NovelToon NovelToon

I'M LONELY

CHAPTER 1

Welcome to chapter 1 I'm Lonely. I hope you like it.♡

.......

.......

.......

.......

.......

Happy Reading 👑

...Pernah berada di posisi terpuruk, namun tak ada satupun yang peduli?...

...Tenang, kau tidak sendiri. Karena aku selalu ada di posisi biadab itu....

^^^-Sabrina Anggraini-^^^

____________________________

"SABRINA!!"

Terdengar teriakan seseorang yang memanggil namaku. Mau tak mau, kuhentikan langkah kakiku. Lalu, menoleh ke sumber suara. Seorang gadis cantik melambaikan tangannya, menyuruhku untuk datang ke hadapannya.

Kenapa harus aku yang kesana, 'kan dia yang memanggilku? Sudahlah.

"Ada apa?" tanyaku sesaat setelah aku sampai di tempat gadis itu berada.

"Boleh pinjam buku Ekonomi lo, gak? Soalnya buku gue gak lengkap catatannya. Boleh ya, Na? Please ...." ujarnya memohon padaku.

'Kenapa gak langsung aja bilang kalau mau nyontek?' batinku.

"Gue nanti ada jam." balasku.

"Iya tau, tapi 'kan sebelum istirahat. Kelas gue jam pertama. Boleh, ya?" Lagi dan lagi dia memohon.

Apa boleh buat, aku mengambil buku tebal berlabel Ekonomi di sampulnya, lantas menyerahkan benda itu kepada seseorang yang menjadi lawan bicaraku.

"Aaaa.... Makasih banyak, Sabrina cantik!" Ucapnya dengan girang, lalu melenggang pergi begitu saja tanpa memberiku waktu untuk menjawab.

Oh, aku melupakan sesuatu! Ya, memperkenalkan diri.

Namaku Sabrina Anggraini. Perempuan biasa saja, yang tengah mengenyam pendidikan di SMAN Padjadjaran.

Sekolah favorit dengan siswa siswi dari kalangan atas. Memakai barang-barang branded, berbicara tentang jabatan dan kasta bukanlah hal yang tabu di sekolah ini. Biaya pendaftarannya saja mahalnya minta ampun.

Namun, semua itu terbayarkan tuntas dengan fasilitas dan sistem pengajaran yang sangat bagus. Bukan tidak mungkin jika lulusan dari sekolah ini sering mendapatkan beasiswa di berbagai universitas ternama.

Lantas kenapa aku bisa memasuki lingkungan elite ini? Beasiswa, mungkin jawaban yang tepat.

Dulu, Mama sempat melarangku menerima beasiswa itu mengingat sekolah yang dituju bukan sekolah sembarangan, dan dikhawatirkan tidak mampu membayar beberapa tunjangan sekolah. Namun, semua itu disanggah oleh Papa dengan alasan,"kesempatan baik tidak datang dua kali." katanya waktu itu, dibarengi dengan kerja kerasnya sebagai pegawai di sebuah perusahaan milik negara.

Disinilah kakiku terhenti, ruangan yang setiap harinya menjadi tujuanku untuk menyimak pelajaran. XII IPS 01. Kelas dengan penghuni yang memiliki segala karakter.

Kulanjutkan perjalananku hingga sampai pada sebuah bangku paling belakang, tepat di pojok kanan dekat jendela. Aku duduk sebangku dengan gadis berkacamata. Namanya Gemala Kartika, aku biasa memanggilnya Ika. Walaupun kebanyakan orang akan memanggilnya Gema ataupun Mala. Ya, aku suka me-make over nama-nama orang, terlebih orang yang kukenal dan akrab denganku. Selama nama itu masih pantas dan berada dalam lingkup wajar, why not?

Ika termasuk gadis cantik, dia pandai, pendiam namun tidak pada orang yang dekat dengannya, dia akan bobrok habis-habisan, termasuk padaku. Pasti ada saja lelucon yang ia lontarkan.

Orang awam ataupun orang yang tak mengenalnya, tentu akan menganggapnya sebagai gadis cupu yang norak, tapi bagiku orang cupu, kudet, bahkan orang gaptek sekalipun, mereka sama saja. Sama-sama makan nasi, dan menyandang status sebagai 'manusia'.

Ah, sudahlah. Jangan terlalu dipikirkan.

