NovelToon NovelToon

Codex Of Fantasy

Badai

Badai mengamuk tanpa henti. Gemuruh petir memecah langit, mengguncang bumi di bawahnya. Hujan deras menghantam desa kecil di lereng gunung, memicu banjir dan longsor. Pohon-pohon tumbang seakan dihempas oleh tangan tak kasat mata, tercerabut dari akarnya dan berputar-putar seperti mainan ringan di tengah angin yang menderu.

Di tengah kehancuran itu, berdiri sebuah tiang kayu di pusat desa. Pada tiang itu, seorang gadis terikat, tubuhnya gemetar lemah di bawah siraman hujan. Gadis itu adalah Ningrum, yang oleh penduduk desa dipersembahkan sebagai korban untuk roh gunung—harapan terakhir agar badai cepat berlalu.

Tubuh Ningrum terasa begitu rapuh, seakan setiap tetes hujan yang mengenai kulitnya menambah beban yang tak tertanggungkan. Dia sudah tujuh hari terikat di sana, tanpa makanan, hanya bergantung pada air hujan yang membuatnya tetap hidup. Tetapi kini, dia hampir mencapai batasnya.

Ningrum mengangkat kepalanya dengan sisa tenaga, menatap langit yang seolah mencemoohnya. Di balik badai yang menggila, dia melihatnya—dua sosok raksasa, monster yang tidak kasat mata bagi orang biasa, sedang bertarung di atas desa.

Ningrum tahu ini bukan halusinasi. Dia bisa melihat apa yang tidak bisa dilihat orang lain. Sebuah kemampuan yang muncul setelah kecelakaan tragis yang merenggut nyawa kedua orangtuanya. Sejak saat itu, dia tidak hanya melihat dunia ini, tapi juga dunia yang lain.

Kedua makhluk itu—yang satu bersinar terang bagaikan malaikat, yang satu lagi hitam legam seperti bayangan pekat—terus saling melancarkan serangan. Pertarungan mereka telah berlangsung selama tujuh hari, sama lamanya dengan waktu Ningrum diikat di sini. Kini, kekuatan mereka semakin menurun, sama seperti kekuatan Ningrum yang merosot.

Ningrum menatap mereka dengan campuran kekaguman dan ketakutan. Makhluk pertama tampak seperti malaikat, mengenakan baju zirah perak yang memancarkan cahaya terang. Namun, wujudnya aneh—tingginya sekitar 500 meter, tetapi dia tak memiliki kaki. Sebagai gantinya, ada sepuluh sayap besar yang berkilau, menjaganya tetap terbang di tengah badai.

Makhluk kedua lebih mengerikan. Kulit hitamnya dipenuhi tentakel yang menggeliat. Tingginya lebih dari 1,5 kilometer, tanduk besar mencuat dari kepalanya, dan sorot mata merah menyala yang jumlahnya lebih dari satu pasang menatap tajam, seolah bisa menembus apa saja. Tubuhnya membengkak, tentakel yang lebih banyak terus bermunculan, tumbuh seperti cabang-cabang pohon yang tak terkendali.

Ningrum menyadari satu hal: dia akan mati. Dampak dari pertempuran ini akan meluluhlantakkan seluruh desa, termasuk dirinya. Tak ada jalan keluar, tak ada yang bisa dia lakukan.

Kesedihan merayap di hatinya, bukan karena takut akan kematian, tetapi karena penyesalan mendalam. Dia telah menjalani hidupnya yang pendek dalam kesendirian, diasingkan dan dicemooh. Seumur hidup, dia hanya ingin satu hal, sesuatu yang sederhana, tetapi tak pernah dia miliki.

“Aku ingin punya teman,” ucapnya pelan, suaranya hampir tak terdengar di tengah gemuruh badai.

Mata Ningrum perlahan tertutup. Kilauan cahaya muncul di tengah badai ketika malaikat raksasa itu mengangkat tangannya. Sebuah sinar laser terkonsentrasi meledak dari tangannya, menembus langit yang terbelah.

