Di sebuah desa hidup keluarga terpandang, terkenal, kepala keluarga yang dikenal sebagai pemuka agama, keluarga itu dihormati dan juga dibenci.
Elizah adalah anak terakhir pasangan Anita dan Mirza. Elizah juga anak perempuan satu-satunya, anak mereka yang pertama dan kedua laki-laki, Rizqi dan Hasan.
Elizah adalah gadis yang cantik, dikenal sopan, seorang guru mengaji anak-anak di desanya. Elizah yang kini berusia 22 tahun pun sudah berulang kali diminta untuk dijadikan menantu, akan tetapi Mirza sudah memiliki pilihannya sendiri. Sementara Elizah, dia sudah menjatuhkan pilihannya pada sosok laki-laki yang sekarang bekerja di Dubai yang akan pulang sebentar lagi. Ali namanya, mereka tidak membuat ikatan secara resmi. Ali suka sekali mengirimkan Email untuk tahu bagaimana kondisi Elizah, dan Elizah menyambut serta membalas pesannya dengan sukarela.
“Berikan ini sama Abi,” ucap Anita memerintah.
“Iya, Umi.” Elizah menerima nampan berisi segelas air teh hangat. Ayahnya berada di teras, sedang menikmati udara pagi yang begitu segar karena semalaman turun hujan.
Mirza menoleh ketika anak perempuannya itu mendekat. Elizah tersenyum dan Mirza membalasnya.
“Hari ini kamu mengajar?” tanya Mirza.
“Iya, Bi.” Elizah meletakkan gelas teh.
“Sendirian?”
Elizah menggeleng-gelengkan kepalanya, “Susan sudah pulang. Elizah nggak bakal terlalu repot kalau ada Susan.”
Mirza mengangguk, ia meminta Elizah untuk berhati-hati karena perjalanan menuju tempatnya mengajar lumayan jauh dari rumah.
🍃🍃🍃🍃🍃
Setelah mengajar, Elizah dan Susan berjalan pulang bersama.
“Motormu kemana, Zah?” kata Susan.
“Di bengkel. Kemarin dibawa sama Abi buat dibenerin, tiba-tiba nggak nyala.” Elizah memijit pelipisnya.
“Kamu sakit, Zah?” Susan cemas, Elizah tersenyum.
“Cuman sedikit pusing saja,” katanya kemudian mereka mempercepat langkah.
Ketika melewati pos ronda, Susan mendengus ketika segerombol pemuda yang dikenal arogan menyerukan nama Elizah dan yang paling kencang adalah Faruq. Laki-laki itu memang sudah banyak yang tahu bahwa dia sangat mengidamkan Elizah, akan tetapi jelas dia jauh dari kriteria calon menantu yang diinginkan Mirza. Mirza bahkan memandangnya sebagai sampah masyarakat, biang kerok dan biang masalah.
“Elizah,” seru Faruq sambil melangkah menyusul Elizah dan Susan.
Susan langsung merangkul lengan sahabatnya, “jangan macam-macam kamu ya! Kamu juga tahu Elizah ini anaknya siapa, jangan songong!”
“Hush!” tegur Elizah, “kita pergi saja. Meladeni dia nggak bakalan ada selesainya.” Elizah berbisik-bisik dan menarik Susan tapi langkahnya dihadang Faruq.
“Faruq, saya sudah bosan banget setiap hari kamu gangguin terus!” Elizah berbicara dengan galak. Faruq malah tersenyum melihatnya.
“Kenapa kamu nggak pernah melihat aku sedikit saja, Zah? Aku telepon juga selalu kamu tolak, aku kirimi pesan kamu nggak pernah membalas.” Faruq menjelaskan perasaannya dengan suara yang dilembutkan.
“Elizah risih, Faruq. Perempuan mana yang suka digangguin.” Susan melotot dan Faruq mengabaikannya.
“Kasih saya kesempatan, Zah.” Langkahnya maju dan Elizah mundur menjauh.
“Kamu semakin nggak sopan, ya, Faruq!!!” bentak Susan.
“Aku cuman mau ngomong sebentar sama Elizah, bukan sama kamu, Susan!” Faruq dengan lancang menarik lengan Elizah. Elizah sudah mengepalkan tangan ingin memukul wajah lelaki itu, tapi Susan lebih dulu mendorong Faruq menjauh. Di pos ronda, teman-temannya Faruq berdiri karena melihat situasi sudah tidak terkendali. Hari ini sahabat mereka melewati batas.
“Zah,” ucap Faruq lembut. Mengabaikan emosi Susan dan Elizah menepis tangannya kasar.