"Pagi, Ika," sapaku pada sosok gadis yang duduk di sebelahku.

"Pagi juga, Sabrina," jawabnya seraya meletakkan buku paket yang dibacanya ke atas meja.

Setelah aku duduk di kursi yang bersebelahan dengan jendela, Ika mengalihkan atensinya kepadaku. Seperti biasa, jika sudah di posisi itu, ia akan bercerita tentang banyak hal.

"Na, kemarin sepulang sekolah, ada kecelakaan sepeda motor versus mobil di jalan yang deket sama rumah aku. Katanya sih, si pengendara sepeda motor kepalanya pecah, terus ini ... Itu ...." Dia terus saja bercerita hingga tak terasa bel masuk berdering lantang. Seluruh penghuni kelas duduk dengan rapi, dan tak lama kemudian guru super duper killer memasuki kelas. Guru mata pelajaran Matematika, Bu Wiwik.

"Selamat pagi, anak-anak," sapanya nyaring.

"Selamat pagi, Bu," jawab kami serentak.

Ia pun memulai pelajaran seperti biasa. Memberikan materi, lalu setelah tak ada lagi yang bertanya ataupun kurang paham, dia lanjutkan dengan soal-soal latihan.

Waktu terus bergulir, hingga jam pelajaran Matematika mencapai puncaknya.

"Jam pelajaran Matematika telah habis, dipelajari lagi materi yang tadi. Sekian dan sampai berjumpa kembali di pertemuan selanjutnya," ujar Bu Wiwik.

"Baik, Bu," jawab serempak dari para penghuni kelas.

"Ka, gue mau ke kelasnya si nenek lampir, ngambil buku Ekonomi. Nanti kalo gurunya dateng dan nanyain, bilang aja gue ke kelas sebelah ngambil buku. Paham?" ujarku panjang lebar, terkadang berinteraksi dengan Ika harus sabar dan memberi keterangan sejelas mungkin.

"Oke, aku paham."

Aku mulai meninggalkan kelas, melewati lorong kelas XII, keadaannya lumayan sepi karena memang muridnya tengah mengikuti jam pelajaran.

Tak berlangsung lama, akhirnya aku sampai di depan kelas tetangga. XII IPS 03. Kelas dari gadis yang tadi pagi meminjam bukuku. Kelas urutan paling akhir. Kelas ini sering menjadi trending karena ulah para penghuninya.

Kuketuk pintu yang sedang terbuka lebar itu. Membuat seluruh orang yang berada di dalamnya, mengalihkan atensinya padaku.

"Masuk, Sabrina. Ada apa?" tanya Bu Sintia, guru cantik nan ramah yang mengajar mata pelajaran ekonomi.

Kakiku mulai melangkah maju ke tempat guru lembut itu berdiri.

"Maaf, Bu. Saya ada perlu dengan Claudia." jawabku sopan.

"Oh, baik. Claudia, Sabrina ada perlu denganmu." Claudia yang terlihat ogah-ogahan, beranjak dari tempat duduknya.

"Mana buku gue?" pintaku saat gadis dengan bandana polkadot itu sampai di depanku.

Ia kembali ke tempatnya tadi, seraya membawa buku besar punyaku yang tadi pagi dipinjamnya. "Nih, thanks." ucapnya dengan menjulurkan benda tebal itu pada pemiliknya.

"Ya," jawabku singkat, lantas mengalihkan atensi pada Bu Sintia,"terima kasih, Bu atas waktunya. Saya permisi kembali ke kelas."

"Oh, iya. Silakan."

Sebenarnya, aku sangat malas jika berurusan dengan gadis centil bernama lengkap Berliana Claudia Putri Zendrato itu, sebab perangainya yang terkenal buruk di sekolah.

Setelahnya, aku keluar dari kelas tetangga dengan buku yang sedikit kusembunyikan sedari tadi. Takut-takut jika Bu Sintia tahu jika aku sudah memberi contekan pada Claudia.

Brukk!

Tak sengaja seorang murid laki-laki menabrakku dengan keras, hingga tubuhku terhuyung. Buku yang kubawa sampai jatuh mengenaskan di lantai.

Ah, ada-ada saja! Apa lorong sekolah kurang lebar hingga dia menabrakku?

Buru-buru kupungut buku itu, setelah menegakkan tubuh, aku melihat orang bertubuh jangkung yang hanya menatapku.

