#SELAMAT MEMBACA #
Rintik-rintik hujan sore itu.
Seorang gadis cantik berpakaian lusuh tampak berlari kecil menghindari titik-titik hujan yang turun membasahi bumi. Sesekali kakinya yang putih melompat melewati genangan air hujan yang kotor penuh lumpur. Lambat laun, pakaian yang di pakainya mulai tampa basah oleh air hujan.
Hujan semakin deras.
Gadis itu masih bersikeras hati melanjutkan perjalanan pulang menuju rumahnya. Ia seolah tak peduli, meski tubuhnya sudah basah kuyup terkena guyuran air hujan.
Tanpa ia sadari, tingkah lakunya yang agak unik mengundang beberapa pasang mata pria nakal yang memandangnya dengan penuh hasrat.
Lekukan tubuhnya yang indah menggoda, terpampang nyata di balik pakaiannya yang sudah basah. Gadis itu terus berlari dengan lincah tanpa mempedulikan perhatian orang-orang disekitarnya.
"Anak siapa tuh? Cantik amat!" suara Ridwan mengejutkan teman-temannya yang sedang berkumpul di sebuah warung sambil memperhatikan gadis itu dari kejauhan.
"Oo... Itu Nisha. Anak gadisnya Bu Salma yang janda beranak tiga...," celetuk salah satu pemuda.
"Hem..., kayaknya kemarin masih ingusan, udah gede aja dia sekarang," ujar Ridwan pelan.
Matanya tak berkedip memandang tajam ke arah gadis cantik yang makin lama kian jauh dari pandangan mata mereka.
Tak beberapa lama.
Hujan masih mengalir deras membasahi tubuh Nisha yang baru saja sampai di depan pintu rumahnya yang sederhana dengan kusen pintu yang hampir lapuk di makan rayap.
Tok tok tok!
"Ibuk...!" Nisha mengetuk pintu rumahnya dengan tangan gemetar menahan hawa dingin yang mulai menyerang tubuhnya.
Perlahan ia mengusap kedua belah tapak tangan dan menaruhnya di pipi. Tubuh mungilnya makin menggigil kedinginan.
"Ibuk...!" Bibirnya gemetar memanggil ibunya sekali lagi.
Tak berapa lama pintu terbuka dari dalam. Seraut wajah tua milik ibunya tampak mendelik, menyambut kedatangannya tanpa senyuman sedikitpun.
"Tunggu saja di pintu! Ibu mau ambil kain lap. Badan mu basah semua Nisha. Lantai rumah jadi becek kalau kau injak!" bentak Bu Salma seraya bergegas ke dapur mengambil kain lap.
Nisha berdiri patuh di ambang pintu rumah menunggu ibunya kembali membawakan kain lap.
"Dari mana saja kau seharian heh?! Pulang-pulang basah kuyup. Apa kau tak puas, main hujan-hujanan sedari kecil?!" hardik Bu Salma dengan nada kesal pada anak gadisnya.
Nisha hanya diam tak menjawab pertanyaan ibunya. Ia segera berlalu pergi menuju kamarnya untuk mengganti pakaiannya yang basah.
"Sudah besar kerjaan mu hanya bermain dan bermain! Harusnya kau sudah bisa bantu ibu, cari uang untuk membiayai sekolah adikmu!" suara Bu Salma yang berteriak lantang dan keras terdengar jelas dari luar kamar.
Nisha yang hampir selesai mengganti pakaian basahnya dengan pakaian kering, sejenak berdiri terpaku mendengar omelan ibunya. Kepalanya mulai terasa pusing. Setiap hari harus mendengar kalimat yang sama keluar dari mulut ibunya.
"Jika perlu, kau pergi kerumah istri baru bapakmu! Minta uang yang banyak sama bapakmu itu! Biar hidupmu dan adikmu tidak susah!" lagi-lagi teriakan Bu Salma membuat gadis cantik berambut panjang itu menarik nafas panjang.
