NovelToon NovelToon

Desa Terkutuk

Sapi Penasaran

Perkenalan sang tokoh utama

Perkenalkan namaku adalah Riyono Hariyanto. Yah panggil saja Rion atau Yono juga ga papa. Lahir di kota Malang Jawa Timur tahun 1952. Lahir di dalam keluarga yang sangat sederhana. Tiga bersaudara, aku nomor dua. Kakakku bernama Andri Haryanto dan adik kecil cewek bernama Ernie Harianti.

Ok ga usah berlama lama perkenalannya, kita langsung saja ceritanya.

Pada jaman dahulu.....

1

Tahun1964 saat usiaku 12 tahun.

Pagi itu aku berangkat ke sekolah, cuaca pagi sangat dingin dan berkabut. Mengingat saat itu tahun 1950-1960an rumah masih jarang, dan pepohonan masih sangat rimbun. Jarak antar rumah pun cukup jauh.

Berjalan tanpa alas kaki, seragam sudah mulai kucel dan menguning. Yah ciri khas anak jaman dulu.

“Yooon” teriak seseorang dari arah belakang. Saat ku toleh kebelakang , Ternyata suara Udin. Teman sekelas ku. Rumahnya tepat di seberang jalan. Jadi kita sering berangkat ke sekolah barengan.

“Oi, Din” jawab ku.

“Tumben jam segini kau sudah berangkat sekolah.”

“Emang kenapa bos?”

“Biasanya kau datang paling telat, kawan”

Yah sebenarnya aku murid yang cukup bandel kala itu. Datang paling siang. Nyontek. Dan tidur saat pelajaran. Hahaha murid tipikal ya? Tapi, aku cukup pinter kok. Suer deh.

“Sesekali ga apa-apa kan?” Jawab ku.

“Ya tiap hari lah kalau bisa.” Kata Udin sambil clingak clinguk. Bahasa Jawa dari kata lihat sekeliling. “Udah denger berita ga?”

“Berita apaan?”

“Sapi pak komat yang galak itu, kau tau kan?”

“Ya” jawabku sambil menahan kantuk. Lalu menguap lebar. “Lanjutkan ceritamu tadi”

“Ok.Ok” Dan dia pun melanjutkan ceritanya. “ Kemarin lusa kan sapi itu kan mati. Dan di kubur di dekat sungai ‘Gimun’ -nama sungai tersebut -.” Dia diam cukup lama.

“Yaa. Terus?”

“Arwah sapi itu, GENTAYANGAN.!!!!!!” Kata Udin sambi berteriak saat mengucapkan kata ‘gentayangan’.

Gentayangan. Kata Jawa dari kata penasaran. Ya roh penasaran. Biasanya roh penasaran itu roh dari orang mati ga wajar. Semisal mati di bunuh. Mati kecelakaan. Dan sebagainya. Lha ini. Roh nya sapi penasaran. Penasaran sama siapa pula. Eehh..

Pak Komat tinggal di belakang rumah Udin, dia punya beberapa sapi. Kandangnya persis disebelah kali Gimun. Dan kali Gimun sekitaran 50 meter lagi kebelakang dari rumah Udin. Jaman dulu rumah masih sederhana semua. Bangunan rumah masih dari bilik bambu, belum ada kloset WC atau wastafel sekalipun. Kalau mau mandi dan buang hajat, ya musti harus ke sungai. Dan juga listrik masih belum terpasang di beberapa daerah, termasuk desaku.

“HAH!?” Ga sadar aku teriak cukup kencang. “ Kau jangan becanda. Emang bisa sapi mati arwahnya gentayangan.?”

“Kau ini di bilangin kaga percaya!?”

lantas, dia menceritakan kisahnya. Saat bapaknya buang hajat, dari arah kandang sapi milik Pak Komat, terdengar suara berisik. Karena penasaran bapaknya Udin mempercepat urusannya itu, dan bergegas menuju ke arah kandang sapi tersebut.

Dia melongok ke dalam sana, tidak ada apapun yang aneh terlihat.

Namun, saat dia berbalik badan untuk pulang. Alangkah terkejutnya dia ternyata di belakang bapak Udin sudah ada sapi besar bermata sangat besar pula.

Karena kaget, bapak Udin langsung berlari ke rumahnya.

Mendengar itu, aku cuma bisa melongo.

Dan dia berlalu meninggalkanku sendirian yang telah takjub mendengar kisah barusan.

2

Di sekolah ternyata cerita Udin sudah menyebar luas. Terbukti  dari omongan anak-anak di sekolah. Mereka ramai menceritakan kisah Udin tadi. Dan ada pula anak-anak lain bercerita tentang kisah-kisah horor mereka masing-masing.

Udin sangat bersemangat ketika dia bercerita kepada teman-teman yang lain di pinggir lapangan sekolah.

“Kalian percaya takhayul ya kawan-kawan?” Kata ku memotong pembicaraan Udin,

Udin lantas protes karena ceritanya aku potong. "Ya sudah kalau begitu, ga usah dengar ceritaku."

“Benar nih.” Kata Efi salah satu siswi satu kelas kami.

“Emang kau pernah di ganggu setan, fi?” Tanya ku ke Efi.

“Pernah.” Jawab Efi “yah, walaupun bukan arwah sapi pak komat sih.”

“Coba kau ceritakan, fi.” Jawabku. Aku mulai penasaran gess.

“Oke. Baiklah kalau itu mau mu, akan aku ceritakan.” jawab Efi “Kau tahu pohon beringin kembar di kelurahan Mulyorejo kan? Sebelah timur rumahku. Didepan kelurahan sana.” Di bertanya, tapi sebelum ada yang menjawab, dia sudah melanjutkan ceritanya. “Saat itu, aku pulang mengaji di Masjid AL-Barokah - waktu itu sekitaran jam sembilan malam- karena ga ada yang menjemput aku. Maka aku pulang sendirian. Pas lewat di bawah pohon itu. Tiba-tiba ada yang jatuh di belakang ku.” Dia diam sejenak. “Hiii merinding.- saat aku lihat. Tenyata ada kemamang.!?”