“Jangan ganggu saya terus. Mengurusi kehidupan kamu sendiri saja belum bisa!” Sentak Elizah, Faruq tersengal mendengar cacian dari bibir merona sosok gadis pujaannya.
“Setiap hari kerjaannya cuman nongkrong dan mengganggu perempuan yang lewat apalagi kalau kamu berharap saya mau meladeni kamu. Jangan harap,” tegas Elizah mengungkapkan penolakan. Ia yang selama ini diam sudah tak tahan lagi karena diamnya dianggap sebagai sebuah tantangan bagi Faruq. Faruq malah semakin menjadi-jadi mengganggunya.
Faruq terdiam, menatap Elizah yang menatapnya ketus. Tak lama kemudian Elizah mengajak Susah pergi dan Faruq masih terus memandanginya dengan perasaan kecewa.
🍃🍃🍃
Malam hari, Mirza diundang untuk menghadiri acara syukuran di salah satu rumah warga. Dia yang menjadi pemimpin doa, sebagai seorang pemuka agama dia sangat dihormati. Sosoknya selalu ada di setiap acara.
Setelah acara selesai, beberapa orang tidak langsung pulang. Mereka memperpanjang obrolan sambil mencicipi jamuan dengan santai. Ketika pembahasan merujuk pada hakikat pernikahan, salah satu warga menyinggung Imran yang baru seminggu menikahkan anak semata wayangnya dan tadi sore, anaknya sudah melahirkan.
“Melahirkan?” ucap Mirza yang baru mengetahui kabar tersebut. Imran semakin menekuk wajahnya dalam-dalam, benar dengan perkataan Mirna istrinya. Dia seharusnya tidak datang, takut disinggung tentang anak mereka dan sekarang itu kejadian.
Imran tak menyangka bahwa kabar anaknya melahirkan bisa menyebar begitu cepat.
“Pak Imran tidak kesana? Melihat cucu pertama, apa Pak Imran tidak penasaran?” tutur Mirza dan dilanjutkan oleh yang lain.
“Semuanya sudah terjadi, Pak. Sekarang tinggal diterima saja.”
Wajah Imran semakin memerah, itu bukanlah sesuatu yang pantas dibahas saat ini. Imran merasa dipermalukan.
Mirza memang sosok pemuka agama, dihormati sekaligus dibenci. Ketenaran mengubah sifat manusia. Berilmu luhur belum tentu memiliki rasa empati pada sesama.
Karena sakit hati terus menerus aibnya dibahas. Imran memilih pamit dan Mirza menatap kepergiannya.
“Bagaimana hukumnya seorang anak yang lahir seperti itu, Ustadz? Cucunya pak Imran juga perempuan, ” tanya warga kepada Mirza.
“Anak itu tidak salah, yang bersalah adalah orang tuanya. Anak itu tetap anak sah nya, tapi nanti ketika dia dewasa dan hendak menikah, ayah biologisnya tidak akan bisa menjadi wali dalam pernikahannya.” Mirza menjelaskan sambil melepas kacamatanya. Tubuh gemuknya terasa semakin berat, dia terlalu banyak memakan kue cincin yang disuguhkan.
“Kalau begitu, nanti semua orang tahu kalau anak itu anak hasil hubungan diluar nikah.”
Mirza mengangguk lagi, “itu risiko. Lebih baik malu daripada membuat anak turunannya berzina terus-menerus.” Tutup Mirza dan semua orang mangut-mangut.
🍃🍃🍃
“Sudah ibu bilang jangan datang. Mau kita tutupi bagaimana juga tetap saja semua orang tahu kalau anak kita melahirkan setelah seminggu dinikahkan,” jerit pilu Mirna dan Imran diam. Tatapan matanya kosong.
“Mereka benar-benar mempermalukan kita, terutama Ustadz Mirza. Seharusnya dia menjadi penengah, bukan ikut-ikutan.” Imran mengepalkan tangannya. Pikirannya diliputi dengan dendam.
“Sudah lama Ibu nggak suka sama ustadz Mirza itu. Mulutnya nggak bisa dijaga, mentang-mentang dia pintar agama jadi seenaknya. Mau anak kita hamil, kek! Mau beranak, kek! Bukan urusan dia menjadikan semua itu bahan obrolan sama bapak-bapak yang lain. Dia juga punya anak perempuan!” kesal Mirna dan Imran hanya mendengarkan ocehan istrinya itu.
🍃🍃
Waktu berlalu, hari ini Elizah dan Susan pergi menggunakan Bus. Mereka pergi ke pasar modern, membeli barang yang mereka perlukan untuk kelas mengajar mereka esok. Elizah juga membeli camilan titipan Mirza.
