NovelToon NovelToon

Batal Nikah

Bab Satu

Fauzana atau yang lebih akrab di panggil Ana, sedang sibuk dengan persiapan pernikahannya yang sudah di depan mata. Satu bulan lagi dia dan Erik akan naik ke pelaminan. Persiapan sudah hampir tujuh puluh persen.

Hari ini Ana janjian bertemu dengan kekasih atau calon suaminya itu saat pulang kerja. Dia ingin mengajak Erik mengambil undangan yang baru saja selesai di cetak.

Seluruh tabungan hasil kerjanya selama tiga tahun ini telah terkuras untuk persiapan pernikahan mereka. Ana tak pernah menuntut Erik untuk membayar semuanya. Dia lebih banyak menggunakan uang pribadi. Baginya pernikahan untuk berdua dan dengan uang berdua juga.

"Sayang, kamu nanti yang jemput aku atau kita bertemu di percetakan aja?" tanya Ana saat menghubungi sang kekasih.

"Maaf, Ana. Sepertinya hari ini aku tak bisa menemani kamu. Pekerjaanku sedang banyak. Aku harus lembur," jawab Erik di seberang sana.

"Kalau begitu biar aku saja yang jemput sendiri. Kamu jangan terlalu capek dan ingat makan, Mas," ujar Ana.

"Ya, Ana. Maafkan aku," ucap Erik pelan.

"Tak apa, Sayang. Kamu jangan merasa bersalah begitu. Kamu sibuk kerja bukannya selingkuh'kan," balas Ana.

Tak ada jawaban yang Erik berikan atas ucapan gadis itu. Ana ingin segera mematikan sambungan telepon mereka, karena takut mengganggu waktu kerja sang kekasih.

"Sayang, sudah dulu ya. Jangan lupa makan dan jangan terlalu capek. Kesehatan lebih penting dari pada uang, Mas," ujar Ana.

"Kamu juga jangan lupa makan. Jika kamu capek, besok saja jemput undangannya, Sayang. Sekali lagi maafkan aku," balas Erik.

"Santai saja, Sayang. I love you," kata Ana.

"Love you too," balas Erik.

Erik lalu mematikan sambungan ponselnya dengan Ana. Dia menarik rambutnya frustasi. Seperti sedang banyak beban pikiran.

"Kapan kamu akan jujur dengan Kak Ana, Mas. Aku mau tanggal pernikahan yang kamu sepakati dengannya dijadikan untuk pernikahan kita. Biar kita tak perlu mengurus apa pun lagi. Semua yang telah kamu dan Kak Ana urus, itu buat pernikahan kita saja!" ucap Ayu.

"Beri aku waktu Ayu. Tak mudah mengatakan semuanya. Aku harus menjaga perasaannya Ana. Dia pasti akan syok mendengar pembatalan pernikahan kami," jawab Erik.

"Ini bukan alasan kamu untuk lari dari tanggung jawab'kan? Ingat Mas, di perutku ini ada anakmu. Aku tak mau setelah perut ini gede baru menikah. Pokoknya aku mau tanggal pernikahan kamu dengan Kak Ana dijadikan untuk pernikahan kita!" seru Ayu.

"Apa itu tak keterlaluan, Ayu. Setelah aku nanti membatalkan pernikahan kami, aku menikahi kamu tepat di hari kami berencana untuk menikah. Itu tanggal jadian kami dulunya," balas Erik.

"Jika Mas tak berani mengatakan semuanya, biar aku saja yang bicara langsung dengan Kak Ana. Dia harus tau secepatnya jika kamu tak akan pernah menikah dengannya!" seru Ayu.

Ayu lalu berdiri dari duduknya dan berjalan keluar dari restoran itu. Erik juga ikut berdiri. Jalannya lebih cepat karena ingin mengejar wanita itu.

Sampai di halaman restoran, dia menahan tangan Ayu agar tak berjalan lebih jauh lagi. Erik menariknya untuk duduk di bawah pohon.

"Biar aku yang bicara dengan Ana. Aku harap kamu bersabar sedikit saja. Aku tak akan lari dari tanggung jawab!" seru Erik.

"Aku tunggu secepatnya, jika dalam seminggu ini kamu tak juga mengatakan hal sebenarnya pada kak Ana, aku yang akan mengatakannya!" ancam Ayu.

"Baiklah, aku akan mengatakan dalam minggu ini juga," balas Erik.

