NovelToon NovelToon

Mengejar Cinta Mantan Istri

Bab. Satu

Sudah cukup. Semuanya sudah cukup! Derita yang di alami Arumi sungguh sudah tak dapat di bayar.

Gibran Iskandar terus saja meminta maaf ketika istrinya memergokinya selingkuh. Dan Arumi tetap saja memaafkannya.

Akan tetapi, semua itu hanya kata kata maaf saja bukannya ada perubahan.

"Dasar wanita bodoh! Mau saja aku tipu dan aku bodohi!"

Itulah umpetnya yang keluar setiap saat Arumi memaafkannya.

Ada ya pria tak tau diri seperti Gibran?

Tidak ada sedikitpun rasa menyesal dan rasa bersalah menghampiri nya.

Kesalahan yang sama terus saja terulang hingga membuat Arumi muak.

Melihat tidak ada reaksi dari istrinya, membuat dia bersujud di kaki Arumi yakni meyakinkan istrinya bahwa dirinya benar yakin meminta maaf.

Sungguh ucapan manis yang di lontarkan Gibran yang selalu meluluhkan hati Arumi.

Akan tetapi, Arumi hanya diam saja di tempat dengan tatapan dan senyum menyeringai.

"Taukah kau, tanpa kau sengaja dan tanpa kau sadari kau sudah bersujud padaku. Yang jadi gengsinya kau itu apa juga? Kau terus mengejekku, kau terus menghinaku, kau terus menyia nyiakan ku. Kau lihatlah! Siapa yang bersujud di kaki siapa?"

Ucap Arumi yang sudah sangat kesal dan menepis tangan Gibran yang sudah sedari tadi menyentuh kakinya.

Ucapan Arumi mampu membangun sifat asli yang selama ini dia tanam rapat rapat.

"Kau sok sekarang! Kau pikir aku bersujud pada kau hah? Mimpi kau! Kau pikir aku sudi? Kau bersikap seperti ini sekarang ini padaku! Kau pikir kau bisa ke mana tanpaku hahh! pekik Gibran dengan emosi yang sudah tersulut tinggi.

Walaupun baru kali ini, Arumi mendengar ucapan kasar keluar dari mulut suaminya. Namun, tidak sedikit pun membuat Arumi merasa takut dan terkejut.

"Wahh,,, ada apa dengan dirimu sekarang mas? Kenapa sekarang kau bicara kasar begitu? Tidak seperti biasanya!" picik Arumi dengan menyunggingkan senyum licik.

Dia terus menautkan keningnya dan terheran dan menatap terus ke arah suaminya itu.

Dengan emosi yang sudah memuncak di ubun ubun, Gibran bergegas pergi dari rumah itu yakni menenangkan pikirannya.

Ia banting pintu dengan keras hingga membuat Arumi terkejut. Namun, Arumi tetap tak gentar.

Dia pikir hanya dia yang bisa emosi! Dia belum tau bagaimana jika aku sudah emosi!" hardik Arumi setelah Gibran pergi.

Rumah yang mereka tempati memang rumah berdua. Namun, Arumi sungkan mengurus soal rumah.

Arumi terus memasukkan semua bajunya ke dalam tasnya yang ukuran besar. Di tengah-tengah persiapan barang barang nya, mungkin karena sudah kecapean dan Arumi tertidur lelap di ranjangnya.

Hingga hari menjelang sore, matahari sudah terbenang. Tandanya hari sebentar lagi mau magrib. Gibran kembali pulang ke rumah.

Ia sungguh berharap bahwa istrinya sudah reda emosinya dan bisa di ajak bicara baik baik.

Betapa terkejutnya, dirinya melihat tas besar milik Arumi terletak di depan pintu kamarnya.

Gibran mendekat dan membuka tas itu, dan benar saja isi tas itu adalah baju baju nya Arumi.

Matanya menelisik. Mencari sosok istri yang entah dimana.

