NovelToon NovelToon

Even If I Meet You Again

Prologue : Pertemuan & Takdir

Suara gaduh yang terbit di balik kamar sang gadis kini telah memecah kehingan yang sunyi malam itu. Sang Ibu yang tengah berkutat dengan alat makannnya mulai berteriak dengan kesal dan mempertanyakan apa yang sedang di lakukan Putri tercintanya saat ini.

“Naira! Kamu ini anak gadis bukan sih? Kamu ini kesurupan atau kenapa?!” omel sang Ibunda sembari menyiapkan hidangan makan malamnya di ruang makan. Ia tampak mencibir kegaduhan tak jelas yang disebabkan oleh Putrinya pada malam hari.

Tak berselang lama usai mendengar omelan merdunya dari arah ruang makan, perempuan mungil itu pun terperanjat keluar dari kamarnya beserta barang bawaan yang penuh di tangannya. Gadis yang kerap di panggil Naira itu pun mulai mengikat tali sepatunya dengan terburu-buru di depan pintu. Raut wajahnya tampak terlihat seperti tengah mengkhawatirkan sesuatu.

“Ah aku ketiduran lagi. Malam ini aku akan belajar dengan giat di perpustakaan, Bun. Aku juga lupa ada sebagian tugas yang belum ku kerjakan, aku ikutan makan malamnya telat aja ya Bundaa!” tuturnya yang kelihatan benar-benar panik, melihat reaksinya yang terlihat tidak begitu tenang pun membuat sang Ibunda menghela nafasnya dan menggelengkan kepalanya beberapa kali. Sepertinya ia tahu masalah apa yang tengah di alami oleh Naira saat ini.

“Pasti telat lagi, hobi banget ya buat Stiv nungguin, kasian loh diaa~” ledeknya sembari menyimpan celemeknya di atas kursi kemudian menghampirinya dengan raut wajahnya yang terlihat kebingungan.

Ia meraih tas selempang sang Putri yang tergeletak sembarangan di atas lantai dengan niat untuk memberikan tas itu kepadanya, tapi keningnya pun mengernyit ketika merasakan bahwa tas yang ia raih benar-benar ringan dan tak memiliki berat apapun.

Jadi, “Kenapa buku tebal, ponsel, dan dompet itu tidak kamu simpan di dalamnya? Kalau begini, untuk apa kamu membawa tas, Naira~” Ibunya tampak tak habis pikir akan tingkah laku anaknya yang cukup absurd, sebenarnya ia setelat apa sih, sampai gadis itu terlihat benar-benar tidak fokus?

Entahlah, gadis itu bahkan sampai menepuk keningnya ketika ia menyadari bahwa dirinya melupakan hal itu, pantas saja ia merasa kerepotan untuk membawa segala barang bawaan yang penuh di tangannya karena kesibukannya sendiri. Tak berselang lama, usai memasukkan barang bawaannya ke dalam tas selempang imutnya, ia pun berpamitan dan berlari meninggalkan pekarangan rumahnya dengan terbirit-birit, tak lupa ditemani kata-kata perpisahan sebagai akhir dari percakapan mereka.

Dengan suara lembutnya ia berkata, “Selamat tingga Bundal!” yang kini terucap di bibir manisnya.

Oh! Apa ini hanya firasat seorang Ibu? Kenapa rasanya Putri satu-satunya itu seolah akan pergi dan tak akan pernah kembali lagi?

Entahlah.

...***...

Kafe, 07.00 PM

Dering ponsel tampak berbunyi begitu kencang hingga memekakkan telinga semua orang. Teman-temannya yang tengah duduk dan berbincang di sekitarnya pun pada akhirnya mulai menoleh untuk mengalihkan perhatian mereka ke padanya, mereka pun bertanya. “Siapa itu? Ana ya?” tanya salah satu temannya bersamaan sedikit tatapan jahil yang begitu jelas di wajahnya.

“Bukan, Ibu.” jawab Laki-laki itu dengan singkat, mereka pun mulai tertawa ketika mendapati penuturannya yang cukup diluar dugaan.

Mereka pikir  seseorang yang tengah menghubunginya pada malam hari begini adalah Marianna si cewek yang judes itu, bahkan karena gadis itu terlihat begitu protective kepadanya membuat orang-orang sempat berfikir bahwa mereka berdua sebenarnya sedang berkencan. Walaupun pada kenyataannya hubungan mereka tidak begitu.

Huft..