“Kemamang??” Tanya kami serempak bagaikan paduan suara.

“Kalian ga tau kemamang.?” Efi balik bertanya.

“Apaan itu?” Jawab ku.

“Setan tengkorak kepala manusia.!!”

“Apa?” Aku langsung melongo.

Tapi sepertinya Efi tidak perduli dengan omonganku, dia tetap melanjutkan ceritanya. “Mula-mula. Mata tengkorak itu menyala merah. Lama kelamaan seluruhnya menyala api merah dan terbang ke arah sawah depan kelurahan. Kemamang itu tiba-tiba meledak 'Bum!' dan menghilang tanpa jejak.”

“Astaga binaga, serius Ef? Kamu ga salah lihat kan?" Jawabku mendengar ceri Efi tadi

“Yah. Mau percaya atau tidak itu terserah kamu Yon.” Jawab Udin "Kita bercerita apa adanya."

Nex

Ok gaes, jadi begini. Rumahku tepat di perempatan jalan, depan rumahku ada rumah Udin, dan di belakang rumah Udin ada rumah pak komat dan juga tak lupa ku beri tahu, disana ada kandang sapi beliau.

Di kanan rumahku, ada jalan setapak menuju kebun belakang. Tidak ada rumah lagi disana.

Kalau jalan ke arah timur rumahku. Disana ada pos ronda, jalan ke timurnya lagi ada Ba'an -Lapangan buat menjemur hasil panen, dan semacam gudang besar untuk menyimpan hasil panen, terutama padi-.

Dan jalan ke arah barat, disana ada perempatan jalan lagi.

Belok sebelah kiri ada ringin kembar dan kelurahan. Dan di sekitar sana ada rumah Efi.

Belok ke kanan, nanti di ujung jalan ada tikungan dan turunan terjal. Di pertengahan turunan ada sekolahan tempat aku menuntut ilmu.

Yang lurus di perempatan itu, disana ada masjid AL-Barokah, rumah Angga, Bogel dan Dika yang berjarak antara limapuluh sampai enam puluh meteran dari rumah ke rumah.

3

Sore itu, di hari yang sama. Seperti biasa sepulang sekolah, aku dan teman-teman bermain di sungai bagian timur kali ‘sungai’ gimun- yaitu kali Lanang, tempat laki-laki mandi- terdapat bendungan cukup besar ( peninggalan Belanda ) dan lumayan tinggi.        Layaknya anak-anak jaman dulu yaa. Suka main di sungai. Sawah atau ladang, sampai menjelang magrib.

“Teman-teman, sudah mulai gelap ayo kita pulang.” Udin yang tadi berkata. “Ingat kali ini angker kalo malam hari.”

“Benar, ayok bubar.” Teriak Angga salah satu teman ku. Di sana kita ada beberapa anak. Udin, Angga, Bogel, Dika, Aku dan beberapa anak dari kampung sebelah yang tidak ku ketahui namanya.

“Bentar lah. Belum gelap juga!!” jawab salah satu anak dari kampung sebelah.

“Apa sapinya pak komat beneran penasaran Din?” Kata ku.

Mendengar itu. Sontak Udin berkata ini padaku.

"Iya yon. Sapinya pak komat penasaran sama kamu, katanya kangen. Kepingin ketemu.”

Dan kamu pun tertawa keras bersama-sama .    “Astaga. Perutku sakit nih. Dari tadi becanda melulu. Tapi, aku memang ga percaya sama yang namanya setan atau sebagainya." Kataku kemudian.

"Yah semoga kau di samperin sama sapinya pak Komat deh." Kata Udin yang di Aminin yang lain.

Pembicaraan pun beralih ke hal-hal lain. Dan tanpa sadar waktu sudah mau masuk isya. Ada beberapa anak yang membawa obor, jadi kita tenang tenang saja. Tapi tak lama kemudian Kita pun sepakat membubarkan diri.

4

Sesampainya di rumah. Tiba-tiba saja ibuku menjewer telinga ku.

“Aduhh. Apaan sih Mak!?” Teriakku bingung.

“Ini hukuman karena pulang terlambat. Dan hukuman tidak mengerjakan PR.

Mendengar hal itu. Bapak keluar dari kamar dan ikut-ikutan menghukum. Aku disuruh berdiri di pojokan. Hiks..

5

Beberapa jam kemudian perutku terasa sangat mules. Sehingga aku minta keringanan hukuman bapak. “Pak. Udah a.? Sudah jam berapa ini.” Aku bertanya tanya pada bapak. “Pak.?” Hening ga ada jawaban. “Pak. Oh pak e.? Aku mules pak. Udahan ya. Anterin ke sungai donk.?”

Karena ga ada jawaban. Aku berjalan ke kamar bapak. Ternyata dia sudah tidur pulas. Oh, astaga naga. Dasar tukang molor.

“Pak. Anterin ke kali. Perutku mules nih.” Sambil aku goyang-goyang bapak agar dia bangun. Lama ga bangun-bangun, aku ganti mencoba membangunkan ibuku. Dan hasilnya tetap nihil. Terpaksalah aku pergi ke parit sendirian.

Perlu di ingat ya geas, jaman segitu rumah masih jarang, kecuali rumah Udin dan pak komat sih. Hehee,. Listrik masih belum terpasang di desa-desa kecil terutama desa Mulyorejo ini. Hanya obor-obor yang menjadi penerangan jalan.

“Nekat aja deh pokoknya." Kataku dalam hati saat keluar rumah.

6

Malam itu aku sendirian menuju sungai untuk membuang hajat. Jarak antara rumah dengan sungai cukup jauh. Perasaan ga enak, was-was dan ngeri-ngeri sedap menyelimuti ku.

Ayolah Cuma seratus meter aja jaraknya. Pikirku. Di tengah perjalanan aku teringat cerita Udin.

Benarkah ada setan sapi? Atau memang benar bahwa bapaknya Udin cuma menakut-nakuti saja? Ataukah bukan keduanya, alias bapaknya Udin cuma mimpi buruk yang terasa nyata.

Aku menyusuri jalan setapak berbatu di sebelah rumah Udin untuk menuju ke sungai Gimun. Rumahnya di batasi oleh semak belukar yang sangat tinggi.