Gibran bergegas mencari, ia melusuri dapur dan halaman belakang. Tapi hasilnya, Arumi tidak ada di sana.

Di sana, Gibran hampir saja putus asa. Tiba-tiba ia teringat bahwa dirinya belum memeriksa kamarnya.

Cklek...

Knop pintu di putar dan pintunya mulai terbuka. Ia menangkap seseorang yang di cari carinya sedang tertidur di sana.

Gibran melangkah masuk dan merapikan selimut untuk Arumi.

"Selamat tidur. Semoga saja bangun esoknya kau jauh lebih tenang." ucap Gibran sembari mengusap kepala istrinya pelan.

Gibran kembali ke luar kamar dan mengambil tas besar itu dan mulai merapikan kembali baju baju Arumi ke dalam lemari.

Namun, baru saja ia membuka tas itu Arumi langsung terbangun dan melihat ke samping.

"Kau! Ngapain kau membuka tas ku?" tanya Arumi dengan lantang.

"Ohh suara tas ini membuatmu terbangun, maaf. Baiklah aku akan pelan, kamu lanjut tidur lagi aja sana." ucap Gibran dengan berusaha lembut.

Arumi menaikkan alisnya tidak mengerti kenapa suaminya kembali bicara lembut.

"Chh! Aku sudah selesai bersiap. Tadi aku hanya ketiduran saja. Awas! Aku mau ambil tas ku!"

Arumi melihat jam di tangannya, ternyata sudah malam. Ia bergegas ke kamar mandi dan mengambil wudhu lalu shalat magrib di sana. Setelah shalat ia langsung merapikan kembali mukenanya dan memasukkan kembali ke dalam tasnya.

Setelah di rasa semuanya sudah siap. Ia mulai mengangkat dan menyeret tas itu keluar. Ia membiarkan Gibran berdiri mematung di sana.

Tas itu memang berat, sehingga dirinya tidak bisa mengangkat tas itu dan dia cukup menyeret tas itu keluar.

Namun, walaupun sulit. Tidak sedikitpun ia menoleh dan meminta bantuan suaminya.

Setelah terasa cukup melelahkan, akhirnya tas itu berhasil di bawa keluar rumah.

"Keliatannya sangat berat." picing Gibran setelah itu.

"Lalu?"

"Surat rumah ini dimana? Dan juga kunci kereta. Kamu tidak boleh membawa semuanya."

"Surat rumah ada di kamar dalam laci paling atas. Kunci kereta ada tuh di tempat biasa di letakkan." jawab Arumi sambil menunjukkan jari ke arah gantungan kunci di dalam rumah itu.

Gibran hanya mengangguk. Tak lama kemudian, taxi yang di pesan pun tiba. Arumi tampak kesusahan mengangkat tas itu ke dalam bagasi taxi itu. Gibran ingin membantunya, akan tetapi, supir taxi itu lebih dulu cepat tiba dekat Arumi dan membantunya memasukkan tas besar itu.

Arumi pun masuk dan mobil itu segera tancap gas berlalu dari rumah itu.

Gibran yang melihat aksi nekat Arumi membuat dirinya terpaku di tempat.

"Tunggu saja akan di panggil di pengadilan. Dan kau harus datang."

Itu kata kata yang di ucapkan Arumi terakhir kalinya.

"Aku yakin palingan juga cuma satu minggu dia bisa betah tinggal sendiri. Tunggu saja di saat uangnya sudah habis dan dia akan kembali lagi kesini. Bisa apa dia tanpaku!" tukasnya dengan sinis.

Gibran tampak tak begitu peduli Arumi pergi atau tidak. Tadinya iya, dirinya kembali menata baju nya Arumi ke dalam lemari untuk mencegah perginya istrinya itu.

Gibran tampak begitu yakin bahwa Arumi akan balik lagi ke rumah itu setelah ia merasakan hidup sendiri.

