NovelToon NovelToon

Kecewa

Bab 1

Namaku Maysuroh, Biasa di panggil May.

Tidak ada yang istimewa dari ku. Hanya saja aku di anugrah kan otak yang lumayan encer. Tapi itu saja tidak menolong, karena kendala ekonomi yang pas-pasan . Apalagi masih ada dua adik ku yang belum sekolah. akhirnya setelah tamat dari sekolah dasar, ayahku yang hanya seorang petani biasa membawaku ke pondok pesantren. Di sana aku mengenyam pendidikan agama. Karena memang di pondok itu hanya khusus untuk mendalami ilmu agama saja.

Singkat cerita, setelah satu tahun aku di pondok pesantren. Ada kabar mengejutkan dari rumah. Ayah sakit keras hingga aku harus pulang untuk menjenguknya.

Ku lihat tatapan matanya yang sayu namun penuh kebanggaan. ayahku seorang pejuang kehidupan yang gigih. Beliau tidak pernah mengeluh karena keadaan ekonomi yang menghimpit.

Aku, ibu dan kedua adikku yang masih duduk di bangku SD selalu memberinya dukungan. Kami tidak pernah merasa rendah diri dengan segala kekurangan yang kami miliki. karena didalam keluarga kami ada cinta.

Keadaan Ayah lumayan membaik setelah kedatanganku.

Beliau bercengkrama dengan kami layaknya tidak pernah mengalami sakit apapun.

Tapi pagi harinya aku di kejutkan oleh jeritan ibu yang yang menyayat hati. Kami menghambur ke kamar Ayah.

Ku lihat ibu sedang menangis sambil merangkul tubuh ayah yang membeku.

Ayah sudah meninggalkan kami untuk selamanya. Saat itu dunia seakan runtuh menimpaku saat itu. Ayah, tulang sebagai punggung keluarga telah meninggalkan kami selamanya. Tidak ada harta yang di tinggalkan untuk kami kecuali sepetak sawah yang tidak seberapa.

Seminggu sudah berlalu. Sore itu aku mendekati ibu yang sedang termenung di halaman belakang dekat dapur kami yang sempit.

"Bu.." aku menyentuh pundaknya perlahan.

Ibu menoleh dengan mata basah.

"May, kapan kau akan balik ke pondok?"

Suaranya terdengar serak.

"Aku tidak akan balik lagi, Bu." jawabku mantap.

Ibu menatap ku sejenak.

"Aku ingin menemani ibu, dan memberi kesempatan adik-adik untuk belajar." imbuhku lagi.

"Ibu harus kerja apa, Nduk? Ibu tidak punya keahlian apapun..." rintihnya putus asa.

Walaupun ikut bingung, aku memeluk ibu dan menenangkannya.

"Ibu tidak usah khawatir, Rizqi sudah ada ngatur. Tinggal bagaimana cara kita menjemputnya." bisik ku di telinga ibu.

Setelah kembali ke kamar. Aku berpikir keras. Kira-kira apa yang harus aku lakukan untuk memenuhi kebutuhan kami.

Aku terus mondar mandir berpikir.

Menjahit? Aku memang tau sedikit tentang jahit menjahit. Tapi masalah nya sekarang orang lebih suka' membeli pakaian jadi ketimbang membawa ke tukang jahit. dan tentu saja itu lebih efisien.

Apakah aku coba membuat kue saja, lalu di titipkan ke warung-warung. Yaah.. Untuk saat ini hanya itu yang terbayang di kepalaku.

Aku membuka dompet dan mengeluarkan semua isinya. Yang tersisa cuma empat puluh ribu. lalu dengan uang segitu dapat apa?

mungkin karena melihat kebingunganku, ibu mendekati.

"Kau pusing soal uang? Ibu ada celengan, Setiap ayahmu memberi uang belanja, sebisa mungkin ibu sisihkan walau cuma seribu rupiah. Mungkin isinya tidak seberapa, tapi semoga bisa untuk menambah modal usaha."

Aku terharu, padahal hidup kami sangat pas-pasan. Tapi ibu masih sempat-sempatnya menyisihkan uang belanja.

Dan setelah di buka, ternyata isinya kurang lebih dua ratus ribu.