“MOOOOOO!!!” Suara sapi pak komat membuyarkan lamunanku, kandang sapi itu sudah dekat. Tinggal sedikit lagi sampai parit.

'Wuusssss' angin berhembus kencang, membuat bulu kudukku berdiri tegak.

Siall. Kok aku jadi penakut gini yak. Setan itu ga ada. Setan itu ga ada. Jangan jadi penakut bodoh. -aku memarahi diriku sendiri dalam hati.

Sekarang kandang sapi pak komat sudah mulai terlihat di depan.

Aku melewati kandang tersebut, dan parit sudah terlihat.

Parit itu tidak ada yang memakai. Alhamdulillah- dan cepat-cepat aku jongkok untuk menyelesaikan ritual, ritual segala umat. Sambil clingukan, aku kembali teringat cerita Udin. Sapi pak komat penasaran, astaga emang setan sapi itu gimana rupanya sih?

“BYUUR!!”

Tiba-tiba terdengar suara air menciprat.-apa juga itu menciprat- seperti seseorang loncat ke dalam air tepat di samping kiri ku.

Aku lihat ke arah itu dan tidak ada apapun dari arah situ, bahkan bekas cipratan air pun tidak nampak.

Dak dik Duk. Jantung ini berpacu cepat, aku mencoba mempercepat ritual ku, tapi perut tambah mules, dan tidak bisa di tahan.

‘haaaaa....’ suara hafas sangat pelan terdengar sangat dekat di telingaku, sekali lagi aku lihat ke arah tadi. Dan masih tidak ada apapun. Sekilas aku menoleh ke depan, dan langsung seketika itu juga aku menoleh ke arah kiri lagi. Dan bayangkan apa yang ku lihat.

Sesosok besar hitam bermata sangat lebar menyala bagaikan lampu mobil. Dan dia meringis dan mendesis. Gigi besar-besar bewarna kekuningan, dia tepat satu meteran di sebelahku.

“MOOOOO...!!!!!” dia mengeluarkan suara sapi. Tapi lebih menyeramkan, seperti sapi saat di sembelih.

“WAAAAAAHHHH.!!!!!” Aku berteriak kencang. “MAAKK EEE.!!!!! TOOLLOOOONNGGGGGG.!!!!”

Dan berlari lah aku tanpa sempat cebok sama sekali. Bodoh amat deh lengket-lengket dikit. Yang penting selamat -pikirku.

Pak Komat sepertinya mendengar teriakanku, dia muncul dari dalam rumahnya sambil bertanya. “Ngapain malam-malam begini teriak-teriak.?”

“Ada... Ad... Ada..” aku tergagap.

“Ada apaan.?”

“Ada. Sapi.” Karena syok dan gemetaran aku jadi hanya bisa komat-kamit ga karuan.

Akhirnya Pak Komat mengantar aku pulang tanpa bertanya lagi.

7

“Ya udah. Bapak pulang dulu ya.?” Kata Pak Komat sesampainya di rumah.

“Iya pak.” Jawabku “ga mampir dulu kah.?”

“Ga usah Yon. Sudah malam. Bapak musti mengurus sapi-sapi yang kebangun gara-gara kaget mendengar teriakanmu tadi.”

“Iya deh pak. Maaf sebelumnya.”

“Memangnya kenapa kamu tadi teriak-teriak.?”

“Adaa.. anu pak. Ada sapi penasaran. Eeh anuu..” aku benar-benar tergagap dan bingung mau jawab apa

“Hahahaha.. sapi penasaran. Ada-ada saja kamu ini Yon. Ya sudah bapak pulang dulu. Assalamualaikum.”

“Waalaikumsallam..”

Dan pulang lah Pak Komat. Perawakannya pak komat itu Tingginya sekitar 160an. Tubuh kurus kecil. Tapi tenaganya luar biasa. Karena beliau walaupun kecil. Dia bisa mengatasi sapi beliau yang galak dan suka marah. Dan beruntung lah sapi itu sudah mati, tapi sialnya sapinya penasaran -dekat rumahku lagi. Haduuh

Rumahku seperti sudah yang aku ceritakan tadi. Punya tiga kamar, kamarku di tengah. Kamar depan Mas Andri yang menempati. Dan Erni tidur di kamar belakang bareng bapak ibuku.

Kembali ke cerita.

Aku berjalan ke kamarku. Karena aku mesti melewati kamar mas Andri, dan kamar kami tidak ada daun pintunya. Aku ga sengaja melirik ke arah kamar mas Andri. Aku lihat dia berdiri di depan lemari pakaiannya.

Ngapain pula dia belum tidur.? Tanyaku dalam hati. Tau gitu, aku minta antar dia saja.

Saat aku paling bentar ke depan. Dan menoleh lagi kearah kamar mas Andri, mas Andri dalam sekejap mata sudah tidur pulas di dalam selimut sarungnya.

“EHH..!!!” aku teriak kaget. Kok bisa tiba-tiba saja mas Andri sudah tidur, padahal barusan saja dia berdiri di depan lemari pakaiannya.

Dan merinding menjalar ke seluruh tubuhku. Segera pula aku berlari ke kamarku.

Astaganagaaa. Apaan tadi. Pikiranku menjadi kacau. Aku ga percaya sama yang aku lihat barusan. Dan aku pun langsung rebahan dan menarik selimutku nutupi kepalaku, berusaha untuk segera tidur. Tapi apalah dayaku, setelah kejadian di sungai dan dikamar Mas Andri barusan. Aku tidak bisa segera tidur.

“Mas Riyon.” Terdengar suara Erni dari dekat pintu masuk kamarku. Ingat gaes semua kamar di rumahku ga ada daun pintunya ya. Dan posisi kasurku, kepala tepat di samping pintu masuknya.

“Mas.” Terdengar lagi.

“Apa.?” Jawabku.

Hening......

“Mas Riyon.” Erni memanggil lagi.

“Apa Er. Jangan teriak-teriak saja. Masuk sini.”

“Mas Riyon.” Dia tetap saja memanggilku dengan nada yang sama.