Bapak lagi, bapak lagi yang di bahas ibunya. Nisha tak habis pikir, kenapa ibunya terus memaksa mereka untuk meminta pada bapaknya yang sudah hidup enak di rumah istri barunya. Sementara ibunya tau, bapaknya tak pernah mempedulikan anak-anaknya.
Sejak mereka bertiga di lahirkan. Ibunya sudah berjuang sendiri mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka sekeluarga. Apa ibunya lupa? Kalau bapak kandung Nisha adalah lelaki yang tak pernah bertanggung jawab pada keluarga. Untuk apa lagi dirinya datang mengemis dan meminta. Percuma saja, toh, bapaknya tak'kan pernah peduli.
Otak dan batin Nisha seketika kacau balau. Ibunya selalu saja menjadikan dirinya sebagai alat pelampiasan kemarahannya.
Mengapa bukan bang Ikbal saja yang cari kerjaan? Dia kan anak lelaki? Apalagi dia anak tertua. Sudah seharusnya ia bertanggung jawab menggantikan tugas bapak sebagai anak lelaki satu-satunya dalam keluarga.
Nisha sangat menyayangkan sikap ibunya yang terkesan memanjakan anak lelaki satu-satunya.
Dengan lunglai gadis itu menutup pintu lemari bajunya yang sedari tadi masih terbuka. Suara omelan serta teriakan ibunya tak lagi terdengar di telinganya. Ia pun naik ke atas tempat tidur seraya membaringkan tubuhnya sejenak. Ia malas keluar kamar. Ujung-ujungnya di marahi lagi.
"Magrib-magrib tidur! Pamali!" teriakan Ibunya terdengar lagi dari balik pintu kamar, membuat Nisha melonjak bangkit dan duduk di sisi tempat tidur dengan wajah masam.
Tuh kan..., salah lagi. Gadis itu menepuk jidatnya kesal.
"Kak...! Buka pintu dong...?! Masa pintunya di kunci? Ntar aku tidur dimana...?! Buruan...! Aku mau bikin PR! Tas dan buku ku ada di kamar!" gantian, Pamela adik perempuannya berteriak menjerit minta di bukakan pintu.
"Huff...!" Nisha menghembuskan nafas kuat.
Kesabarannya benar-benar teruji. Ia pun segera membukakan pintu kamar untuk Pamela yang menerobos masuk sambil bersungut-sungut kesal.
"Kayak kakak aja yang punya kamar! " sindir Pamela ketus seraya melirik baju yang sedang di pakai kakaknya.
"Tuh kan...,! Bajuku di pake lagi. Kenapa sih, Kakak gak pernah permisi dulu setiap kali pake barang-barangku?!" jerit Pamela dengan nada jengkel pada Nisha.
Wajah Nisha seketika berubah merah menahan malu. Ia pun buru-buru melepas kembali baju milik Pamela dari tubuhnya dan memberikannya ke tangan Pamela yang merampas baju itu segera dengan kasar.
Dengan lunglai, Nisha pun membuka lemari bajunya dan menarik sehelai baju usang yang terlihat sedikit robek di bawah ketiaknya. Sekalian, ia juga mengambil kotak berisikan benang dan jarum diatas meja rias usang yang ada di kamar itu.
Matanya yang sudah minus namun tak memakai kacamata mencoba untuk menjahit baju yang robek itu dengan benang dan jarum yang ia genggam.
Hampir lima belas menit.
Waktu yang cukup lama di habiskan Nisha untuk menjahit baju robek itu. Setelah selesai, ia pun buru-buru memakai baju itu dan segera keluar dari kamar.
Hatinya sungguh tak nyaman berada di dalam kamar bersama Pamela yang tampak asyik membuat PR dengan tampang tak berdosa.
Nisha jadi sangat sedih dan kecewa dengan sikap adik perempuannya itu. Padahal, baju-baju milik Pamela sangat banyak dan bagus semua.
Kadang Nisha heran, dari mana Pamela dapat uang untuk membeli semua barang-barang bagus miliknya.
