Sore itu, seperti biasa Uswa tidak lupa untuk mampir ke dermaga. Rutinitas itu ia lakukan setiap jumat sore, dengan tujuan melepas lelah yang menumpuk selama weekdays.
Uswa berjalan menyusuri trestel, lebih tepatnya jalanan atau jembatan dari dermaga menuju daratan. Ia merasakan embusan angin laut yang selalu menenangkan. Uswa menghentikan langkah, menengadah, menatap langit yang masih sangat cerah.
"MaaSyaaAllah ..." batinnya.
Sesaat ia terkesima menatap langit biru yang membentang. Matanya pun terpejam, menghirup dalam-dalam aroma laut dan udara yang melebur menjadi satu.
"Beruntung sekali aku ke sini. Sore yang selalu kurindukan," ucapnya, seakan berbisik pada angin yang menyapa.
Bibirnya terangkat, melukis senyum, hingga membentuk lubang kecil di sudut bibir, dan di pipi kanannya, yang menandakan ia merasa nyaman dengan teriknya mentari sore. Hari itu memang sangat terik, hingga sore tiba pun langit masih sangat cerah dan biru.
Uswa kembali melangkah, berniat menyusuri trestel hingga ke ujung. Dengan cekatan, ia mengabadikan langit dan laut yang menurutnya sangat indah.
Saat Uswa tengah mengabadikan momen dalam ponselnya, tiba-tiba dering ponsel membuatnya mengerutkan kening. Sedetik. Dua detik. Ia menunggu beberapa saat, hingga akhirnya memutuskan menerima panggilan telepon.
"Halo, Assalaamu'alaikum," kata Uswa, mengucap salam.
Uswa melangkah menuju tepian, mendengarkan kalimat demi kalimat yang disampaikan kakak laki-lakinya dari balik ponsel.
Mendengar penjelasan dari sang kakak, kening Uswa mengkerut, tercetak jelas gurat amarah di wajahnya. Uswa memijat kening di antara kedua alis, yang sama sekali tidak sakit.
"Memang rencananya ba'da isya adek mau pulang, mau ngajak ibu belanja. Kalau Mas nyuruh Adek pulang, berarti Mas juga pulang, soalnya emosi Adek langsung tinggi kalau di rumah," tutur Uswa, menjelaskan pada kakaknya.
Beberapa menit berlalu, Uswa pun mengakhiri pembicaraan melalui panggilan telepon. Seperti biasa, setelah mendengar tentang ibunya, manik indah Uswa selalu berkaca-kaca, dan air mata itu hanya mampu menggenang, karena sudah tak sanggup untuk menetes.
Uswa menarik napas dalam, ia menahan sebentar, seakan menyalurkan udara ke dalam kepalanya. Sesaat kemudian, Uswa mengembuskan napas dengan perlahan.
Tatapannya lurus ke depan, seakan menerawang jauh lautan yang membentang luas. Entah apa yang ada dalam benaknya, saat itu ia hanya ingin berdiam sejenak, menentramkan pikiran yang mulai panas.
Wanita berusia 26 tahun itu, yang memiliki nama lengkap Uswatun Hasanah kembali melangkah, menyusuri trestel. Sesampai di persimpangan trestel, Uswa menghentikan langkah, ia menatap seorang pria yang duduk di salah satu bolder -perangkat dermaga untuk menambatkan tali kapal.
Uswa menatap lekat pria yang tengah memainkan gitar, menyenandungkan lagu 'Ibu - New Sakha'. Getar kerinduan terasa di setiap bait nada. Mata sipit dengan sorot tajam itu, memancarkan pilu dari sebuah rindu.
Lirih suara yang memilukan, menyentuh relung hati Uswa, terlebih lagi Uswa memang sedang memikirkan ibunya. Hatinya terenyuh, membuat Uswa melangkah menghampiri pria yang tidak ia kenal.
Tidak ada kata yang terucap, bibir Uswa seakan terkunci rapat. Manik indah yang telah tergenang telaga bening, menatap pria yang sudah di hadapannya. Terlihat konyol saat itu, namun pria itu seakan merasakan pilu yang terpancar dari sorot mata Uswa.