“Jangan bercanda. Ada apa.!?” Bentak ku sambil membuka selimutku tadi. Alangkah kagetnya aku melihat Erni Cuma melongok ke arah ku dari luar kamar.

“Hehehee..” dia terkekeh. Sambil melakukan gerakan cilukba. Dia memanggilku berkali-kali. “Mas Riyon. Mas Riyon.” Berkali-kali dia melongok kan kepalanya. Dan lama-kelamaan senyumannya semakin mengerikan.. mula-mula senyum biasa. Lama-lama senyumnya sangat lebar. Mulutnya tersenyum dari telinga kiri ke kanan penuh dan terbuka lebar. “Heheheheeee. Mas Riyon. Mas Riyon. Main yuk. Main yuuk.”

“ Waaaaaaah.. waaaahhhh.” Aku teriak sekencang kencangnya. Dan sepertinya aku pingsan.

Setan Kemamang

1

Pagi harinya, aku bangun kesiangan.

“Yon. Bangun sudah siang, kamu ga sekolah.?” Ibu membangunkan aku.

“Mak, aku ga enak badan.” Setelah kejadian kemari aku memang agak demam gaes. Tapi sepertinya ibuk ga percaya, keseringan bolos sekolah sih. Mueheheheehehee

“Ga usah alesan, cepat bangun. Atau aku guyur air kamu entar.” Ibu seraya ke arah kamar mandi mengambil air di gayung. Dan balik lagi ke kamarku. “Ayo cepetan.!!”

“Iya. Iyaaa.” Terpaksa aku harus bangun.

Setelah itu. Aku mandi dan bersiap untuk segera berangkat ke sekolah.

Lambat laun, aku teringat kejadian sapi penasaran dan kejadian sebelum aku tidur kemarin malam. Aku berinisiatif untuk bertanya tentang Erni ke ibuku.

“Erni sudah bangun, Mak?” tanyaku sambil memakai seragam.

“Ngomong apa kamu, Erni kan nginap dirumahnya Mbah Di.” Jawab ibu. Mbah Di itu kakekku, dia tinggal di desa sebelah, desa Tebo selatan.

“Lho.?” Aku terkejut mendengar jawaban ibuku. “Kayaknya kemarin malam dia ngajakin aku main deh Mak.”

“Ngawur. Erni sudah menginap dirumahnya Mbah di sudah tiga hari ini.”

‘Lha terus siapa kemarin malam yang ngajakin aku main.?’ Aku bertanya-tanya dalam hati. ‘Tapi kalau di ingat-ingat, mulutnya yang lagi tersenyum, begitu lebar. Nyeremin. Hiiii.. masa penampakan juga sih. Disini. Di rumahku sendiri. Allahu Akbar.’

“Ya udah. Aku berangkat dulu Mak.” Kataku akhirnya. “Assalamualaikum.”

“Waalaikumsalam.”

Sambil berangkat ke sekolah, aku mencoba untuk melupakan hal itu.

2

Seperti kemarin. Gosip sapi penasaran masih ramai di sekolah. Aku ga berani cerita ke temen-temen, terutamanya si Udin si mulut ember. Capek dehh. Kok geting aku.

“Kemarin malam si Riyon di ganggu sama sapi Pak Komat.” Kata Udin ke tema-tema. Aku dengar dia bercerita, dan aku samperin dia.

“Heh. Apaan kau. Pagi-pagi sudah Ngegosip aku.?” Kataku ke Udin. "Apakah aku sudah menjadi artis dadakan.?"

“Lha, ini dia si korban sapi penasaran.” Jawab Udin, . “Ceritain donk pengalaman mu semalam.”

“kata siapa aku di ganggu sapinya Pak Komat?”

“Iya deh, iyaa. Tapi aku dengar sendiri kamu kemarin malam teriak-teriak di sungai lho. Aku juga ngintip lewat jendela, kamu di antar pulang pak Komat. Ya kan?

Lagian, tadi sebelum berangkat sekolah karena aku penasaran ya, aku bertanya ke Pak Komat sendiri. Dia bilang kau ketakutan setengah mati di sungai."

“Aku tidak di tampakin setan, kok. Kemarin pas aku lagi e’ek di kali. Lagi enak-enaknya konsentrasi, di sebelahku ada ular, ularnya segedhe gaban pula. Karena kaget ya langsung aja aku lari. Hahahaha." Aku ketawa mendengar perkataan ku sendiri.

“Hahaha.” Dan sontak seisi kelas ikut tertawa.

"Jangan bercanda di kelas anak-anak." Pak Nur, guruku memasuki kelas. "Kumpulan PR kalian."

Astaga. Aku lupa belum mengerjakan PR Lagi.

3

Sepulang dari sekolah. Ibu sudah siap-siap dengan rotannya.

“Bak-Buk-Bak-Buk!!” rotan mendarat dengan indahnya di pahaku. Karena aku sudah tidak bisa memberikan alasan apa lagi. Aku pasrah saja.

“Pak Nur, gurumu baru saja dari sini, kamu lupa ga mengerjakan PR kan?.” Omel ibu panjang lebar. “Pokoknya, sekali lagi aku di datangi Pak Nur. Lihat saja nanti. Tak pondokin kamu. Biar taurasa.”

Pondokin. Artinya di masukkan ke pondok pesantren. Aslinya bagus ya masuk pondok pesantren. Tapi mengingat jaman itu, ga ada listrik, ga ada gadget, ga ada televisi, apalagi internet. Wah itu mimpi buruk bagi anak-anak Badung gaes. Di tambah di pondok pesantren itu hidup harus teratur. Bangun harus sebelum subuh. Ngaji tiap hari. Wah itu berat, ga bisa maen sampe Maghrib deh.

“Iya Mak. Iyaa.” Jawabku. “Lagian kan kemarin aku capek main.”

“Bak-Buk!!” dua pukulan rotan kembali mendarat, tapi kali ini di bokongku. Sebagai jawaban. “Nanti aku laporin ke bapakmu juga kelakuanmu.”

“Jangan Mak, jangan. Aku saja masih di hukum ga di kasih uang saku seminggu.”