Di sisi lain, makhluk hitam itu membuka mulut besar yang penuh dengan taring, menghembuskan nafas berisi energi gelap yang menghancurkan segala sesuatu di jalurnya. Bentrokan dua kekuatan besar itu menciptakan ledakan yang mengguncang dunia.

Waktu seolah berhenti sejenak. Cahaya dan kegelapan bertemu, menciptakan gelombang kejut yang menyapu seluruh desa, melumatnya dalam hitungan detik. Pegunungan yang sebelumnya menjulang tinggi hilang dalam sekejap, digantikan oleh dataran yang rata dan gersang. Di tengah semuanya, Ningrum menghilang tanpa jejak, tenggelam dalam kekuatan yang melebihi pemahaman manusia.

Namun, meskipun suara dentuman besar bergema di seluruh dunia, orang-orang yang melihatnya dari jauh hanya menganggap ini sebagai bencana alam. Tak ada yang tahu bahwa pertempuran antara dua kekuatan besar telah terjadi di langit, dan bahwa seorang gadis diikat di bawahnya, mengucapkan harapan terakhirnya sebelum semuanya berakhir.

***

(end)

Di dalam Goa

Ningrum merasakan perasaan yang sudah lama dia rindukan, ketenangan dan kenyamanan yang dulu dia pernah rasakan saat ibu dan ayahnya masih ada. Dia merasa sangat tenang manakala merasakan rambutnya diusap dengan lembut.

‘Apa aku sedang berada di surga?.’ pikirnya.

Ningrum berharap itu menjadi sebuah kenyataan, akan tetapi kenyataannya tidaklah demikian. Begitu Ningrum membuka mata, yang dia lihat adalah pohon besar dan langit gelap bertabur bintang.

“Apa yang terjadi. Apakah aku berhasil selamat dari ledakan?.”

Ningrum masih bisa mengingat rasa sakit yang dia rasakan ketika tubuhnya hancur menjadi serpihan debu akibat ledakan besar. Keadaan itu membuktikan jika semua yang dia lihat bukanlah sekedar halusinasi.

“Lalu kenapa aku bisa merasa sangat hidup?. Rasa lapar yang menggangu, kelelahan dan sakit yang selama ini aku alami menghilang begitu saja. Rasanya aku baru saja tidur sangat nyenyak dengan perut penuh."

Gadis itu bangkit untuk melihat area sekitar, dia melihat seluruh rumah telah hancur akibat badai. Ningrum menjadi tidak tenang saat merasakan kesunyian yang mencekam. Area sekitar desa adalah hutan belantara, akan tetapi Ningrum tidak mendengar satupun suara serangga meskipun hari telah berganti malam.

Dia khawatir ada binatang buas yang sedang mengawasi hingga membuat binatang kecil bersembunyi. Dugaan itu diperkuat ketika Ningrum merasa sedang di awasi, dengan ketakutan dia segera bergegas menuju rumah kepala desa untuk bersembunyi, akan tetapi seperti rumah lainnya, rumah paling besar milik kepala desa juga hancur akibat badai.

“Di sini juga tidak bisa.” Ningrum menatap basemen bawah tanah rumah kepala desa. Tempat yang sebelumnya sangat Ningrum takuti karena selalu mendapatkan siksaan ketika masuk kedalamnya. Tetapi sekarang basemen tersebut dibanjiri oleh air hujan sehingga Ningrum tidak bisa bersembunyi di dalamnya.

Tempat terakhir yang bisa Ningrum datangi untuk bersembunyi adalah sebuah goa yang telah menjadi rumahnya karna warga desa yang takut mendapatkan nasib sial tidak ingin Ningrum tinggal bersama mereka. Akan tetapi goa tersebut terletak di dalam hutan, Ningrum takut jika hewan buas akan langsung menyergapnya begitu dia keluar dari desa.

{Tidak apa, kau akan baik-baik saja}

Ningrum mendengar suara yang begitu familiar, mendorongnya agar tidak takut menghadapi ketakutan yang dia rasakan. Meskipun yang dia dengar mungkin hanyalah sebuah imajinasi, tetapi Ningrum sadar jika harus segera mengambil keputusan untuk bisa terus bertahan hidup.