Pernah sekali ia bertanya. Pamela bilang, itu semua pemberian tetangga sebelah yang kaya raya. Kebetulan tetangga itu tidak punya anak.
Nisha percaya saja kalau Pamela di belikan tetangga itu. Hanya saja, tidak mungkin tetangganya sering kali memberi Pamela uang saku yang banyak hingga Pamela bisa membeli semua kebutuhannya. Apalagi barang-barang yang di miliki Pamela bukan barang-barang murahan.
Kriuk!
Tiba-tiba bunyi perutnya yang kosong terdengar mengejutkan Nisha. Dia jadi ingat, sedari tadi siang, ia belum makan apa-apa.
Perlahan ia berjalan mendekati meja makan. Membuka tudung penutup lauk pauk. Berharap ada sedikit makanan yang tersisa untuk bisa ia makan.
Kosong! lagi-lagi tak ada makan malam untuk hari ini. Seperti biasa, untuk malam yang kesekian ia terpaksa menahan lapar hingga besok siang.
Dengan raut wajah murung, gadis itu pun membaringkan tubuhnya di atas sofa satu-satunya yang ada di ruang tamu.
"Nisha...!" sebuah suara yang teramat ia kenal, terdengar berteriak memanggil namanya dari arah pintu luar rumah yang terkunci rapat.
.
.
.
Hai hai hai... Semuanya....
Jangan lupa LIKE, KOMEN dan SUBSCRIBE dulu ya....
Makasih sayangku semua 🥰
BERSAMBUNG
Kepo in Bab selanjutnya 👇
__________________&&&&_____________
Nisha...!
Lagi-lagi suara teriakan Ikbal saudara lelakinya terdengar memanggil dari luar rumah, membuat dirinya yang baru saja hendak rebahan terpaksa bangun dari sofa.
Dengan kesal, ia membuka pintu rumah yang telah di kunci ibunya sedari tadi.
Sosok Ikbal yang melipat kedua tangannya di atas dada karena kedinginan, tampak berdiri kesal di balik pintu rumah.
Hujan belum juga reda.
Pemuda berambut ikal dengan tubuh kurus ceking itu buru-buru masuk tanpa membuka sepatunya yang terlihat kotor saat menginjak lantai rumah seenaknya.
"Abang...! Sepatumu itu kotor, bajumu juga basah! Kamu bisa di marahin ibuk karna lantainya jadi kotor...!" jerit Nisha dongkol.
Matanya melotot ke arah Ikbal yang melengos tak peduli terus melangkah dengan tubuh sempoyongan ke arah kamar belakang.
Nisha memandang kakak lelakinya geram. Berulang kali ia membuang nafas kasar, mencoba menahan dirinya yang mulai tersulut emosi karna kelakuan kakaknya yang seringkali berbuat sesuka hati.
Apalagi melihat langkah kaki Ikbal yang sempoyongan. Ia sudah bisa menilai kakaknya itu habis mabuk-mabukan lagi dengan teman-temannya di luar sana.
"Dasar tak berguna!" umpat Nisha jengkel setengah mati.
Sambil menggerutu tak menentu. Ia mengambil kain lap dan membersihkan lantai yang kotor karna ulah Ikbal. Perutnya yang terasa lapar kembali berbunyi membuat dirinya makin kesal dan marah.
Nisha membanting kain lap dengan kasar dan merunduk sambil duduk meratapi nasibnya.
"Ya Allah, andai aku boleh meminta. Aku ingin jadi orang kaya. Biar ibu ku senang, biar hidupku tak sengsara seperti ini." Batin Nisha merintih pilu meratapi buruk nasibnya.
Sayangnya, dia bukan gadis yang terlahir dari keluarga yang ahli agama. Dia cuma bisa berdoa sesuka hatinya tanpa ada yang bisa ataupun mau mengajarkannya.
Tak lama kemudian, Nisha perlahan bangkit kembali meneruskan membersihkan lantai hingga bersih. Setelah bersih, ia pun berbaring kembali di sofa mencoba untuk memejamkan matanya.
