi goreng, Adiknya Abang emang paling enak." Puji Rega, Kakak ke dua yang hanya berjarak usia satu tahun dengan Elang.

"Adiknya Gue juga Bang!" Elang berseru tidak ingin kalah.

"Adik kita semua." Sahut Farel cepat.

"Berisik. Makan nggak boleh sambil ngomong." Ucap Eila membuat ke tiganya sontak diam.

Mereka tampak seperti anak kecil, Eila pusing dibuatnya. Namun meski begitu Eila sangat menyayangi mereka, setelah kepergian ke dua orang tua mereka untuk selama-lamanya saat Eila baru berusia 10 Tahun.

Hanya mereka yang Eila punya. Mereka juga begitu menjaga Eila, tidak membiarkan hal sekecil apapun melukai Adik perempuan mereka satu-satunya.

Farel Kakak pertama mereka bekerja sebagai Staf resepsionis Hotel mampu kalau hanya untuk membiayai kebutuhan keseharian mereka.

Sedangkan Rega dan Elang berkuliah di Universitas yang berbeda, namun sama-sama mendapatkan Beasiswa Full. Jika Rega mengambil jurusan Teknik sedangkan Elang mengambil jurusan Seni.

Karena itulah Eila sangat bersikeras agar bisa mendapatkan beasiswa lagi dan tidak merepotkan kakak-kakaknya.

Drtt..

Dering telepon yang bersumber dari ponsel Adiknya, yang diletakkan di meja membuat Elang yang berada di sebelahnya reflek saja melihatnya karena penasaran.

Tapi dengan gerakan kilat Eila menjauhkan ponselnya. Gadis itu berdecak begitu melihat siapa si penelepon, namun tak urung Ia tetap menggeser icon hijau untuk mengangkat panggilan teleponnya.

"Gue didepan." Suara berat Max menyapanya tanpa menyahut Eila memutus panggilan teleponnya.

"Eila, berangkat sendiri." Ujar Eila pada ke tiga Kakaknya yang terbengong menatapnya.

Cepat-cepat Eila menyambar tas nya dan berlalu pergi keluar dari rumah. Benar saja, di depan gerbang rumahnya yang terkunci Max duduk di Motor Sport nya.

Eila membuka kunci gerbang rumahnya menghampiri Max. Gadis itu berdecak. "Gue, kan, tadi bilang. Gue nggak mau dianter jemput sama Lo!"

Max mengabaikan gerutuan Eila. Lelaki itu justru menyodorkan helm. "Pakai terus naik."

Eila menghembuskan nafas kasar, mengambil helm tersebut dengan bibir mengerucut, menaiki motor sport itu dengan susah payah.

"Pakai ini juga." Max menyodorkan Jaket hitamnya yang diterima Eila untuk menutupi pahanya yang terekspos.

"Pegangan."

Dengan tak ikhlas Eila memeluk Max membuat Lelaki itu mengulum senyum. Max memakai helm full face nya lalu melajukan Motor Sport itu dengan kecepatan tinggi.

"Bang! Siapa yang bawa Eila!"

Tangan Rega menoyor kepala Elang yang berteriak di telinganya. "Sakit telinga Gue, anjing!"

"Kita kecolongan." Tutur Farel lemas.

Layaknya orang bodoh, ke tiga Lelaki itu memperhatikan kepergian Motor Sport yang membawa Adik bungsunya dari jendela rumah.

"Ini karena Abang nggak becus jaga Eila." Celetuk Elang pada Rega.

Rega melotot kesal. "Lo juga nggak becus! Pacaran mulu sama Lili."

"Emang Lo nggak pacaran mulu sama Catering." Sahut Elang tak terima.

"Catrine!"

"Kalian semua salah!" Tegas Farel membuat Rega dan Elang meneguk saliva nya susah payah. "Ck, mulai sekarang. Kita selidiki Cowok yang berani-beraninya deketin Adik kita. Kayak sebelum-sebelumnya! Buat dia lari sampai kencing di celana." Ucapnya tak main-main.