"Aku tunggu janjimu!"

Ayu lalu berdiri dan berjalan menuju jalan raya. Menghentikan angkot yang akan membawanya kembali ke rumah.

\\*

Sampai di rumah dia langsung masuk ke rumah tanpa memberikan salam. Saat akan masuk ke kamarnya, dia melihat Ana yang sedang menyusun undangan pernikahannya.

Ayu yang awalnya ingin beristirahat di kamar jadi mengurungkan niatnya. Dia masuk ke kamar sang kakak. Duduk di tepi ranjang dengan pandangan tajam ke arah undangan yang berserakan di lantai.

"Apa Kak Ana sudah yakin akan menikah dengan Mas Erik?" tanya Ayu dengan suara ketus.

Pertanyaan Ayu membuat gadis itu menjadi terkejut. Dia membalas tatapan adiknya itu dengan tatapan teduh dan senyuman yang menawan.

"Kenapa kamu bertanya begitu, Dek? Tentu saja Kakak sudah yakin akan menikah dengan Mas Erik. Kamu jangan kuatir, walau aku nanti telah menikah, aku akan tetap datang ke rumah ini untuk melepaskan rindu padamu," jawab Ana.

"Apa Kakak yakin jika Erik mencintai Kakak?" tanya Ayu lagi.

Mendengar pertanyaan Ayu kali ini, Ana jadi terdiam. Dia menghentikan kegiatannya menyusun undangan. Menatap adiknya dengan pandangan menyelidik. Dari tadi Ayu selalu meragukan pernikahannya.

Ana jadi curiga jika adiknya mengetahui sesuatu. Mungkin dia takut untuk mengatakan. Namun, Ana berharap semua itu hanya perasaannya saja. Jangan sampai apa yang dia pikirkan itu benar adanya. Dia lalu berdiri dan mendekati Ayu yang duduk di ujung ranjangnya.

"Dek, apa kamu mengetahui sesuatu mengenai Mas Erik?" tanya Ana mulai curiga.

"Tanyakan saja sendiri dengan Mas Erik."

Ayu lalu berdiri. Dia takut keceplosan kalau terus berada di dekat sang kakak. Erik bisa marah dan tak percaya dia lagi.

Adiknya Ana itu berjalan menuju ke luar kamar. Tentu saja hal ini membuat kecurigaannya makin bertambah. Sampai di ambang Ayu membalikan tubuhnya menghadap sang kakak.

"Jangan terlalu percaya pada pria!" ucap Ayu.

Ana terdiam mendengar ucapan adiknya. Dia takut jika Erik memang tak setia. Namun, dia berusaha menepis pikiran buruknya. Kembali dia mencoba menyibukkan diri dengan undangan tersebut.

Setelah menempelkan nama orang yang dia undang, Ana naik ke ranjang mencoba memejamkan matanya. Namun, lagi-lagi ucapan adiknya terngiang.

Ana lalu mengambil gawainya dan mencoba menghubungi sang kekasih, tapi tak diangkat juga. Dia makin berpikiran jelek.

Saat matanya akan terpejam terdengar nada pesan masuk. Ana membuka matanya kembali dan melihat gawainya. Ingin tahu siapa yang mengirimkan pesan. Ternyata dari sang kekasih yang mengatakan jika dia ingin bertemu saat pulang kerja besok. Ada yang ingin disampaikan.

Membaca pesan tersebut membuat pikiran Ana jadi makin berpikiran buruk. Apa lagi saat dia membalas pesan sang kekasih menanyakan apa yang akan di bahas, gawai pria itu sudah tak aktif.

\\*

Hingga siang ini, gawai sang kekasih belum juga aktif. Beberapa pesan menanyakan tempat mereka bertemu hanya centang satu. Hingga menjelang jam pulang kerja, barulah Erik membalas. Dia menyebutkan nama sebuah kafe.

Sepulang kerja, dengan mengendarai motornya, Ana menuju kafe yang Erik sebutkan. Sepanjang perjalanan jantungnya berdebar. Dia tak tahu kenapa jadi begini.

Sementara itu di dalam kafe, Erik menunggu kedatangan Ana dengan gelisah. Tak kalah dengan gadis itu, jantungnya juga berdetak lebih cepat.

"Bagaimana ya caranya untuk mengatakan jika pernikahan kami dibatalkan?" tanya Erik dengan dirinya sendiri.