Setelah Bus muncul, mereka melambai dan Bus berhenti. Mereka naik bergantian. Susan mendapatkan tempat duduk tapi Elizah tidak.
“Aku berdiri saja.” Elizah tersenyum dan Susan menyapu setiap bangku, tak ada yang kosong.
Bus kemudian melaju dan tidak lama berhenti karena satu penumpang meminta turun. Elizah tersenyum karena dia akan mendapatkan tempat duduk. Akan tetapi, ketika dia memegang sandaran bangku yang kosong itu, penumpang lain menyerobot seenaknya.
“Maaf, Mas. Teman saya duluan.” Susan menegur dan pria itu menoleh.
“Saya yang lebih dulu duduk di sini.” Pria itu bersikeras dan Elizah tidak mau membuang-buang tenaga untuk berdebat.
“Aku berdiri saja, San. Nggak apa-apa kok!” Elizah meyakinkan sambil tersenyum tapi Susan tetap saja jengkel.
Pria berkacamata hitam itu tidak peduli, menyilangkan kedua tangannya di depan dada kemudian dia tertidur.
Elizah mendelik melihat pria yang tidak memiliki rasa kasihan kepada seorang perempuan seperti dirinya. Laki-laki egois! Elizah sangat kesal.
Ketika mereka hampir sampai, Elizah dan Susan berjalan ke depan, bersiap untuk turun. Setelah turun, Susan menoleh karena pria tadi juga turun bersama mereka.
“Apa dia orang sini?” bisik Susan dan Elizah menoleh sekilas, melihat siapa yang dimaksud oleh Susan.
“Aku baru pertama kali melihat dia. Itu bukan urusan kita, San. Biar saja.” Elizah membetulkan posisi tali tas ranselnya yang mengendur, terlalu banyak beban yang dia bawa.
Susan mangut-mangut. Sebentar lagi Elizah dan Susan akan berpisah di pertigaan, Elizah tersenyum hangat ketika melihat Mirna istrinya Imran. Akan tetapi Mirna menunjukkan respons yang tidak ramah.
“Anak Ustadz keluyuran! Sore begini baru pulang,” celetuk Mirna dan celetukannya tertangkap basah oleh pendengaran Elizah.
“Maaf, Bi. Apa yang Bibi maksud barusan?” tanya Elizah membuat Mirna berhenti di hadapannya.
“Kamu ini anak ustadz Mirza, orang terpandang, mengajar mengaji. Apa bisa mencontohkan hal yang baik untuk para gadis yang lain dan murid-murid kamu?” sembur Mirna dan Elizah tetap mencoba tersenyum, senyuman pahit yang terukir di bibirnya.
Pria yang berjalan di belakang mereka pun tak sengaja mendengarkan makian Mirna untuk Elizah.
“Aku sama Elizah bukan habis keluyuran, Bi. Kenapa Bi Mirna ngomongnya kayak begitu?” sambung Susan dan Elizah meraih tangannya.
“Saya nggak ada urusan sama kamu, Susan. Harusnya Elizah tahu posisinya sebagai seorang anak Ustadz!” sentak Mirna.
“Apa karena saya anak seorang Ustadz, lantas saya nggak boleh keluar, Bi? Saya keluar juga karena ada urusan.” Elizah menjelaskan dengan tenang dan dia menunduk ketika pria tadi melewatinya.
“Jangan sok lugu, Zah. Jangan sok baik seperti orang tuamu itu,” maki Mirna kemudian dia pergi meninggalkan.
Elizah tersengal mendengar cacian Mirna. Dia merasa tidak pernah memiliki permasalahan dengan wanita paruh baya itu. Tapi mengapa Mirna sampai sebegitu mudah memakinya. Elizah jadi berpikir apakah ayahnya bermasalah dengan Mirna dan Mirna menumpahkan kekesalannya kepadanya? Elizah menebak-nebak.
Susan mengelus bahu Elizah.
“Bi Mirna nggak pernah kayak begitu sebelumnya, tapi setelah anaknya hamil di luar nikah dia memang jadi minder, jarang keluar. Mungkin dia merasa aib yang diperbuat oleh anaknya membuat pandangan semua orang hina sama keluarganya. Padahal, nggak semua orang begitu.” Susan berusaha menenangkan Elizah yang sudah memerah matanya.
Elizah bungkam sampai dia dan Susan berpisah, Elizah tak kuasa menahan air matanya yang langsung dia usap sampai tak berjejak.
Sesampainya di rumah, Elizah cemberut dan Anita menanyainya.
“Kenapa kamu, Zah. Pulang-pulang cemberut begitu,” tutur Anita dan Elizah duduk sambil memangku dagunya.
