Pagi itu, burung-burung berkicau lebih berisik dari biasanya. Kopi hitam yang baru saja aku seduh terletak di atas meja seorang polisi sekaligus psikiater. Aku adalah polisi dan psikiater itu, namaku Fikri. Gelarku, Dr. Ahmad Fikriyansyah, Sp.KJ. Aku juga seorang perwira di kepolisian dengan pangkat AKP.
Aku duduk bersandar di kursi kerjaku, sambil membaca berkas-berkas kriminal yang pernah menjadi pasienku. Ada satu berkas yang sangat menarik. Sudah ada dua orang psikiater yang menangani kasus ini, namun semuanya berakhir buntu. Kasus ini benar-benar membuatku penasaran. Seorang gadis berumur 18 tahun membunuh adik tirinya sendiri. Motifnya masih belum terkuak, tetapi diketahui gadis ini memiliki riwayat penyakit kepribadian ambang atau biasa disebut borderline.
Detik jam dinding di ruangan ini berdetak lebih kencang dari biasanya. Aku menanti surat tugas dari atasanku untuk segera berangkat menuju RSJ di Kota Batara. Tadi malam, atasanku menelpon bahwa kasus ini harus diserahkan kepadaku.
Aku sudah pamit kepada istriku untuk pergi beberapa bulan untuk urusan pekerjaan. Walaupun istriku merasa berat melepaskanku, dia akhirnya mengizinkanku pergi karena seorang polisi dan juga dokter harus bersikap profesional.
Telepon genggamku berdering. Aku melihatnya, ada nama AKBP Sunaryo, atasanku.
"Pagi, Pak."
"Pagi, surat tugas sudah dikirimkan dalam bentuk PDF. Cek dan segera berangkat, Dr. Fikri. Kasus ini harus selesai dalam jangka waktu enam bulan."
"Baik, Pak. Saya akan segera berangkat."
Aku segera membuka email dan mendownload surat tugas tersebut. Setelah memeriksanya dengan teliti, aku mulai bersiap-siap untuk perjalanan ke RSJ di Kota Batara. Barang-barang sudah aku kemas sejak semalam, jadi aku hanya perlu mengambil koper dan berangkat.
Perjalanan ke Kota Batara memakan waktu sekitar enam jam. Sesampainya di sana, aku langsung menuju RSJ yang menjadi tempat penanganan kasus ini. RSJ Kota Batara adalah rumah sakit jiwa terbesar di kota ini, dengan fasilitas yang cukup lengkap untuk menangani berbagai jenis gangguan kejiwaan.
Aku disambut oleh Dr. Irma Yuliani, M.Psi., Psikolog. Direktur RSJ Kota Batara. Dia menyambutku dengan hangat dan sikap ramah.
"Selamat datang, Dr. Fikri. Apakah perjalanannya menyenangkan?" tanya Dr. Irma basa-basi.
"Seperti biasa, Dr. Irma," kataku dengan senyuman di bibirku.
"Anda bisa beristirahat dulu, setelah itu aku akan menjelaskan mengenai latar belakang pasien," ucap Dr. Irma.
Aku segera menuju sebuah kamar untuk beristirahat, sambil membaca berkas dari gadis yang akan aku tangani. Namanya Fanny, seorang gadis berumur 18 tahun yang telah melakukan tindakan kriminal yang keji.
Setelah dua jam beristirahat, aku keluar dan menuju ruangan Dr. Irma. Beliau menyambutku dengan hangat dan segera menjelaskan mengenai latar belakang Fanny.
"Kasus ini memang sangat rumit. Gadis ini, namanya Fanny, sudah berada di sini selama enam bulan. Tidak ada kemajuan yang signifikan dalam penanganannya," kata Dr. Irma.
Dr. Irma mengajakku ke ruangan sel tempat Fanny berada. Gadis itu duduk di sudut ruangan, terlihat tenang tetapi ada sesuatu yang tersembunyi di balik mata tajamnya. Aku bisa merasakan ada sesuatu yang salah dari matanya. Tampak seperti dendam.
"Hati-hati, Dr. Fikri. Dia manipulatif," kata Dr. Irma.
Aku tersenyum kecil atas nasihat dari Dr. Irma. "Bolehkah aku masuk?" tanyaku.
"Silakan."