Pernikahan mereka memang di jodohkan, tapi tak lama setelah menikah akhirnya mereka saling mencintai satu sama lain.

Belum begitu lama mereka membina rumah tangga dan sudah begitu di hancurkan oleh Gibran seorang. Namun, Arumi masih saja ingin mempercayai nya.

***

Arumi berhenti di sebuah rumah kontrakan yang tidak cukup luas. Tapi rumahnya terlihat begitu rapi dan elegan. Untung saja dia belum punya anak. Pikirnya.

Gibran lah yang ingin menunda untuk cepat punya momongan dengan alasan belum siap, atau belum cukup uang tabungan dan lain-lain.

Arumi hanya menurutinya saja, walaupun dirinya sedih karena tetap sendiri padahal sudah lama menikah.

Akan tetapi, sekarang dirinya baru menyadari bahwa beruntung nya dirinya karena harus berpisah dengan seorang diri.

BERSAMBUNG...

Lanjut ke bab 2...

Bab. Dua

Bab2.

"Kamu sudah datang, nak?" tanya bibi kontrakan yang tidak lain adalah bibinya sendiri yang merupakan adik sepupu dari ibunya.

"Iya, bi. Maaf, baru datang malam begini," jawab Arumi yang merasa tidak enak.

Bibi pun menarik tangannya lalu membawanya ke dalam rumahnya.

"Kamu pasti belum makan kan? Ayo, kita makan." ajak sang bibi.

Arumi mengangguk pelan. Lalu melangkah ikuti bibi ke meja makan dekat dapur.

"Seharusnya sudah dari dulu kamu pisah dengan nya. Lelaki seperti dia tidak pantas di ampuni." ucap bibi lagi di sela sela makan.

Arumi diam dan tidak menanggapi ucapan bibi. Dia memilih untuk melanjutkan makannya.

Tak lama kemudian, mereka pun selesai makan.

"Maaf, Bi. Ar nggak bisa tinggal bersama bibi. Ar akan tinggal di kontrakan saja, lagian kita juga dekat kan? Aku tau kondisi bibi bagaimana, aku paham bi." ucap Arumi yang menolak halus ajakan bibinya.

Bibi tersenyum melihat keponakan nya sudah dewasa dan mandiri. Ia membiarkan Arumi tinggal sendirian di rumah kontrakan nya.

Bibi Nur dan Arumi pun berangkat ke rumah kontrakan yang kosong. Bibi membuka pintu itu.

Cttttt...

Decitan pintu itu membuat Arumi tidak tahan dan nyaman.

"Bibi sebentar, Ar ambil minyak dulu. Pintunya sangat berisik bi." ucap Arumi yang kemudian berlari ke rumah Bibi dan mengambil sedikit minyak goreng di dapur.

Tak lama kemudian, Arumi kembali dengan membawa minyak di tangannya. Arumi segera meneteskan minyak di engsel pintu itu.

"Ini baru oke bi," ucap Arumi.

"Ini kamar sudah Bibi bersihkan. Bajumu juga sudah Bibi siapkan ke lemari. Ini kasur untukmu." ucap Bibi dengan senyuman sumringah.

"Terimakasih Bibi, Bibi baik banget sama Ar." jawab Arumi sembari memeluk bibinya.

"Sudah seharusnya Bibi begini. Kan kamu juga anak Bibi." jawab Bibi yang membalas pelukan Arumi.

Bibi pun pamit pulang ke rumahnya. Setelah bibinya keluar, Arumi pun merebahkan tubuhnya di kasur yang empuk. Dan tak lama kemudian Arumi pun tertidur.

\*\*\*

Tok.. Tok.. Tok..

Arumi tersentak ketika pintu kamarnya di ketuk dari luar.

Arumi bangkit dan membuka pintu dan ternyata bibinya datang membawa sarapan untuknya.

"Baru bangun, nak?" tanya Bibi.