Dengan penuh tekad Ningrum berlari keluar dari desa, dia berharap goa yang dituju tidak hancur akibat longsor setelah badai. Rasa takut semakin besar ketika Ningrum merasa banyak pasang mata yang sedang mengawasinya. Tetapi dia terus berlari karena dorongan dari suara misterius, hingga akhirnya dia sampai di mulut goa yang dia tuju.

Lumpur dan bebatuan yang menutupi mulut goa sempit membuat Ningrum putus asa, namun suara misterius yang semakin jelas memintanya agar segera masuk kedalam goa.

{Sebentar lagi, jangan kehilangan harapan}

Ningrum merasa ketakutan, tidak mungkin suara yang dia dengar berasal dari ibunya yang telah meninggal. Dia berpikir suara-suara itu bersama dari makhluk halus yang sengaja menuntunnya ke dalam jebakan.

“Tapi bagaimana jika itu memang benar, aku ingin melihat setan seperti apa yang bisa meniru suara ibuku.”

Ningrum menyingkirkan bebatuan yang menutupi mulut goa. Dia berusaha sangat keras hingga seluruh tubuhnya tertutupi oleh lumpur, bahkan beberapa kali tangannya terluka, tetapi Ningrum tidak berhenti dan terus menggali. Baginya apa yang dia lakukan sekarang tidaklah seberapa dibanding dengan semua yang telah dia alami ketika bekerja sebagai budak di desanya.

Setelah berjuang keras, akhirnya Ningrum berhasil membuka mulut goa. Nafasnya terengah-engah, tapi kelegaan mulai mengalir dalam dirinya. Dia merangkak masuk, berharap menemukan sesuatu di dalamnya. Begitu masuk lebih dalam, Ningrum merasa kecewa karena dia tidak menemukan siapapun.

“Setidaknya di sini aku bisa beristirahat,” ucapnya menghibur diri. Bagian dalam goa dipenuhi oleh sampah yang Ningrum kumpulan dengan berbagai tujuan, ada yang dijadikan sebagai tempat tidur dan ada pula yang dia bawa untuk membantunya belajar membaca.

Setelah membersihkan lumpur ditubuhnya, Ningrum mengganti pakaiannya dengan pakaian kering. Setelahnya dia mencoba untuk beristirahat dan berharap bangun di pagi hari. Meskipun nantinya dia akan kembali diperlukan buruk oleh warga desa, tetapi Ningrum merasa keadaan seperti itu lebih baik daripada terus ketakutan hidup ditempat yang sangat sunyi seperti yang dia alami sekarang.

Ningrum kesulitan untuk tidur karena rasa sakit yang dia rasakan dari luka yang dia miliki. Tetapi dia mencoba menghiraukannya hingga akhir tertidur lelap.

Waktu berlalu, cahaya menyinari wajah Ningrum. Merasa pagi telah datang, gadis itu segera bergegas keluar dari goa. Ningrum takut kesiangan karena dia harus merawat seluruh ladang milik warga desa. Namun begitu keluar dari dalam goa, yang dia lihat hanyalah kegelapan. Langit masih menunjukkan bintang-bintang seperti sebelumnya.

“Apa aku bangun terlalu pagi?.”

Ningrum merasakan ketakutan lebih besar, dia terus menatap langit yang terlihat aneh karena tidak adanya bulan, bahkan awan pun tidak ada yang lewat. Langit begitu bersih seakan tidak ada penghalang apapun. Ningrum kembali masuk kedalam goa, ketakutannya semakin menjadi-jadi hingga kepalanya terasa saki, sampai Ningrum merasa kesulitan untuk bernafas.

Dia mengalami serangan kepanikan.

‘Bagaimana jika aku memang sudah mati dan arwahku terjebak di tempat sunyi ini untuk selamanya?” pemikiran seperti itu terus menghantuinya.