Aku masuk ke sel tempat Fanny dikurung. Wajah Fanny sangat anggun dan cantik, kulit tangannya sangat terawat, tidak ada bercak atau cacat sedikit pun. Gadis ini terlalu cantik untuk menjadi kriminal yang memiliki riwayat penyakit kejiwaan. Dia tidak tampak seperti seorang pembunuh.
Fanny menatapku dan tersenyum, senyum yang menghipnotis. Jika aku bertemu dengannya dalam kondisi normal, mungkin saja aku bisa jatuh hati pada pandangan pertama.
Dr. Irma melihatku dari luar, dia membawa anestesi yang sudah disiapkan di dalam sebuah jarum suntik, seandainya Fanny melakukan tindakan impulsif.
"Fanny, kan?" tanyaku.
Dia hanya diam dan tetap tersenyum memandangku.
"Aku Fikri, seorang psikiater yang ingin membantumu," kataku lagi ke arah Fanny yang masih tetap diam dan tersenyum.
"Membantuku?" tanyanya ke arahku.
Suaranya begitu lembut, membuat tubuhku merinding. Untuk pertama kalinya, aku gemetar karena menangani seorang kriminal. Ini tidak normal dan benar-benar membuat jantungku berdetak tidak karuan.
"Iya, membantumu. Aku ingin tahu sesuatu," ucapku gugup. Aku tetap berusaha tenang dan profesional di depan Fanny.
"Apa itu?" tanyanya ke arahku.
"Kenapa kamu membunuh adikmu?"
Fanny tiba-tiba tertawa dengan sangat keras. Aku sedikit kaget tetapi masih bisa mengendalikan diriku. Aku mundur selangkah untuk menjaga jarak, jika seandainya Fanny melakukan tindakan mengejutkan. Tiba-tiba dia menunjukku dengan jari telunjuknya.
"Kamu membantuku? Kamu? Kamu tidak akan bisa, bajingan!" teriaknya ke arahku penuh dengan kemarahan.
"Jujurlah pada perasaanmu, Fanny. Aku akan membantumu jika kamu mau bekerja sama," ucapku mencoba menenangkan amarahnya.
Perubahan perasaan hati secara intens. Sesuai isi berkas, dia adalah penderita BPD (Borderline Personality Disorder). Hingga lagi-lagi perubahan hatinya berubah, Fanny menangis tersedu-sedu, kemudian kembali marah dan berteriak.
"Aku cemburu dengan anak anjing itu! Reino selalu dekat dengannya! Sedangkan aku tidak dipedulikan olehnya! Sial, Sasya adalah anak anjing!" Dia menangis sembari memaki adik tirinya yang telah dia bunuh dengan keji.
Aku menatapnya dengan seksama, kemudian keluar dari sel dan kembali mengunci pintu sel itu.
"Bagaimana menurutmu, Dr. Fikri?" tanya Dr. Irma menunggu pendapatku.
"Aku belum bisa menyimpulkan," jawabku pendek.
Fanny berlari ke jeruji sel dan menggoyang-goyangkannya dengan sangat keras. Dia menatapku dan memohon kepadaku, "Aku mohon lepaskan aku, aku tidak bersalah," katanya diiringi dengan tangisan.
Aku menatap matanya, penuh dengan kesedihan dan penyesalan. Ada sesuatu yang belum bisa kujelaskan untuk sekarang.
"Cukup untuk hari ini, Dr. Irma. Mungkin mulai besok aku bisa bekerja sendiri," kataku ke arah Dr. Irma.
"Semoga saja Anda bisa menyelesaikan kasus ini, Dr. Fikri," kata Dr. Irma menyemangatiku.
"Terima kasih."
Aku pergi meninggalkan sel Fanny dan berjalan menjauh menuju ruangan kerjaku yang telah disiapkan oleh Dr. Irma. Menyiapkan sebuah rencana yang mungkin tidak disetujui, tapi aku akan mencobanya. Setelah selesai melakukan persiapan, aku menuju ke ruangan Dr. Irma.
Aku mengetuk pintu ruangannya dan izin masuk ke dalam ruangannya. "Dr. Irma, ada yang mau aku bicarakan," kataku dari luar ruangannya.
"Masuklah, Dr. Fikri," kata Dr. Irma.
Aku masuk ke dalam ruangan Dr. Irma dan mengungkapkan ideku, "Tempatkan aku di sel, tepat di sebelah sel Fanny. Buatkan jendela kecil yang bisa membuatku berkomunikasi dengan Fanny dari dalam sel," kataku.
Dr. Irma menatapku dengan tajam. "Maaf, itu tidak diizinkan."