"Iya, bi. Aku dikejutkan oleh ketukan Bibi." jawabnya santai sambil masih mengucek matanya.

"Hari sudah pagi, sana cuci dulu mukamu."

Arumi mengangguk dan bangkit ke kamar mandi.

Hampir 30 menit dirinya di kamar mandi, Arumi juga masih di kejutkan oleh sang Bibi.

"Kenapa? Ayo, masuk dan sarapan." tanya Bibi.

"Bibi kok masih di sini nungguin Arumi?" tanya Arumi yang heran.

Bibinya tersenyum dan mulai menyuapi Arumi makan. Pagi itu, Arumi makan yang di suapin bibinya. Rasanya sungguh nikmat, sama seperti rasa tangan ibunya. Tanpa terasa air mata Arumi sudah di pelupuknya dan menetes begitu saja.

"Loh, nak. Kenapa kamu nangis?" tanya Bibi merasa panik dan menyeka air matanya.

"Tidak ada bi, aku hanya terharu saja. Melihat Bibi menyuapiku dan memberiku kasih sayang berasa seperti ibuku sendiri. Aku teringat ibu, bi."

Bibi Nur juga ikut meneteskan air mata. Kakaknya memang sangat baik. Terkadang mereka berpikir. Kenapa orang sebaik ibunya harus di ambil secepat itu oleh yang Maha Kuasa.

"Besok saja kita pergi berziarah ke makam ibumu ya, nak." ujar Bibi sambil kembali menyuapi Arumi makan.

Terlihat. Para penghuni rumah kontrakan lain melihat ke dalam rumahnya Arumi.

Pintu yang terbuka lebar, sangat jelas terlihat bahwa ibu kontrakan sedang menyuapi orang baru pindah semalam.

"Ehh lihat deh, ibu kontrakan kok suapin orang baru itu sarapan sih? Padahal baru semalam wanita itu masuk ke sini." tanya seorang wanita pada wanita lain yang juga penghuni rumah kontrakan Bibi Nur.

"Iya, ya. Dasar wanita nggak punya malu. Baru datang udah cari perhatian dari ibu Nur." tukas ibu ibu yang lainnya.

Pagi itu, di pekarangan rumah kontrak ibu Nur sudah di penuhi dengan gosip yang menyengatkan di dengar.

"Heh! Ada apa ini? Pagi pagi kok sudah pada bergosip. Udah, bubar bubar sana." bentak buk Nur yang baru melihat di luar rumah sudah rame rame berkumpul.

"Ibuk yang ngapain di dalam sana. Iya, dia memang orang baru di sini. Tapi bukan berarti dia bisa di manjain oleh ibuk. Untuk apa! Untuk dapat gratis gitu."

Arumi yang mendengar itu hanya diam tanpa menjawab apapun. Dirinya memang sudah dalam masalah.

"Dia itu keponakanku. Memang salah aku memanjakan nya. Dia ingin mandiri itu sebabnya dia tidak mau tinggal di rumahku tinggal bersamaku. Dia disini juga bayar sewa sama seperti kalian. Jangan enaknya ngomong kalian!" bentak Bibi Nur dan mengusir orang-orang itu.

Semua ibu ibu itu membulatkan mulutnya berbentuk Ooo...

"Maafkan kami buk. Kami kira wanita itu hanya ingin cari perhatian ibuk, makanya berpura-pura sedih begitu." jawab salah satu ibu di sana. Yang rumahnya bersampingan dengan rumah milik Arumi.

"Makanya. Jangan di bawa gosip. Seharusnya tanya dulu kepastiannya. Dia itu anak dari kakakku. Iya, seharusnya dia bisa tinggal bersamaku. Tapi dia sendiri yang ingin mandiri makanya aku biarkan saja dia mandiri." jawab Bibi kemudian.

Bibi lalu melangkah ke arah Arumi.