"Alhamdulillah... Dengan uang ini kita bisa memulai usaha, Bu. Aku akan membeli beberapa bahan kue basah. Aku akan menitipkannya ke warung- warung tetangga." ucapku sumringah.

"Aku juga mau membawanya ke sekolah, mbak..." celetuk si bungsu Hafsah.

"Benar kau tidak malu berjualan di sekolah?"

Goda ibu.

"Ngapain malu, kata pak ustadz, tidak ada pekerjaan yang memalukan selagi itu halal." Bilal, yang menjawab.

Kami tersenyum. Ada harapan di pelupuk mataku.

"Semoga berkah, ya...!" ucap ibu mengusap air matanya.

***

Sejak hari itu, tidak ada waktu untuk bersedih lagi. Semua saling bahu membahu untuk membuat kue.

"Alhamdulillah, semuanya rampung. Untuk sementara kita buat tiga macam dulu. insya Allah kalau sudah ada pelanggan kita tambah menu baru." ucapku bersemangat.

Ibu mengangguk mengiyakan. Bilal dan Hafsah ketiduran di depan tv lusuh kami karena kecapean.

"Tidak usah di bangunin. kasian mereka kecapean..." ucap ibu. Aku pun setuju.

Dari dua warung, bertambah menjadi tiga, empat, lima dan tujuh warung yang menjadi langganan kami.

Disaat ekonomi lumayan membaik. Musibah kembali datang. Ibu terpeleset di kamar mandi, kepalanya membentur dinding.

Dokter memberitahu kalau kondisi ini cukup parah. Aku harus menyiapkan sejumlah uang untuk membiayai pengobatannya. Tabungan menipis dan modal pun habis.

Sigit adalah pemuda yang lama menaruh hati padaku. dia bekerja di kantor desa tempat kami tinggal.

Siang itu dia melihatku di kantor desa untuk mengurus surat keterangan tidak mampu.

"May, kau sedang apa?" siapanya dengan ragu.

"Aku perlu mengurus surat-surat yang di minta pihak rumah sakit, Mas." jawabku datar.

"Ooh, iya.. Aku sudah mendengar musibah yang menimpa ibumu. Yang sabar, ya. Kau jangan khawatir. Aku akan membantu mengurusnya."

Dengan bantuan Sigit, aku bisa mendapatkan apa yang kucari dengan cepat.

Sigit juga datang ke rumah sakit untuk memberi dukungan pada kami.

Seminggu di rawat, akhirnya ibu di perbolehkan pulang. Ada bahagia sekaligus nyeri di dada. bahagia karena ibu sudah boleh pulang dan sedih memikirkan kami sudah tidak punya apa-apa lagi.

Sigit semakin sering bertandang kerumah.

Kabar tentang kedekatan kami semakin menyebar di seantero desa.

Keluarga Sigit bukan orang kaya, tapi mereka cukup di pandang karena ayahnya seorang kepala sekolah.

Sigit anak pertama, mereka empat bersaudara. Didit adiknya bahkan sudah menikah dan mempunyai anak. tapi Sigit, jangankan menikah, punya kekasih saja belum. Hidupnya di dedikasikan untuk membahagiakan keluarganya saja. Itu membuatnya jadi bahan olokan teman-teman nya. Usianya yang sudah kepala tiga membuat orang tuanya khawatir.

 Akhirnya pada bulan ketiga sejak musibah yang menimpa ibu. Aku setuju menikah dengannya. entah apa pertimbanganku saat itu. Cinta? tidak. Simpati juga tidak...

Hanya saja Sigit berjanji untuk membantuku merawat ibu dan adik- adikku, membiayai sekolah mereka dan sebaginya.

Bagai tersihir aku menyetujuinya.

Aku di boyong kerumah besar itu. Rumah yang di tinggali keluarga besarnya. Termasuk adiknya yang sudah menikah.

Awal pernikahan semua berjalan baik. Sigit sangat baik padaku. Aku juga merasa dia memang mencintaiku.

Tapi satu dari sifatnya yang membuatku tidak mengerti.

Dia sangat menyayangi orang tuanya dan adik-adiknya. Sampai kepada iparnya. Apapun kata mereka, Sigit akan menurutinya. Hal itu sangat membuatku tidak nyaman.