**

Selamat Pagi menjelang siang. Mama datang lagi dengan karya terbaru. Semoga suka. Jangan lupa baca tiap bab updatenya. Terima kasih.

Bab Dua

Dengan penuh semangat dan senyum yang selalu merekah di bibir, Ana masuk ke kafe yang telah dijanjikan Erik, untuk mereka bertemu. Dari jauh dia sudah melihat kehadiran kekasihnya itu.

Ana mempercepat langkahnya. Dia sudah tak sabar ingin bertemu dengan pria itu. Sampai dihadapan Erik, dia langsung duduk di samping sang kekasih.

"Kamu mau pesan apa?" tanya Erik, begitu Ana sudah duduk dengan sempurna di kursi.

"Aku baru sampai, bukannya tanya kabar, atau tanya yang lain. Kenapa langsung tanya pesananku. Seperti tergesa-gesa saja," jawab Ana.

Erik tersenyum simpul mendengar jawaban gadis itu. Dia mengusap kepalanya dengan lembut.

"Aku takut kamu sudah lapar. Makanya mau pesan makanan langsung," jawab Erik dengan lembut.

Ana tersenyum mendengar ucapan kekasihnya. Pria itu selalu memberikan perhatian khusus untuknya. Dia juga selalu bertutur kata lembut, tak pernah sekalipun Erik membentaknya atau bersuara keras.

"Kalau begitu, aku pesan makanan dulu," balas Ana.

Ana lalu memanggil pelayan kafe, dan memesan makanan kesukaannya.

"Mas, sudah pesan makanan?" tanya Ana.

Erik menjawab dengan menganggukan kepalanya. Dia lalu menarik napas dalam, dan membuangnya. Itu dilakukan berulang kali. Dalam diam Ana melirik, heran melihat kekasihnya yang tampak sangat gugup.

"Mas, apa ada masalah?" tanya Ana. Dia menatap sang kekasih dengan tatapan yang penuh cinta.

"Kita bicarakan setelah makan aja."

Erik melihat pelayan membawa pesanan makanan mereka sehingga menunda obrolan. Ana melihat sikap pria itu agak berbeda, tapi dia tak mau mendesak agar bicara. Lebih baik tunggu setelah makan seperti yang Erik katakan.

Mereka makan dalam diam. Tak ada yang bersuara. Ana yang memang lapar, menyantap makanan hingga habis tak tersisa, berbeda dengan Erik, pria itu tak menghabiskan makanannya.

Setelah selesai makan, Ana yang melihat Erik masih belum menyentuh makanannya, akhirnya bertanya juga.

"Mas, sebenarnya ada masalah apa? Kenapa kamu seperti banyak pikiran?" tanya Ana akhirnya.

Erik meletakan sendok makan ke piring. Dia merubah posisi duduknya menghadap ke kekasihnya. Meraih tangan Ana dan menggenggamnya.

"Ana, sebelumnya aku minta maaf jika apa yang akan aku katakan ini akan membuat kamu marah, terluka dan kecewa. Tapi satu yang perlu kamu ingat, jika aku masih tetap mencintaimu hingga saat ini," ucap Erik.

Ana terkejut mendengar ucapan Erik. Dia makin penasaran dengan apa yang terjadi.

"Mas, jangan buat aku cemas begini. Sebenarnya apa yang terjadi? Dari kemarin kamu selalu meminta maaf," balas Ana.

Erik menarik napas dalam, lalu membuangnya secara perlahan. Dia melakukan itu berulang kali. Sehingga Ana yang melihat jadi makin kuatir dan tak sabar ingin mendengar apa yang terjadi.

"Mas, jangan diam saja. Katakan apa yang sebenernya terjadi? Apa yang ingin kamu sampaikan? Bukan berita buruk'kan?" tanya Ana lagi.

"Ana, maafkan aku ...."

"Jangan meminta maaf terus, Mas. Katakan saja apa yang ingin kamu sampaikan!" seru Ana mulai tak sabar.

Erik menatap wajah Ana dengan intens. Ada rasa bersalah yang besar melihat tatapan sendu gadis itu. Belum mengatakan hal sebenarnya saja, dia sudah sangat kuatir dan takut. Apa lagi jika mendengar apa yang akan Erik sampaikan.

"Ana, aku tak bisa menikah denganmu. Aku ingin membatalkan pernikahan kita," ucap Erik dengan pelan.

