Mata tiga orang perwira muda membidik ke arah papan berjarak kurang lebih enam puluh meter di hadapannya. Letnan Walangkit, Letnan Ratanca dan Letnan Dalu sedang beradu skill mereka di hadapan Pak Navec, Komandan tinggi yang paling di takuti saat ini.
Beliau lebih mengawasi kedua perwira muda, rekan satu angkatan dari putra tirinya, Segara Barep Chandra Ekandalu atau biasa di sebut Letnan Dalu.
Letnan Walangkit, Letnan Ratanca dan Letnan Dalu sama-sama memiliki temperamen tinggi hingga terkadang ketiganya membuatnya sakit kepala. Tapi karena mereka adalah kedua prajurit khusus milik kemiliteran, maka beliau pun harus melebarkan sabar demi kebaikan kedua prajuritnya.
Dari jauh terlihat gadis remaja berlari-lari kecil ke lapangan untuk menemui Ayahnya. Tingkah gadis itu membuat konsentrasi Bang Langkit dan Bang Ratanca teralihkan hingga bidikan mereka pada papan target menjadi kocar-kacir.
"Ayaaaah.." Teriak gadis cantik itu langsung melompat ke punggung Pak Navec.
"Astaghfirullah hal adzim.. Ayah nggak tuli, dek. Kenapa kamu bisa sampai ada disini???" Tanya Pak Navec pada putrinya.
"Mama sedang ada kegiatan, bosan di rumah. Mbak Nada sedang kuliah. Dinar bosan, Yah."
"Ya sudah, duduk disana dan jangan bertingkah. Kau tau bagaimana Abangmu, kan." Kata Pak Navec memberi peringatan pada putrinya sambil menyerahkan Snack box miliknya untuk sang putri yang doyan ngemil.
"Om-om nya hitam amat yah." Celetuk Dinar, tangannya sibuk membuka plastik lapis Surabaya.
"Huuuussshh.. nggak boleh bilang begitu..!!!! Mereka itu rela berpanas-panasan bekerja halal demi masa depan dan keluarga. Jaman sekarang banyak laki-laki pemalas seperti tidak punya masa depan yang jelas." Imbuh Pak Navec kemudian sampai akhirnya beliau menyadari bahwa kedua ajudannya berhenti membidik papan target karena sibuk memperhatikan putri kecilnya. Putri bungsu dari pernikahannya dengan Dindra.
"Apa yang kalian lihat..!!!!!! Cepat tembak papannya, bukan sibuk lihat kesini..!!" Bentak Pak Navec.
Bang Langkit dan Bang Ratanca gelagapan mendengar teguran komandannya. Mereka segera kembali membidik papan target namun tidak ada satupun tembakan yang tepat sasaran.
Pak Navec menghampiri kedua perwira lalu menepak topi lapangan mereka secara bergantian.
"Fokus.. fokus dan fokus. Kenapa kalian berdua tidak konsentrasi?? Apa yang memecah isi kepala kalian??????" Bentak Pak Navec.
"Siap.. salah, komandan..!!"
"Siap.. salah, komandan..!!!" Jawab Bang Ratanca sembari mencuri lirikan ke arah putri komandan dan yang sibuk mengunyah pastel kemudian meneguk habis kopi hitam Ayahnya.
Di sisi lain, Bang Langkit pun mengurai kilas senyum kemudian kembali pada mode serius.
Dari tempat duduknya, Dinar tak sengaja beradu pandang dengan kedua anak buat sang Ayah yang terus menatapnya. Sesaat kemudian ia menunduk tak sanggup melihat tatapan salah satu di antara keduanya.
...
Angin sepoi menggoyang dedaunan di depan mess perwira.
Bang Langkit kembali tersenyum mengingat paras cantik Canthing Geulis Mahadinar putri komandan nya yang seakan menyita waktu dan dunianya hari ini.
Di dalam kamarnya, Bang Ratanca diam tanpa kata sembari kemudian membuang nafas berat kemudian mengusap dadanya yang terasa sesak membayangkan paras ayu seorang gadis yang di lihatnya tadi siang.
***
Para anggota Batalyon sedang berlari pagi mengelilingi asrama militer.
"Ran, Lang.. nanti malam main ke rumah ya..!! Besok hari Sabtu, aku malas keluar. Menjelang libur begitu ayahku selalu menyiapkan acara 'barbeque'an di rumah biar adik-adik ku anteng. Mau ikutan nggak??" Kata Bang Dalu memberi tawaran nya pada kedua sahabatnya.
Bang Langkit langsung menyetujui namun tidak dengan Bang Ratanca yang masih terdiam.