Hingga pagi menjelang.
Nisha terbangun pagi-pagi sekali saat Kokok ayam baru saja berbunyi. Ia buru-buru mandi dengan memakai pakaian apa adanya. Ia pun membangunkan adiknya Pamela yang sedang tidur dengan pulas sekali di balik selimut tebal.
"Bangun! Apa kau tidak sekolah hari ini?!" tegur Nisha pada Pamela yang membuka matanya dengan malas-malasan.
"Iya..., ntar lagi. Masih terlalu pagi juga," jawab Pamela dongkol karna dibangunkan.
Nisha menutup mulutnya rapat. Ia mencoba untuk sabar menghadapi sikap adik perempuannya yang punya watak keras kepala.
"Bilang sama ibuk, aku pergi melamar kerja." Ucapnya pada Pamela yang masih tidur diatas kasur sebelum dirinya keluar meninggalkan kamar.
Sejenak, Nisha menarik nafas berat sebelum kakinya melangkah perlahan meninggalkan rumahnya di pagi itu.
Suasana jalanan masih terlihat sepi dan lembab dengan titik embun yang terlihat jatuh menetes dari dedaunan pepohonan. Kicauan burung-burung terdengar seperti kidung yang menemani langkah kaki Nisha yang berjalan gontai tanpa arah tujuan.
Dingin, ia buru-buru melipat kedua tangannya di dada, mencoba menghangatkan tubuhnya yang menggigil dari dinginnya udara pagi yang merasuk ke tubuhnya.
"Aduh!" jerit gadis itu tiba-tiba mengaduh kesakitan.
Langkahnya terhenti dan merunduk ke bawah menatap bebatuan yang tak sengaja tertendang ujung jarinya.
"Mata tak berguna! Batu sebesar itu saja kau tak bisa melihat!" gerutunya marah, menyalahkan mata minusnya yang sulit untuk melihat dari jarak jauh.
Ia pun mengelus ujung jempolnya yang terasa ngilu sebentar dan melanjutkan perjalanannya kembali.
Setengah jam kemudian.
Langkah kaki Nisha akhirnya sampai ke pasar di pusat kota. Suasana riuh di pasar membuat gadis itu langsung bersemangat. Ia pun berputar-putar mengitari pasar.
Matanya berpendar mencari-cari sebuah kedai penjual minuman segar yang pernah di katakan Bu Salma ibunya. Kata Ibunya, kedai itu sedang membutuhkan pekerja sebagai pelayan minuman.
Tak selang beberapa menit.
Senyumannya mengembang ceria menemukan kedai minuman segar yang ia cari. Kedai itu terlihat lumayan ramai dengan pengunjung. Sorot matanya yang indah langsung tertuju pada si ibuk pemilik kedai yang sedang asyik menghitung hasil jualannya.
Awalnya, ada keraguan yang menyelimuti hatinya. Namun saat membayangkan wajah ibunya yang seringkali berkeluh kesah, timbul lah keberanian di hati Nisha.
"Permisi buk... Apa saya boleh kerja disini buk? Jadi pelayan atau tukang cuci gelas dan piring kotor juga boleh." Nisha coba menawarkan diri untuk bekerja di kedai itu.
Si ibuk pemilik kedai menatap Nisha dengan heran. Ia melihat gadis itu dari ujung rambut hingga ujung kakinya. Pakaian lusuh dan sandal jepit yang dikenakannya tak sebanding dengan parasnya yang cantik namun tak terawat seperti kebanyakan gadis-gadis lainnya.
Rasa iba dan kasihan sejenak menyelinap di hati si ibuk pemilik kedai.
"Ya udah, sana! Kamu bantu cuci gelas di belakang!" ucap si ibuk dengan suara lantang.
Nisha langsung tersenyum dengan hati girang.
"Baik buk, makasih ya buk!" gadis itu buru-buru meninggalkan si ibuk hendak ke belakang kedai.
"Hei...! Namamu siapa?" teriak si ibuk tiba-tiba memanggilnya.