Suara Erik yang pelan, tapi sanggup membuat Ana terkejut dan syok. Dia langsung melepaskan genggaman tangan mereka. Tersenyum miris.

"Aku tak suka candaan kamu, Mas!" ujar Ana.

"Aku tidak sedang becanda, Ana. Aku ingin membatalkan pernikahan kita," balas Erik.

Ucapan Erik kali ini membuat Ana benar-benar terkejut. Dunianya seperti mau runtuh dan hancur. Pernikahan yang telah mereka rencanakan akan batal. Persiapan yang sudah hampir selesai harus dihentikan.

"Kanapa harus dibatalkan, Mas? Katakan padaku alasannya!" seru Ana dengan suara terbata.

Ana merasa dadanya sesak. Tapi dia berusaha tetap tegar. Dia juga berusaha menahan air mata agar tak jatuh membasahi pipinya. Dia harus tahu alasan dari pembatalan pernikahan mereka.

"Aku tidak bisa melanjutkan pernikahan kita."

"Aku sudah dengar itu, Mas. Yang ingin aku tau apa alasan kamu membatalkan semua ini!"

"Karena kita sudah tak sejalan lagi. Aku sudah tak bisa menggenggam tanganmu lagi. Aku harus pergi dari kehidupan kamu, Ana."

Ana tertawa sumbang mendengar jawaban dari Erik. Padahal di awal obrolan tadi, dia mengatakan jika masih cinta. Tapi saat ini berkata hal yang berbeda, jika dia tak sejalan lagi.

"Apa karena ada wanita lain?" tanya Ana langsung. Dia menebak itulah alasan kuat Erik harus membatalkan pernikahan mereka.

Padahal selama ini, Ana begitu percaya dengan pria itu. Dia merasa gadis paling beruntung karena mendapatkan kekasih yang sangat perhatian dan baik. Ternyata di balik semua sikap manisnya, dia menyimpan bara api yang siap membakar dirinya.

"Aku salah. Aku khilaf, Ana. Tapi percayalah aku masih mencintaimu. Aku menyesal karena tergoda dengan wanita lain," ucap Erik.

Kembali terdengar tawa Ana. Dia sudah bisa menebak jika itulah alasan utama mereka berpisah.

"Omong kosong macam apa ini? Jika memang Mas mencintaiku, tak akan ada wanita lain. Jangan katakan semua karena kesilapan. Perselingkuhan itu terjadi karena memang ada keinginan!"

"Maafkan aku, Ana."

Erik mencoba meraih kembali tangan Ana. Namun, gadis itu langsung menepisnya. Seperti sangat jijik. Dia tak ingin di sentuh pria itu.

Ana menarik napas dalam. Dia memukul dada nya yang terasa sesak. Sudah dia coba menahan air mata, tapi tak bisa juga di bendung. Akhirnya tangisan itu tumpah juga.

"Apa salahku, Mas? Kanapa kau tega melakukan ini padaku?" tanya Ana dengan terbata di sela Isak tangisnya.

"Kamu tak salah, aku yang salah. Aku yang tak bersyukur memiliki kekasih sebaik kamu. Jika saja waktu dapat di putar kembali, aku tak ingin melakukan kesalahan itu. Aku hanya ingin menikah denganmu, tapi aku sadar ... aku tak pantas untukmu. Kamu berhak mendapatkan pria yang jauh lebih baik dariku," ucap Erik.

"Jika waktu dapat berputar kembali, aku yang tak mau tetap bersamamu. Aku pasti akan meminta agar aku tak pernah kenal dengan pria pecundang seperti kamu! Aku menyesal pernah mengenal pengkhianat seperti kamu, Mas!" ucap Ana.

Ana lalu berdiri dari duduknya. Dia meraih dompet yang ada di dalam tas dan mengeluarkan uang untuk pembayaran makanan..

"Terima kasih atas luka yang kamu berikan ini. Aku pastikan tak'kan pernah lagi ada pria seperti kamu tinggal di hati ini. Yang ingin aku gali adalah rasa tanggung jawabmu. Mungkin janji yang kau ucapkan memang tak di-asuransi. Mungkin juga gombalan yang setiap kali aku terima tak benar-benar dari hati. Semoga tak ada penyesalan nantinya. Selamat atas pengkhianatan mu, aku bersyukur karena kamu mau jujur mengatakan semuanya sebelum kita melangkah ke jenjang pernikahan!" ucap Ana.