“Abi sama pak Imran lagi ada masalah, Bu?” tanya Elizah penasaran.
Anita menggeleng dengan ragu.
“Kenapa kamu bertanya seperti itu?” Anita duduk di sebelah Elizah.
Elizah diam sejenak sampai kemudian dia berkata jujur.
“Bi Mirna marah-marah nggak jelas sama aku. Tadi kami ketemu di jalan, aku merasa nggak punya masalah sama Bi Mirna. Kita ngobrol juga sekadar menyapa aja, nggak pernah lebih dari itu.” Elizah tertunduk sedih, dia sangat sensitif, selalu dalam memikirkan apa yang dikatakan orang lain padanya.
“Ibu nggak tahu. Nanti coba, deh, Ibu tanyain sama Abi.”
Elizah membulatkan matanya.
“Jangan, Bu. Nanti Abi marah, mungkin cuman salah paham. Semoga saja nanti Bi Mirna biasa lagi sama Elizah,” ungkapnya dengan suara berat. Anita memeluk bahunya dan berpikir keras ada masalah apa antara Mirza dan keluarga Imran.
“Untuk tiga bulan, ya, Mas. Semoga Mas betah tinggal di desa kami,” tuturnya lalu memasukkan uang yang dia terima dan meraih kartu tanda penduduk dari pria di hadapannya, “Mas Satyanatta----”
Ucapannya belum selesai, pria di hadapannya sudah merampas balik kartu identitasnya itu.
“Cukup panggil Natta saja,” ucap pria itu, dia adalah pria yang sama dengan pria satu Bus bersama Elizah.
“Oke, Mas. Kalau begitu saya tinggal dulu.”
Natta mengangguk, mengantarnya sampai keluar kemudian dia masuk dan menutup pintu.
Rumah minimalis yang 80% terbuat dari kayu itu disewa Natta karena terletak di dataran tinggi. Dia bahkan bisa melihat rumah sekitarnya dari lantai dua, Natta berpegangan pada pagar balkon sambil menikmati suasana sekitar. Sejuk, tenang, kebebasan yang dia tunggu selama bertahun-tahun.
Pria dengan tato kucing di lengan berototnya itu sengaja meninggalkan ibukota, memilih pedesaan yang tenang untuk merilekskan pikirannya.
Besok, dia perlu membeli beberapa barang. Setelah merasa cukup, Natta hendak meninggalkan balkon tapi dia berhenti dan kembali berbalik ketika melihat sosok seorang gadis di rumah bertingkat dua. Rumah bertingkat itu hanya terhalang lima rumah dari tempat tinggalnya. Natta memicingkan matanya, dari perawakannya dia merasa kenal tak kenal. Natta pun turun sebentar ke lantai satu, mengambil sesuatu dari tasnya dan menggunakan teropong binokular untuk melihat siapa itu.
“Jadi itu tempat tinggalnya,” bisik Natta kemudian menurunkan teropong dari kedua matanya. Bibirnya mencebik kemudian dia meninggalkan balkon untuk beristirahat.
🍃🍃🍃🍃
Elizah meninggalkan balkon setelah selesai memberi makan burung merpati keluarganya. Dia menoleh ketika mendengar notifikasi. Sebuah pesan masuk, Elizah duduk di atas kasur, meletakkan laptopnya tepat di hadapannya. Melihat nama pria yang mengirimkannya sebuah email, Elizah sangat senang.
Ali namanya, pria dari desa yang sama. Sekarang sedang bekerja di Dubai, katanya hanya setahun dan sebentar lagi akan pulang. Tidak ada ikatan khusus di antara mereka, tapi yang jelas keduanya memiliki rasa yang sama. Ali mengirimi pesan karena dia ingin mengetahui bagaimana kabar Elizah, Elizah juga senang mendapatkan kabar bahwa pria itu baik-baik saja. Tidak setiap hari, selama enam bulan, keduanya hanya beberapa kali berkomunikasi lewat pesan media sosial.
“Elizah, Abi mau mengobrol sama kamu, Nak.” Kedatangan Anita membuat Elizah panik, dia langsung menutup laptopnya.
“Ada apa memangnya?” Elizah heran, itu terdengar seperti obrolan serius yang akan dilakukan oleh ayahnya.
“Temui saja dulu,” kata Anita seraya menarik lengan Elizah. Elizah tak kuasa menolak, pasrah meninggalkan kamar dan terus terngiang dengan pesan yang dikirimkan oleh Ali kepadanya.
“Setelah aku pulang dari Dubai. Aku mau ketemu sama Abi kamu, Zah.”