Nisha berbalik menoleh ke arah si ibuk pemilik kedai sambil melemparkan senyuman.
"Nisha buk...!" teriaknya seraya menghilang di pintu belakang.
"Nisha, nama yang bagus." Pikir ibuk pemilik kedai dalam hati seraya melanjutkan menghitung uang.
Tak terasa waktu berlalu cepat.
Hari hampir lewat pukul 5 sore. Beberapa pekerja lelaki mulai berangsur menutup kedai. Ibuk pemilik kedai mengintip Nisha yang masih sibuk mencuci gelas kotor di bagian belakang kedai.
"Nisha! Kalau sudah beres, kamu temui ibuk dulu sebelum pulang ya," ucap si ibuk yang tersenyum senang melihat Nisha yang rajin dan cekatan dalam bekerja.
"Iya buk...!" jawab Nisha sambil terus melanjutkan pekerjaannya mencuci gelas.
Setelah semua beres. Ia pun segera menghampiri si ibuk yang telah menunggunya sedari tadi.
"Duduklah!" si ibuk menyuruh Nisha duduk di hadapannya.
"Kamu tinggal dimana Nisha?" tanya ibuk pemilik kedai seraya menatap gadis cantik yang telah duduk di hadapannya dengan sorot mata kasihan.
"Saya tinggal di desa Anggrek buk!" tutur Nisha sopan.
Ibuk pemilik kedai tercenung. Dahinya berkerut tajam mencoba memikirkan.
"Desa Anggrek? Siapa nama ibumu? Jangan-jangan ibuk mengenalnya. Ibuk kan aslinya dari Desa Anggrek. Mana tau kamu anak dari salah satu temannya ibuk," tanya ibuk pemilik kedai penasaran.
"Iya buk, kata ibuk saya, beliau berteman dengan ibuk Ratna. Itu nama ibuk kan? Ibu saya namanya Salma." Ujar Nisha sambil tersenyum sumringah.
Ibuk pemilik kedai yang sudah di ketahui Nisha dari awal bernama Ratna itu pun terbelalak.
"Oalah, anaknya Salma ya?" jerit Buk Ratna penuh suka cita.
"Trus, emangnya kamu gak sekolah? Kok bisa-bisanya ngelamar kerjaan ke sini?" tanya Buk Ratna penuh perhatian.
"Baru lulus SMA buk. Udah 3 bulan nganggur dirumah terus. Kasihan ibuk saya, gak ada yang bantuin cari makan." Gadis itu bicara jujur seraya menundukkan kepalanya, malu.
Tapi harus bagaimana lagi. Dia memang tak bisa bohong. Keluarganya memang hidup dengan kesusahan.
Buk Ratna ikut prihatin dengan keadaan Nisha dan keluarganya.
"Kamu gak mau kuliah?" tanya Buk Ratna dengan rasa iba yang menyelimuti hatinya.
"Mau buk, tapi gimana mau bayar kuliah, buat makan aja susah." Ucap Nisha dengan wajah tertunduk sedih.
Buk Ratna manggut-manggut seakan memahami keadaan gadis cantik yang lugu itu.
"Ini, ada sedikit uang hasil kerjamu hari ini. Kalau kamu bisa nabung, tabungkan sedikit untuk bekal kuliah mu nanti. Mulai besok kamu boleh kerja disini bantu ibuk jadi pelayan atau cuci gelas. Asal kamu gak gengsi, Ibuk yakin, tahun depan kamu bisa kuliah dengan biaya sendiri." Ujar Buk Ratna sembari menyodorkan beberapa helai uang kertas ke tangan Nisha.
Gadis itu pun menerima uang hasil jerih payahnya dengan titik airmata yang seketika jatuh di pelupuk matanya yang kecoklatan.
"Terimakasih buk, Ini gaji pertama saya semenjak saya lulus sekolah." Nisha menatap uang hasil keringatnya dengan hati senang dan penuh haru.