Ana lalu pergi dari tempat itu dengan tergesa. Tak ingin melihat wajah pria itu lagi. Erik juga berdiri. Dia merasa belum selesai mengatakan semuanya. Dia harus mengajar Ana.

Bab Tiga

Erik mengejar Ana yang telah keluar dari kafe. Ditahannya tangan gadis itu agar tak berjalan lebih jauh lagi.

"Tunggu, Ana. Kita belum selesai bicara," ucap Erik.

Ana mencoba menepis tangan Erik, tapi kekuatannya tak sebanding dengan pria itu. Sehingga dia akhirnya mengalah.

Erik mengajak Ana duduk di bawah sebuah pohon yang berada di parkiran. Namun, gadis itu tak mau. Dia memilih tetap berdiri. Akhirnya Erik mengalah.

"Ana, jika aku boleh memilih, pasti aku akan memilih menikah denganmu. Aku masih sangat mencintaimu. Aku khilaf. Sekali lagi maafkan aku," ucap Erik.

"Apa kamu pikir dengan kata maaf semua akan kembali. Semua sudah terjadi, tak ada yang bisa merubahnya!" seru Ana dengan suara sedikit meninggi.

Erik menarik napas dalam. Tak tahu harus mengatakan apa lagi. Semua stok kata seolah habis. Dia tahu, semua kata-kata yang keluar dari bibirnya tak akan bisa membuat Ana percaya lagi. Namun, dia masih berharap jika gadis itu bisa menerima keputusannya menikahi Ayu.

"Ana, aku ingin mengatakan siapa wanita yang telah berhasil menggodaku. Aku memang pecundang seperti yang kamu katakan. Begitu mudahnya tergoda dengan bujuk rayunya. Seharusnya aku tegas menolaknya," ucap Erik.

Kembali Ana tertawa dengan sinis. Semua telah terjadi baru pria itu mengatakan penyesalan. Dia tak percaya lagi dengan omong kosong itu.

"Apa kamu pikir dengan mengatakan siapa wanita itu akan merubah pendapat aku tentang kamu? Jika wanita itu tau kita akan menikah, tapi tetap masuk ke kehidupanmu, itu berarti kamu dan dia sama-sama pecundang. Kalian pantas bersama!" seru Ana.

"Ana, aku ingin kamu tau jika wanita itu ...."

"Maaf, Mas. Makanan Anda tadi belum di bayar. Anda di minta menemui atasan kami," ucap salah satu pelayan restoran.

Erik langsung menepuk jidatnya. Dia juga tak menyadari jika tadi langsung pergi padahal belum membayar apa yang mereka makan.

"Nanti aku masuk lagi untuk membayarnya. Beri aku waktu, aku mau mengobrol sebentar," jawab Erik.

"Maaf, Mas. Kami tak bisa memberikan waktu. Jika Anda ingin bicara, selesaikan dulu pembayaran. Kalau nanti Anda kabur, kami yang akan menanggung semuanya," jawab pelayan yang lain. Mereka ada tiga orang.

Pelayan kafe mungkin berpikir jika Erik sengaja minta ulur waktu agar bisa kabur. Sehingga mereka tak mau pergi dari hadapan pria itu.

"Aku tak akan kabur!" seru Erik dengan suara agak lantang.

Perdebatan antara keduanya, memberikan kesempatan buat Ana pergi. Saat Erik berdebat, dia langsung kabur. Mendekati motornya dan melakukan dengan segera.

Erik yang mendengar suara mesin motor langsung menoleh, dan terkejut melihat Ana yang sudah melaju. Dia lalu menggerutu dalam hati.

"Sial, gara-gara pelayan ini aku harus kehilangan kesempatan bicara dengan Ana," umpat Erik.

Setelah melihat motor Ana makin menjauh, akhirnya Erik terpaksa mengikuti kemauan pelayan tersebut. Berjalan menuju satu ruangan. Mungkin ruang manajer mereka.

Ana menjalankan motornya perlahan. Tangisan gadis itu akhirnya pecah. Dari tadi dia telah berusaha menahan air matanya. Tak ingin terlihat lemah di hadapan pria yang telah menyakiti hatinya itu.

Tiba-tiba terdengar guruh bersahutan, pertanda hujan akan turun, tapi Ana tetap mengendarai motornya.