Tanpa sepatah katapun.

Kami hanya bergeming.

Setelahnya, dia melenggang begitu saja tanpa mengucapkan kata maaf padaku.

Aku dibuat heran oleh tingkahnya. Sekilas aku berpikir, apakah dia benar-benar manusia?

Sudahlah, waktuku tak banyak saat ini. Aku segera menuju ke kelas dengan sedikit berlari.

"Untung aja kamu udah nyampe, bentar lagi gurunya mau dateng." ujar Ika saat aku sudah sampai di bangku.

Belum juga aku menyahut, Bu Sintia sudah memasuki kelas dengan beberapa buku paket di tangan kirinya.

"Selamat pagi, anak-anak," ia menyapa seluruh murid seperti biasa.

"Selamat pagi, Bu."

"Baiklah, sesuai dengan Minggu lalu, silakan kumpulkan semua tugas yang saya beri. Setiap anak di bangku paling depan, mengambil setiap buku dari masing-masing baris." Arahan yang diberikan Bu Sintia, masih sama seperti biasa.

Buru-buru siswa siswi yang duduk di bangku paling depan, mengambil setiap buku, termasuk punyaku dan Ika yang duduk di bangku paling belakang.

(Bersambung ....)

Semoga kalian menikmati cerita ini:-)

IG: @indah_mldh05

CHAPTER 2

Happy Reading 👑

...Apa kabar jiwa-jiwa rapuh yang harus tetap men-syukuri dan menjalankan kehidupan? ...

...Tetaplah berdiri tegak dengan pijakanmu, buktikan pada semua orang bahwa kalian kuat dan tak mudah menyerah!...

^^^-Sabrina Anggraini-^^^

______________________________

"Semua buku sudah terkumpul, hanya anak-anak yang tidak masuk saja yang belum mengumpulkan. Nanti ketua kelas silakan mengambil buku-buku ini setelah waktu istirahat berakhir. Untuk sekarang, silakan kalian buka buku paket halaman enam puluh lima," arahan Bu Sintia, yang langsung dilaksanakan oleh semua murid.

Tak sengaja, aku menoleh ke arah jendela yang berada tepat di sampingku. Mataku sedikit membola, ketika tanpa sengaja pula mataku bertatapan langsung dengan mata seorang siswa yang tadi menabrakku.

Ia sedang duduk tenang di bawah pohon rindang dekat taman depan sekolah.

Pohon besar itu tampak menanunginya dengan apik, membuat siswa yang belum kuketahui namanya itu tampak damai dengan aktivitasnya yang bagiku cukup membuat heran.

Entah apa yang dilakukannya di sana selain duduk dan menikmati angin sepoi-sepoi?

Apakah dia bolos?

Atensiku langsung buyar tatkala mendengar Bu Sintia, mulai menerangkan materi.

Buru-buru aku memfokuskan perhatian pada papan tulis yang sudah diisi beberapa penjelasan.

Sebenarnya, siapa cowok misterius itu?

÷÷÷

Jam istirahat mulai berdering nyaring, semua murid mulai berhamburan keluar kelas.

Aku dan Ika sengaja keluar paling akhir agar tak terlalu berdesakan dengan yang lain.

Karena letak kelas kami yang berhadapan langsung dengan lapangan, sontak yang pertama dilihat ketika keluar dari kelas ialah beberapa murid laki-laki yang sedang asyik bermain bola di sana.

Salah satunya, lelaki itu.

Aku melihatnya diam-diam, wajahnya paling mencolok diantara siswa lain.

Namun, wajah tampan itu tidak pernah kulihat adanya senyuman di sana.

Tapi, kenapa? Dia dikelilingi banyak teman yang 'sepertinya' sangat baik padanya.

"Sabrina. Sabrina!!"

"Ha? Iya?!"

"Kamu lagi liatin apa, sih?" Tanya Ika yang tampak sedikit kesal. Sepertinya dia sedari tadi bercerita banyak, namun aku malah mengacuhkannya. Sebenarnya bukan mengacuhkannya, tapi atensiku tidak sepenuhnya pada gadis berkacamata ini.

Ah, sama sajakah?

"Gak ada kok, gue gak liatin apa-apa." Jawabku tenang.