"Kau mau sama siapa di mess??? Anggota yang lain pasti juga pada ambil libur." Sambar Bang Dalu.
"Tau nih. Ranca.. hidup jangan terlalu serius, slow broooo..!!" Bang Langkit mengaitkan lengannya di leher Bang Ranca. "Ada Dinar." Bisiknya.
"Kau jangan macam-macam Lang, Dinar masih kecil." Bang Ratanca pun menahan suaranya agar tidak terdengar di telinga sahabatnya, Dalu.
.
.
.
.
Dengan cekatan Bang Ratanca menyiapkan arang untuk bara panggang acara mereka malam ini. Tak lama seorang gadis cantik keluar dari rumah dinas Pak Navec. Terdengar suara ribut bersahutan dari dalam rumah.
Bang Ratanca dan Bang Langkit refleks menoleh melihat dua orang perempuan kakak beradik sedang ribut argumentasi. Keduanya sampai ternganga.
"Apa yang kalian ributkan????" Tegur Bang Dalu sebagai kakak tertua.
"Mbak Nada, masa resep ikan bakar bumbunya warna hitam." Kata Dinar.
"Ada yang warna hitam." Jawab Bang Langkit.
"Apaa kubilang." Nada merasa menang mendengarnya.
"Enak yang warna kuning, aku sudah marinasi ikannya dari tadi siang." Dinar tak kalah berapi-api bermaksud menunjukkan kebolehannya dalam urusan mengolah makanan.
"Coba bawa kesini..!!" Pinta Bang Ratanca.
Kedua gadis itu membawa nampan berisi ikan yang akan menjadi bakal olahan malam ini.
Bang Langkit dan Bang Ratanca melongok melihat nampan tersebut. Seakan masih menyimpan rasa penasaran, Bang Dalu pun ikut melongok.
"Laahh.. iki opo dek??"
Ketiga pasang mata pria saling pandang. Satu nampan berisi ikan berwarna hitam legam, satu nampan lagi berisi ikan berwarna kuning cerah.
Para pria tak habisnya mengamati penampakan ikan yang agaknya akan membuat infeksi lambung.
"Ituu.. yang hitam pakai bumbu apa, dek?" Tunjuk Bang Ratanca pada Nada.
"Ikan bumbu petis."
"Haah.. oohh.." Bang Langkit menggaruk kepalanya dengan bingung. "Kalau yang ini??" Tunjuk Bang Langkit pada nampan yang ada di hadapan Bang Ratanca.
"Ini ikan super. Ikan bumbu kuning." Jawab Dinar.
Bang Langkit, Bang Ratanca dan Bang Dalu bernafas lega sejenak mendengarnya.
"Bumbu nanas." Imbuh Dinar.
"Allah Karim..!!"
"Ya Tuhan." Bang Langkit mengusap wajahnya yang mendadak cemas.
Bibir Bang Dalu rasanya terkunci, entah bagaimana harus mengungkapkan kata maaf untuk kedua sahabatnya. Niat hati ingin mengajak sahabat untuk menikmati akhir pekan tapi belum saja semuanya di mulai, semua sudah hancur perkara kelihaian dua gadis 'pintar' disana.
Ketiganya masih menatap ikan yang masih terbaring cantik di atas nampan.
"Yowes, gaaass aja. Ora opo-opo..!! Sluman slumun Slamet." Bang Ratanca pun pasrah sembari mengipasi arang untuk mematangkan ikan tersebut.
"Apa yang salah, Bang?" Tanya Nada penasaran.
"Nggak salah, hanya keliru aja." Jawab Bang Langkit.
Tidak ada yang mengira saat itu Dinar menyelip duduk di antara Bang Langkit dan Bang Ratanca. Kedua perwira muda itu sampai berjingkat mengambil jarak karena cemas berdekatan dengan wanita.
"Dinaaaarr.. jangan begitu. Ayah sudah bilang, kita jangan pernah dekat dengan sembarang laki-laki. Laki-laki itu setan, penipu, suka selingkuh dan suka main perempuan kecuali Abang dan ayah kita." Kata Nada kemudian menarik tangan Dinar, adik bungsunya.
"Astagaaa.. Dinaarr.. Nadaaaa.. cukup.!!" Bang Dalu menarik kedua adik perempuan nya ke belakang punggungnya.
Bang Ratanca dan Bang Langkit seketika saling pandang. Jelas mereka tidak sependapat dengan 'ocehan' Nada yang sebenarnya sangat lugu namun belaga menjadi pemberani.