Aku tahu pasti akan ada penolakan, tetapi aku tidak akan menyerah, karena aku harus mengobservasi Fanny dari dekat. Itu adalah salah satu solusinya.
Aku menghubungi kepolisian pusat Batara untuk meminta izin menggunakan sel di sebelah kamar Fanny. Awalnya mereka tidak mengizinkan, namun aku meyakinkan mereka bahwa kasus ini spesial dan butuh observasi spesial juga untuk menyelesaikannya, salah satunya adalah dengan ditempatkannya aku di sebelah kamar Fanny. Aku yakin ini adalah solusi bagi aku agar dapat mengenal Fanny lebih dekat.
Setelah mereka mengizinkan, sementara waktu Fanny dipindahkan ke sel lain. Aku memberi saran untuk memasang CCTV di kamarku dan juga di kamar Fanny, serta dibuatkan sebuah jendela kecil untuk memungkinkan komunikasi dengan Fanny sepanjang waktu. Jendela tersebut terbuat dari besi dengan beberapa palang besi untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.
Setelah persiapan selesai, aku meminta kepada seluruh petugas RSJ untuk merahasiakan identitasku dari media maupun keluarga korban yang berkunjung, karena di sini aku harus menyamar sebagai pasien juga.
Fanny dipindahkan kembali ke kamar lamanya. Dia nampak bingung dengan jendela yang tiba-tiba ada dan menghubungkan kamar kami. Dia menatapku dari balik jendela. "Apa maumu?" tanyanya tiba-tiba.
Aku hanya diam dan tidak bereaksi atas pertanyaannya.
"Aku ingin bertemu dengan Reino, adikku yang sangat kusayangi," ucapnya lagi.
Reino? Aku membaca di berkas Fanny, Reino adalah adik kandung dari Fanny. Mereka memiliki hubungan yang rumit dan baru dipertemukan ketika mereka dewasa.
Aku pun bereaksi atas pernyataannya. "Kenapa kamu ingin menemuinya?" tanyaku pada Fanny.
"Aku sangat merindukannya," jawabnya dengan wajah pilu.
Aku berdiri dan mendekat ke jendela, berbicara padanya dari dekat, kami saling berhadap-hadapan. "Kamu membunuh adiknya dan sekarang dengan santainya kamu bilang ingin menemui Reino," kataku tajam.
Fanny menggenggam jeruji jendela dengan keras lalu berteriak. "Sasya bukan adik Reino! Dia anak haram! Dia bukan anak ayahku!" Fanny berteriak tak terkendali.
Aku tersenyum tipis, sepertinya memang ada kecemburuan dari Fanny terhadap Sasya. Aku membaca di berkas, Reino dan Fanny memiliki ayah yang sama, sedangkan Sasya memiliki ayah yang berbeda. Namun, Reino dan Sasya memiliki ibu yang sama. Ditambah lagi, Fanny memiliki penyakit kejiwaan yang menambah rasa cemburu itu membesar di hatinya.
"Mungkin besok, aku akan membawa Reino ke sini," kataku mengakhiri percakapan.
Aku berjalan menjauh dari jendela dan segera mengambil telepon genggamku yang disembunyikan di bawah kasur. Aku menelepon salah satu rekan kerjaku yang bertugas di bagian humas, AKP Anggun Sasmi.
Aku memberitahukan kepada AKP Anggun untuk mencari seseorang bernama Reino yang tinggal di Kota Sazan, tempat tinggal Fanny dan Reino. Besok Reino harus datang ke RSJ Kota Batara untuk keperluan penyelidikan. AKP Anggun menyanggupi dan segera melakukan pekerjaannya.
Keesokan harinya, pagi hari, Reino tiba di RSJ Kota Batara. Dia datang bersama Bripda Kemal Pasha yang mengawalnya. Mereka sedang berada di ruang tunggu. Aku keluar dari sel masih menggunakan baju pasien dan menghampiri mereka.
Reino nampak bingung denganku. Wajar saja dia bingung, aku menggunakan baju pasien RSJ, bukan baju pegawai, polisi, ataupun baju dokter.
Aku mengangkat tanganku untuk mengajak Reino bersalaman. "Aku Dr. Fikri, seorang psikiater dan juga polisi yang menangani kasus kakakmu, Fanny," ucapku.
"Ah maaf, aku kira bapak pasien, ternyata bapak yang bertugas untuk menangani kasus Fanny," katanya dengan wajah canggung.