Ketakutan akan kesepian membuatnya hampir gila. Dia tidak ingin mengalami keadaan dimana dirinya hidup seorang diri, seperti yang pernah Ningrum alami ketika kehilangan kedua orangtuanya. Hingga seberkas sinar terpancar dari dalam tumpukan sampah, sinar yang telah membangunkan Ningrum dari tidurnya.

Dengan rasa penasaran Ningrum mengambil sumber dari sinar tersebut, akan tetapi yang dia dapatkan justru sebuah buku. “Buku dari mana?.” Ningrum merasa heran karena merasa tidak pernah memungut buku seperti itu sebelumnya. Tiba-tiba Ningrum dikejutkan oleh buku yang terbuka dengan sendirinya lalu memancarkan cahaya yang menerangi seluruh area goa.

Begitu Ningrum membuka mata, dia melihat seorang wanita berambut keemasan yang telah duduk disampingnya. Ningrum sangat ketakutan mendapati orang asing yang entah datang darimana tiba-tiba berada begitu dekat dengannya. Meskipun wanita yang sangat cantik itu tersenyum padanya, tapi ketakutan Ningrum justru semakin kuat.

‘Harimau akan tersenyum saat berhasil menangkap mangsanya’ begitu kata kepala desa saat Ningrum mengutarakan keinginannya untuk pergi ke kota.

{Bacalah}

“Eh!?.”

Ningrum ketakutan saat wanita itu memintanya untuk membaca buku yang masih dia genggam. Selama ini dia belajar membaca secara otodidak menggunakan sampah yang dia temukan. Meskipun sulit tapi Ningrum terus belajar dengan sungguh-sungguh hingga akhir dia bisa membaca walaupun tidak sempurna.

“A... aku tidak bisa membacanya.” Ningrum menunduk penuh kesedihan. Dia sama sekali tidak bisa membaca satupun kalimat pada buku itu dikarenakan bahasa yang digunakan bukanlah alfabet yang selama ini dia pelajari. Gadis itu mulai menangis ketika merasakan usapan lembut di rambutnya. Dia terus meminta maaf karena kebodohannya yang tidak bisa membaca.

Wanita di sampingnya memeluk Ningrum dengan lembut. Kehangatan yang terasa nyaman membuat Ningrum merasa tenang. Mata Ningrum terbuka lebar manakala dia merasakan banyak pengetahuan yang masuk ke dalam kepalanya.

{Bacalah} ucap wanita itu sekali lagi sambil menunjuk sebuah garis kalimat.

Ningrum masih merasakan ragu, tapi entah kenapa dua merasa bisa membacanya, "Na... Na... Namo Kuan Shih Yin P’u Sa" Ningrum berhasil membaca kalimat yang wanita itu tunjuk, bahkan dia mengerti arti kalimat yang dia baca.

Cahaya kehijauan bersinar dari telapak tangannya yang kemudian menyebar keseluruhan tubuhnya. Dengan cepat seluruh luka yang Ningrum miliki sembuh dengan instan.

Ding!

[Selamat anda telah mempelajari sihir penyembuhan 'Heal']

***

Belajar untuk bertahan hidup

Ningrum tertegun, merasa kekuatan baru yang mengalir dalam tubuhnya. Dia memandang ke telapak tangannya, yang kini sinar dengan cahaya hijau lembut itu mulai memudar. Dia menoleh kearah wanita yang tadi memeluknya, namun sosok cantik itu tidak ada lagi di sampingnya.

“Siapa sebenarnya wanita itu?.”

Dalam keheningan, Ningrum kembali membaca buku itu hingga waktu berlalu begitu cepat. Banyak pengetahuan yang dia peroleh, dari pengetahuan umum seperti memasak, hingga pengetahuan diluar akal sehat seperti sihir. Ningrum tidak tahu berapa jam telah terlewatkan semenjak dia mulai membaca.

Namun pada akhirnya Ningrum berhenti begitu resistensinya terhadap kantuk tidak bisa lagi menahannya untuk tertidur.