"Di antara sakit yang paling menyakitkan adalah menahan air mata agar tidak jatuh. Mencintai kamu itu seperti bermain hujan. Awalnya aku senang, tapi akhirnya aku sakit"

Ana mengendarai motornya menembus hujan deras yang turun begitu lebat. Air matanya yang jatuh di pipi bercampur dengan air hujan yang membasahi wajahnya. Setiap tetesan air yang jatuh menyapu luka-luka hati Ana yang terpendam dalam dirinya.

Terkadang, Ana bisa merasakan setiap tetes hujan yang jatuh di atas kepalanya seperti membasuh dan menyegarkan jiwa yang terluka. Ia merasa bahwa hujan adalah penghibur setia yang mampu meluapkan rasa sakit yang tak terucap di dalam hatinya.

Tiap helai rambut basahnya mengingatkan Ana akan masa saat awal dia kenalan dan pacaran dengan Erik. Rasa sakit dan kekecewaan yang seolah hilang terbawa oleh tiap tetes hujan yang membasahi wajahnya. Keheningan di bawah guyuran air hujan memberikan kesempatan bagi Ana untuk merenung dan melupakan sejenak perasaan yang begitu membebani.

Motor yang dikendarainya semakin melaju, menerjang setiap rintangan yang terjadi di jalan. Sesekali, bahunya terasa tercengang oleh angin kencang yang bertiup dengan kekuatan. Namun, Ana tak pernah merasa terhenti maupun lelah. Ia merasa motor dan hujan menjadi teman terbaiknya dalam perjalanan untuk menyembuhkan luka hati.

Setiap kilometer yang dilewatinya, semakin jauh membawa luka di hatinya terdorong pergi oleh hujan yang semakin deras. Udara yang sejuk membasahi tubuhnya membantu Ana untuk menyadari bahwa Erik tak pantas ditangisi. Lelaki pecundang dan pengkhianat itu harus mendapatkan pembalasan yang setimpal. Hujan mengajarinya arti keberanian, bahwa dalam setiap patahan ada kesempatan untuk tumbuh kembali.

Akhirnya, Ana sampai di tempat tujuannya. Dia menepikan motornya dan menatap awan mendung yang masih terus membasuh bumi. Teriring dengan hembusan angin, Ana merasa bagian terdalam dari luka hatinya telah terhapus dalam keheningan hujan tersebut.

Ana masuk ke rumah. Saat itu ayah, ibu dan adiknya sedang berkumpul. Mereka hanya menatap kedatangan gadis itu sekilas dan kembali pada kegiatan tadi.. Kehadirannya tak diharapkan mereka.

Saat Ana ingin melangkah lebih jauh memasuki rumahnya, suara seseorang menghentikan gerak kakinya.

"Dari mana aja kamu? Pulang kerja bukannya langsung kembali ke rumah, justru pergi kelayapan entah kemana!" seru ibu tirinya.

"Pel rumah ini kalau lantainya basah karena ulahmu yang seperti anak kecil, pakai mandi hujan segala!" seru ibu tirinya itu.

Ana tak pedulikan omongan mereka, dia dengan berlari masuk ke rumah menuju kamarnya.Tak mau hujan membuatnya sakit. Bisa besar kepala pria itu jika dirinya sakit.

Setelah mengganti bajunya, Ana langsung mengambil undangan yang telah tercetak. Kembali dadanya terasa sesak membaca tulisan di undangan itu.

Ana berjalan keluar kamar menuju dapur. Dia lalu membuang undangan ke tong sampah. Ayu yang ingin mengambil air minum melihat itu lalu mendekati kakaknya.

"Apa yang Kakak buang itu?" tanya Ayu dengan kaki yang terus melangkah menuju tong sampah. Melihat undangan yang terbuang itu, adiknya itu tertawa.

"Sudah aku katakan jangan percaya pada pria. Kakak aja yang kebucinan, mau-maunya membuang uang buat pria!" seru Ayu.

Ana terdiam mendengar ucapan dari Ayu. Kata-katanya itu seolah mengisyaratkan bahwa dia tahu sesuatu tentang Erik.

"Apa kamu tau tentang perselingkuhan yang Mas Erik lakukan?" tanya Ana.

"Tentu saja," jawab Ayu singkat.

"Apakah Kakak mengenal wanita itu?" tanya Ana lagi.

"Sangat mengenalnya!" seru Ayu.

"Katakan siapa wanita itu, Dek?" tanya Ana.

Siap tak siap dia harus siap menghadapi semua ini. Dengan dia menangis, keadaan tak akan berubah.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!