Pria itu menghentikan jemari yang menari, memetik senar gitar yang menghasilkan melodi indah. Suaranya terhenti, menatap heran ke arah Uswa yang tengah menatapnya. Pria itu menaikkan alis kanannya, membuat mata sipit itu tampak begitu mempesona.
"Ada yang bisa saya bantu, Nona?" tanya pria itu, membuat Uswa tersadar dengan apa yang terjadi.
"Eh ... itu ... anu ...." Uswa tergagap, ia bingung harus mengatakan apa. Wajahnya seketika berubah warna, merah padam. Ia terlihat seperti baru ketahuan mencuri sesuatu.
Pria itu tersenyum kecil melihat Uswa salah tingkah, karena ketahuan menatap lekat dirinya. Ia merasa wanita di hadapannya sangat lucu dan menggemaskan. Pria itu pun bangun dari duduknya. Akan tetapi, senyum kecil kembali terulas, membentuk lengkungan tipis.
"Masih kecil kenapa main sendiri di dermaga? Kalau kecebur gimana?" ucap pria itu, sadar akan tinggi badan wanita di hadapannya tidak sampai 160 cm.
"Siapa yang masih kecil? Enak saja anda ini!" dengus Uswa, ia tidak terima dengan ucapan pria asing itu, karena ia sadar, bahwa pria itu meledek tinggi badannya.
"Ooh, bukan anak kecil ternyata. Tapi, kok imut, ya? Konyol lagi." Senyuman pria itu kembali mengembang, entah kenapa pria itu merasa suka dengan wanita di hadapannya, lebih tepatnya ia suka pada pandangan pertama.
Mendengar dirinya disebut konyol, Uswa tersenyum kikuk. Ia tidak ingin membantah ucapan dari pria yang baru ia temui. Siapapun pasti akan berpikir yang sama seperti pria itu.
"Anda belum menjawab pertanyaan saya, Nona." tutur pria itu, mengingatkan bahwa pertanyaan pertama yang ia ucapkan belum dijawab oleh Uswa.
"Itu ... tidak ada apa-apa, kok. Saya hanya tersentuh mendengar getar suara anda yang melantunkan lagu tadi." jujur Uswa, benar adanya.
Uswa mengalihkan pandangan, menatap senja yang hampir menyapa. Sorot matanya terpancar kerinduan pada sosok ibu. Uswa tersenyum kecil, hingga lesung pipitnya tercetak jelas, membuat pria itu terpesona dengan senyum Uswa.
"Saya merasakan getar rindu yang memilukan dari suara anda. Jadi, itu yang membuat saya melangkah mendekati anda. Begitulah kira-kira. Tidak ada alasan lain." ungkap Uswa, kembali menatap manik pria yang memang benar memancarkan rindu yang mendalam.
Pria itu tersenyum getir, ia menatap hamparan air yang bergerak membentuk gelombang kecil. Tidak ada kalimat yang keluar dari bibirnya, pria itu seakan larut dalam lautan luas yang tak berujung.
"Sebelumnya saya tidak pernah bertemu dengan wanita yang bisa merasakan rindu ini. Rindu yang akan membawa saya pulang atau tidak. Terima kasih ..." lirih pria itu, menundukkan pandangan, menatap Uswa yang hanya setinggi dadanya.
"Kalau begitu ... mari kita berteman, Tuan."
Senyum manis terlukis di wajah ayu Uswa. Ia mengulurkan tangan kanan, berharap pria itu menyambut uluran tangannya.
"Mikail Ahmad Hanzhallah. Mereka biasa menyebut saya Mikailo," ujar pria itu, yang menyebutkan namanya, sembari menyambut uluran tangan Uswa.
"Uswatun Hasanah," jawab Uswa, tersenyum penuh arti. Ada getaran kecil menyelinap masuk ke relung hati, membuat Uswa merasakan perasaan aneh. Perasaan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.
"Nama yang bagus ..." lirih pria itu, yang sudah diketahui namanya oleh Uswa.
"Nama anda juga bagus. Bolehkah saya memanggil Hanz?" tanya Uswa, meminta persetujuan pada Sang Pemilik nama.
"Silakan," jawab Hanz. Ia tersenyum, mendengar pertanyaan Uswa.