"Alhamdulillah ya Allah, semoga Rezki yang ku dapat hari ini berkah." Ia pun berdoa dengan tulus dalam hati.
Buk Ratna ikut terharu melihat raut wajah Nisha yang terlihat menangis terharu.
Nisha pun segera berdiri setelah menerima gajinya dari Buk Ratna seraya menyusut air matanya dengan cepat.
"Nisha pamit dulu ya buk."
Buk Ratna mengangguk, saat Nisha berpamitan dengan buru-buru.
"Iya, cepatlah pulang! Hari hampir magrib, jangan sampai pulang kemalaman." Ucap Buk Ratna menyuruh gadis itu cepat pulang.
Nisha mengangguk sopan.
"Iya buk, permisi." Pamit Nisha.
Nisha pun bergegas beranjak pergi meninggalkan kedai minuman tempat ia pertama kali bekerja dengan hati riang. Diiringi pandangan Buk Ratna yang memandangi kepergiannya dengan suka cita.
"Aww...!" lagi-lagi kakinya tersandung batu.
Tubuh mungilnya limbung seketika, hampir saja ia jatuh tersungkur andai tak ada yang memeganginya dari belakang.
Darah Nisha terkesiap saat menyadari siapa yang telah menangkap tubuhnya saat dirinya hampir terjatuh.
"Kamu?"
.
.
.
Kira-kira siapa itu yang telah menolong Nisha?
Kepoin terus ceritanya 🙏
YANG BELUM SUBSCRIBE, JANGAN LUPA SUBSCRIBE dulu ya, MAKASIH 🥰🤗
BERSAMBUNG
Saat menjelang sore.
Langkah kaki Nisha mulai memasuki kawasan desa tempat dia dan keluarganya tinggal. Ia terlihat melangkah dengan hati riang dan gembira.
Hari ini, banyak hal yang membuat hatinya merasa senang. Mendapat pekerjaan dan menerima sedikit uang dari hasil keringatnya sendiri, adalah hal yang sangat membanggakan bagi dirinya. Dia berniat akan memberikan semua uang itu pada ibunya.
"Semoga saja, uang ini bisa membantu ibu untuk membeli segala kebutuhan keluarga." Niat Nisha dalam hati.
Raut wajahnya tampak riang dan sangat gembira menimang-nimang uang pemberian Bu Ratna.
Senyumannya langsung mengembang teringat kejadian di pasar tadi. Tatkala diperjalanan pulang, Nisha nyaris jatuh dan diselamatkan oleh seorang pemuda yang tak lain adalah Farel, cinta pertamanya sewaktu duduk dikelas dua SMA.
Nisha sungguh tak menyangka akan bertemu Farel di pasar. Rasa rindu yang ia pendam selama ini pada pujaan hatinya seakan terbalaskan dengan pertemuan yang di bilang singkat.
Ya, bagaimana lagi. Dirinya harus buru-buru pulang ke rumah sebelum hari menjelang malam. Ia dan Farel harus berpisah setelah tegur sapa yang terkesan kikuk dan kaku.
Walau tak sempat bicara banyak, Nisha bisa menangkap sorot mata Farel yang seakan tak rela melepas kepergian dirinya yang terlihat buru-buru hendak pulang kerumah.
Bruk!
Nisha jatuh terduduk di atas tanah. Lamunannya langsung buyar. Tanpa sengaja ia menginjak kulit pisang yang di buang orang sembarangan di jalan.
"Astaga!" Ia pun melonjak bangkit.
Uang yang ada ditangannya terjatuh ke dalam parit yang ada di pinggir jalan. Dengan sekuat tenaga, ia berlari mengejar uangnya yang hanyut terbawa air.
Dia terus berlari mengejar uang itu di sepanjang parit. Usahanya tidak sia-sia. Uang itu tersangkut di antara sampah yang menumpuk di dalam parit.
Nisha menarik nafas lega. Seandainya, sampah itu bisa bicara. Ia ingin sekali berterima kasih karna telah membantunya.