Aku tersenyum, lalu segera mengajak Reino menuju sel Fanny. Aku juga memberi tahu petugas untuk mengubah jam besok menjadi jam satu siang.
Sesampainya di depan sel, Reino menatap wajah Fanny dengan mata yang penuh kebencian dan dendam. Sebaliknya, Fanny menatap Reino dengan tatapan berseri-seri, tampak cinta di mata Fanny ke arah Reino.
Fanny menuju jeruji sel dan berbicara kepada Reino. "Aku merindukanmu Reino, aku benar-benar merindukanmu. Aku tidak membunuh Sasya, bukan aku pelakunya," kata Fanny meyakinkan Reino.
Reino tidak bergeming dan masih menatap Fanny dengan tatapan dendam. Kemudian Reino mengucapkan sesuatu yang mungkin menyakitkan bagi Fanny. "Sudahlah Fanny, kamu akan busuk di penjara," kata Reino kepada Fanny.
Fanny menangis. Reino pergi begitu saja meninggalkan Fanny. Aku mengejar Reino dan menghentikannya.
"Kenapa kamu menjauh darinya, Reino?" tanyaku.
"Jika kamu memang seorang psikiater, kamu seharusnya paham. Semua yang dia ucapkan itu dusta dan dia sangat manipulatif," ucap Reino dengan reaksi dingin.
Memang, penyakit kepribadian ambang sulit ditebak. Bahkan, penyakit ini belum ditemukan obatnya. Penyakit ini hanya bisa ditahan agar penderita tidak kambuh. Namun, jika penderita penyakit ini menerima tekanan yang luar biasa, dia akan kambuh dan melakukan tindakan impulsif. Aku harus hati-hati dalam mengambil keputusan. Jangan sampai aku termakan oleh permainan Fanny dan tergoda karena kecantikannya. Aku harus tetap tenang dan profesional sebagai polisi dan juga sebagai seorang psikiater.
"Aku paham, Reino. Aku sudah membaca berkasnya. Tetapi motif dari membunuh adikmu bukan hanya sekadar kecemburuan," ucapku.
Reino tampak marah. Wajahnya memerah dan dia berteriak ke arahku. "Karena dia bajingan! Jadi, Anda seorang psikiater membawaku ke sini hanya untuk bertemu dengan perempuan laknat itu!" teriak Reino mulai tak terkendali.
"Tenang Reino," kataku mencoba menenangkan Reino.
"Tenang katamu? Sialan! Aku ingin pulang sekarang! Kalian semua benar-benar sialan!" Reino marah ke arahku. Aku paham apa yang dia rasakan dan mungkin masuk akal jika dia marah kepadaku.
Akhirnya aku memerintahkan Bripda Kemal untuk mengantarnya pulang. Sebelum kepergiannya, Reino berkata memberikan pesan kepadaku. "Dia akan terlihat seperti cahaya. Ketika cahaya itu memudar, maka hanya ada lubang hitam, dan tak ada yang bisa lepas dari lubang hitam, bahkan cahaya sekalipun."
Aku hanya diam. Reino pergi meninggalkan RSJ. Aku terus mengingat pesan darinya. Pesan itu nampak sangat dalam dan bermakna.
Setelah kepergian Reino, aku kembali ke kamar selku. Aku mengintip dari jendela, melihat Fanny duduk diam menatap kekosongan, lalu dia tertawa sendirian.
Aku mendekati jendela dan mencoba mengajaknya berbicara. "Hei," sapaku.
Dia bangun dan menuju jendela besi. Tangannya masuk dan menyerang wajahku. Untung saja dengan cepat aku dapat menghindar dari serangannya.
"Mana adikku!?" tanyanya dengan suara yang tinggi.
"Pulang. Hei Fanny, bolehkah aku bertanya beberapa hal kepadamu?"
"Tidak!"
Walaupun dia menjawab tidak, aku tetap akan menanyakan pertanyaan ini.
"Kamu mencintai Reino dalam artian cinta ingin memiliki kan? Bukan arti cinta sebagai adik dan kakak."
Pupil mata Fanny membesar, lalu tiba-tiba dia mengucapkan kata yang membuatku kaget sekaget-kagetnya. "Aku terangsang melihatmu," ucapnya ke arahku.
Sialan, badanku gemetar karena dia baru saja menggigit bibirnya dan memainkan lidahnya untuk menggodaku. Sialan! Gadis ini benar-benar membuat hatiku tidak karuan.