“Bukan urusan ku.” Dan ibu pun pergi meninggalkan aku yang meringis kesakitan.

4

“Yon. Nanti habis isya kamu tahlilan di rumah Efi ya.” Kata bapak menyuruh dengan nada kalem. Sepertinya aku ga di laporin ke bapak sama ibu kalo aku tadi berkelahi. Terimakasih Mak. I lap u.

“Kok aku sih.” Aku memprotes, masih ingat kejadian sapi penasaran kemarin. “Kan ada Mas Andri.”

“Mas Andri nanti ada jadwal ronda sama bapak. Jadi dia ga bisa. Sudah pokoknya ga usah alasan lagi. Dan kamu harus nurutin kata-kata bapak. Ingat, kamu masih dalam masa hukuman.”

“Iya. Iyaa.” Jawabku. Dan pembicaraan pun berakhir.

Saat itu masih sekitar jam 3 sore. Dan bapak langsung tidur ( Dia harus ronda nanti malam ). Dan aku langsung keluar rumah mencari teman-teman, aku langsung menuju ke arah sungai Lanang. Tapi mereka tidak ada di sana. Aku cari ke sawah depan kelurahan. Ternyata memang mereka bermain di sana.

Pohon beringin kembar yang di ceritakan Efi kemarin, sekarang tepat di depan mataku. Sambil aku ingat-ingat lagi ceritanya kemarin.

Setan kemamang, memikirkannya, pikiranku pun melayang.

Eh, nanti kerumahnya Efi kan harus lewat bawah ringin kembar itu. Pikiranku langsung berkecamuk, membayangkan gimana jadinya kalo setan kemamang itu beneran ada. Wah gawat nih. Aku kudu piye?. Ga berangkat, di marahin bapak. Berangkat, aku takut penampakan setan.

“Ada apa Yon.?” Tiba-tiba ada suara mengajakku bicara, membuat lamunanku buyar.

“Ah, wes wos wes wos. Eh kamu Ef.” Ternyata suara Efi. “Bikin kaget aja.”

“Eh. Ga biasanya kamu kaget kayak gini.” Kata Efi. “Jangan-jangan emang benar kata Udin, kamu di ganggu setan.?”

“Enak aja. Aku ga di ganggu penampakan setan tau. Lagian aku ga takut sama yang namanya setan.”

“Iya deh. Iya. Aku percaya kok sama si bang paling pemberani ini.”

“Awas kau Ef. Mentang-mentang anak pak lurah.”

“Hehee." Efi mengejek sambil mengulurkan lidahnya.

Bapak Efi itu pak lurah. Namanya pak Rawi. Orang terkaya di desa, dia pemilik sawah di depan kelurahan. Dan beberapa sawah lagi di desa sebelah. Orangnya tinggi sekitar 175an, badannya sangat kekar dan kumis lebat menghiasi wajahnya. Nyeremin deh. Mengingat itu. Aku langsung nyengir kuda.

“Hehehee. Piss Fi. Piss. Oh ya, dimana kamu di tampakin setan kemamang nya?”

“Sini, kesini.” Dia meraih tanganku.

Astaga, ini anak. Tangannya lembut amat. Pikiranku pun melayang. Ku melayang, bagaikan. Terbang ke awan. Lha malah nyanyi lagunya ungu sih?

“Ngapain bengong Yon.?” Dia melepaskan tangannya dan langsung memukul kepalaku.

“Aduh. Iyaa iyaa.” Aku pun mengikutinya dari belakang. Dan dia pun menunjukkan tempatnya, lali bercerita seperti kemarin di sekolah. Tempat kejadiannya tepat di bawah pohon beringin sebelah timur. Dari arah masjid AL-Barokah, jadi sebelah kiri.

Pohon beringin kembar itu berumur cukup tua. Kata Mbah Mulyo- (almarhum bapaknya pak Rawi, kakeknya Efi.) Pohon beringin itu sudah ada sejak pembukaan tanah oleh Mbah Mulyo.

Mbah Mulyo mulai membuka tanah di Mulyorejo, ketika beliau berusaha baru Tigapuluh tahunan. Dan beliau meninggal saat usia sembilan puluh tahunan. Kata beliau, pohon itu walaupun sudah di coba untuk di tebang. Pohon itu tetap kokoh berdiri, bahkan Kapak pun tidak bisa membuat bekas samasekali di pohon tersebut. Jadi pohon itu di keramat kan oleh beliau. Dan menjadikan tempat itu sebagai pusat desa.

Setelah selesai bercerita, Efi pun pamit pulang, karena dia harus membantu menyiapkan makanan buat tahlilan nanti malam. Dan aku pun bergabung dengan teman-teman lainnya.

5

Sore sehabis isya. Aku bersiap-siap untuk berangkat ke rumah Efi. Ingat ya gaes. Tahun enam puluhan masih belum terpasang listrik. Bayangkan saja gelapnya suasa saat itu.

“Buk, aku berangkat kerumahnya Efi.” Teriakku sambil berlari keluar rumah. “Assalamualaikum.”

“Waalikumsallam.”

Aku keluar rumah dengan membawa obor buat penerangan saat jalan. Senter hanya di miliki oleh orang-orang kaya. Aku orang miskin gaes. Hiks.

Suasana di luar rumah. Gelap dan hanya di terangi obor-obor dan lampu templek di depan rumah penduduk, rumahnya jarang pula. Dan itupun cahayanya remang-remang, pohon-pohon tinggi rindang, semak belukar yang tinggi dipinggir jalan, jalan setapak berbatu, dan kabut sangat tebal plus asap dari orang-orang yang membakar jerami di sawah, membuat suasana semakin berkabut dan sangat sulit untuk melihat kedepan.

Ada seberkas cahaya dari arah masjid AL-Barokah itu cukup menolong aku yang sedang berjalan sendirian. Ku lihat ada seseorang keluar dari dalam masjid. Ternyata ustadz Fatkhur Rohman, dia membawa obor juga. Alhamdulillah.

“Assalamualaikum.” Pak ustadz menyapaku. “Sendirian saja dik Yono.?”

“Waalaikumsalam.” Jawabku. “iya ustadz, sendirian saja.”