Dasar otak dangkal.

“Lho kemana?” heran mereka ketika sosoknya yang mulai berpaling dan pergi meninggalkan tempatnya. Pada dasarnya Oliver hanya enggan menjadi bahan olokan teman-temannya, pada akhirnya Laki-laki itu memilih bangkit dan menjauh untuk segera mengangkat teleponnya tanpa merasa terganggu akan kekacauan temannya.

Drrrt.. drrtt

“Dimana kamu?! Keluyuran kayak anak nakal, Marrianna terluka tahu! Disuruh jagain malah di biarin sendirian! Kamu gimana sih? Berapa kali Mama bilang, Halstead Group itu bagus untuk kemajuan perusahaan kita, sekali aja kamu bisa ngga, ikutin kemauan Mama?!”

Bukan keramah tamahan yang ia terima ketika telepon itu bersuara. Melainkan hanya sebuah amarah yang meluap karena sang Putra begitu banyak mengabaikan apa yang menjadi keinginan Ibunya sejak lama.

Tapi…

Ah.. menyebalkan.

“Ma, aku bukan kakaknya Ana. Bukan juga pacarnya Ana, aku gabisa jagain dia 24 jam! Kenapa Ana terluka itu jadi salah Oliver?!” tanya Pria itu bernada kesal.

Ah, benar-benar deh, sang Ibu semakin murka ketika mendapati jawabannya yang terdengar seperti acuh tak acuh begitu.

“Tapi Ana kecelakaan di perjalanan waktu mau ke rumah kamu! Dia bawa kotak cake buat rayain ulang tahun kamu, tapi kamu gak ada disana. Mau di taruh di mana muka Mama?! Ana luka tertusuk pisau karena di rampok dijalan! Aduh, Oliv…” rutuk suara wanita di balik telepon. Wanita itu tampak begitu kesal, bersamaan itu kedua netra violet yang tegas bak elangnya itu kini bergetar dengan hebat.

Hah?

Ana di rampok gara-gara pulang dari apartemen?

“Argh okai, okai aku ke rumah sakit sekarang. Tolong Share location… baik-baik aku akan segera sampai.” Wajahnya tampak begitu khawatir ketika memikirkan Marrianna yang terluka karenanya, bersamaan itu dengan segera ia bergegas menghampiri teman-temannya kemudian meraih kunci mobil yang ia taruh di atas meja.

Tanpa sepatah kata maupun ucapan pamit yang ia katakan kepada teman-temannya, dia pun bergegas menaiki mobilnya dan pergi tanpa memperdulikan teriakan mereka yang mulai menuntut penjelasan kepadanya.

“Padahal kami disini karena hari ini ulang tahun mu Oliv!!!” Setidaknya, itulah alasan mereka sampai protes seperti itu.

Karena hari ini, mereka tengah mencoba merayakan hari lahir yang teramat spesial bagi Oliver Blaise Scalton yang malah pergi tanpa mengatakan apapun kepada mereka.

...***...

Ini bahkan sudah hampir setengah jalan di perjalanan mereka yang mencoba untuk pergi ke perpustakaan, dengan perasaan bersalah Pria yang sedang berjalan bersamanya pun memohon maaf karena tak bisa melanjutkan perjalanan mereka lagi kesana.

“Karena ini benar-benar mendadak, Ibu ku lagi-lagi membuat keributan.. ah. Aku minta maaf aku akan segera pulang, jika tidak Ayah-” Pria itu tampak gelagapan untuk menjelaskan situasi keluarganya yang sedang tidak baik.

Namun Naira yang penuh pengertian hanya bisa mengangguk dan menepuk bahu Pria itu beberapa kali untuk menguatkan hati sang empu. Ia telah mengerti karena mereka sebenarnya telah berteman dengan baik sejak kecil.

“It’s Okay Stiv, aku pergi sendiri aja. Ini udah tanggung, besok juga minggu. Kemungkinan aku mau belajar sampai larut malam disana.. kalo butuh apa-apa call aja oke? Sekarang pulang sana!!” serunya sembari mebalikkan badan Pria itu untuk segera menyuruhnya pergi sekarang juga.

Dengan segera Pria itu pun berlari meninggalkannya, ini sungguh disayangkan. Tapi apa boleh buat, ia pun menoleh dan berteriak kepadanya. “Sorry Nai! Besok aja kita ngedate Oke?!” tukasnya yang berhasil mendapatkan tatapan sebal darinya.