"Nak. Seperti inilah kondisi rumah kontrakan. Harap di maklumin. Kamu kan belum pernah tinggal di kontrakan. Ini semua tetangga kita, nak." ujar Bibi yang mengelusnya.

"Iya Bibi, aku maklumi kok. Tidak apa apa. Mungkin aku hanya belum terbiasa saja. Lama kelamaan pasti terbiasa kok." jawab Arumi sekenakan saja.

Semua penghuni itupun bubar ke rumah masing-masing. Arumi tampak sibuk bersiap pagi ini.

"Loh nak, kamu mau kemana pagi pagi begini?" tanya Bibi Nur yang kaget melihat keponakannya yang sudah rapi.

"Bagaimana bi, penampilan ku? Aku mau kerja bi. Lagian kan di rumah terus suntuk bi, stress juga." jawab Arumi dengan senyum senang yang kemudian berubah menjadi mulut monyong.

"Tidak apa apa, udah sana berangkat. Tenangin dirimu dulu." jawab Bibi lagi dengan santai.

Arumi pun pamit dan bergegas pergi. Tampak di sana sudah ada yang menunggunya.

"Heh kamu! Tadi chat gw bilang nggak masuk kerja. Ini lo udah datang. Gimana sih lo?!" ujar Mika yang super cerewet itu.

"Heheh.. Aku nggak jadi libur. Pikiran gw lagi mutar ini. Seharusnya gw sih istirahat, cuma bingung juga mau ngapain dirumah. Makanya gw datang ke sini." jawab Arumi.

Semua para staf di sana tampak senang begitu Arumi datang ke perusahaan itu. Arumi di sana berteman baik dengan semua para karyawan hingga membuat pak CEO takjub padanya.

Sering kali pak CEO kirim bunga dan juga makanan untuknya. Arumi hanya menerimanya saja. Ia pikir ini hanya sebatas bos dan bawahannya saja. Lagian pak CEO tidak bicara macam macam gitu. Arumi anggap itu biasa biasa saja.

BERSAMBUNG...

Yuk lanjut bab 3..

Bab. Tiga

Bab 3.

Hingga sore hari, seperti biasa Arumi pulang awal. Namun soalnya, seorang yang begitu dikenalin nya berdiri tidak jauh dari gerbang perusahaan tempat ia bekerja.

"Untuk apa kau kesini?" tanya Arumi yang tanpa basa basi.

" Ayo, pulang. Aku kesini menjemputmu?" ajak Gibran dengan lembut.

"Jemput? Untuk apa kau menjemputku? Tidak biasanya!" jawab Arumi dengan menaikkan alisnya.

"Aku minta maaf, dan mari kita selesaikan ini di rumah. Ayolah, kamu pasti memaafkan ku kan?" bujuk Gibran agar Arumi kembali luluh.

"Memaafkan mu? Sudah berapa kali kau mengatakan itu? Itu hanya kata kata munafik yang kau ucapkan setiap kali. Aku muak!" sergah Arumi dan berlalu pergi begitu saja.

Tak lama kemudian, Mika berhenti motornya tepat di samping Arumi.

"Mau pulang bareng nggak? Aku ingin bercerita dengan mu" ucap Mika.

Arumi mengangguk dan ikut nebeng dengan Mika.

Ternyata Mika tidak ke rumah ataupun ke rumah Arumi, melainkan pergi ke sebuah kafe di kota itu.

"Loh Mika, kok kita ke sini?" tanya Arumi yang merasa heran.

Mika tidak menjawab, ia menarik tangan tangan Arumi dan masuk ke dalam kafe itu.

Mika langsung memesan menu untuk mengisi perut sore ini.

"Kita makan dulu di sini, tadi suamimu ngapain ke sini?" ucap Mika sembari bertanya.

"Dia bukan suamiku. Aku udah pisah dengan nya sejak semalam. Tadi malam aku tidur di rumah kontrakan bibiku." jawab Arumi kesal.