Dia mencoba menggodaku dengan berbagai cara, dengan tipu muslihat, dengan godaan intim. Namun akal bulusnya tak akan bisa mempengaruhi diriku sama sekali. Fanny memang terlihat sangat cantik, tetapi aku harus bersikap profesional. Seandainya dia normal, mungkin aku bisa berpikir ulang untuk menjadikannya istri keduaku. Sayangnya, dia memiliki penyakit kepribadian dan dia seorang yang diduga sebagai kriminal, tidak mungkin aku akan menjadikannya istri keduaku.
Fanny melakukan semua itu tanpa berpikir panjang. Aku memalingkan wajahku darinya. Aku segera menuju kasur dan menatap langit-langit sel ini. Rasanya sangat membosankan. Aku ingin sekali mengeluarkan telepon genggamku, sayangnya sebentar lagi waktu berkunjung datang. Jika mereka melihat seorang pasien menggunakan telepon genggam, akan jadi berita heboh dan akan jadi pertanyaan besar. Akhirnya, yang aku lakukan hanya memandang langit-langit kamar sel.
Tiba-tiba ada seorang gadis yang melihat dengan wajah aneh ke arah selku. Dia menggunakan ikat kepala dengan motif kupu-kupu di rambutnya. Nampaknya, dia dari keluarga kaya, terlihat dari postur dan gerakannya.
"Kasihan, padahal abangnya ganteng tapi gila," ucapnya ke arahku.
Sialan nih orang, bisa-bisanya dia menyebutku gila. Aku tidak bereaksi atas hinaannya, hanya menatapnya tajam. Aku akan bersikap seperti orang yang mengalami gangguan kejiwaan.
"Apa lu!" katanya lagi.
Aku berdiri dari tempat tidurku dan berjalan ke arahnya. Aku menggerakkan jari-jemariku dengan maksud untuk mendekatinya. Gadis itu tetap berdiri di tempatnya sampai aku berlari ke jeruji sel, lalu mengguncangnya dengan keras, bermaksud menakutinya.
"Waaaaaaaaa!" aku berteriak ke arah gadis itu.
Wajahnya memerah. Dia menunduk, lalu tiba-tiba kembali melihatku dengan wajah menantang. Kemudian dia menjulurkan lidahnya dengan maksud mengejekku.
"Emangnya gue takut, wleeee," ejeknya ke arahku.
Setelah itu, dia berlari menjauh dan meninggalkanku. Tak lama kemudian, aku melihat seorang karyawan lewat. Aku memanggilnya dan bertanya, "Bang, tadi perempuan yang pakai bando kupu-kupu itu siapa ya?"
"Ah itu anak dari kepala yayasan, pak. Namanya kalau tidak salah Risma," jawabnya.
"Aaah, sedang apa ya dia di sini, bang?" tanyaku lagi penasaran.
"Kalau nggak salah, dia sedang koas, pak. Dia dari universitas ternama, spesialis kejiwaan kayaknya, pak," jawab karyawan itu menjelaskan.
"Oh iya, bang, makasih ya," kataku.
"Iya, pak, sama-sama," kata karyawan itu sembari menjauh melanjutkan pekerjaannya.
Aku akan mengerjai gadis itu. Walapun dia anak kepala yayasan, dia tidak akan tahu bahwa aku adalah psikiater yang sedang menjalani tugas. Aku akan berpura-pura menjadi pasien dan membuatnya kesal.
Tiba-tiba Fanny berbicara dari jendela yang membuatku sedikit terkejut. "Cantikan aku daripada dia, wajahnya lebih mirip curut daripada manusia," ucap Fanny mengejek Risma.
Aku hanya menoleh sedikit dan tidak menghiraukannya. Kemudian kembali tiduran di kasur dan memandang langit-langit kamar.
"Aku bakal bongkar rahasiamu ke dia," kata Fanny tidak menyerah untuk mengajakku bicara.
Aku berdiri menuju ke arah jendela. Mata kami saling bertatapan. Aku tersenyum kecil memandangnya. "Siapa yang mau mendengar opini dari orang yang sakit jiwa," ucapku ke arah Fanny.
Fanny memasukkan tangannya ke jendela dan lagi-lagi berusaha menyerangku. Aku tertawa melihat tingkahnya. Dia sepertinya kesal dengan sedikit provokasi dariku.