Hingga suatu malam aku beranikan diri untuk mengajukan permintaan.

"Mas, kita sudah menikah. Rumah ini memang besar, tidak tetap saja tidak cukup untuk menampung tiga keluarga sekaligus..."

Ucapku hati-hati.

"Kenapa May, kau keberatan tinggal bersama keluarga ku?" tanyanya santai.

"Bukan itu maksudku. Kalau kita punya rumah sendiri, kan bisa lebih mandiri." timpal ku lagi.

"Ya, sudah. Tapi aku bilang ibu dulu, ya..!" jawabnya sambil mengecup keningku.

Bab 2

Ibu Karti mertuaku adalah orang yang paling menentang saat kami mengutarakan niat untuk pindah rumah.

"Tidak..! Lihat adikmu, sampai punya anak satu dia tidak pernah minta pindah rumah. Kau itu anak sulung. paling besar, paling kami andalkan. Dan kau May." mata wanita itu mengarah padaku.

"Jangan sekali-kali bermimpi atau membujuk suami mu untuk pindah dari sini. Kau paham..?"

Aku hanya bisa mengangguk sambil tertunduk memandangi jari kaki ku yang bergetar. Belum pernah aku melihat kemarahan ibu mertua seperti itu.

"Tuh, kan? Apa ku bilang. Ibu pasti marah. Kamu, sih.." Mas Sigit mulai memojokkan ku.

Saat itu kami sudah berangkat tidur.

Aku hanya bisa diam menahan perasaan ku.

"Sudahlah, May.. Jangan pusingkan soal ini. Lebih baik besok kau belanja, beli apa saja yang kau suka." ucapnya sembari meletakkan lima lembaran uang merah di tangan ku.

Di saat yang sama ibu mertua masuk ke kamar kami.

"Ibu mau ngasi tau, besok ada teman lama ayah mu mau datang. Kau harus ke pasar pagi-pagi untuk membeli kebutuhan dapur." ucapnya pada ku.

Matanya menangkap uang yang masih di tanganku.

"Itu uang apa?"

Mas Sigit dan aku saling pandang.

"Itu uang untuk May beli kebutuhannya sendiri.." jawab mas Sigit tersenyum.

"Kebutuhan yang mana?" matanya menatap uang di tanganku.

"Sabun, dan segala tetek bengeknya sudah ibu sediakan." ucapnya dengan nada angkuh.

"Tidak banyak, Bu." mas Sigit terlihat tidak nyaman.

Aku meletakkan uang itu di lemari.

"Benar, kau harus menafkahi istri mu. Tapi dia mau beli apa, semua sudah tersedia dirumah ini. Lagipula, mantu ibu yang satu ini orangnya sederhana kayak ibu. Tidak suka berlebihan.. Iya, kan, May?" suaranya mengandung penekanan.

Senyum ramahnya memaksa kedua ujung bibirku terangkat.

"Benar, Mas. Lagi pula apa yang akan ku beli lagi. Kalian sudah mencukupi semua kebutuhanku disini." jawabku akhirnya.

"Tul.. Itu..!" sorak ibu mertua.

"Ya, sudah. Kalau begitu kau berikan saja uangnya kembali pada ibu." ujar mas Sigit.

Dengan berat hati aku memberikan hak yang seharusnya jadi milik pribadiku itu pada mertuaku.

"Biar ibu yang simpan. Bukan untuk yang lain, tapi untuk kebutuhan kalian juga." ucapnya dengan senyum lebar sambil berlalu.

"Ayo kita istirahat...!" ajak mas Sigit santai seolah yang baru terjadi hal biasa biasa baginya.

Dia tidak tahu betapa nyeseknya hatiku.

Suatu hari, Bilal datang kerumah dan bilang ibu sedang sakit.

Dengan rasa cemas yang mendera aku minta ijin pada mertua untuk menjenguknya.

"Sebenarnya seorang istri tidak boleh pergi tanpa seijin suaminya. Tapi ya sudahlah..." ucap wanita itu.

Aku ingat, di dapur ada banyak makanan sisa tadi pagi. Aku berniat membungkusnya dan membawanya ketempat ibu. mungkin saja mereka tidak ada makanan.

Saat aku sedang membungkusnya, tiba-tiba tanganku ada yang menahan dari belakang.