Dalam mimpinya, Ningrum kembali bertemu dengan wanita berambut emas yang sebelumnya dia lihat. Tanpa sepatah kata, wanita itu merobek dadanya sendiri lalu mengambil jantungnya untuk diserahkan kepada Ningrum yang tidak dapat beraksi dengan apa yang baru saja dia lihat.

{Ini adalah permintaan maafku karena telah membuatmu mengalami semua ini}

Menerima pemberian penuh darah dari wanita misterius itu, Ningrum terpaku melihat jantung yang masih berdenyut di telapak tangannya. Ningrum tiba-tiba bangun dari tidurnya dengan nafas memburu seakan baru saja melihat mimpi buruk. Dia berteriak saat merasakan jika sedang memegang jantung yang dia lihat di dalam mimpi. Namun setelah diperhatikan dengan seksama, Ningrum sadar yang dia pegang adalah buku yang sebelumnya dia baca.

"Apa aku tertidur sambil memeluk buku ini?." Ningrum berpikir mimpi yang dia lihat pasti ada kaitannya dengan buku misterius ditangannya.

***

Langit masih terlihat sama seperti sebelumnya, Hitam dihiasi bintang-bintang, kegelapan juga masih menyelimuti seluruh daratan. Ningrum berpikir sudah satu Minggu tempat ini tidak mengalami perubahan. Semenjak kejadian itu Ningrum samasekali tidak melihat munculnya matahari, bahkan hembusan angin pun tidak dapat dia rasakan.

“Seakan aku berada ruang kedap udara. Tapi anehnya aku masih bisa bernafas” menyaksikan keanehan yang terjadi di sekitarnya, memperkuat dugaan jika dirinya telah dipindah ke dunia lain.

“Tapi bukankah seharusnya hanya aku saja yang dipindahkan ke dunia lain. Lalu dimana dewa yang meminta maaf karena telah melakukan kesalahan yang menyebabkan kematianku.”

Ningrum merasakan dugaan jika dirinya dipindahkan ke dunia lain terlalu mengada-ada, karena semua yang dia ketahui dari buku sama sekali berbeda dengan yang saat ini dia alami. Pertama, Ningrum dipindahkan beserta pegunungan tempat tinggalnya, dan yang kedua tidak ada dewa yang menemuinya seperti kisah generik transmigrasi ke dunia lain.

“Atau mungkin sebenarnya aku sudah bertemu dengan dewa?" Ningrum kembali teringat dengan mimpi yang dia alami satu Minggu lalu, dimana seorang wanita memberikannya sebuah jantung.

“Jika tempat ini memang dunia lain, lalu apa yang harus aku lakukan?.” Ningrum menatap langit, dia tidak dapat menemukan jawabannya. Sesaat kemudian suara perut keroncong terdengar cukup keras menandakan sudah waktunya makan siang. Ningrum segera mengambil busur panah yang dia buat dengan pengetahuan dari buku.

Masuk kedalam hutan, Ningrum berencana berburu kelinci. Menggunakan kemampuan deteksi dan penglihatan malam yang dia pelajari dari buku, Ningrum berharap bisa menemukan sesuatu. Akan tetapi pada akhirnya dia kembali dengan tangan kosong karena tidak menemukan satupun binatang yang biasa dia buru.

Ningrum hanya bisa mengandalkan sayuran milik warga desa sebagai sumber makanan. Jika seperti ini terus, Ningrum memperkirakan hanya bisa bertahan paling lama tiga bulan hingga dia tidak bisa menemukan makanan lain selain daun dan kayu di hutan.

“Aku harus mencari cara agar bisa menemukan makanan. Tapi masalahnya tempat ini sangat tidak mendukung adanya kehidupan” dia menatap langit yang tidak memiliki matahari sehingga mustahil menumbuhkan tanaman.

“Tapi bagaimana bisa tanaman di hutan bahkan tidak tampak layu sedikitpun?.” Banyak hal yang tidak dia ketahui sehingga perlu membaca lebih banyak dari buku sihir yang dia miliki.