Melihat Ika yang berusaha mencari apa yang aku lihat, aku langsung kembali berujar,"emm, buruan yuk ke kantinnya, nanti gue gak kebagian ciloknya pak Mamat."

"Iya, ayo."

Fiuh, untungnya Ika tipe orang yang sangat gampang kubujuk. Jadi aku tidak perlu repot-repot menjelaskan banyak padanya.

Kami melanjutkan perjalanan yang sempat terhenti. Sesampainya di kantin, suasana ramai dengan gerombolan siswa siswi di setiap stand makanan dan minuman menjadi penyambut.

Seperti biasa, Ika akan mencari tempat duduk, sedangkan aku akan membeli makanan. Tentunya, tanpa kutanyakan lagi, Ika pasti akan memesan nugget ayam, dan aku cilok legendarisnya Pak Mamat. Untuk minuman, dua air mineral kemasan botol sudah cukup untuk kami berdua melepas dahaga.

Kurasa orang kaya seperti Ika akan tabu jika melakukan hal itu, berpikir bahwa kenapa harus terlalu irit, padahal aku bisa bersenang-senang dengan uang yang tak sedikit? Namun, itulah Ika, dia memang dari keluarga berada yang bahkan mampu membeli deretan makanan dan minuman di kantin ini. Tetapi, bukan sifatnya dan ia tidak ingin memiliki sifat terlalu boros seperti itu. Dia sederhana.

Aku dan Ika sangat dekat sejak SMP kelas tujuh. Bukan perkenalan biasa yang terjadi layaknya orang lain. Ketika pendaftaran atau pun sesi perkenalan satu dengan yang lainnya pun, aku tidak pernah berpikir akan sedekat ini dengan gadis berkacamata itu.

Saat itu, aku merasa iba melihat Ika seorang diri. Setiap waktu istirahat tiba, ia selalu dibully habis-habisan oleh siswi populer di kelas kami.

Aku memang gadis pendiam juga, tapi aku tak tega jika ada orang yang tak bersalah dikeroyok tanpa ampun. Perlahan, aku memberanikan diri untuk mendekatkan diri, mengajaknya mengobrol hal-hal ringan. Awalnya, dia sangat merasa kaku, suasananya selalu awkward.

Lambat laun, kami mulai sama-sama terbiasa akrab. Bahkan, aku tak segan-segan mengeluarkan cacian untuk mereka yang berani mengganggu kami. Kami bersahabat sejak itu, hingga saat ini kami pun masih bersama. Berbagi suka dan duka.

Juga, inilah pertama kali aku merasakan pertemanan yang benar-benar tulus.

Saat aku sedang sibuk berdesakan dengan murid lain, pun masih terbengong karena masa lalu, tiba-tiba ada tangan seseorang yang menarikku keluar dari kerumunan itu. Tentu saja, membuatku terkejut.

Buru-buru aku menghempas pelan cekalan tangan seorang siswa, setelah kami keluar dari kerumunan dan saling berhadapan, ternyata siswa itu adalah si muka datar yang hari ini tak sengaja bertemu.

"Ada apa?" tanyaku sejujurnya aku agak kesal.

Dia tidak menjawab pertanyaanku, ia lantas mengambil uangku yang akan aku gunakan untuk jajan. Aku melongo dibuatnya, dia ini mau melakukan pemalakan, kah?

Dia kembali ke stand yang tadi aku diami, ternyata dia membantuku membeli cilok. Mungkin dari tadi dia melihatku hanya terdiam seperti patung, saat semua murid yang ada di situ sibuk memesan. "Pak, cilok lima ribu," itu pertama kali aku mendengar suara bariton miliknya.

Aku masih belum bisa mengendalikan tubuhku, posisiku masih sama. Melongo.

Semua terlalu tiba-tiba.

Siapa dia?

Kenapa dia mau melakukan hal itu untukku? Sementara di sana banyak sekali siswi lain yang bisa ia tolong. Yang lebih cantik bahkan tak kalah banyak.

Tak berselang lama, ia sudah mendapatkan pesanannya.  Atau lebih tepatnya, pesananku.

Cepat sekali, mungkin jika aku yang memesan, lima menit sebelum bel masuk baru dapat, batinku.

Dia berjalan santai ke arahku, aku baru tersadar jika sedari tadi jantungku terus berdebar kencang.

"Nih," ia menjulurkan pesananku dan pergi begitu saja.