“Mau tahlilan di rumah Pak Rawi kan.? Biasanya kamu barengan sama Udin. Mana si Udin Yon.?”

“Eh, anu. Kayaknya Udin sudah berangkat duluan tadi.”

“Hoo.” Saat ustadz Fatkhur Rohman bicara ‘hoo’ terdengar suara menyapa dari arah belakang.

“Assalamualaikum.”

“Waalakumsalam.” Jawabku dan pak ustadz bareng.

“Eh. Pak Komat.” Jawab ustadz Fatkhur. “Aku kira sudah berangkat duluan. Kok tadi tidak kelihatan di masjid.?”

“Iya ustadz, tadi masih harus mengurus sapi-sapi dulu, baru berangkat.” Jawab Pak Komat. “Ga tau kenapa kok tiap malam sapi-sapi ku kok kayak ketakutan gitu.”

“Emangnya kenapa kok bisa ketakutan gitu pak.?”

“Tidak tahu nih, mungkin ada ular yang masuk kedalam kandang. Tapi aku cari tidak ketemu ketemu juga. Atau juga seperti kata orang-orang, kalau sapi ku yang mati kemarin arwahnya gentayangan.”

“Astaga. Pak Komat, kamu jangan mengada-ada.”

“Tidak pak ustadz. Tanya saja sendiri ke Riyono, kemarin malam dia di ganggu sama sapi itu. Ya kan dik Yono.” Kata pak Komat sambil melihat ke arah ku.

“Bener dik Yono.?” Ustadz Fatkhur ikutan menoleh ke arah ku.

“Kemarin Yono ketakutan, sampai lari kecirit-cirit lho.” Kata Pak Komat sambil meringis ke arah ku.

‘Deg.!’ Jantung ku serasa mau copot. Sialan nih orang tua. Pikiranku. Dan kurasakan panas di wajahku. Malu setengah mati deh rasanya. Jadi ya aku Cuma mesam mesem saja.

“Makanya dik Yono harus mengaji, biar ga di ganggu sama setan.” Kata ustadz Fatkhur.

“Bukan pak ustadz, kemarin pas lagi e’ek di dekatku ada ular. Ularnya Gedhe banget, jagi aku kaget setengah mati. Dan kabur lah aku.” Aku berbohong. Malu dunk, hehee.

Dan pembicaraan pun berlanjut ke arah yang lain. Sampai kami sampai di rumah Efi.

6

Baru mulai acara tahlilan. Tiba-tiba aku merasa sangat mengantuk. Aku duduk di pojokan dekat pintu ke arah dapur. Aku dengar ustadz Fatkhur melakukan sambutan dan doa-doa.

“Yaasin, seterusnya.. dan seterusnya...” Mendengar ustadz membaca surah Yasin sampai di situ aku pun langsung tertidur pulas, capek gara-gara main seharian penuh. Tahlilan pun berakhir.

Sampai semua orang pada pulang duluan. Aku baru di bangunin sama Pak Rawi.

“Heh. Nak, bangun, acara sudah selesai. Kamu ga pulang? Sudah jam sepuluh malam ini. Tapi kamu makan dulu, ini jatah makanan mu.” Pak Rawi menyodorkan soto ayam ke aku. Aku pun menerimanya.

“Lho kok sudah sepi pak.?” Tanyaku.

“Kamu dari tadi di bangunin, ga bangun-bangun juga. Jadi yang lain makan duluan dan terus pulang. Cepet sana dimakan, langsung pulang. Aku sudah ngantuk berat. Belum beres beres juga.”

“Iya pak, maaf.” Aku menghabiskan soto ayamnya dan langsung pulang.

7

Saat keluar dari rumah Efi. Aku baru sadar kalau oborku tidak ada. Mau tanya ke Pak Rawi, tapi pas aku keluar – pintu rumahnya langsung saja di tutup sama Pak Rawi. ‘Astaga, galak amat.’ Jadi terpaksa aku harus jalan di kegelapan malam tanpa penerangan samasekali. Sendirian boss.

Tapi alangkah beruntungnya aku, suasana berkabut tadi sudah hilang. Dan sekarang cahayanya bulan menerangi langkahku pulang. Tapi walaupun begitu tetap saja rasa was-was, harap-harap cemas, datang menyelimuti ku sepanjang perjalanan.

Beberapa meter aku berjalan ke arah timur, aku sudah tepat di bawah pohon beringin kembar yang angker itu. Banyak sesajen di sekitarnya. Bau kemenyan sangat mencekat hidung ku. Dan ku rasakan bulu kudukku berdiri seketika.

Entah kenapa aku tidak beranjak dari bawah pohon beringin kembar itu. Tidak lama sih, tapi terasa sangat lama juga.

‘kresek.. kresek..’ terdengar suara gesekan daun di atasku. Seketika itu juga aku menoleh ke arah tersebut. Tidak ada apa-apa. Tapi suara itu terus saja terdengar, dan tetap aku cari-cari, tidak ketemu juga suara apa itu.

‘kresek...kresek...’ suara itu semakin dekat di atas kepalaku. Lambat laun, aku melihat cahaya remang dari salah satu dahan pohon beringin itu. Dan...

‘BUM!’ benda bercahaya itu jatuh tepat di semak-semak depanku. Suaranya sangat keras sehingga mengagetkanku. Karena penasaran, aku pun menghampiri benda itu.

“Apa yak.?” Tanpa sadar aku bertanya kepada diriku sendiri dengan suara yang cukup keras. Tadi kan benda itu bercahaya, tapi pas jatuh ke tanah, cahayanya langsung padam, sehingga aku tidak tahu pasti benda apa itu tadi yang jatuh.

Karena takut, kakiku gemetaran. Tapi anehnya rasa penasaranku melebihi rasa takutku. Jadi aku korek korek itu semak-semak. Kulihat benda itu tergeletak di dekat salah satu akarnya pohon beringin yang menonjol keluar. Aku konsentrasi pandangan ku ke arah benda itu. Benda itu bulat, dan ada dua lubang berjejer sejajar. Lambat laun lubang itu menyala, semakin terang, dan semakin terang. Dan kini pun benda itu terlihat sangat jelas. Itu ‘tengkorak kepala manusia’ kemamang yang di ceritakan Efi.