Tanpa sepengetahuan Eila, mereka membuat trauma semua Lelaki yang mendekati Eila hingga tidak berani lagi muncul di hadapan Adiknya.

Mereka begitu posesif dan begitu menjaga Eila sebaik mungkin, tidak ingin Adik kesayangan mereka itu merasakan patah hati.

Seperti yang mereka perbuat pada para Gadis-gadis diluar sana.

Sesampainya di parkiran Sekolah. Eila lekas turun dari Motor Sport itu, Gadis itu menyodorkan helm nya pada Max.

"Makasih." Saat Eila berniat nyelonong seperti biasanya tangannya lebih dulu dicegah Lelaki itu.

Gadis itu melirik keadaan sekitar, mereka jelas-jelas menjadi pusat perhatian terutama para Gadis. Mereka sudah menatap Eila tajam.

Eila berusaha melepaskan cengkraman tangan Max pada pergelangan tangannya. "Lepas!"

"Gue lepasin asal jangan pergi kemana-mana." Ujar Max memaksa.

Eila berdecak. "Oke! Sekarang, lepasin tangan Gue."

Max melepaskan tangannya, Eila menunggunya dengan raut wajah keruh. Sedangkan Lelaki itu dengan santai melepaskan helm full face nya dan sarung tangan hitamnya.

Ketika Max turun dari Motornya, tanpa diminta Lelaki itu menggenggam Tangannya. Menariknya pergi dari parkiran.

Eila berdecak. "Ini sih sama aja. Lepasin nggak! Lo nggak liat Gue di tatap segitunya sama fans-fans Lo!"

Max mengangkat alisnya, acuh. "Gue pengennya begini. Suka-suka Gue."

Suka-suka katanya! Eila ingin sekali melempar Max ke Lautan, biar di makan Paus! Dan Eila tidak lagi melihat wajah menyebalkan nya itu.

Tapi.. Apakah Eila bisa mengangkat tubuh Max yang berkali-kali lipat dari tubuhnya kurusnya ini.

"Kenapa? Udah suka balik ya?" Kata Max dengan raut wajah datar.

Percaya diri sekali!!

Eila membuang wajah. "Mimpi terus!"

Max menarik sudut bibirnya, memunculkan seringai tipis. "Di mimpi Gue, kita udah nikah. Punya anak 11."

Benar-benar! Eila tidak kuat lagi menahannya, ingin sekali membuang Lelaki di sebelahnya ini.

"Dasar gila!"

"Gila karena Lo, kan?"

"Dasar aneh!"

"Aneh karena Lo, kan?"

Eila mendengus. "Gue benci Lo!"

Lelaki itu justru tersenyum aneh. "Gue juga suka sama Lo."

"Cowok nggak jelas!"

"Nggak jelas karena Lo, kan?"

"Pe--"

"Cukup!"

Intrupsi itu menghentikan perdebatan alot yang sudah menjadi bahan tontonan orang-orang di sekitar lorong koridor.

Eila dan Max kompak menoleh ke belakang. Mereka mendapati wajah garang Pak Ridwan, Kesiswaan yang biasanya menertibkan para Siswa-siswi Zenith High School.

"Kalian ini sedang apa?!"

Jika Eila ketar-ketir berbeda dengan Max. Lelaki itu justru merangkul pinggang Eila mesra. "Bapak nggak lihat? Saya sama Eila baru jadian."

Eila membelakkan matanya tidak percaya dengan yang Max ucapkan, begitu juga Siswa-siswi yang berada di lorong turut memperhatikan drama real life itu.

"Apaan sih?!" Seru Eila tak terima.

Max terlihat santai menatapnya, seolah apa yang baru saja diucapkannya memang kenyataannya dan tidak sedang bergurau.

"Bapak lihat sendiri, Eila malu-malu." Max mengatakan itu tanpa mengalihkan pandangannya dari wajah Eila yang menurutnya semakin cantik dengan bibir mengerucut kesal dan alis menukik.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!