Kenapa dia tak membiarkanku mengucapkan terima kasih?

Benar-benar cowok aneh.

Aku segera menyadarkan diri, dan melesat ke stand selanjutnya. Nugget ayam. Sepertinya, kali ini akan lebih cepat, sebab stand itu tidak terlalu ramai.

Setelah mendapatkan semua pesanan, aku langsung berjalan ke arah Ika berada.

Selama apapun aku membeli, ia tidak pernah komplain ataupun marah-marah, ia sangat penyabar.

Beruntungnya aku punya sahabat seperti dia.

"Maaf, ya, Ka, udah buat lo nunggu lama."

"No problem, Na." Ia langsung mencomot nugget ayam yang sangat menggoda lidahnya.

Kami pun larut dalam makanan masing-masing, tanpa ada pembicaraan.

Bel berbunyi bersamaan dengan tandasnya makanan. Ika langsung meminum air mineral dan menyisakan setengah, sama sepertiku.

"Males banget gue, habis ini pelajaran sejarah," gerutuku lalu lanjut meminum air itu sampai habis.

Entahlah, setiap akan pelajaran sejarah aku selalu mengatakan keluhan yang sama. Menggerutu tak jelas, menunjukkan betapa tak sukanya aku pada hal-hal yang bersifat masa lalu.

"Emang kenapa, sih, sama sejarah? Kan seru, kita bisa tau di zaman dulu tuh kayak gimana." sahut Ika, jawaban yang sama setiap kali aku mengeluh tentang sejarah.

"Gak tau, padahal gue suka nonton film dokumenter, tapi gak tau kenapa gue gak suka sama pelajarannya. Arghh, lieur!"

Aku sangat frustrasi, hingga tak sengaja meremas botol kosong yang masih kupegang.

Ika hanya geleng-geleng kepala dengan tingkahku. Suasana kantin berangsur sepi, semua sudah berhamburan ke kelas masing-masing sejak tadi.

"Yuk, ke kelas, sebelum ada Pak botak dan Bu menor mergokin kita." Ajak Ika, ia mulai beranjak memaksaku untuk ikut bangkit dan berjalan gontai menuju kelas.

(Bersambung ....)

IG: @indah_mldh05

CHAPTER 3

Happy Reading 👑

...Hidup memang tak selalu berjalan mulus. Oleh karenanya, perlu kesiapan mental untuk menghadapi setiap lubang, batu, dan belokan tajam yang sewaktu-waktu dapat menghadangmu....

^^^- Sabrina Anggraini -^^^

_____________________________

...•••...

Waktu terus berjalan, tak terasa sudah jam pulang. Murid-murid kembali berhamburan keluar kelas. Pun denganku dan Ika, kami berjalan berdampingan dengan Ika yang berceloteh seperti biasa.

Aku melihat cowok itu lagi.

"Wait. Ika, tuh cowok siapa, sih?" tanyaku tanpa sengaja pada Ika. Ah, sudahlah. Katakanlah aku ini sedang kepo. Mungkin saja Ika lebih tahu daripada aku.

Ia mencari seseorang yang kumaksud. Tak lama, ia juga melihat seorang siswa yang sedang duduk bersama teman-temannya di parkiran. Mungkin karena mereka terlalu mencolok, jadi Ika langsung connect walaupun aku tak menunjuknya.

Ika mengangguk paham,"oh, itu namanya Sultan Ramadhan. Anak XII IPA 01. Bisa dibilang, dia itu most wanted boy SMAN Padjadjaran. Dia itu orangnya jarang banget ngomong. Tapi, sekalinya dilirik, bueh! Bukan maenn."

'SERIUSAN ANAK IPA?! KOK SERING BOLOS?!' batinku memberontak tak habis pikir.

"Masa sampe segitunya, sih, Ka?" lanjutku memancingnya. Sepertinya Ika sangat tahu dengan lelaki misterius itu. Juga aku yang sudah naik level kekepoannya, mengingat laki-laki itu yang cukup unik.

"He-em. Cewek-cewek di sini ngidolain dia, bahkan jadi fans fanatiknya. Termasuk aku, hehe," jawabnya dengan tawa malu-malu.

"Ha? Sejak kapan lo ikut-ikutan jadi fans tuh anak?"

"Sejak awal masuk sekolah, sih. Dia ganteng banget, gitu aku mikirnya."