"Tidak semuanya begitu. Apakah kalian percaya begitu saja kata-kata itu??" Tegur Bang Langkit.
"Tidak semuanya.. berarti Om Langkit dan Om Ranca golongan yang mana?" Tanya Dinar.
Bang Ratanca dan Bang Langkit saling menatap bingung.
"Tidak bisa jawab??? Berarti Om Langkit dan Om Ranca memang pengkhianat." Dinar pun pergi menggandeng tangan Nada.
"Whaaatt????????" Bang Langkit beranjak dari duduknya, ia sudah terpancing gemas dengan ulah kedua kakak beradik itu.
"Ya Allah, salahku opo sampai di tuduh pengkhianat." Gumam Bang Langkit sembari mengelus dada.
"Kelakuanmuuuuuuu..!!! Laki macam apa yang kesetanan pengen nikahi kamu, dek." Celetuk Bang Ratanca.
plaaaakk.. plaaakk..
Bang Dalu sampai menepak lengan kedua sahabatnya. "Jangan sembarang bicara donk..!! meskipun bentuknya begitu, mereka tetap adik ku."
.
.
.
.
Kilas senyum tersungging tipis di wajah Bang Ratanca dan Bang Langkit. Terbersit rasa yang berbeda di dalam hati mereka berdua.
Bumbu ikan amburadul tetap terasa nikmat pada lidah mereka berdua sedangkan Bang Dalu lebih memilih menikmati tempe buatan Bibi daripada harus merasakan kram perut setelah mengkonsumsi makanan dari kedua gadis tersebut.
"Kau yakin mau menghabiskan ikan itu??? Bibi buat banyak tempe penyet untuk kalian, jadi kalian tidak pernah berkorban untuk menghabiskan ikan bumbu celaka itu." Kata Bang Dalu.
"Aman, rasanya enak." Jawab Bang Langkit.
Bang Ratanca yang jauh lebih tenang kembali tersenyum. "Aku menghargai usaha adikmu. Kita tidak akan mati menghabiskan ikan ini, yaaaa.. paling hanya mulas sebentar." Bang Ratanca pun kembali melirik ke dalam rumah.
Dari sudut pandang nya. Terlihat dua orang gadis berlarian di dalam kamar, mereka sedang perang bantal hingga melompat memantul dan saling menyerang.
\=\=\=
Senin pagi cerah ceria. Para anggota kembali melaksanakan kegiatan menembak. Kecakapan dan skill prajurit harus terus di asah.
Kembali pagi ini Pak Navec memantau langsung kecakapan para prajuritnya padahal Danyon pun tidak sempat memantau kegiatan tersebut.
Namun saat tembakan meletus dari senapan laras panjang milik Letnan Ratanca, peluru tersebut menembus dada seorang gadis.
dooorr..
"Dinaaaaarr..!!" Pekik Nada ketakutan. "Aaaaaaaaaa..!!!!!!!"
"Suara opo iku Nyu??" Bang Ratanca panik dan berlari ke arah papan target.
"Ayo di cek, Reng..!!!" Ajak Bang Langkit.
Bang Ratanca dan Bang Langkit berlari menghampiri sumber suara. Pak Navec yang mendengarnya sampai ikut berlari karena merasa mengenal suara jeritan tersebut.
"Allah Ya Rabb..!!!" Bang Ratanca panik bukan main melihat Dinar pingsan di sekitar bukit lapangan tembak. Lokasi yang seharusnya di strerilkan karena memang menjadi lokasi yang berbahaya saat ada kegiatan.
"Astaghfirullah.. Nadaaa..!!" Bang Langkit tak kalah panik melihat Nada tak sadarkan diri di balik batu besar. Pelipisnya pun mengucur darah segar.
"Yaaa Tuhaaaan. Dinaaar.. Nadaaaa..!!!" Jerit Pak Navec, sebagai seorang ayah, beliau sungguh syok. "Tolong bantu bawa putri saya ke rumah sakit."
...
Raut wajah Bang Ratanca terlihat sungguh gelisah. Ia sejenak memejamkan matanya dan bersandar menunggu proses tindakan untuk Dinar.
Tak lama Pak Navec tiba bersama Bu Dindra yang sudah menangis panik.
"Bapak, ibu.. sungguh saya mohon maaf atas kejadian ini. Setelah ini saya akan bertanggung jawab atas kecerobohan saya..!!" Kata Bang Ratanca.
"Masa belum bisa di sadarkan juga?????" Protes Bang Langkit akhirnya membuat perhatian seisi lorong UGD tertuju pada Bang Langkit.