"Sepertinya anda lebih tua dari saya, saya 26 tahun." Uswa memberitahu usianya, karena ia tidak ingin memanggil Hanz hanya dengan nama, apabila pria tersebut lebih tua darinya.
"Ya, saya lebih tua dua tahun," jawab Hanz, seakan mengerti maksud Uswa.
"Mas Hanz ..." lirih Uswa.
"Dalem, Dek?" spontan Hanz merespon panggilan dari Uswa, hingga membuat Uswa menatap Hanz dengan manik yang indah.
Entah apa yang mereka rasakan, namun satu hal yang pasti, antara Uswa dan Hanz merasakan getaran yang sama. Getaran kecil pada pandangan pertama yang menyelinap, menyelimuti relung hati, menyemai benih yang belum pernah tersemai.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
...Meski rindu ini begitu menyiksa, namun tetap harus kulalui. Jika air mataku luruh, maka air mata ibuku akan lebih mengucur deras....
...~Oksigen TW~...
...****************...
Pertemuan pertama yang singkat, namun berhasil membuat Uswa selalu terbayang sorot mata itu. Sorot mata yang memancarkan kepiluan, menahan rindu yang tak ada obatnya, kecuali kembali pulang dalam pelukannya.
"Ibu ..." lirih Uswa. Ia menatap foto yang menempel di sudut kamarnya yang hanya ia tempati selama weekend. Itupun jika dia benar-benar merindukan ibunya, barulah ia pulang.
Uswa bekerja di salah satu perusahaan bonafit di kota Dumai. Mengingat jarak PT dan rumahnya cukup memakan waktu, Uswa memilih mengontrak rumah. Selain mempersingkat waktu, ia meminimalisir terjadi kecelakaan selama perjalanan pergi maupun pulang.
Kali ini kepulangan Uswa karena memang merindukan ibu, dan kakaknya memintanya pulang. Terlebih lagi, ia baru gajian. Ia ingin mengajak ibunya belanja, dan memberi biaya bulanan untuk ibunya. Sebenarnya bisa saja Uswa mentransfer biaya itu, namun ibunya kurang paham jika harus menarik uang di ATM.
Tok ... Tok ....
Di tengah lamunan singkat, Uswa disadarkan oleh suara ketukan pintu. Ia sudah tau siapa yang mengetuk pintu kamarnya. Namun, karena ia memang mengunci pintu kamar, terpaksa Uswa melangkah dan membukakan pintu untuk kakak laki-lakinya.
"Baru sampai?" tanya Uswa, begitu pintu terbuka dan menampakkan Wildan yang berdiri di hadapannya.
"Iya. Mas mau ke kamar, mau bersih-bersih." ujar Wildan, langsung meninggalkan Uswa ketika telah dijawab dengan anggukan kecil.
Uswa kembali menutup pintu. Ia kembali melangkah menuju ranjang. Uswa duduk di tepi ranjang, menatap layar ponsel yang berada di atas nakas tepat di sebelah ranjangnya.
"Kok nggak ada pesan dari dia atau panggilan dari nomor baru, ya?" gumam Uswa, bertanya pada dirinya sendiri.
Uswa pun merasa kesal, perkenalan singkat itu membuat angannya selalu tertuju pada Hanz. Saat itu, Hanz memang meminta nomor kontak Uswa, ia berjanji untuk segera menghubungi Uswa. Maka dari itu, entah mengapa Uswa terus menanti Hanz menghubunginya.
Drrtt ... drrtt ....
Getar ponsel membuat Uswa meraih ponselnya secepat kilat. Ia menatap layar ponsel yang menampakkan nomor tidak kenal menghubunginya. Senyum kecil terlukis di wajahnya nan ayu. Dengan keyakinan tinggi bahwa itu Hanz, Uswa pun menerima panggilan telepon itu.
"Halo," jawab Uswa singkat.
"Assalaamu'alaikum, Dek. Ini Hanz," ucap seseorang dari balik ponsel Uswa.
Uswa mengulum senyum, namun ia tetap mengontrol suaranya agar terdengar biasa saja.