"May, untuk apa makanan itu?" Rani istrinya Didit sudah berdiri di belakangku. Wanita yang usianya lebih tua empat tahun dariku itu sedang menatapku.

"Ini, mbak.. Ibuku sedang sakit. aku pikir makanan ini sudah tidak di makan lagi di sini." jawabku tak enak hati.

"Tapi seharusnya kau bilang dulu. Jangan seperti maling begitu. Dan siapa bilang sudah tidak di makan?" Rani mengambil bungkusan di tanganku.

Aku menelan ludah dan melangkah pergi.

Aku dan Bilal sudah di halaman saat teringat ponselku ketinggalan di kamar.

"Bilal, mbak masuk dulu sebentar mau mengambil sesuatu." Bilal mengangguk sambil memegangi sepeda tuanya.

Dari ruang tengah sebelum sampai di kamarku, aku melihat si manis kucing kesayangan Rani sedang makan dari bungkusan yang tadi di ambil dari ku.

Sesak dadaku seketika. Rani lebih suka memberikan makanan itu ke kucing daripada aku bawakan adik-adik ku.

Dengan dada bergemuruh dan mata yang panas menahan air mata, aku mengayuh sepeda tua peninggalan ayah. Di boncengan ku duduk Bilal dengan tubuh kurusnya.

***

"Ibu, ini sakit apa?" aku langsung berlari masuk dan sepeda ku lepas begitu saja.

Ibu sedang terbaring dengan nafas tersengal.

"May, asma ibu kambuh lagi." jawabnya susah payah.

Aku melihat sekeliling.

"Ibu belum makan?" tanyaku tiba-tiba. Bilal, Ibu dan Hafsah kompak terdiam.

Aku pergi ke dapur dan melihat meja makan. Kosong. Tidak ada tanda -tanda kehidupan. Aku raba tempat beras juga kosong.

Batinku menjerit. Bagaimana aku bisa makan dan tidur enak di rumah suamiku, sedangkan ibu dan adik-adik ku kelaparan?

Dengan setengah terisak aku beranikan diri menelpon mas Sigit.

"Ada apa, May? Kenapa kau menangis?" suaranya terdengar khawatir.

Lalu aku ceritakan semua yang terjadi pada ibu.

Tak berapa lama kemudian, dia datang dengan membawa sekarung beras dan dua kresek penuh makanan.

Aku merasa lega sekaligus bangga pada suami ku. Walaupun perasaan ku tidak seratus persen padanya, tapi dengan perbuatannya ini membuat aku merasa terharu.

"Kenapa tidak bilang kalau kalian kehabisan beras,.?" ujarnya kepada ibu.

"Kami tidak mau merepotkan nak Sigit." jawab ibu santun.

"Ibu tidak usah sungkan, sekarang aku kan anak ibu juga." jawab mas Sigit dengan tersenyum.

Aku terharu melihat Bilal dan Hafsah makan dengan lahapnya.

Sebelum pulang tak lupa mas Sigit menyisipkan dua lembaran uang merah.

Mata ibu berkaca-kaca melepas kepergian kami.

Di jalan, aku teringat perbuatan Rani padaku dia tadi. Ingin ku adukan semuanya pada mas Sigit saat itu, tapi aku urungkan. Aku tidak ingin merusak suasana hatinya yang sedang baik.

Biarlah, apapun perlakuan mereka. Asal mas Sigit perduli dan sayang sama keluarga ku, aku tidak perduli.

Semakin hari usaha bengkel mas Sigit semakin berkembang. Otomatis isi kantong nya pun semakin tebal. Ayah mertua menyarankan untuk berhenti mengabdi di desa.

Usahamu semakin maju, sebaiknya kau berhenti menjadi stap dj desa."

Mas Sigit langsung mengiyakan ucapan ayahnya.

Sampai saat itu bantuan kepada ibuku masih lancar. Karena itupula aku tidak ambil pusing saat keluarganya mengaturnya.

"Mas, minta uangnya dong. Aku ingin ganti motor.." ucap Didit dengan entengnya.

Ayah dan ibu mertua tidak berkata apapun. Mereka seperti mendukung permintaan anaknya itu.

Mereka seperti tidak prihatin pada Didit yang sudah berkeluarga tapi semua kebutuhan anak dan istrinya masih ditanggung mas Sigit.