Huft, ia berpikir ogah untuk pergi berkencan dengannya. Lagi pula Stevhane adalah sesosok sahabat dan juga kakak yang baik bagi Naira. Gadis itu tak pernah memandangnya lebih dari apapun.

“Huh, belajar sendirian. Kayaknya sepi deh.” keluh perempuan itu dengan ekspresi wajah yang tampak lelah dan sedikit murung, bibirnya sedikit mengerucut dengan netra birunya yang terlihat sendu.

Sembari merapikan rambutnya yang terurai dengan indah, ia mulai menapakkan kakinya ke jalan raya setelah menunggu pemberhentian lampu merah dari sebelumnya.

Jauh pada mata memandang, sesosok netra violet di balik mobil yang tengah melaju dengan terburu-buru kini mulai bertatapan mata dengannya. Pandangan mereka pun bertemu, saat menatap mata gadis yang tak begitu asing untuknya, sejenak Laki-laki itu mulai merasa rindu akan sesuatu yang telah lama hilang di benaknya.

Hatinya berkata, “Itu, kamu.” Bersamaan itu semua, sorot cahaya lampu terbit menyilaukan matanya hingga mulai membuat sang gadis itu tersentak dan menghentikan langkahnya sejenak. Mata birunya kini membulat besar, wajahnya pun tampak memucat.

Sesaat ia pun bersuara dengan nada bicaranya yang terdengar gemetaran, “Ah… Ya Tuhan. Mengingat apa yang kumiliki hanyalah Ibuku, seharusnya tadi..”

“... Aku menikmati makan malam saja dengannya.” tukasnya bersamaan pemandangan di sekitarnya yang mulai menggelap.

...-...

...-...

...[Even If I Meet You Again]...

Chapter 1 : Kenangan Yang Hilang

Nuansa putih dengan dekorasi yang minimalis merupakan deskripsi yang tepat untuk ruang kerja seorang dokter. Hawa dingin yang tak biasa bersamaan ribuan pertanyaan yang selalu sama terucap, Oliver sangatlah benci melakukan itu semua.

Tepatnya, hari ini Pria itu tengah melakukan Control Checkup seperti biasanya, persis seperti satu bulan terakhir untuk menerima obat peringan rasa sakitnya yang luar biasa di area kepalanya.

Huft.. 2 tahun bahkan telah berlalu.. tapi aku tidak tahu kenapa, rasa sakit ini tak juga kunjung menghilang.

“Apakah anda bisa fokus, tuan Scalton?” tanya Pria paruh baya itu kepadanya. Ia mendapati Oliver yang sibuk melamun dengan pikirannya yang kosong di depannya.

Pria itu tampaknya selalu saja merasa jenuh tiap kali melakukan konsultasi seperti ini di setiap bulan. Tapi mau bagaimana lagi, pengobatan ini tidak pernah memberikan efek kemajuan apapun, rasa sakitnya tak pernah hilang maupun ingatannya yang tak pernah kembali.

“Dok. Huh, bisa kah anda hanya mengirimkan obatnya ke rumah? Aku benar-benar benci dengan tempat ini, apa anda mengerti.. rumah sakit adalah tempat yang mengerikan untuk saya.” keluh pemuda itu kepadanya. Sang Dokter hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya, ia hanya merasa tak habis pikir akan responnya yang teramat ketus.

“Saya tidak bisa hidup dengan memakan gaji buta, Tuan Scalton. Nyonya Scalton telah membayar gaji saya tuntas dari tahun ke tahun. Saya harap anda mau bekerja sama untuk penyembuhan anda sendiri-” tuturnya bersamaan tatapan seriusnya. Tapi pemuda pembangkang itu hanya bisa mengoceh dan mengkritiknya dengan datar.

“Anda kan Dokter Pribadi keluarga saya, seharusnya anda yang datang ke rumah saya. Saya juga tidak punya banyak waktu untuk melakukan hal yang tidak berguna seperti ini.” sebalnya hingga membangkitkan diri untuk pergi meninggalkan tempat itu.

Namun tampaknya ujaran sang Dokter yang tiba-tiba kini berhasil mematahkan langkahnya bersamaan mulut pedasnya yang kini terbungkam dengan rapat.

“Tuan Scalton, anda bukanlah kakek tua. Anda tak memiliki rasa malu hingga menyuruh kakek tua ini mendatangi rumah anda? Haruskah saya konfirmasi ulang keinginan anda ini kepada Nyonya Scalton? Jika dengan itu anda mau rutin melakukan pengobatan dengan benar, saya tidak masalah.” tukasnya yang malah membuat Pria itu gemetaran setengah mati.