"Wa'alaikumussalaam. Iya, Mas Hanz. Ada yang bisa saya bantu?" ujar Uswa, ia sengaja berpura-pura agar tidak terdengar salah tingkah, karena memang menunggu Hanz menghubunginya.
"Tidak, Dek. Kemarin Mas berjanji mau menelepon dirimu," jawab Hanz terdengar tegas, namun mampu membuat Uswa merasa senang.
"Baiklah kalau begitu. Terima kasih sudah menepati janjimu, Mas."
Uswa dan Hanz saling terdiam. Mereka berdua seakan bingung dan kehabisan topik pembicaraan. Namun, bukan Uswa namanya jika ia tidak pandai mencairkan suasana.
"Mas nggak ada kegiatan pagi ini?" tanya Uswa, sembari melirik jam kecil di atas nakas, yang menunjukkan pukul 08.25.
"Mas baru selesai joging, Dek. Ini duduk sebentar, mendinginkan badan sebelum mandi." Hanz terdiam sesaat, kemudian ia pun kembali berkata, "Kamu tidak main ke dermaga lagi?" tanya Hanz, penasaran.
"Saya main ke dermaga setiap jumat sore, sebelum pulang ke rumah. Karena, kalau *weeken*d saya pulang ke rumah orang tua." Uswa mencoba menjelaskan rutinitasnya yang sederhana.
"Kalau begitu, seminggu lagi kita bertemu kembali?"
"Jika Mas ingin bertemu, besok saya bisa main ke dermaga." jawab Uswa.
"Bagaimana jika saya main ke rumah orang tuamu?"
"Jangan!" Tolak spontan dari bibir Uswa membuat Hanz heran di tempatnya.
"Kenapa?"
"Biar saya yang main ke dermaga. Lagian, saya juga sering main ke sana, kan?"
"Baiklah. Mas tunggu di sini besok sore ba'da asar."
Setelah setuju dengan Hanz, Uswa mengucap salam dan mengakhiri panggilan telepon. Senyumnya kembali terlukis, menahan gejolak aneh dalam hatinya. Debaran dalam dadanya pun semakin membuatnya salah tingkah.
'Nggak mungkin jatuh hati secepat itu, kan?' batin Uswa, menduga-duga prasangka dalam hatinya.
Enggan berlama-lama dalam prasangka di benaknya, Uswa yang memang sudah bersiap untuk mengajak ibunya pergi, langsung meraih tas dan memasukkan ponsel ke dalam tas.
Uswa membuka pintu dan melangkah keluar menuju dapur, mencari ibunya. Karena ia yakin, ibunya berada di dapur, memasak untuk anak laki-laki tercintanya.
"Bu ...!" panggil Uswa setengah berteriak, saat ia berada di ruang keluarga, namun tetap dengan suara yang lembut.
"Di dapur, Dek!" Terdengar jelas suara Yani dari arah dapur. Tanpa pikir panjang, Uswa langsung melangkah mencari ibunya di dapur.
Benar saja dugaannya, ibunya sedang menata makanan di atas meja. Begitu banyak lauk dan sayur yang tersaji, membuat Uswa mengerutkan kening.
"Ngapa banyak betul masakan, Bu?" tanya Uswa, merasa heran. Pasalnya, tidak biasa ibunya masak bermacam lauk dengan porsi yang cukup banyak.
"Masmu belum bilang sama kamu, Dek?" tanya Yani, suaranya terdengar khawatir.
"Ada apa memangnya, Bu?" selidik Uswa, menatap lekat manik mata yang penuh luka itu.
"Bapak ngajak mereka makan sarapan di sini, Dek." Tiba-tiba Wildan yang datang dari arah depan menjawab keheranan Uswa.
Jelas air muka Uswa seketika berubah. Baru saja hatinya berbunga karena seseorang. Akan tetapi, bunga itu kembali layu dan patah karena orang terdekatnya.
"Tau gitu Adek nggak pulang!" sergah Uswa, yang sangat jelas menahan amarah.
"Mas mau ngomong sesuatu, penting. Jadi, Mas minta dirimu pulang," jawab Wildan mencoba menenangkan adiknya.