"Oh, karena gantengnya." gumamku yang bisa Ika dengar.

"Bukan cuman tampangnya aja ternyata, dia juga pinter. Sering banget ikut olimpiade. Kamu, sih, gak pernah update tentang sekolahan kita."

Aku hanya memutar bola mata malas. Untuk apa?

"Betewe, aku follow akun Instagram dia. Aku pikir gak bakal difollback  eh, ternyata, langsung difollback!" terang Ika excited.

"Yaelah, b aja kali. Gue juga langsung follback lo waktu itu, napa gak sehisteris ini?" ujarku lalu melenggang pergi. Ika nampak sedikit cemberut.

Masih bisa kudengar dia menggerutu,"ya kan beda!"

'Oh, jadi namanya Sultan,' batinku.

÷÷÷

Sore harinya, aku berniat untuk pergi ke minimarket dekat rumah. Cuaca lumayan dingin, karenanya, aku memakai hoodie dengan kupluk yang kugantung di atas kepala.

Tak butuh waktu lama, aku sampai di tempat tujuan. Mengambil keranjang dan mulai memilah barang-barang yang kubutuhkan, juga pesanan Mama tadi.

"Sendirian?" tanya seseorang yang membuatku terkejut. Aku lantas membalikkan badan, dan rasa terkejut bertambah dua kali lipat.

"L-Lo?"

Arghh! Apa ini?!

Kenapa malah pertanyaan itu yang muncul? Dengan nada gagap juga, malunya aku!

Dia hanya tersenyum tipis, seraya mengangguk.

"Eh, iya. Gue sendirian." jawabku setelah sepenuhnya sadar.

"Sultan." ujarnya dengan tangan kanan yang terjulur ramah.

Aku segera menyambutnya,"Sabrina."

Terjadi kecanggungan level tertinggi sekarang. Kami sama-sama diam, tapi sepersekian detik aku kembali fokus memasukkan barang-barang yang akan dibeli.

Lelaki itu masih setia di sampingku, menatap wajah biasa-biasa saja ini yang tentu membuatku risih.

Aku berusaha mengacuhkannya dengan terus menyibukkan diri, berlalu dari satu rak ke rak yang lain. Tapi, dia tetap saja mengekor.

Sesekali dia juga mengambil barang yang sama.

Setelah semua pesanan sudah masuk keranjang, aku melenggang pergi untuk melakukan transaksi dengan mbak kasir. Lagi-lagi dia mengikuti. Apa mungkin aku saja yang kege-eran ya?

Kami keluar dari minimarket tersebut. Berjalan beriringan menuju rumahku. Aku sama sekali tak mempermasalahkan dia yang selalu mengikuti. Toh, aku jadi merasa ada yang menjaga dan menemani, terlebih jalanan ke rumah yang selalu sepi.

Yang aku herankan selama ini ialah, kenapa dia tidak pernah ngomong panjang? Benar ternyata yang Ika katakan, dia sangat irit ngomong. Padahal kan ngomong itu gak perlu bayar.

Kami sampai di depan gerbang hitam sebuah rumah. Berbalik badan, dan berkata,"mau mampir?" Tak enak rasanya, jika tak menawari laki-laki yang sudah tanpa sengaja mengantarku itu.

"Lain kali aja," ujarnya yang membuatku mengangguk. Ia pun berpamitan pulang, hingga badannya tak terlihat lagi di ujung jalan. Aku lantas masuk rumah.

Entahlah, hari ini rasanya sangat berbeda. Kenapa ketika di dekat Sultan aku malah ingin terus berbicara? Ada begitu banyak pertanyaan dan obrolan lain yang ingin kuutarakan. Padahal aku perempuan yang sangat malas berbicara dengan siapa pun.

"Assalamu'alaikum, Ma." ucapku pada wanita paruh baya yang sedang duduk santai di ruang tengah.

"Wa'alaikumussalam. Tumben lama, Nak?" Suaranya sangat lembut.

Aku terkekeh,"iya, Ma. Tadi ketemu sama temen. Jadi ngobrol dulu."

'Ngobrol apaan?!'

"Oalah, terus temennya gak diajak ke rumah?"

Aku meletakkan sekantong kresek besar yang penuh dengan belanjaan. "Tadi, sih, bilangnya lain kali, soalnya ada urusan."