"Ranca.. Langkit.. kalian bisa tenang sedikit atau tidak??????? Saya sudah pusing, jangan di buat semakin pusing..!!" Tegur Pak Navec.
Kedua perwira muda itu duduk dengan lemas. Perasaan mereka campur aduk tak karuan.
Pintu ruang tindakan terbuka. Bang Dalu dan Bang Ratanca segera menghampiri dokter Jaka, dokter senior di rumah sakit tentara tersebut.
"Begini.. saya harus katakan, keadaan Dinar........!!!!"
"Ya Allah, jangaaan.............."
bblllgghh...
"Rancaaaaaa...." Pekik Bang Dalu.
Seisi lorong panik melihat Danton segagah dan sekekar Letnan Ratanca bisa terhuyung tumbang.
"Hanya syok saja." Ucap Dokter Jaka melanjutkan penjelasan nya yang sempat terputus.
"Bagaimana si Ranca ini." Gerutu Pak Navec.
Bang Langkit ikut duduk lemas memikirkan segala kejadian yang membuatnya ikut jantungan.
...
Beberapa orang team medis dan Bang Dalu mengipasi Bang Ratanca agar segera tersadar.
"Di_naaarr..!!" Setelah beberapa waktu Letnan sangar itu tak sadarkan diri, akhirnya kini dirinya bisa membuka matanya.
Pak Navec berkacak pinggang menatapnya dengan pandangan kesal.
"Kalau sudah begini.. kau mau apa, Danton??????" Tegur Pak Navec, seketika Bang Ratanca tersadar sepenuhnya, ia pun berdiri dengan sikap sempurna dan menegakkan punggungnya di hadapan Pak Navec.
"Siap.. salah, komandan." Jawab Bang Ratanca.
"Kedua putri saya... baik-baik saja."
Seketika Bang Ratanca lemas dan bersujud dalam tangisnya. "Alhamdulillah, Alhamdulillah Ya Allah." Gumamnya.
Kali ini denyut jantung Pak Navec berdesir, ia menyentuh punggung Bang Ratanca. "Kamu mau bertemu dengan Dinar??"
Bang Ratanca mendongak menatap kedua bola mata komandannya. "Siap.. jika komandan mengijinkan..!!"
:
Dinar dan Nada menekuk wajahnya, wajah keduanya sembab sebab ayah mereka baru memarahi keduanya habis-habisan. Bahkan Mama Dindra tidak bisa membujuk kedua putrinya yang sedang ngambek dan terlihat seperti kaca bagi dirinya.
Cckkllkk...
"Masih ngambek, Ma?" Tanya Pak Navec pada istri kesayangannya.
"Masih, yah." Mama Dindra memonyongkan bibirnya menunjuk ke arah kedua putrinya yang sedang mengunyah makanan.
Ayah hanya bisa mengusap dadanya dan membuang nafas panjang melihat tingkah kedua putrinya.
"Apa perlu ayah tegaskan sekali lagi bahwa kejadian hari ini adalah sepenuhnya kesalahan kalian sendiri. Kalian diam-diam melewati penjagaan di sekitar lapangan tembak, mengendap seperti maling lalu Dinar tertembak peluru Letnan Ratanca. Untung saja latihan kali ini pakai peluru hampa, coba kalau peluru asli. Kau bisa mati..!!!!" Bentak Ayah.
"Om Ranca saja yang tidak hati-hati. Masa Dinar segede ini tidak kelihatan????" Jawab Dinar.
"Iya, Nada jadi ikut panik sampai kepala terhantam batu." Nada ikut memprotes pada ayahnya.
"Jadi kalian bilang, semua ini salah orang di lapangan???" Ayah semakin meninggikan suara nya menghadapi kedua putrinya.
"Iya." Jawab Nada dan Dinar bersamaan.
"Rancaaaa..!!!!!" Panggil Ayah.
"Siap..!!!"
"Tembak mereka berdua pakai peluru mu..!!!!" Perintah Ayah sudah habis kesabaran.
"Si_ap. Peluru yang mana, Dan??" Tanya Bang Ratanca bingung sebab sejak tadi dirinya memang kehilangan fokus memikirkan Dinar yang sempat tertembak karena dirinya.
"Ya Allah, kepala saya kesemutan mikir kalian semuaaaa..!!!" Teriak geram Ayah mengisi seluruh ruang kamar rawat Dinar dan Nada.
Bang Langkit hanya terdiam di sudut ruangan. Matanya sempat sembab memperhatikan salah satu dari kedua gadis putri komandannya yang banyak tingkah.
.
.
.
.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!