"Bisa loh Mas ngomong langsung ke Adek, tanpa harus makan semeja sama mereka!" ketus Uswa, tidak terima dengan pernyataan yang diucapkan Wildan.
"Maksud Mas nggak gitu, Dek. Mau sampai kapan kita begini terus? Sudah saatnya kita menata hati dan kehidupan yang lebih damai, Dek!" ujar Wildan, tegas. Namun tetap dengan kelembutan, karena ia tahu, adiknya sangat terluka dengan apa yang telah dilakukan ayah mereka.
"Nggak seharusnya Mas mengatakan itu! Dan nggak seharusnya Mas bilang gitu. Sampai kapanpun, Adek nggak rela rumah ini diinjak oleh mereka! Paham!" teriak Uswa, ia tidak sanggup lagi menahan amarah yang bergejolak.
"Jangan teriak di depan Masmu, Dek!" peringat Yani, yang hanya diam sedari perdebatan kedua anaknya dimulai. Ia tidak ingin Uswa berlaku tidak sopan pada Wildan.
Wildan memberikan isyarat pada Yani, untuk tidak meneruskan memperingatkan Uswa. Wildan sangat tahu, lelah dan derita yang dirasakan Uswa, namun ketika berada di puncak, jatuh dan hancur seketika. Karena, itulah yang dirasakan Wildan juga.
"Sebaiknya Adek pergi. Adek nggak mau makan semeja sama mereka!" sinis Uswa, yang langsung meninggalkan dapur, dimana ibu dan kakaknya berada.
Namun naasnya, saat Uswa membuka pintu depan, di sana sudah berdiri ayah dan seorang wanita yang tengah menggandeng anak laki-laki sekitar berumur enam tahun.
Raut wajah Uswa semakin merah padam. Terpancar jelas kebencian yang tersorot dari manik indah itu. Uswa menatap tajam pria paruh baya di hadapannya.
"Tidak tau malu!" sinis Uswa, ia bergantian menatap wanita di sebelah ayahnya.
"Uswatun Hasanah, itu ayahmu!" peringat Yani yang sudah berdiri di ambang pintu, menatap lekat pada putri satu-satunya.
"Ayah mana yang rela menghancurkan perasaan anaknya, padahal anak-anaknya telah berjuang demi kehidupan yang layak untuknya?" sergah Uswa, sangat tajam menusuk relung hati ayah dan wanita di sampingnya.
Uswa pun berlalu pergi, menuju motor matic hitam kesayangannya. Tanpa basa-basi, Uswa langsung mengenakan helm dan mengenakan zipperhoodie. Sesaat kemudian, ia menyalakan mesin motor dan langsung mengarahkan motornya ke jalanan.
Dengan hati yang penuh luka, Uswa mengendarai motornya dengan linangan air mata. Melepaskan kepiluan dalam hatinya.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
...Kata orang cinta pertama anak perempuan adalah ayahnya. Namun, jika cinta pertama itu telah hancur, maka cinta mana lagi yang bisa dipercaya?...
...~Oksigen TW~...
...****************...
Weekend yang harusnya menjadi hari istirahat, pelepas lelah, namun malah menjadi hari yang benar-benar melelahkan bagi Uswa. Kini ia tengah duduk sendiri, di salah satu kursi panjang yang menghadap ke laut, di tengah hutan bakau.
Di Kota Dumai yang memang berada di tepi laut, bahkan memiliki julukan sebagai Mutiara di Pantai Timur Sumatera, memiliki hutan bakau yang dikelolah menjadi tempat wisata. Hingga pada akhirnya, hutan bakau di tepi laut ini kerap dikunjungi oleh warga Dumai maupun luar Dumai.
Seakan keberuntungan sedikit berpihak pada Uswa, hutan bakau itu seakan sepi oleh pengunjung. Di sanalah Uswa duduk sendiri, melepaskan segala kepiluan, melalui deraian air mata yang terus mengalir.
Uswa termenung, menatap lautan yang mulai surut. angin yang menerpa, menggoyangkan dedaunan dan ranting, hingga menimbulkan derit nyanyian ranting dan dahan yang saling bergesekan. Hari itu, hanya nyanyian suara alam yang mampu menjadi pelipur lara baginya.