Tanpa malu-malu, dia pun berjongkok disisi parit dan merunduk mencoba menggapai uang yang tersangkut di tumpukan sampah. Sedikitpun tak ada rasa jijik di hatinya. Karna uang itu lebih berharga daripada kotoran lumpur yang mengotori tangannya.
"Nyari apa dek?" sebuah suara tiba-tiba mengejutkan Nisha.
Kepalanya berputar kebelakang melihat sosok lelaki yang menegurnya. Dahinya berkerut heran menatap lelaki tak di kenal yang ikut berjongkok di sampingnya seraya ikut menoleh ke arah parit.
Lelaki separuh baya yang hampir seumuran dengan Bapaknya itu mengernyit saat melihat beberapa lembar ribuan terapung di sela tumpukan sampah.
"Oo..., duit mu jatuh ya dek?" lelaki itu seketika manggut-manggut seraya memandangi tangan Nisha yang kotor dengan perasaan jijik.
"Gak usah di ambil dek! Duitnya udah kotor, biar duit mu yang jatuh itu Abang ganti pake duit Abang." Ucapnya tiba-tiba mengejutkan Nisha.
Matanya mendelik, memandang lelaki tua itu dengan perasaan aneh.
"Gak apa-apa kok Om, setibanya di rumah nanti, duitnya bisa aku cuci trus di setrika sampai kering." Nisha coba menolak tawaran kebaikan lelaki tua yang berdandan perlente itu dengan halus.
"Ya udah, biar aku bantu ambilkan duitmu yang kotor itu." Pria itu bersikeras ingin membantu.
Nisha sedikit enggan menyusahkan orang. Apalagi orang yang tidak ia kenal.
"Gak usah om, saya bisa kok!" ucap Nisha.
Ia berupaya menggapai uang itu dengan mengulurkan jemarinya ke parit.
Akhirnya uang itu berhasil ia ambil di bantu oleh lelaki tua yang ada di dekatnya.
"Jangan panggil Om, panggil saja Bang Ridwan." Kata lelaki separo baya itu penuh percaya diri.
Nisha membelalak. Dalam hatinya tersenyum geli.
"Udah tua, masih ngaku muda." Cemooh gadis itu dalam hati.
"Iya Om, eh Bang. Makasih ya." Ucapnya gugup.
Ia mulai merasa risih bicara berlama-lama dengan lelaki tua yang mengaku bernama Ridwan itu.
"Oh iya, nama mu Nisha kan?" kata Ridwan lagi mengejutkan Nisha.
"Iya om, eh, Bang Ridwan kok tau namaku?" Nisha menatap Ridwan penuh curiga.
"Ya tau dong, siapa sih yang gak kenal sama kembang desanya kampung Anggrek? Hehehe..." Ujar Ridwan seraya tertawa terkekeh-kekeh.
Hati Nisha makin tak tenang bicara dengan Ridwan. Ada rasa canggung dan risih setiap kali matanya menangkap tatapan mata Ridwan yang terlihat liar memperhatikan setiap lekuk tubuhnya.
"Maaf Bang Ridwan, saya harus pamit dulu. Sudah mau magrib, saya harus buru-buru pulang." Tubuh Nisha merunduk memberi hormat berpamitan pada Ridwan.
"Kebetulan mobil Abang ada di dekat sini, biar Abang antar kamu pulang!" ujar Ridwan cepat.
"Gak usah Bang! Saya lebih suka jalan kaki." Teriak gadis itu cepat-cepat berlalu pergi, meninggalkan Ridwan.
Ridwan berkacak pinggang seraya mendengus kesal. Upayanya untuk bisa mendekati Nisha gagal untuk hari ini.
"Lihat saja, suatu saat nanti kau pasti ku dapatkan!" gumam Ridwan dalam hati.
Matanya terus memandang tajam ke arah bayangan Nisha, yang makin lama makin jauh dan menghilang di ujung jalan.
.
.
"Assalamualaikum!" Azan magrib baru berkumandang, tatkala langkah kaki Nisha berhenti di depan pintu rumahnya.