Jdarrr!

Sebenarnya dia ini Dokter bukan sih. Tapi mau bagaimanapun dia adalah antek-antek keluarga Ibu..

Yah, apapun itu asal jangan membawa nama ibunya. Karena itu berbahaya, bisa-bisa ia hidup dengan penuh amukan seperti sebelumnya. Sebenarnya ia membenci rumah sakit bukan tanpa alsan, karena suatu hari. Yang pertama kali ia lihat setelah terbangun dari koma adalah langit-langit berwarna putih yang begitu asing untuknya.

Kepalanya tampak nyeri dan berdengung dengan kencang, sekujur tubuhnya yang terasa sakit bahkan terkadang membuat dirinya merasa lebih baik untuk mati dari pada hidup, dan juga dirinya yang hidup tanpa tau siapa jati dirinya sendiri.

Oliver Blaise Scalton, adalah seorang Pria yang hidup tanpa mengingat kenangan maupun ingatan berharga di dirinya. Saat pertama kalinya ia membuka mata dengan nuansa atap-atap rumah sakit yang polos, ia bahkan tak tahu siapa mereka yang menangis karena mengasihani kondisinya yang begitu mengenaskan. Sekiranya, tempat itu adalah tempat yang mengerikan bagi Oliver.

Karena dia terbangun sendirian disana tanpa sebuah ingatan apapun.

Mereka yang menangis dan mengaku sebagai orangtuanya, nyatanya begitu kejam hingga menyuruhnya kembali bersekolah setelah dirinya menjalani perawatan intensif selama satu minggu penuh. Ia yang tak sanggup beradaptasi dengan lingkungan yang asing untuknya merasa bahwa ini semua menyiksa batinnya.

Walaupun begitu bersamaan tekanan orangtuanya yang terlalu ambisius. Oliver meraih ujian dengan nilai yang selalu terbaik di sekolahnya. Apa yang di katakan orangtuanya setelah Pria itu lulus sekolah dengan membanggakan hanyalah kalimat sampah yang menjijikan bagi pemuda itu.

Mereka bilang, “Ternyata kepintaranmu tidak menipis Oliv. Mama sempat khawatir karena kepala mu bermasalah sejak kecelakaan.” Oliver sempat berpikir akan satu hal, apakah dia tidak mengkhawatirkan kondisi Putranya yang terluka karena kecelakaan?

Tidak, tampaknya orangtua Oliver hanya khawatir bahwa Putra sulungnya yang sakit-sakitan akan menjadi aib bagi keluarga dan nama baik perusahaan karena tidak dapat mencapai apa yang menjadi ekspektasi mereka.

Tentunya, walaupun kita hilang ingatan. Konon katanya kepintaran dan kemampuan mereka tidak akan pernah menghilang dari sang penderitanya, begitu pula kebiasaan sikap dan kepribadiannya, itu masih saja sama.

Tapi sekalipun ingatan menghilang, tentunya itu dapat merubah kepribadian seseorang di seiring berjalannya waktu, bukan?

Tapi kenapa.. aku tak bisa mengendalikan diriku sendiri? Aku tak tahu siapa diriku.

Dan aku benci akan hal itu.

Usai kelulusan pun Oliver langsung di daftarkan pada Universitas ternama untuk menimba ilmu disana, sungguh tak di rasa-rasa kini ia telah menjalani kuliah semester 2 di sana. Ia yang terlalu bekerja keras dan sering kali merasa kelelahan berlebihan tak jarang bila membuat pemuda itu berteriak keras untuk menahan gejolak nyeri dikepalanya dan juga seringkali pingsan karena tak kuasa menahan rasa sakit yang luar biasa itu di kepalanya.

“Aku memang menerima kemewahan yang luar biasa setelah hidup sebagai seseorang yang kehilangan ingatannya. Mereka yang bersimpati kepadaku seolah menganggap diriku adalah Pria yang paling menyedihkan. Dan, tiap kali memperhatikan sikap mereka yang memperlakukan ku sebagai Putranya membuatku berfikir akan satu hal, apakah mereka benar-benar orangtua ku?” pria itu hanya bisa tertawa renyah ketika memikirkan semua ungkapan itu dibenaknya.