"Makanya, kau bantu-bantu Mas Di bengkel. Bahkan kalau kau mau. Kau bisa mengelola bengkel yang baru."

Jawab mas Sigit.

"Betul kata Mas, mu." celetuk ibu mertua.

"Tapi motornya gimana?" tanya Didit khawatir.

"Yo, pasti di kasi lah, Mas mu itu tidak pelit. Asal kamu mau menurut. Iya, kan Git?"

Aku yang sedang membereskan meja makan hanya bisa mendengar obrolan mereka.

Mas Sigit mengangguk dengan terpaksa.

Terkadang aku kasihan melihatnya yang seperti kambing perahan bekerja siang malam tapi hasilnya mereka yang nikmati.

Sesekali mataku melirik wajah suamiku.

Apa suami ku yang bego atau memang dia malas ribut, entahlah aku tidak mengerti.

Paginya saat menyiapkan baju mas Sigit.

Rani datang ke kamar kami.

"Mas, minta uangnya dong. Aku ada arisan hari ini. Tapi belum ada uangnya." Dengan pongahnya dia meminta uang pada suamiku.

Apa dia tidak ingat sikap angkuhnya tempo hari padaku? Ingin rasanya aku cakar mulutnya yang sok manis itu.

"Tapi Didit mau ganti motor. Aku juga tidak mengerti. Padahal itu baru aku belikan setahun yang lalu." keluh mas Sigit.

"Iya, Mas. Tapi ini mendesak. Aku tidak mau malu pada teman-teman ku..." jawabnya menghiba.

Aku semakin geram melihat tingkahnya.

"Ya sudah, berapa?"

"Satu juta saja.."

"Satu juta?" tak sadar aku memekik.

Mas Sigit dan Rani menatapku.

"Emang kenapa? Itu jumlah yang sedikit. Biasanya mas Sigit memberiku sampai dua juta. Iya, kan Mas?" jawabnya santai.

Dengan berat hati suamiku mengangguk.

Astaga.. Dua juta? Itu biaya hidupku sekeluarga untuk tiga bulan. Dan dia mau menghabiskan untuk arisan? Bersenang-senang?

Aku memijat keningku.

Ada rasa cemburu melihat perlakuan mas Sigit pada keluarganya.

Tapi aku bisa apa?

Bab 3

"Mas, bukannya apa-apa, apa tidak salah kau memberi uang mbak Rani sebanyak itu?" ucapku hati-hati.

"Tidak apa-apa, May. Mungkin dia beneran lagi butuh." jawabnya santai.

"Tapi..?"

"Kita jangan bahas ini lagi, ya.. Kepada siapa lagi dia meminta kalau bukan padaku. Kau tau sendiri Didit belum punya pekerjaan.."

Mendengar jawabannya aku terdiam.

Tapi perasaanku terlanjur tidak enak. karenanya aku cuekin suamiku itu.

"May, kenapa kau diam saja?" tanyanya lembut.

Aku hanya menggeleng sambil tanganku terus melipat pakaian di kasur.

Mas Sigit terlihat berpikir.

Tiba-tiba dia memegang tanganku.

"Aku tau kau marah soal Rani. Baiklah.. mulai sekarang kau saja yang pegang uang. kau atur pengeluarannya. tapi kau juga harus memberi kalau ibu atau yang lainnya meminta, bagaimana?" tanyanya dengan senyum manis.

Bukan itu sebenarnya tujuanku. aku hanya tidak ingin melihatnya terlalu boros. Bagaimanapun kami juga punya keluarga sendiri. punya masa depan yang harus di persiapkan, bagaimana kalau kelak kami punya anak? Tapi ku pikir idenya tidak buruk juga. Dengan begitu aku bisa mengontrol kelakuan Rani dan suaminya.

"Aku tidak meminta Lo, Mas. Tapi kalau kau percayakan padaku. Aku terima." jawabku datar.

Dia langsung memeluk ku erat.

"Saat makan makan malam aku akan memberi tau yang lain."

Aku hanya mengangguk mengiyakan.

Aku pikir tidak salah. aku adalah istrinya, wajar saja kalau aku yang mengatur keuangan mas Sigit.