Secuil pesan yang membuat Elizah merasa gugup bukan main. Entah apa maksud Ali, pria itu tidak menjabarkan dengan jelas dan Elizah tidak mau menebak-nebak meskipun memang yang dia inginkan adalah hal yang merujuk pada pernikahan.
Setelah sampai ke hadapan Mirza, Mirza langsung melontarkan pertanyaan.
“Apa yang dikatakan Mirna sama kamu?” tanyanya dengan geram, tak terima anak perempuannya diusik.
Elizah melirik sang ibu, seharusnya dia tidak banyak bercerita karena itu membuat situasi menjadi rumit.
“Nggak ada, Abi.” Elizah menundukkan kepalanya. Ia berbohong.
Mirza membuang napas kasar.
“Kamu berani bohong?” Suaranya meninggi.
“Bi Mirna marah-marah tanpa alasan yang jelas. Karena Abi bertanya, Eliza juga mau tanya apa sebenarnya masalah Abi sama pak Imran dan istrinya?” tutur Elizah sambil menatap.
“Abi nggak ada masalah sama mereka,” ujar Mirza dan Elizah mendekat.
“Mana mungkin ada orang yang marah sama kita tanpa sebab, Bi.” Nadanya penuh penekanan.
Mirza melengos membuang muka.
“Beberapa waktu lalu warga menyinggung anak Imran yang hamil di luar nikah. Baru seminggu menikah, anaknya itu sudah melahirkan. Mungkin dia kesal karena itu, tapi bukan Abi yang memulai menyinggung permasalahan anaknya.”
Elizah menggigit bibir bawahnya kelu.
“Seharusnya Abi nggak ikut-ikutan nimbrung tentang masalah orang lain apalagi untuk masalah yang seperti itu sangatlah sensitif, Bi.” Eliza menegur dengan suara lembut, Mirza diam dan tetap saja apa pun alasannya dia tak terima Elizah kena marah Mirna.
Karena percakapan tidak berlanjut, Mirza juga sudah tak kuasa menahan kekesalannya. Anita lekas mengajak Eliza pergi dari hadapan Mirza.
🍃🍃🍃🍃🍃
Natta keluar dari rumah menenteng galon isi ulang. Persediaan airnya habis, dia tidak tahu tempat terdekat mana harus mengisinya. Mengingat minimarket sangat jauh. Natta tidak memiliki kendaraan.
Natta berjalan tanpa arah sampai dia kembali berpapasan dengan Elizah. Elizah menunduk, melewatinya. Belum lama gadis itu melangkah melewati, Natta menyeru.
“Tunggu dulu,” katanya dan Eliza berbalik. Natta mendekat dan Elizah melihat apa yang sedang dibawa pria itu, “Permisi, di mana tempat isi ulang air di sini?”
Elizah melirik sebuah gang kecil.
“Masuk ke gang itu, kamu akan menemukan sebuah warung lengkap di sana.”
Natta melihat ke arah yang ditunjukkan Elizah.
“Terima kasih,” ucap Natta datar kemudian Elizah pergi. Percakapan singkat mereka berdua diperhatikan oleh sepasang mata bengis.
Sesampainya di warung, Natta dilayani oleh gadis bernama Husna.
“Saya mau isi ulang air,” katanya dan Husna menerima galon dari pria jangkung itu.
“Mas bukan orang sini, ya? Saya baru lihat.” Husna begitu agresif.
Natta hanya menganggukkan kepala. Setelah selesai dia pergi dan Husna mengamatinya dalam-dalam.
“Apa dia laki-laki yang mengontrak rumah yang sudah kosong lama itu, ya? Ganteng banget....” Husna histeris dan Natta sudah hilang dari pandangannya.
🍃🍃🍃
Setelah selesai mengajar, Elizah termenung dan kemurungannya hari ini membuatnya terlihat tidak bersemangat seperti biasa. Susan pun mendekati, hendak bertanya dan Elizah membereskan barang-barangnya. Mereka memang bersiap untuk pulang.
“Ada masalah, Zah?” kata Susan. Elizah menggeleng-gelengkan kepalanya. “Kok nggak mau cerita sama aku, sih? Kenapa?”
Elizah tersenyum melihat sahabatnya itu mengotot.
“Aku ke pikiran waktu bi Mirna marah-marah sama aku, San.” Menjelaskan dengan lesu.
“Ya ampun, Zah. Jangan di pikirkan terus-terusan, kamu nggak kayak biasanya begini.”
“Karena aku tahu alasan kenapa bi Mirna kayak begitu sama aku, San.” Suaranya penuh penekanan.
Kening Susan terlipat.
“Memangnya kenapa?”
“Aku malas membahas itu, ayo pulang saja.” Elizah mengajak sambil pergi dan Susan mengikutinya. Ketika sampai di luar, seperti biasa Faruq sudah menunggu untuk mengganggu.