Melihat kondisinya yang tidak baik karena dirinya terlalu memaksakan juga membuat sang dokter memberikan saran yang sama untuk berhenti dari kegiatan-kegiatannya sejenak, ia menyarankan untuk beristirahat dan mengambil cuti kuliah agar Pria itu dapat melewati pemulihan dan melalui hari-harinya dengan melakukan berbagai hal yang baru.

Dokter itu bilang, obat-obatnya akan lebih efektif bila di minum bersamaan istirahatnya yang cukup. Melakukan banyak hal baru juga atau melakukan beberapa kegiatan lama akan membuat beberapa ingatan lama kembali kepadanya. Sayangnya Oliver cukup keras kepala ketika diberi saran.

Padahal, terkadang hiburan dan liburan juga dibutuhkan untuk kesembuhan seseorang. Berbeda dengannya, ia hanya menjalani kesehariannya dengan belajar dan belajar karena desakan orang yang mereka sebut sebagai Orangtua.

Aku juga tidak tahu kenapa kondisiku bisa sampai seperti ini, mereka bilang dua tahun yang lalu aku terlibat suatu kecelakaan.

Tapi demi keamanan mentalku, mereka sepakat untuk tidak pernah mengungkit kejadian itu lagi.

Ibu bilang, sebaiknya saat ini aku mengukir berbagai kenangan yang lebih baik saja dari pada membawa ingatan buruk di masa lalu yang akan mempengaruhi kualitasku.

Benar-benar..

Menjijikan.

Oliver Blaise Scalton tampak muak dengan makna hidupnya. Maka, dari pada hidup di bawah tekanan itu selamanya. Ia memilih berjuang memaksakan dirinya hingga mencapai batas terburuknya, dengan berharap kondisinya semakin memburuk dan ia akan cepat mati sebagai anak yang terlalu di tuntut keras oleh orangtua nya.

Setidaknya itu adalah alasan kecil tentangnya yang tidak pernah menerima saran dari Dokter untuk mengistirahatkan dirinya sejenak, mungkin ini adalah balas dendam terbaik untuk mereka.

Tapi sayangnya itu tidak akan terjadi, hahaha dokter sialan itu. Kenapa saat sampai ke apartemenku, dia yang kusebut 'Ibu' sedang duduk manis dan menungguku dengan senyuman menjijikannya di meja makan?

Ugh..

“Oliv, kenapa raut wajahmu begitu? Kamu tidak senang dengan kunjungan Mama? Ah Papa hari ini sayang sekali tidak bisa mampir karena urusan bisnis.” ucap wanita itu bernada ramah. Ia adalah Nyonya Francessya Blaise Scalton. Ibu kandung Oliver.

Apa aku terlihat peduli dengan kehadiran kalian berdua?

Yah, tak ada yang bisa menebak dengan kehadirannya yang muncul tiba-tiba. Melihat tumpukkan makanan yang terhidang rapih di atas meja, pemuda itu sudah bisa menebaknya bahwa sang Ibu yang tidak pernah menyentuh alat dapur itu tak mungkin dengan sukarela memasak sebuah hidangan yang hangat untuknya.

Seperti biasa, dia pasti melakukan drive makanan lagi.

Entah kenapa ini membuatku mual..

Biar kutebak alasan wanita itu muncul tiba-tiba di hari setelah menemui Dokter itu. Ini pasti karena..

Baru saja ia memikirkan hal yang terlintas dibenaknya, tapi sesuai dugaannya. Wanita itu bersuara persis dengan apa yang ia bayangkan sebelumnya.

Sayup-sayup dengan wajahnya yang khawatir, Francessya pun bersuara.“Ku dengar kamu terlalu memaksakan diri akhir-akhir ini. Mama tahu kamu sangat ambisius Oliv, tapi untuk kali ini tidak masalah. Lakukanlah istirahat yang wajar, ambil cuti kuliah selama satu tahun saja oke? Mama hanya takut pewaris satu-satunya dikeluarga kita kenapa-kenapa. Mama juga tidak keberatan walaupun Olive lulus lebih terlambat satu tahun.” tuturnya sembari mengusap pundak sang pemuda dengan hangat.

Ia juga mendorong Putranya untuk segera duduk di kursinya agar dapat menikmati hidangan yang telah ia sajikan di atas meja. Tapi Pria itu masih saja tak berkutik. Alih-alih menjawab, respon dinginnya sangatlah menyebalkan bagi Francessya. Mau lupa ingatan atau tidak, sifat mengabaikannya masih saja sama seperti dulu.