"Perhatian semuanya. Aku mau memberitahu kalau mulai sekarang May, yang akan memegang keuangan ku. jadi kalau ada yang butuh sesuatu, silahkan berhubungan saja dengan May." ucap mas Sigit tenang.

Ibu, Rani dan yang lainnya terkejut.

Mereka langsung berhenti mengunyah.Wajah mereka seperti tidak suka.

Tapi ibu mertua lebih bisa menguasai keadaan.

"Baguslah.. Itu memang seharusnya.

Tapi May juga harus amanah, ya.. Jangan karena kita di beri kepercayaan itu, kita seenaknya memakai untuk keperluan keluarga, misalnya?" ucapnya dengan senyum di paksakan.

Aku terperangah. Sangat jelas ibu menyindirku.

"Aku tidak minta kok, Bu. Tapi mas Sigit yang memberiku kepercayaan itu. Insya Allah aku akan menjaga kepercayaan nya." jawabku cepat.

"Tidak minta, tapi tidak menolak, kan?" ledek Rani.

"Sudah-sudah.. jangan di bahas lagi. Kalau kau butuh uang kan tinggal bilang pada May." mas Sigit melerai perdebatan yang hampir terjadi.

Walaupun merasa tidak puas, Rani dan yang lainnya terpaksa menerima keputusan mas Sigit.

Paginya, Bilal datang ketempat ku. Dia mengadu sudah dua kali di tegur karena belum belum membayar baju olahraga.

"Kau tenang saja, nanti mbak kasi uangnya." aku membelai kepala Bilal.

Walaupun mas Sigit sudah mempercayakan keuangannya padaku. Aku merasa harus tetap minta ijin padanya kalau keluargaku yang meminta.

Jawaban nya membuatku gembira.

"Uangnya ada padamu. Kenapa kau harus minta ijin lagi, May? Kau atur saja." suaranya dari sebrang telpon

Setelah berbincang cukup lama, aku menyuruh Bilal pulang.karena ibu tidak ada teman.

Tak lupa aku memberinya amplop berisi uang untuk kebutuhannya.

Tapi di ambang pintu. ibu sedang menatapku.

"May, ibu mau minta uang. Ada keperluan mendadak."

"Berapa, Bu?" tanya ku sopan.

"Lima juta."

"Lima juta? Untuk apa, Bu?"

"Sigit tidak pernah bertanya untuk apa kalau ibunya meminta uang." ucap ibu murka.

"Maksud ku, uang yang ku pegang tidak sebanyak itu, Bu. Nanti belum untuk keperluan yang lainnya "

Dia terlihat bingung.

"Dino di tahan di kantor polisi. untuk membebaskannya kita harus menyiapkan uang lima juta."

"Kasusnya apa?" cecar ku.

"Nanti ibu ceritakan. Sekarang mana uangnya dulu.!"

Ibu mengambil amplop di tangan ku dengan paksa.

"Kurang lima ratus ribu." keluhnya.

Matanya menatap amplop di tangan Bilal.

"Bagaimana kalau ibu pakai dulu uang adikmu."

"Tapi, uang itu butuh untuk bayar sekolah, Bu." jawabku tegas.

"Itu, kan bisa di atur." Dia mengambil uang di tangan Bilal lalu pergi.

Aku mengelus Dada.

Tega sekali ibu melakukan ini. Padahal Bilal butuh uang sekolah, bukan untuk bersenang-senang.

Malamnya aku adukan semuanya pada mas Sigit.

"Ibu benar, Bilal bisa membayarnya di lain hari. Tapi di kantor polisi apa bisa di tunda ? Yang ada Dino akan di tahan."

Jawaban yang sangat menyesak kan dada.

Bukannya membelaku malah menyudutkan ku.

***

Siang itu, Tara sedang bermain di kamar tengah. Anak itu terlihat sangat anteng bermain sendiri.

Tapi tak lama kemudian. suara jeritan Rani terdengar ke seantero rumah.

Kami datang melihat apa yang terjadi.

"Ada apa, Ran? " tanya ibu mertua cemas.

"Lihat ini, Bu"

Rani memperlihatkan tas yang semula di pegang Tara.

Tas yang masih utuh dengan mereknya itu sudah cemong oleh lipstick di sana sini.