Wanita bernama Dewi itu hanya mengangguk. Ia mulai mengobrak-abrik isi kresek, yang penuh dengan kebutuhan bulanan dan camilan.

Ia tampak mengernyitkan dahi,"tumben, camilannya agak banyakan? Bukannya kamu lagi diet?"

"Hehe, anu, Ma. Libur dulu dietnya, Sabrina lagi pengen makan banyak."

"Ada-ada aja kamu ini." jawabnya dengan gelengan kepala. Kemudian membawa semua belanjaan itu ke dapur. Aku mulai meninggalkan ruang tengah, berjalan santai menuju kamar.

Sepertinya, rebahan boleh juga.

Membaringkan tubuh di atas tumpukan sponge berbalut spray. Nyaman. Ponsel yang sedang anteng ada di atas nakas, kusambar begitu saja. Setelah menghidupkannya, muncul berbagai notifikasi. Walaupun kebanyakan iklan dari google chrome.

Aku segera membersihkan notifikasi yang tidak penting. Namun, ada satu notifikasi dari akun Instagram ku yang cukup membuatku tertarik.

Disusul dengan notifikasi dari akun WhatsApp, nomor yang tak kukenal mengirim pesan.

Nomor siapa itu?

08xx-xxxx-xxxx

Sabrina?

^^^Anda^^^

^^^Siapa?^^^

Tak butuh waktu lama, nomor tersebut langsung membalasnya.

08xx-xxxx-xxxx

Sultan.

Save, ya.

^^^Anda^^^

^^^Oh, oke.^^^

Tunggu! Sejak kapan dia memiliki nomorku?

Aku bahkan tak pernah menunjukkan nomorku pada siapapun, termasuk grup kelas. Aku memang sengaja memprivasi apa pun, terlebih nomorku.

Bukan bermaksud sombong atau bagaimana, hanya saja aku tidak terlalu respect pada hal-hal yang tidak penting dan tidak berguna untukku. Katakanlah aku egois.

Aku juga takut kejadian seperti dulu terulang lagi, begitu banyak nomor yang tiba-tiba menghubungiku untuk berkenalan, masalahnya kebanyakan dari mereka adalah BAPAK-BAPAK! Ini bapaknya siapa lagi yang kurang kerjaan menghubungiku, di usia senjanya yang masih sempat-sempatnya menggoda gadis belia yang baru menginjak 17 tahun?!

Gak habis thinking!

Setelah membalas pesan kedua, aku berlalu menuju akun Instagram. Seseakun memfollowku sekitar tiga puluh menit yang lalu.

Sultan.Rmdhn02 mengikuti akun Instagram Anda.

Dia lagi?

Kenapa akhir-akhir ini kami sering melakukan kontak?

Memfollbacknya, dan tak terlalu memperdulikan hal itu lagi. Mungkin dia hanya iseng ingin berteman denganku.

Sekitar lima menit, aku hanya menggulir beranda Instagram. Tumben Ika tak mengirim pesan? Biasanya ia akan sangat semangat mengirim banyak chat.

'Mungkin dia sedang sibuk,' pikirku.

Aku kembali menaruh ponsel di atas nakas. Hingga suara Mama membuyarkan waktu istirahatku.

"Sabrina! Sabrina!!" panggilnya dengan suara yang lebih mirip berteriak.

Buru-buru aku keluar dari kamar. Menghampiri wanita paruh baya itu yang masih berada di dapur.

Hampir saja aku kehilangan keseimbangan karena terlalu cepatnya aku turun dari tangga.

Sesampainya di dapur, kulihat Mama dalam keadaan kacau. Matanya sembab kemerahan, keringat sebiji jagung sudah bercucuran layaknya guyuran air. Dia menggenggam erat ponselnya, sepertinya baru saja mendapatkan kabar yang tak mengenakkan.

"Kenapa, Ma?!" Aku histeris melihatnya yang meringkuk di salah satu kursi meja makan.

Ia terus menangis tersedu-sedu, helaan napasnya terdengar sesak. Hingga ....

"Papa kecelakaan, Nak."

Bak tersambar kilat di siang bolong, ini adalah kabar terburuk yang berhasil membuatku lemas dengan jantung yang terus berdetak hebat.

(Bersambung ....)

Sampai jumpa di chapter selanjutnya (≧▽≦)

IG : @indah_mldh05

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!