Lamunan demi lamunan berhasil membawa angan, memutar memori beberapa tahun lalu. Di mana Uswa dan keluarganya berhasil berdiri dari kesulitan ekonomi, bahkan sampai memiliki hutang yang menumpuk.
Mereka terus berjuang dan berdoa, saling bahu membahu, dan pada akhirnya doa dan usaha tidak mengkhianati hasil. Allah Ta'ala memberi kesempatan Uswa dan keluarga menyelesaikan masalah satu per satu. Hingga Allah Ta'ala menguji mereka dengan masalah yang benar-benar membuat Uswa terluka.
Saat itu, Uswa tengah mengadakan piknik bersama Santi, sahabatnya, di Alam Mayang di Kota Pekanbaru. Akan tetapi, piknik yang seharusnya bahagia, malah membuat Uswa membenci kegiatan yang bernama piknik.
Saat Uswa dan Santi tengah menikmati makanan dan minuman, sembari bercerita riang, tiba-tiba matanya tertuju pada sosok pria yang sedang bermain bersama anak kecil berusia tiga tahun. Awalnya Uswa menyangka pria itu hanya mirip dengan ayahnya. Namun, pria itu diam mematung, saat mata keduanya beradu pandang.
Duaaarrr!
Bagaikan tersambar petir di siang bolong yang cerah, Uswa berdiri dari duduknya, melangkah perlahan mendekati di mana ayahnya berada. Dengan wajah yang sulit diartikan, Uswa sudah berada beberapa langkah dari ayahnya berdiri.
"Nak ..." lirih Hadi, yang tidak percaya bahwa anak bungsunya menemukannya sedang bermain dengan anak kecil, bahkan ada wanita yang menatap mereka dengan senyum bahagia.
Tenggorokkan Uswa seakan tercekat. Lidahnya keluh. Bibirnya pun seakan terkunci rapat. Sumpah serapah yang harusnya ia lontarkan, hanya sanggup diungkapkan melalui tatapan tajam penuh pertanyaan.
Cukup lama ayah dan anak itu saling beradu pandang. Hingga diamnya Hadi adalah jawaban bagi Uswa. Tatapan penuh tanya, langsung berubah menjadi tatapan nyalang penuh kebencian.
"Diam adalah sebuah jawaban!" sinis Uswa, yang langsung berbalik, dan melangkah meninggalkan Hadi yang tetap bergeming di tempatnya.
Sesampainya di tempat ia berada bersama sahabatnya, Uswa langsung bergegas, mengajak Santi untuk segera pergi dari Alam Mayang. Santi yang mengerti dengan situasi, ia langsung bergegas membereskan barang-barang dan bergantian membonceng Uswa, meninggalkan Alam Mayang, menuju ke rumah Santi.
Air mata Uswa kembali menetes. Angan yang berhasil memutar kenangan pahit, membuat luka dalam batin Uswa semakin menyebar. Bahkan serangan panik mulai menyerang. Uswa mulai menggenggam tangannya, seolah mencakar dan menekankan kukunya dengan keras.
Dadanya sesak, ia ingin berteriak, namun seakan terhambat oleh ribuan ton baja yang menghimpit relung hatinya. Pedihnya pilu yang ia rasakan, mengalahkan rasa sakit yang timbul dari kuku-kuku yang menancap di kulit tangannya.
Tanpa Uswa sadari, seseorang menggenggam tangannya, menggantikan telapak tangan Uswa yang sudah luka karena kukunya sendiri. Uswa pun terkejut, hingga spontan menatap pria di hadapannya.
Pria yang baru ia temui kemarin. Pria yang memancarkan sorot kerinduan dari manik tajam. Pria yang sempat membuatnya terkesima pada pandangan pertama.
"Lepaskan, Mas! Tak seharusnya Mas menggenggam saya begini!" panik Uswa, berusaha menarik tangannya dari genggaman Hanz.
"Mas tau. Tapi, biarkan Mas menggantikan tanganmu yang sudah terluka itu." ujar Hanz, tanpa menatap wajah Uswa.
"Mas ..." lirih Uswa.
"Menangislah! Mas tidak akan melihatmu. Tapi, biarkan Mas menemanimu."