Saat sadar benda apa itu, benda itu langsung bersinar sangat terang seperti lampu petromax. Dan melesat ke arah ku. Aku pun langsung lari tunggang-langgang.

“Waaaaaahhhhh.!!!! Toooolllllooooonggggg..!!!” teriakku. Dan tanpa aku sadari. Aku pun ngompol.

Aku berlari ke arah masjid AL-Barokah, dan kulihat kemamang itu masih melayang mengejar ku. “Waaaaaaahhh..!!!” aku tetap berteriak kencang. Tepat di perempatan jalan. Aku belok ke kanan menuju rumahku.

Di sepanjang jalan itu aku tetap berteriak minta tolong. Saat masuk tikungan tadi, aku sudah tidak sempat menengok lagi ke belakang untuk memastikan kemamang itu masih mengejar atau tidak. Bodoh amat deh.

Rumahku sudah dekat. Dan ternyata rumah sudah dikunci sama ibuku.

“Maak!! Bukain pintunya.!” Aku berteriak sambil menggedor-gedor pintu. “Maaakk. Cepet MAAKK. Ada setan, maaak..”

Beberapa saat kemudian pintu pun dibuka oleh ibu. Aku langsung melesat ke kamarku dan tidur. Ga peduli ibu saat itu ngomel-ngomel karena aku teriak-teriak.

“Ada apa Yon.” Tanya ibuku. “Riyono.” Ibuk sepertinya mulai cemas melihat keadaanku seperti itu.

“Ada setan Mak.” Jawabku akhirnya.

“Setan.? Masah sih ada setan?”

“Beneran Mak. Aku ga bohong.” Sambil bilang begitu. Aku langsung bangun dari tempat tidur dan melihat ke arah ibuku.

Jreeng. Kulihat muka ibuku, mukanya rata, tidak ada mata dan mulutnya. Polos-los deh.

“Se... Setaaaaaaannnn.” Aku berteriak. Mau kabur kemana ga tau. Karena satu-satunya jalan keluar sekarang ini ibuku yang mukanya rata, dia berdiri tepat di tengah-tengahnya. Dan aku tidak ingat apa-apa lagi setelah itu. Alias Semaput.

Itu Efi Bukan?

Efa saat itu berusia dua belas tahun. Dia seumuran dengan Andri Harianto. Dia juga satu sekolah dengannya. Wajahnya yang bulat dan mata agak sipit dan kulit putih bersih, dia mirip dengan Efi saat ini.

Suaranya, tingkah lakunya juga hampir seperti pinang dibelah dua.

Karena rumahnya tepat dibelakang sungai, dia dan keluarganya memanfaatkan sungai itu untuk mandi dan mencuci baju dan sebagainya.

Sungai dibelakang rumahnya itu berlanjut ke sungai Gimun dan sungai Lanang. Sungai itu terus lagi ke tanggul, tanggul pertama sunga pecah menjadi dua. Ke arah timur dan selatan. Ke timur menuju sungai wedok ( sungai perempuan – buat mandi ). Yang ke selatan menuju ke sungai Lanang ( tempat Riyono dkk bermain ). Sungai Lanang lanjut lagi ke tanggul ke dua. Dan di sanalah, tempat yang membuat keluarga Efi syok dan trauma seumur hidupnya.

Bermula saat Efa sedang mandi di sungai belakang rumahnya. Sekalian mencuci baju, karena sudah masuk waktu Maghrib, Efa tidak tahu kalau cuaca mulai mendung. Dan di atas gunung hujan sudah turun sangat lebat, karena saat itu lagi musim hujan.

“Efa. Sudah Maghrib. Cepat masuk nak.” Ibunya Efa dan efi. Bu Sari memanggil anak pertamanya itu. Dia sedang menggendong Efi yang saat itu masih berusia sekitar satu tahunan.

“Iya Mak, bentar lagi selesai kok. Nanggung banget lho.” Jawab Efa.

Karena di gunung hujan semakin deras. Air sungai mulai meluap, dan banjir. Namun, Efa masih belum sadar akan hal itu. Dia seperti keasyikan mandi di sungai.

Singkat cerita. Banjir bandang menyapu sungai belakang rumahnya Efi. Dan Efa yang tidak sadar bahwa terjadi banjir di hulu sungai. Dia pun tersapu oleh banjir tersebut.

Begitu sadar kalau ada banjir bandang datang, Bu Sari lantas menuju ke sungai untuk melihat anaknya.

Dan apa yang ditakutkan olehnya benar-benar terjadi. Tempat mandi yang Efa tadi berada di sana. Saat ini sudah tersapu bersih oleh banjir. Dia histeris dan meraung keras memanggil anak pertamanya itu.

Efa yang malang tersapu banjir. Dia tewas.

2

Keesokan harinya, karena hujan sangat lebat terjadi di des Mulyorejo, pencarian Efa dilakukan sedikit terlambat. Seluruh warga bahu-membahu untuk mencari Efa. Dimulai dari sungai belakang rumahnya, lanjut ke sungai Gimun, sungai Lanang, dan akhirnya mereka sampai di tanggul ke dua, sekitar dua kilometer dari rumah Efi. Tubuh cantik Efa tersangkut di antara bebatuan besar di bawah tanggul ke dua. Duka cita melanda desa tersebut. Jenazah Efa pun langsung dimakamkan saat itu juga.

Setelah kejadian tersebut, Bu Sari yang syok dan stres berat, hampir setiap malam beliau menuju ke sungai tempat ditemukannya tubuh Efa berada. Lamanya, sekitar satu tahunan beliau melakukan hal tersebut.

Hal tersebut akhirnya terbongkar setelah pada suatu malam, Pak Rawi kala itu terbangun karena mendengar suara mencurigakan dari arah depan. Beliau menuju ke depan. Dan alangkah kagetnya beliau melihat istrinya menyelinap keluar rumah tengah malam. Dia berfikir kalau istrinya tersebut melakukan hal yang tidak-tidak. Semisal selingkuh atau sebagainya.