"Wahh serius..! Ihh gila ini. Aku pikir kau bakalan terus terusan memaafkan si kadal itu!" seru Mika dengan mimik wajah yang begitu bahagia.

"Ada apa dengan mu? Aku yang pisah dengan nya, kenapa kamu yang begitu senang?" tanya Arumi menautkan alisnya.

"Aku senang. Aku bahagia. Akhirnya sahabatku bisa bebas dari buaya darat itu." jawab Mika dengan lantang. Sanking senang dan bahagia nya dirinya saat ini.

Arumi hanya menatapnya heran dan menggelengkan kepalanya.

Tak lama kemudian, menu pesanan mereka pun tiba. Dan mereka pun makan dengan lahap.

Akhirnya pun mereka berdua terkekeh. Ada saja tingkah teman satu ini selalu bisa membuatnya tertawa. Mika memang gadis yang tomboy, tapi dia sangat setia kawan.

"Jangan pernah mau balik lagi dengan kadal itu! Aku tidak suka! Apa, kau mengerti! Dia, bukan pria yang pantas untukmu!" teriak Mika mengingati Arumi.

Untung saja mereka sudah keluar dari kafe itu, jika tidak bisa nih di lihatin orang ketika Mika berteriak begitu.

Tak lama kemudian, Mika mengantarkan Arumi ke rumah barunya.

"Assalamu'alaikum, bibi," seru Arumi memberi salam begitu tiba.

"Wa'alaikumsalam. Ehh ternyata kamu sudah pulang nak," sahut bibi dengan senang begitu melihat Arumi pulang.

Bibi merilik ke arah Mika.

"Dia siapa, nak?" tanya bik Nur pada keponakan nya itu.

"Dia Mika, bi. Dia sahabat Ar sejak lama." jawab Arumi memperkenalkan temannya itu.

"Ohh, ayo, masuk dulu." jawab bibi kembali dan mempersilahkan mereka masuk.

Mereka mengangguk dan masuk ke dalam rumah bik Nur.

\*\*\*

Bik Nur pun pamit ke dapur. Melihat itu, Arumi pun pamit sebentar.

"Nak. Apa kamu tidak salah berteman? Lihat deh penampilannya!" celetuk bibi yang terlihat tidak suka dengan penampilan Mika.

"Bik, melihat orang itu bukan dari penampilannya. Dia memang seperti itu, tomboy. Tapi hatinya sangat baik. Sudah berkali-kali dia menyelamatkanku dari preman yang berusaha melecehkan ku. Tapi dia datang membantuku." jawab Arumi dengan memberikan penjelasan padanya.

Kemudian bik Nur pun tersenyum, ternyata masih ada teman baik yang berteman dengan keponakannya. Awalnya dia merasa takut jika Arumi berteman dengan kawan seperti itu, akan tetapi, setelah mendengar penjelasan dari Arumi membuat hati bik Nur tenang.

Arumi dan bibi pun keluar bersamaan membawa nampan minuman dan sedikit cemilan.

"Ehh bibi, jangan repot repot. Tadi aku dan Arumi susah makan di luar kok." sergah Mika merasa tidak enak dirinya di jamuan seperti itu.

"Tidak repot kok, ini hanya minuman saja dan cemilan kecil. Kamu kan baru kali ini ke rumah ku, sudah pasti harus di kasih minuman dong." jawab bik Nur dengan senyum mengembang.

Setelah minum, Mika izin pamit pulang. Ar pun mengantarkan nya sampai pintu depan.

"Besok lo masuk kerja kan?" tanya Mika.

"Tentu dong," jawab Arumi dengan mengacungkan jempol.

"Oke, aku jemput lo besok."

Mika pun bergegas pergi melesat begitu saja. Padahal Arumi belum sempat menjawab sudah pergi gitu aja.