“Jika Oliv benci beristirahat di perkotaan yang bising seperti ini, Oliv boleh pulang kerumah kita. Atau jika ingin menyendiri, Olive bisa pergi ke Villa keluarga saja. Bagaimana?” pintanya dengan nada memaksa.

Oh- ini adalah pilihan yang sulit diantara harus menolaknya ataupun menerimanya.

Lihatlah, senyuman wanita itu bahkan benar-benar lembut selembut kapas. Tapi di saat yang bersamaan, ibuku hanyalah seorang iblis berwajah malaikat.

Ia tidak tahu dengan apa yang akan terjadi jika ia menolak permintaan lembutnya. Mungkinkah seisi apartemen ini akan berubah menjadi kapal pecah?

Terakhir kali yang ia lakukan setelah menolak keinginannya saja, apa yang terjadi benar-benar mengerikan. Ia berakhir di ruang hukuman dengan cambukan dan luka yang mengenaskan di punggungnya.

Apakah itu merupakan hal yang wajar terjadi di dalam sebuah keluarga yang sempurna?

Aku tidak tahu sistem pendidikan yang dilakukan di keluarga ini seperti apa, tapi jika harus memilih antara berlibur di rumah utama keluarga Scalton yang penuh dengan orang asing untukku, ataupun apartemen bising di tengah perkotaan..

Huft..

“Baiklah, aku akan beristirahat di Villa. Dengan satu syarat, jangan ada siapapun yang menggangguku disana.” pintanya bersamaan senyuman merekah yang terbit di wajah tampannya.

Setidaknya keputusan ini lebih baik. Tentunya dengan hati yang terbuka, sang Ibu menerima keinginannya dengan lapang dada.

Ini merupakan drama yang menjengkelkan, alasan aku ingin cepat mati karena hidup di antara kekangan mereka tak pernah sekalipun membuatku merasa hidup.

Itulah alasan ku menolak saran dokter itu berulang kali, tapi benar-benar sialan. Apa dia tak mengerti maksudku?

Kenapa dia malah memberitahu ibuku?! Baginya, aku bukanlah Putra yang dikhawatirkan. Melainkan hanya aset berharga yang mereka takuti akan rusak di seiringnya berjalannya waktu.

Mengartikan apa yang kulihat dari sudut pandangku sendiri, aku dulu memiliki seorang kakak. Tapi dia mati bunuh diri, semenjak kepergian kakak ku.

...Kedua orangtua ku, menjadi terobsesi kepadaku....

Satu hal yang sebenarnya tidak pernah salah diingatanku, tampaknya sejak dulu aku memang tidak pernah akur dengan keluarga ku sendiri.

Mungkin, ini adalah satu-satunya fakta yang aku ketahui tentang diriku sendiri.

Chapter 2 : Pesona Gadis Misterius

Oliver telah menyiapkan tekadnya yang bulat dan memilih mengambil keputusan untuk melakukan rehat di Villa Pribadi milik keluarganya, sebuah Villa mewah yang berletak di daerah terpencil karena tempat itu berlokasi di wilayah kekuasaan Scalton.

Tapi Oliver sendiri merasa tidak masalah karena itu menjadi poin yang cukup menenangkan untuknya yang benci akan keramaian. Dan dengan secara tidak langsung, Oliver dapat melarikan diri dari urusan duniawinya dan beristirahat dengan tenang di sana.

Mungkin ini akan menjadi tempat persembunyian yang bagus untuknya. Lagi pula, kesendirian adalah bentuk yang luar biasa bagi seorang Oliver yang tidak mengingat kenangan apapun di hidupnya.

Sayangnya semua ini benar-benar tak sesuai dengan ekpektasinya, sang Ibu saat ini malah menempatkan seorang mata-mata untuk mengawasinya hingga satu tahun kedepan. Yaitu seorang wanita berusia 30 tahun yang diceritakan pernah menjadi pengasuhnya saat Oliver masih kecil.

“Olive, Mama harap kamu mengerti. Ini Bibi Lisbeth yang akan merawatmu di sana, ingat walaupun kamu jauh dari jangkauan Mama. Mama harap kamu makan dengan baik, obatmu di minum dengan rutin, dan jangan biarkan otakmu membeku karena dibiarkan berhenti belajar, sesekali kamu harus belajar.” pesannya sembari memeluk erat sang Putra di depan mobil yang terparkir dengan rapih di halaman rumahnya.