“Kita jalan lain saja.” Susan menarik tangan Elizah dan Faruq yang melihat mereka menghindar pun hanya bisa mendengus sebal.
“Kayak nggak ada cewek lain aja! Sampai kapan kamu mau ngejar-ngejar si Elizah kayak gini?” Seru salah satu teman Faruq dan Faruq hanya diam saja.
Faruq juga merasa bahwa Elizah hanya jual mahal. Dia menyamakan Elizah dengan gadis kebanyakan dan hanya penampilan Elizah yang tertutup membuatnya terlihat berbeda dari gadis lain. Faruq belum juga memahami bahwa Elizah risih dengan pendekatan yang dia lakukan.
🍃🍃🍃
Elizah dan Susan melewati jalan lain, mereka melihat Natta masuk ke rumah kontrakannya.
“Bukannya itu si egois yang waktu itu nggak mau kasih bangku kosong di bus buat kamu, Zah?” tutur Susan dan Elizah mengangguk, matanya terus melihat ke rumah itu. Ketika Natta keluar dan tatapan mereka bertemu, Elizah menunduk lalu mengajak Susan lekas pergi.
Natta diam, melihat punggung Elizah semakin menjauh.
Setiap hari, Elizah dan Susan melewati jalan tersebut untuk menghindari Faruq. Hal itu membuat Natta selalu saja bisa melihat Elizah, semakin lama dan entah disengaja atau tidak, Natta selalu kebetulan ada di balkon atau di teras rumah ketika gadis itu lewat.
Elizah selalu tidak sadar bahwa ketika dia lewat, Natta memerhatikannya. Sampai-sampai Faruq yang dihindari Elizah tahu kemana Elizah memotong jalan untuk menghindarinya, dan hari ini Elizah berjalan sendirian karena Susan sedang sakit tidak mengajar.
Elizah tersentak melihat Faruq muncul menghadangnya.
“Kamu sengaja lewat sini buat menghindari aku?” tegas Faruq dan Natta keluar dari rumahnya karena waktu sekarang adalah waktunya Elizah melewati tempat tinggalnya.
“Awas,” tegas Elizah tapi Faruq tidak membiarkannya pergi. “Faruq! Aku bisa teriak!”
Faruq tersenyum licik.
“Teriak saja,” tantang Faruq. “Jangan terus menghindariku, Zah. Aku juga bisa marah.”
Suara Faruq masih berusaha diredam dan Elizah mendelik.
“Harus bagaimana lagi untuk menjelaskan bahwa aku terganggu dengan sikap kamu,” ucap Elizah. Ia tidak bisa menutupi kekesalannya.
Bibir Faruq menyimpul senyum sinis, kakinya melangkah mendekat dan Elizah mundur menjauh. Tangan Faruq berayun untuk meraih tangan gadis itu, sesaat kemudian dia mengerang ketika Natta muncul, menepis dengan kasar dan menghalangi Elizah dengan tubuh tingginya.
Faruq memicingkan matanya.
“Dia sudah hampir menangis. Berhenti mengganggunya,” tegas Natta.
Faruq menyunggingkan senyuman lebar.
“Ini hanya tentang kami berdua, orang lain dilarang ikut campur!” hardik Faruq, mendorong tubuh Natta ke samping, ingin menarik Elizah tapi Natta balas mendorongnya sampai dia terjungkal.
Elizah berkaca-kaca ketakutan dengan situasi tersebut.
Natta mendekati Faruq, mencengkeram baju Faruq, menariknya paksa dan Faruq berusaha menahan lututnya yang tiba-tiba bergetar hebat. Ia belum pernah ketakutan seperti sekarang, Natta menatapnya begitu buas. Seolah akan menerkamnya sekarang juga.
“Jangan memaksaku untuk melakukan hal yang lebih buruk!” bisik Natta, “sekali lagi aku melihatmu mengganggu Elizah, awas saja,” sambungnya mengancam. Ia hempas tubuh Faruq yang sama tinggi dengannya tapi tidak sekekar tubuhnya.
Faruq melirik Elizah yang terus menjauh, dia yang yakin akan kalah jika beradu otot pun memilih kabur dengan berlari. Kejadian itu disaksikan oleh Imran yang kebetulan lewat, Elizah diperebutkan oleh dua laki-laki macam preman. Anak Ustadz bergaul dengan para preman itu? Imran tersenyum, kemudian bersembunyi untuk melihat sejauh mana tindakan Elizah dengan pria asing itu.
Elizah menundukkan wajahnya dalam-dalam, Natta hendak bersuara tapi gadis itu berlari dan menoleh beberapa kali melihatnya. Elizah ketakutan dan Natta menatap kepergiannya.