"Waalaikumsalam!" suara Bu Salma terdengar keras menjawab salam dari dalam rumah.
"Kebiasaan, pulang malam kalau gak magrib! Anak gadis kok susah di bilangin ya? Sekalian saja gak usah pulang, Ibu cape tiap hari melihat kelakuanmu Nisha!" teriakan Bu Salma langsung cetar menusuk telinga Nisha.
Tak ada suara yang terdengar dari mulut Nisha. Ia hanya menerobos masuk ke dalam rumah tanpa bicara sepatah katapun.
"Kamu itu ya, bisa gak kamu mengerti keadaan keluarga kita hah?!" jerit Bu Salma mengejarnya dari belakang.
Gadis itu tak memperdulikan perkataan ibunya. Ia terus berjalan ke arah dapur. Menghidupkan kompor dan memanaskan air dengan panci yang tertutup.
"Harusnya, sebelum kamu pergi bermain seharian, kamu bantu ibu dulu, menyelesaikan pekerjaan rumah. Lihat sekelilingmu! Rumah berantakan belum di sapu. Piring dan baju kotor menumpuk, cucian bersih belum disetrika, Nasi dan lauk pauk untuk makan juga belum di masak, air pun belum di rebus!" Bu Salma terdengar mengomel panjang di belakang Nisha.
"Apa kamu gak kasihan sama Ibu hah?! Tiap hari banting tulang untuk makan kalian bertiga!" Bu Salma makin gregetan melihat sikap anak gadisnya yang masih bungkam.
Nisha menyusut air mata yang mendadak jatuh bergulir pelan membasahi kedua pipinya.
Dengan hati sedih dan terluka, Ia berjalan menuju kamar mandi dan mengambil segayung air. Tangannya menyiram lembaran-lembaran kertas uang yang nyaris lecek dan robek dengan hati-hati.
Kemudian, dia pun membawa uang yang telah ia cuci bersih kembali ke dapur. Dirinya menaruh lembaran uang kertas yang basah itu satu persatu di atas tutup panci diiringi tatapan heran Bu Salma yang masih berdiri di dekat pintu dapur.
"Dapat uang dari mana kamu?" mata Bu Salma terlihat melotot memandang Nisha penuh curiga.
"Itu uangku buk, hasil kerjaku seharian di tempat Bu Ratna. Teman ibuk yang punya kedai minuman di pasar. Ibuk boleh ambil semuanya. Lumayan, buat nambah belanja ibuk." Tutur Nisha seraya menatap Ibunya dengan raut wajah terlihat sedih.
Bu Salma terpaku diam. Tenggorokannya terasa kering. Lidahnya kelu dan kaku seketika. Ia tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar.
Tak ada kata maaf ataupun ucapan terima kasih terucapkan di bibir wanita setengah baya itu. Hanya raut wajah berganti malu dan rasa penyesalan terlihat membayang di wajah tuanya. Ingin rasanya ia menangis dan memeluk anak perempuannya itu.
Bu Salma tahu, sebenarnya Nisha adalah anak yang baik dan pintar. Cuma Nisha satu-satunya anak yang bisa ia andalkan untuk saat ini.
Terkadang, Bu Salma merasa tak tega karna terlalu sering memarahi Nisha dan memaksanya untuk bekerja. Namun bagaimana lagi, keadaan hidup mereka sekeluarga yang serba kekurangan membuat Bu Salma menaruh harapan tinggi pada Nisha.
Andai Bapaknya Nisha tidak kawin lagi, mungkin hidup mereka tidak terlalu susah seperti saat ini. Wajah Bu Salma berubah muram saat terbayang kelakuan mantan suaminya itu.
"*Laki-laki lakn*t! Anak aja nggak ke urus, malah kawin lagi*!" maki Bu Salma menahan amarah dalam hatinya.
.
.
.
Bagaimana nasib Nisha selanjutnya?
Cusss,kepoin terus ya pembaca tersayang 🤗
BERSAMBUNG
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!