"Tara mengotori tas baru ku." rengeknya jengkel.

"Cuma tas saja. dia masih kecil." ibu membela cucunya.

"Ibu tidak akan berkata begitu kalau tau berapa harga tas ini..." ratapnya sambil mendekap tas itu.

"Dua juta, Bu..!" ucapnya kesal.

"Dua juta?" aku ikut kaget.

Bukannya tempo hari dia minta uang ke suamiku dan bilang untuk arisan? Ternyata dia berbohong. Bukannya untuk bayar arisan seperti ceritanya tapi untuk membeli tas itu.

Rani sadar aku sedang menatapnya.

Dia menjadi salah tingkah.

"Maksudku, ini tas temanku yang di beli dengan harga dua juta. Aku meminjamnya." ia meralat ucapannya yang pertama.

"Aduh, kau ini.. Kenapa pinjam barang semahal itu. Cepat balikin." Didit berkomentar.

"Habisnya kau tidak pernah mau membelikan nya untuk ku..!" jawab Rani kesal.

Didit sudah mau membela diri, tapi ibu melerainya.

"Sudah..! Kalian balik ke kamar masing-masing.."

Kami bubar dari tempat itu. tapi hatiku masih dongkol oleh kelakuan Rani.

Bagaimana tidak? Bilal yang hanya butuh uang lima ratus ribu harus di tunda, sedangkan Rani bisa membodohi suami ku.

Aku kembali menahan diri. Sia-sia saja mengadu pada mas Sigit. Karena ujungnya dia pasti membela keluarga dan iparnya.

Sejak hari itu, Rani dan Ibu mulai menampakkan ketidak suka anya padaku.

Aku berusaha acuh saja selagi mas Sigit masih menghargai ku di dalam rumah itu.

Apalagi sejak tau aku sedang hamil anaknya. Perhatiannya semakin bertambah.

"Mas, aku ingin menjenguk ibu..."

Pinta ku malam itu.

"Tapi kau sedang hamil sayang.."

"Memang kenapa? Memangnya ibu berbahaya buat kehamilanku?" aku mulai ngambek.

"Bukan begitu. Aku hanya tidak ingin terjadi sesuatu padamu dan anak kita. Kau tau kalau aku sangat mengharapkan anak itu."

"Aku janji kami akan baik-baik saja disana." Lagi pula, orang hamil butuh suasana tenang. Hal itu akan berpengaruh pada janin yang di kandungnya. Tapi tidak mungkin hal itu aku utarakan pada mas Sigit. Bisa-bisa terjadi perang dunia karena dia pasti tidak terima.

"Baiklah... tapi aku tidak bisa menjagamu. Karena ada banyak pekerjaan."

Aku sangat mengerti. Mas Sigit semakin sibuk karena usahanya semakin besar.

Aku hanya mengangguk tanda mengerti.

Di rumah ibu aku merasa lebih nyaman. Suasana tenang dan religi sangat terasa. setiap saat aku mendengar lantunan ayat-ayat suci dari ibu, Bilal ataupun Hafsah. Mereka sangat antusias dengan kehamilanku.

Tapi besoknya ada telpon yang sangat mengejutkan ku.

"May.. Kau harus pulang segera.!" suara mas Sigit terdengar tidak enak lewat telpon.

Tanpa memberi penjelasan yang rinci. Dia menutup telpon.

Ada apa sebenarnya? Bahkan dia tidak menjemput ku.

"Kau mau pulang?" sapa ibu

"Iya, Bu. Mas Sigit memintaku pulang." ternyata ibu mendengar percakapan kami di telpon tadi.

"Jangan terbawa emosi. Apapun yang terjadi, kau harus berpikir jernih." pesan ibu.

Aku mengangguk saja.

Sampai di rumah. Suasana sangat hening. dimana mereka?

Ternyata semua sedang berkumpul di ruang tengah sambil menunggu kedatanganku.

Kulihat wajah mas Sigit sangat kesal.

Setelah mengucap salam aku salami mereka satu persatu. Tapi mas Sigit menepis tanganku. Aku sangat heran.

"May, aku tidak berharap ini darimu." ucapnya langsung.

"Ada apa, Mas?" tanyaku sambil memindai wajah-wajah yang ada di sana.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!