Elizah
Satyanatta
🍃🍃🍃🍃
“Ibu.....” Jerit Elizah sesampainya di rumah. Anita yang sedang menyapu halaman belakang langsung berlari menuju Elizah yang berada di ruang tamu.
“Zah, kenapa?” tanya Anita panik.
Elizah menangis, memeluk nya, Anita menenangkannya dan kebetulan Hasan pulang melihat adiknya histeris tidak bisa ditanyai.
Satu jam berlalu, Elizah yang sudah tenang akhirnya menceritakan kejadian yang menimpanya. Faruq terus-terusan mengganggu tapi dia tidak menceritakan kejadian Natta yang menolongnya. Entah, dia skip momen itu.
“Mulai besok, biar Mas yang antar. Sekalian, akan Mas tegur si Faruq!” geram Hasan dan Anita tidak setuju.
“Jangan memperpanjang masalah. Faruq hanya berandalan di desa kita, sudah sering berulah, tidak penting jika harus menemuinya. Kita hanya perlu menjaga Elizah lebih keras,” tutur Anita lemah lembut.
Hasan mendelikan mata.
“Aku cuman takut Elizah diperlakukan lebih dari itu. Si Faruq terlalu memberanikan diri mengganggu Elizah, dia harus dikasih pelajaran,” pungkasnya.
Elizah hanya menunduk di tengah perdebatan Anita dan Hasan. Semakin lama dia semakin merasa pusing dan meminta izin untuk pergi ke kamar. Anita mengizinkan, Hasan tetap mencak-mencak dan sesampainya di rumah. Elizah merebahkan tubuhnya, terngiang-ngiang kejadian tadi.
🍃🍃🍃🍃
“Zah, aku mendengar kabar kurang baik. Kamu nggak cerita apa-apa sampai aku mendengar gosip yang kurang enak tentang kamu.” Penjelasan Susan membuat Elizah menutup bukunya.
“Apa maksud kamu, San?” Alisnya mengerut, tak mengerti dengan ucapan Susan.
Susan duduk di hadapan Elizah.
“Kamu, Faruq, dan laki-laki di rumah kayu itu sedang menjadi buah bibir seisi desa.”
Elizah membulatkan matanya.
“Apa maksudnya...” Ia terbata-bata.
“Kamu disebut-sebut punya hubungan sama kedua laki-laki ini. Jujur, Zah, semua orang membahas kalian.”
Elizah menggeleng keras.
“Aku nggak kenal sama laki-laki itu. Kamu juga tahu kalau aku sama Faruq nggak ada apa-apa, dia yang terus mengganggu.” Elizah panik menjelaskan.
Susan menyentuh bahu sahabatnya itu.
“Aku tahu, Zah. Tapi pandangan dan isi pikiran orang kita nggak bisa mengontrol itu.”
Elizah meremas jari jemarinya.
“Aku harus apa? Kalau Abi tahu....” Elizah memegang kepalanya frustasi, “bisa habis aku, San.”
Susan tidak bicara lagi, dia juga bingung kenapa bisa gosip itu dibuat sedemikian rupa. Sejak awal mendengarnya, Susan yakin bahwa itu adalah salah paham. Elizah tidak tertarik kepada Faruq, Elizah juga tidak mengenal pria yang baru datang itu.
🍃🍃🍃
Sementara Natta, dia sudah menyadari bahwa kejadian itu melahirkan gosip liar. Niatnya mencari ketenangan di desa, dia malah menghadapi kesalahpahaman. Natta tidak peduli dengan apa yang akan terjadi kepadanya, dia hanya merasa kasihan jika gadis seperti Elizah dikait-kaitkan dengan berandalan seperti dirinya. Terlebih, Natta baru tahu Elizah dan keluarga cukup terpandang di desa.
“Mas Natta!” Suara seorang gadis memanggil.
Natta berhenti dan membelalakkan mata ketika melihat Husna lagi-lagi muncul dan berusaha mendekatinya.
“Ini buat, Mas.” Memberikan rantang makanan berwarna ungu. Natta mengerjapkan mata.
“Saya tidak butuh ini.”
Husna mengerucutkan bibirnya.
“Aku jauh-jauh loh ke sini. Masa Mas Natta nggak mau terima.”
Natta menarik napas dalam, kucing mana yang tidak terpancing ketika disodori ikan asin, tapi dia bukan kucing seperti itu. Natta tidak menyukai gadis yang agresif, mendekatinya, berusaha menarik perhatiannya. Ia malah risih dengan perempuan model begitu.