Bu Sari berjalan menyusuri jalan depan rumahnya, menuju ke arah timur – kearah kelurahan. Pas Rawi mengikutinya, dan tak lupa dia membawa golok. ‘Kalau dia beneran selingkuh, tak bunuh mereka berdua.’ Pikir Pak Rawi. Awalnya Pak Rawi berfikir istrinya ketemuan dengan seseorang di kelurahan, tapi sepertinya dia salah, Bu Sari berjalan melewati kelurahan, dan terus ke arah timur, menuju jalan yang baru di buka. Jalan ke tempat anaknya yang tewas di temukan.

Di atas bendungan ke dua. Bu Sari menangis sejadi-jadinya sambil memanggil nama anak pertamanya tersebut. Melihat itu, Pak Rawi merasa bersalah karena berpikir berlebihan terhadap istrinya tersebut. Dia tidak mau mengganggu istrinya, dia hanya memperhatikannya dari jarak yang cukup jauh. ‘Biar lah. Biar pikirannya tenang.’ Pikiran Pak Rawi.

Hari demi hari. Lambat laun Bu Sari sudah mulai jarang ke bendungan. Dia sepertinya terhibur oleh anak keduanya, Efi. Yang lambat laun bertambah usianya. Efi semakin mirip sama Efa. Cantik, putih, dan ceria. Bak pinang dibelah dua sama Efa.

Dan saat ini. Efi sudah seumuran Efa saat dia meninggal. Sang ibu semakin protektif terhadap Efi. Terlebih saat Efi mau mandi di sungai, Bu Sari pasti selalu menemaninya sampai selesai. Dia takut kehilangan anak untuk ke dua kalinya.

3

Kembali ke cerita utama.

Aku terbangun saat hujan deras turun tengah malam. Rumahku yang bocor tepat dimana aku pingsan di malam sebelumnya.

‘Haduh. Jam berapa ini? Hujannya kok deres banget.’ Kataku dalam hati. Aku mulai mengingat ingat kejadian semalam. Dan aku pun langsung merinding seketika itu juga.

Dirumah, sepertinya tidak ada orang. Aku pun keluar kamar menuju ruang tamu. Dan kulihat di atas meja ada secarik kertas yang tergeletak di sana. Aku membacanya.

“Yon. Aku kerumahnya Mbah Di, mau menjemput Erni. Kalau sudah pulang jangan lupa untuk mengunci pintunya. Aku sudah bawa kunci cadangan. Lauk di dapur jangan dimakan ya. Itu buat bapak nanti sepulang ronda. TTD ibukmu.” Begitu isi tulisan tersebut.

“Lho, emak ke rumah Mbah Di. Lha tadi siap yang membukakan pintu.?” Aku bertanya pada diri sendiri. Aneh....

Tak lama kemudian dari arah luar rumah, tepatnya arah timur rumah. Terdengar suara gamelan Jawa yang sedang dimainkan. ‘Aneh.’ Pikirku. ‘jam berapa ini.?’

Aku pun mengintip keluar lewat jendela. Dan alangkah kagetnya aku, diluar sana ada sosok yang sangat aku kenal. Dia berjalan ke arah barat. Dia memakai baju serba putih. Rambutnya terurai. Walaupun saat itu sedang hujan deras, aku bisa melihat dengan jelas sosok itu. Itu si Efi.....

‘Serius itu Efi beneran.? Ngapain pula dia malam-malam begini dia keluyuran, mana lagi hujan deras pula.’ Aku mau mencoba mengejar dia. Tapi hujan sangat deras, sehingga aku mengurungkan niatku. ‘Besok lah aku tanya ke dia. Ngapain hujan-hujanan tengah malam begini.’

Aku pun menuju kamar dan mencoba untuk tidur. Tapi baru mau masuk kamar, tiba-tiba pintu terbuka lebar. Karena kaget setengah mati. Aku teriak cukup kencang. “Waaahhh.!!!!”

“Allahu Akbar.!!!” Ternyata bapak pulang dari ronda. Lantas dia ngomel-ngomel. “Ngapain kamu teriak-teriak tengah malam gini. Mana pas baru masuk rumah pula. Mau copot jantung ini.”

“Aku sendiri juga kaget. Baru mau masuk kamar, tiba-tiba saja mendengar pintu terbuka. Mana pas dirumah sendirian pula.” Aku balik ngomel-ngomel ke bapakku.

“Lha emakmu kemana.?”

“Katanya kerumahnya Mbah Di, mau menjemput Erni. Emang tadi emak ga mampir ke pos ronda kah.?”

“Engga tuh. Waduh gimana ini. Pas lagi lapar pula, emakmu keluar.”

“Di dapur ada lauk.”

“Alhamdulillah.” Bapak pun langsung menuju ke dapur. Dan dia mulai makan. Saat makan dia bertanya. “Kamu kok belum tidur jam segini.?

“Tadi sudah tidur. Karena ada hujan dan kamarku bocor, bocornya pas muka. Aku jadi kebangun deh.” Saat itu juga aku ingat tentang Efi tadi. Lantas aku pun bertanya ke bapak. “Pak, tadi Efi darimana?”

“Hah.?” Bapak bingung mendengar pertanyaan ku.

“Barusan, sebelah bapak pulang. Aku mendengar suara gamelan, karena aku penasaran aku pun mengintip keluar lewat jendela. Dan saat itu aku lihat Efi berjalan ke barat dari arah pos ronda.” Pos ronda di desaku ada beberapa titik. Salah satunya di sebelah timur rumahku.

“Gamelan.? Efi.? Jangan bercanda dah. Siapa pula jam segini main gamelan. Dan ngapain pula Efi keluyuran hujan-hujanan tengah malam gini.?”

“Lha?. Lho?” aku pun bingung mau ngomong apa lagi.

“Udah. Kamu tidur lagi. Kamu pasti lagi ngelindur.” Bapak menuju dapur dan mencuci piringnya tadi. “Bapak capek, aku juga mau tidur.”

Bapak pun meninggalkanku yang bengong kebingungan.

Kalo tadi buka Efi. Lantas siapa.?

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!