Seperti biasa, dibalik sematan kata-kata merdu yang mengkhawatirkan sosoknya, ada juga kutipan ancaman yang tak memperbolehkan dirinya untuk benar-benar bernafas dengan lega.

Walaupun begitu, nyonya Scalton tampak memeluknya dengan raut wajah yang merasa tak rela akan kehilangan Putranya untuk waktu yang lama.

Huft..

Tak sia-sia aku merasa heran.. tak mungkin Ibu akan melepaskan aku begitu saja..

“Lalu... ah.” Pria itu terpaku ketika memperhatikan tumpukan buku yang tertata dengan rapi di dalam kardus. Ia pikir.. “Jadi itu fungsinya.” gumamnya dengan tawaan pasrah.

Itu.. benar-benar ruang lingkup yang tidak pernah berubah..

Bahkan ketika aku pergi berlibur.

“Ugh, baik hentikan Ibu. Saya hanya pergi ke villa, kenapa anda bertingkah seolah akan kehilangan saya selamanya?” tuturnya bernada dingin, jemari tangannya pun kini terangkat untuk melepaskan pelukannya dengan paksa.

“Olive! Mama hanya-” ia berencana mengatakan sesuatu lagi untuknya, namun dengan segera Pria itu berpaling tanpa memberinya kesempatan sedikit pun.

“Saya mengerti.” ujarnya bernada datar. Lagi pula, ia pikir mereka pasti akan tetap datang ke Villa itu kapanpun dengan sesuka hati mereka. Karena ucapan mereka tak mudah untuk dipercaya.

Contohnya saja usai mengurus cuti kuliahnya hingga 1 tahun ke depan, Oliver akan di perbolehkan pergi ke Villa Scalte setelah memenuhi makan malam terakhirnya di rumah utama keluarga Scalton. Mendengar undangan makan malam saja telah membuat Oliver berhenti mengharapkan bahwa ia akan terbebas dari kekangan keluarganya, tapi benar sesuai dugaannya. Wanita itu kini menyuruhnya pergi bersama pengasuh yang tidak pernah ia ingat di hidupnya, Listbeth Deborgia.

Jadi.. tak ada jaminan yang pasti bahwa mereka takkan mengganggu istirahat ku di Villa nanti.

“Ibu jangan khawatir, saya hanya pergi berlibur untuk kesembuhan saya sendiri.” pesan sang Putra beserta senyuman merekahnya seolah menunjukkan bahwa drinya adalah seseorang yang selalu berwajah ceria di setiap saat.

Kenyataannya itu hanya bentuk kamuflase terbaiknya agar bisa terhindar dari berbagai masalah.

Pada akhirnya Oliver pun telah bersiap untuk pergi meninggalkan tempat ini dengan mobilnya, barang bawaan yang ia butuhkan pun telah tertata dengan rapi di dalam bagasinya.

Tapi anehnya kini ada satu hal yang mengganggu pikirannya..

“Siapa perempuan itu?” ketika berada di kursi penumpang, ia tampak heran memperhatikan seornag wanita berkulit putih yang tengah berdiri di samping Bibi Listbeth yang sibuk mengatur barang bawaannya di mobil yang berbeda. Sekelibat pikiran aneh pun muncul di benaknya.

Mungkinkah ia membawa Putrinya karena tidak sanggup mengurus Villa sebesar itu sendirian? Mungkin saja memang begitu.

Jadi sepertinya itu tidak masalah selagi mereka tidak mengganggu keberadaan Oliver yang ingin beristirahat.

Lama terhanyut dalam lamunannya, ia masih saja memperhatikan gadis yang setia menunggu sang Bibi di sampingnya, jika di perhatikan dengan seksama, ia tampak cantik dan bersinar, tatapannya yang sayu terlihat lembut seperti embun di pagi hari. Kesan yang ia dapati tentangnya sangatlah nyaman dan juga hangat seperti langit pagi yang terpapar sinar matahari.

Tapi..

“Tidak, dia juga terlihat manis.” ungkapnya tiba-tiba. Mata permata yang gadis itu miliki tampak berkilauan, oh ini cukup aneh. Kenapa selama ini Oliver tidak pernah bertemu dengan perempuan itu di kediaman Scalton?

Padahal perempuan itu adalah Putri dari Bibinya yang selalu setia bekerja di kediaman Scalton dari tahun ke tahun.

Mungkinkah selama ini dia tidak tinggal bersama Ibunya? Yah, mungkin saja seperti itu.