“Iya, terima kasih. Kamu sekarang bisa pergi,” tutur Natta sambil menerima makanan dari Husna. Husna senang bukan main, tapi kecewa karena Natta tidak mengajaknya mampir.
“Mas Natta nggak mau ngajakin aku buat mampir gitu? Itu rantang makanannya mau aku bawa pulang langsung, Mas.” Beralasan karena ingin lebih lama dengan Natta.
Natta tak habis pikir melihat sikap gadis satu ini.
“Heh, Husna! Kamu lagi ngapain? Pulang...atau aku adukan sama kakak kamu nanti?!” Sembur Susan yang kebetulan lewat, melihat Natta dan Husna berbincang lama.
Elizah menekuk wajahnya ketika Natta memandanginya dengan intens. Seiring dengan gosip yang menyebar, menghadirkan kecanggungan yang semakin nyata di antara mereka.
Melihat tatapan lain untuk Elizah, Husna tidak suka.
“Kenapa sih, Mbak Susan? Lewat, lewat aja jangan iseng sama kehidupan orang lain.” Husna sinis membalas.
Susan melotot.
“Benar, ya! Aku adukan kamu nanti,” ancamnya dan Husna tak bisa mengabaikan itu. “Pulang!”
Elizah terus menghindari interaksi mata dengan Natta.
“Iya, Mbak, iya.” Husna begitu menurut, percayalah bukan tanpa alasan dia begitu. “Mas Natta. Kapan-kapan aku ambil rantang makanannya, makan sampai habis ya.”
Husna begitu riang dan Susan terus-terusan memintanya pulang.
“Sok-sokan kasih orang lain makanan. Disuruh masak sama ibumu juga biasanya malas,” gerutu Susan dan Husna pergi dengan cemberut.
Setelah Husna pergi, Elizah dan Susan juga meninggalkan tempat itu.
“Besok, besok. Kita jangan lewat sini,” ucap Elizah tak nyaman ketika bertemu dengan Natta.
“Lewat mana lagi? Jalan ke sana digangguin Faruq, lewat sini kamu nggak nyaman sama pria itu.”
Elizah diam, merasa serba salah.
🍃🍃🍃
Gosip antara Elizah dengan Natta sampai kepada Hasan. Hasan yang penasaran pun melewati rumah kayu dan melihat Natta sekilas. Hasan tak habis pikir, kenapa bisa adiknya yang bak bidadari digosipkan dengan pria menyeramkan bertato seperti itu. Dengan Faruq apalagi. Hasan benar-benar tak habis pikir.
Sesampainya di rumah, Hasan mencari Elizah. Dia langsung mendatangi kamar adiknya, melihat bahasa tubuh dari sang kakak. Elizah sudah bisa menebak bahwa ada hal serius yang ingin dibicarakan saat ini..
“Kamu kenal sama yang mengontrak rumah kayu itu?” selidik Hasan dan Elizah menggeleng pelan.
“Kamu nggak macam-macam, kan, Zah?” Suaranya meninggi.
“Asstagfirullah, Mas. Demi Allah, Elizah nggak kenal, nggak ada sangkut-pautnya sama laki-laki mana pun. Pasti Mas sudah mendengar gosip nggak benar itu, itu cuman salah paham.”
Elizah menjelaskan dengan sungguh-sungguh dan Hasan pun menatapnya curiga.
“Awas saja kalau kamu macam-macam, Zah! Jangan sembarangan dekat dengan laki-laki, kamu juga sudah dijodohkan sama Abi.” Untuk yang satu ini, Hasan menyesali kata-katanya. Dia keceplosan karena Mirza sudah memintanya untuk tidak membocorkan perjodohan itu itu kepada Elizah.
Elizah bangun dari tempat duduknya.
“Perjodohan, Mas? Siapa?” Elizah penasaran dan takut itu benar-benar terjadi. Sementara Ali, sebentar lagi akan pulang dan sudah bicara untuk datang ke rumahnya.
Hasan bingung harus menjawab apa.
“Mas, Elizah belum selesai bicara.” Elizah memanggil tapi Hasan memilih pergi.
Elizah duduk dengan kasar di tepi kasur. Merasa tidak percaya dengan apa yang dia dengar, tapi dia juga takut itu kejadian. Ia tidak mau dijodohkan, obsesi Mirza untuk memiliki menantu pewaris pondok atau menantu anak ulama pernah dikemukakan dulu. Elizah tidak menargetkan status derajat apa-apa untuk calon suami. Dia hanya mau laki-laki yang mencintainya, dia juga sebaliknya, pekerja keras dan bertanggungjawab. Sosok Ali yang Elizah anggap masuk dalam kriteria calon suami yang ia dambakan.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!