Kembali ke dalam goa. Sambil memakan sayuran yang baru saja dia curi, Ningrum menghabiskan banyak waktu untuk belajar. Dia sangat bersemangat saat menemukan sihir yang dapat menciptakan matahari, tapi sayangnya sihir itu bertipe serangan yang hanya akan bertahan sementara.

“Jika aku menggunakan sihir ini mungkin seluruh gunung akan habis terbakar.” Ningrum menghela napas dalam-dalam, merasa frustasi dengan keterbatasan yang dia hadapi. Namun, semangatnya tidak pudar. Dia bertekad untuk menemukan cara yang lebih aman dan permanen untuk menciptakan sumber cahaya untuk dunianya yang gelap ini.

Selama beberapa hari berikutnya, Ningrum terus menyelami buku sihir tersebut, mencari pengetahuan yang bisa memberinya solusi. Pada akhirnya, dia menemukan sebuah bab yang mengulas tentang sihir penciptaan yang lebih stabil dan tidak merusak.

Bab itu menjelaskan tentang Magitech, pengetahuan yang menggabungkan teknologi dan sihir. Ningrum tertarik pada item sihir bernama Helios Light yang bisa berfungsi layaknya matahari mini. Helios Light tidak hanya memberikan cahaya dan panas, tetapi juga energi yang bisa mendukung kehidupan tanaman. Namun, untuk membuat item sihir ini memerlukan bahan-bahan khusus dan ritual yang kompleks.

Ningrum membaca dengan seksama, memastikan dia memahami setiap langkah yang diperlukan. Dia membutuhkan kristal magis dan beberapa macam logam ajaib, yang menurut buku tersebut, dapat ditemukan di kedalaman gunung. Selain itu, dia juga harus menguasai Runecraft yang merupakan pengetahuan tentang teknik menulis mantra sihir.

“Sangat banyak yang harus dilakukan,” Ningrum tersenyum karena merasa senang akhirnya bisa melakukan sesuatu selain melayani warga desa yang tidak menyukainya.

Dalam waktu singkat Ningrum dapat mempelajari teknik Runecraft, “Ini tidak sesulit yang aku bayangkan” ucapnya saat menatap papan kayu yang memancarkan cahaya karena telah dia ukir dengan mantra cahaya. Proses selanjutnya adalah mencari kristal sihir dan logam ajaib. Ningrum merasa tidak yakin bisa menemukan kedua material yang dibutuhkan karena dia tidak memiliki pengetahuan menambang.

“Lagipula aku tidak yakin pegunungan ini memiliki sumber daya semacam itu.” jika gunung tempat desanya berada memang memiliki cadangan logam ajaib tentunya sudah banyak perusahaan tambang yang akan memperebutkannya. Tetapi alasan sebenarnya Ningrum tidak ingin melakukan penambangan adalah karena dia tidak ingin merusak alam.

“Lebih baik mencari cara lain.” Ningrum membalik halaman buku, dia mencari pengetahuan tentang Kristal magis dan Logam ajaib. Dari pengetahuan yang dia dapatkan, kristal magis tercipta dari proses pengendapan energi sihir dalam tubuh makhluk hidup, sedangkan logam ajaib terbuat dari mineral yang memiliki kepadatan energi sihir tinggi.

“Eh!, Aku pikir kristal sihir terdapat di dalam tanah. Tapi ternyata tidak ada bedanya dengan batu ginjal” untuk mendapatkan kristal magis Ningrum perlu berburu monster dengan tipe tertentu agar mendapatkan kristal magis yang dia perlukan. Ada tiga macam kristal magis yang dibutuhkan untuk membuat Helios Light yaitu kristal api, kristal cahaya dan kristal apung.

Berburu monster adalah sesuatu yang mustahil bagi Ningrum, selain karena tidak tahu cara bertarung, dia sendiri tidak yakin apakah ada monster seperti Naga di gunung ini yang bisa dia buru. Untuk itu dia mencari cara lain selain berburu monster, hingga dia menemukan cara untuk ‘bertani’ kristal magis.

“Cara ini sangat beresiko, tapi ini adalah satu-satunya cara yang bisa aku lakukan untuk terus bertahan hidup”

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!