Dia kemudian mengeluarkan jari tengahnya dan mengacungkannya ke arahku. Aku kembali tertawa. Rasanya bahagia sekali dapat membuat Fanny marah. "Hahaha, Fanny, memang kamu bisa apa?" tanyaku ke arahnya. "Bahkan, kamu tidak bisa menyentuhku," lanjutku.
"Aku bisa membuat keturunan denganmu," jawabnya dengan wajah menggoda.
Dia mencoba memainkan mentalku. Kemudian dia menurunkan baju rumah sakit hingga tali branya terlihat. Dia sengaja memancingku dengan tindakan-tindakan yang tidak normal. Aku segera memalingkan wajahku dan kembali ke kasur, untuk menghindari kontak dengan Fanny.
"Munafik!" teriaknya ke arahku.
Ah, rasanya hari-hari yang akan kujalani di sini akan sangat panjang. Satu masalah dimana gadis labil, seorang terduga kriminal, dan menderita penyakit kejiwaan harus kutangani dengan baik. Belum lagi, datang masalah baru. Seorang gadis dari kepala yayasan yang tidak punya adab menggangguku. Semakin lama kasus ini kuselesaikan, semakin lama juga aku bisa bertemu keluargaku.
Lamunanku tiba-tiba terpecah karena selku terbuka. Aku melihat Risma masuk ditemani oleh dua orang perawat di sebelahnya. Apa yang dia inginkan? Menganggu ketenanganku saja.
"Jadi, si Toni ini sakit apa?" tanya Risma ke salah satu perawat.
Aku hampir saja kelepasan. Aku ingat Toni adalah nama samaranku. Sekarang aku adalah Toni si pasien, bukan Fikri si psikiater.
"Dia penderita skizofrenia akut, merasa dirinya adalah dokter psikiater," kata salah satu perawat ke Risma.
Risma mencatat informasi itu dalam bukunya. Sejak kapan aku setuju bahwa penyakitku skizofrenia? Rasanya aneh saja mendengar pernyataan itu dari perawat.
"Oke Toni, apa yang kamu rasakan dan kamu lihat?" tanya Risma ke arahku, mencoba mengobservasiku.
"Aku melihat, kamu sama aku berduaan di kamar dan melakukan hal yang menyenangkan," kataku mencoba menggoda Risma.
Wajahnya memerah seperti buah apel. Para perawat juga terlihat menahan tawa karena mereka tahu aku sedang pura-pura.
"Aku serius! Jangan main-main kamu ya!" Risma marah-marah ke arahku, wajahnya masih memerah, tak kunjung padam.
Aku tertawa dan meninggalkan Risma, kembali berbaring di kasur yang nyaman.
"Hei! Aku serius! Kamu kurang ajar ya!" Risma semakin marah karena aku mengabaikannya.
"Kakak nggak akan pernah jadi psikiater jika kakak terbawa suasana dengan pasien," ucapku menasehatinya.
"Ah aku lupa, kamu skizofrenia yang merasa dirimu psikiater ya," katanya mengejekku.
Jika aku tidak menjalankan tugas, aku akan memberikannya beberapa pelajaran untuk sikapnya yang sangat buruk. Aku berdiri dan mendekatkan mulutku ke dekat telinganya. "Kakak lebih baik pergi sebelum aku menyayatmu dan memotongmu menjadi 48 bagian," bisikku di telinga Risma.
Tubuhnya nampak bergetar hebat. Dia merasa ketakutan luar biasa dari ucapanku. Terlihat sangat jelas, dia sedang menahan tangisannya. Ah, rasanya cukup melegakan memberikan pelajaran kepada anak orang kaya yang bersikap semaunya kepada pasien.
"Catat datanya, latar belakangnya, dan semua rekam medisnya. Aku tidak akan kembali ke kampus sebelum pasien ini disembuhkan," ucapnya sombong.
Dia tidak tahu sedang berhadapan dengan siapa. Anak yang masih menempuh bangku kuliah, berani berhadapan denganku. Seorang psikiater kepolisian yang berhadapan langsung dengan para kriminal yang mempunyai riwayat penyakit kejiwaan. Rasanya, kehidupanku yang membosankan akan mulai seru dengan adanya gadis sombong yang merasa dirinya hebat. Aku tidak peduli dia siapa. Walaupun dia anak kepala yayasan, siswa tetaplah siswa, jangan bertingkah seperti langit. Aku akan mengajarinya bagaimana menjadi seorang psikiater yang baik.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!