Tidak, mungkin saja kami pernah bertemu. Tapi aku tak mengingatnya karena kondisi kepalaku yang bermasalah.

Anehnya ketika Oliver memandangi perempuan itu dengan lekat, entah kenapa membuat hati kecilnya merasa nyaman, ia bahkan sampai menopang dagunya demi memperhatikan keindahan di setiap inci paras cantiknya. Surai hitam bercampur keabuan itu juga tampak berkilauan ketika terpantul akan cahaya matahari yang hangat, dan..

Bohong jika ia tak merasa kagum kepadanya, tapi..

“?!!” sekilas pipi Pria itu merona ketika mendapati perempuan itu yang menoleh ke arahnya. Tanpa di sengaja, tatapan mereka pun bertemu, entah kenapa rasanya begitu Dejavu seolah mereka pernah bertatapan sedalam itu sebelumnya.

Namun dengan sifat Oliver yang gengsian, dengan segera Pria itu mengalihkan pandangannya ke arah lain untuk menunjukkan bahwa ia hanya tak sengaja melihatnya. Baginya ini adalah hal yang memalukan karena ia telah tertangkap basah saat sedang memperhatikan seseorang diam-diam.

Ugh.. kenapa harus ketahuan..

Padahal wajahnya yang sedang melamun benar-benar terlihat cantik.

!!?

Eh?

Ugh Oliver ayolah, hentikan!

Tapi..

Apa ini.. rasanya aneh?

Kenapa rasanya kepala Pria itu seakan berlubang karena tatapan seseorang yang begitu lekat ketika memperhatikannya dari samping? Sepertinya Oliver tidak salah mengira. Saat melihat lewat sudut matanya di balik jendela mobil, Perempuan itu masih saja diam dan menatapnya dengan tatapan yang serius. Tatapan yang seolah hanya selalu tertuju ke arahnya.

Apakah dia tidak berkedip? Kenapa dia masih diam di tempat itu dan menatap ku sampai sebegitunya?

Apa dia marah karena aku memperhatikannya tanpa meminta izin?

Oh.. suasananya cukup aneh, kenapa rasanya begitu tak nyaman?

Dengan terpaksa Oliver pun menoleh dan kembali memperhatikan perempuan itu secara gamblang, dan benar saja. Wajah tak berekspresi itu masih saja setia untuk menatap keberadaannya dengan datar. Dia masih saja diam di tempat itu tanpa mengeluarkan sepatah kata apapun kepadanya.

Deg..

Apa ini hanya perasaan ku? Kenapa rasanya jadi merinding?

Tatapan datarnya secara perlahan pun berubah menjadi tatapan yang tajam. Ia menatapnya seolah akan menelan dirinya bulat-bulat, walaupun dia terlihat cantik. Tapi entah kenapa lama-lama dia juga akan terlihat cukup mengerikan bukan?

Serius kah bahwa selama satu tahun ke depan, ia akan tinggal bersama perempuan aneh itu di tempat yang sama dengannya? Sungguh, perempuan itu terlihat cukup aneh di matanya.

Deg.. deg..

Sampai kapan dia akan menatapku seperti itu..

Anu..

Apa ada yang ingin ia sampaikan kepada ku?

Beruntungnya saat Oliver merasa tak nyaman akan tatapan matanya yang tajam, sang sopir pun tiba memasuki mobilnya untuk segera mengemudikan kendaraannya dan pergi meninggalkan pekarangan rumah keluarga Scalton.

Ah benar juga, karena orangtuanya khawatir saat di perjalanan nanti sakit kepalanya akan kambuh tiba-tiba, maka dari itu sang Ibu menyarankan dirinya untuk pergi bersama sopir pribadinya agar setidaknya dapat mengurangi persentase kecelakaan di perjalanannya sebanyak mungkin. Oliver juga tak merasa keberatan akan keputusan itu. Karena jika ia menolaknya, yang tersisa diantara mereka hanyalah perdebatan yang tidak akan pernah berakhir.

Pada akhirnya usai mobil itu melaju semakin jauh dari pandangan sang Ibu yang masih saja berdiri di halaman rumahnya. Hari pun berlalu dengan melewati perjalanan yang cukup panjang dan juga melelahkan untuknya.

Dan harapan terbesar ku hanyalah..

Berharap bahwa tempat yang akan kudatangi itu benar-benr sesuai dengan apa yang aku bayangkan..

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!