"Bibi, menurut bibi apa aku sudah memilih jalan yang benar?" tanya Arumi ketika sudah kembali masuk.

"Tindakan mu sudah benar, nak. Memangnya mau berapa lama lagi kamu selalu di tindas begitu? Kamu wanita baik, bukan berarti bisa di manfaatkan oleh nya." jawab bibi yang menatapnya serius.

"Tadi dia menjemputku saat pulang kerja. Aneh, dia bicara dengan nada lembut sama kayak dulu dulu. Hanya kemaren saja bicaranya kasar."

"Apa? Dia datang ke sana? Dasar keterlaluan dia!" jawab bibi dengan mood kesel.

"Untung Mika menawarkan untuk di antar olehnya." sambung Arumi.

Sepertinya bibi sudah menahan emosinya. Sungguh sangat marah bik Nur mendengar kejadian yang terjadi pada keponakannya itu.

\*\*\*

Di sisi lain, Gibran yang awalnya merasa tenang setelah kepergian istrinya dari rumah. Ia berpikir bisa bebas membawa pacar itu ke rumah. Akan tetapi, apa yang terjadi sangat berbeda dengan kepikirannya itu.

Gibran terus saja berkutat bahwa Arumi akan kembali dengan sendirinya setelah satu minggu. Setelah uangnya habis dan gelandangan di jalan pasti dia mau balik lagi ke rumah itu.

Gibran tidak tau kalau Arumi punya bibi di kota tempat mereka tinggal. Hal itu sengaja mereka sembunyikan.

"Kenapa kamu tidak masak? Dan lihat, rumah kok berantakan gini. Kenapa kamu tidak membersihkannya?" tanya Gibran saat baru pulang kerja.

Ia melihat rumah begitu kotor dan berantakan. Begitu pula di saat dirinya lapar mau makan, dan tidak ada apapun di meja makan.

"Hellow.. Aku ini tunangan mu, bukan pembantumu. Gimana sih kamu." balas wanita itu dengan nada tinggi. Ia bernama Sari Ayunistira.

"Iya, aku tidak bilang kamu pembantu. Tapi lihat, apa kamu betah tinggal di rumah yang kotor dan berantakan ini? Nanti banyak nyamuk lo?"

"Iya nggak betah lah. Gimana mau betah rumah jorok dan bau lagi. Kalau kamu mau rumah bersih dan ada makanan juga, kamu cari gih pembantu. Biar semuanya aman." celetuknya kesel.

Dirinya tidak mau di suruh suruh begitu. Apalagi untuk membersihkan rumah.

Gibran tidak menjawab, ia mengusap wajahnya kasar. Lalu keluar begitu saja.

Ia mampir di sebuah restoran yang enak menunya di sana. Ia membeli beberapa lauk dan di bungkus.

Tak lama kemudian, ia balik lagi.

"Sayang, ayo, bantu aku kita bersihkan ini. Setelah ini kita makan. Aku baru saja membeli makanan tadi." ucap Gibran lembut.

"Ogah. Nanti tangan ku kotor mas, kamu aja ya yang bersihkan." jawab Sari dengan nada jengkel.

"Jika di bersihkan bersama maka cepat bersih dan cepat selesai. Gimana mau duduk makan coba, kalau tempat kotor gini. Ayo, cepat sini." Gibran masih berusaha bicara lembut, walaupun emosinya sudah berada di pucuk ubun-ubun nya.

Dengan langkah malas dan jijik, Sari bangkit dan membantu Gibran membersihkan tempat itu.

Gibran benar-benar menggelengkan kepalanya melihat Sari yang seperti itu. Maunya dia marah dan membentak. Akan tetapi dirinya tidak tega, karena dia sangat mencintai Sari.

Tidak tau bagaimana sikap nya yang sebenarnya. Di sini Gibran mulai melihat bagaimana sikap orang yang di cintai.

BERSAMBUNG..

yuk lanjut bab 4...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!