Kalimat Hanz begitu membuat Uswa terenyuh. Hatinya semakin pilu karena kehadiran pria yang baru ia kenal. Sedangkan Hanz, ia hanya menatap lautan, menggenggam erat jemari yang seakan tak berdaya.
Isak tangis Uswa semakin jelas di telinga Hanz, hingga ia bisa merasakan pilu yang mendalam dari wanita di sampingnya.
'Sudah berapa lama air matamu mengalir? Sudah berapa keras kukumu melukai dirimu sendiri? Jika aku tidak di sini, dan tak sengaja melihatmu sendiri di sini, aku tidak akan tahu betapa terlukanya dirimu.' batin Hanz, semakin erat menggenggam tangan Uswa.
Limabelas menit berlalu, isak tangis Uswa mulai mereda. Ia mulai tenang. Masih dalam genggaman Hanz, Uswa menatap pria di sampingnya.
"Saya harap, Mas melupakan kejadian yang baru Mas lihat ..." pinta Uswa, sedikit menekan di setiap kata.
"Tak perlu kamu minta, Mas akan melakukannya. Tapi, Mas harap kamu tidak melakukan ini lagi."
Hanz meraih tangan kiri Uswa yang terluka karena kukunya sendiri. Hanz mengusap luka yang membekas, kemudian ia menatap lekat wajah ayu yang menyimpan luka dalam.
"Kalau kamu mau melakukan ini lagi, Mas siap menggantikan tanganmu," imbuh Hanz, berusaha meyakinkan Uswa, meski terdengar seperti buaya darat, namun Hanz benar tulus adanya.
"Hahaha ... dasar buaya darat, ya. Hahaha ..." kelakar Uswa terdengar renyah, namun membuat hati Hanz terasa damai.
"Kamu pawangnya, dong." ledek Hanz, semakin membuat Uswa tertawa riang.
"Hahaha ... masuk pak Haji," imbuh Uswa, yang seakan melepaskan lelah yang baru saja ia alami.
"Wes, pripun penak e, Dek." ujar Hanz, membiarkan Uswa menikmati tawanya. (Sudah, bagaimana enaknya, Dek.)
"Betul kata kamu, Mas. Saya ini konyol, aneh ..." ujar Uswa, menatap tangannya yang masih dalam genggaman Hanz. "Apa tidak sebaiknya Mas lepaskan tangan ini?" tanya Uswa, yang sebenarnya tidak membutuhkan jawaban dari Hanz.
"Maaf ...." Hanz refleks melepaskan tangan Uswa. Ia tersenyum kikuk, dan salah tingkah. Pria itu langsung mengalihkan pandangan, menatap ke kiri.
"Kalau kelamaan menggenggam, ntar jadi nyaman, Mas. Hahahaha ...." Lagi-lagi, tawa renyah Uswa membuat Hanz semakin salah tingkah.
"Jangan dilanjutkan, Dek. Mas malu," ungkap Hanz, tidak berani menatap mata Uswa yang sangat sembab.
"Seharusnya yang malu saya, Mas. Bisa-bisa ketahuan kacau denganmu, pria yang baru saya kenal kemarin sore." cicit Uswa, menatap lautan yang semakin surut.
Tatapan Uswa kembali sendu. Ia sungguh merasa malu pada Hanz. Ia tidak ingin perkenalan dengan Hanz meninggalkan kesan buruk pada Hanz.
"Dek ..." panggil Hanz. Uswa pun menatap Hanz yang semakin lekat menatap dirinya.
'Entah kenapa hatiku sudah merasakan getaran kecil saat itu. Saat sorot matamu yang penuh luka menatap sendu mataku. Saat itu, aku merasa jatuh hati pada pandangan pertama.' batin Hanz.
"Kenapa, Mas?" heran Uswa, karena tidak ada kalimat yang keluar dari mulut Hanz.
"Jangan terluka lagi, ya?"
Sorot mata Hanz begitu dalam menatap Uswa. Entah apa yang dirasakan Uswa, satu yang pasti ia rasakan, nyaman.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
...Ketika seseorang menggenggam tanganku di saat aku terluka, maka air mataku akan semakin berderai....
...~Oksigen TW~...
...****************...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!