Hari pernikahan itu diselimuti dengan awan gelap yang menggantung di atas kota. Di sebuah kuil tua di Beijing, Luis Zhang berdiri dengan wajah tanpa ekspresi di samping Ellena, gadis yang baru saja resmi menjadi istrinya. Tak ada bunga, tak ada tamu undangan, hanya keluarga dekat yang hadir, membuat suasana semakin sunyi dan hampa.
Setelah upacara singkat yang dipimpin oleh seorang pendeta tua, Luis dan Ellena duduk di ruang pertemuan kecil di belakang kuil. Mereka baru saja menandatangani surat perjanjian pernikahan yang mereka buat sendiri, dengan berbagai syarat dan ketentuan yang dirancang untuk menjaga jarak mereka satu sama lain.
Luis memecah keheningan dengan suara dingin dan datar, "Aku ingin ini jelas dari awal. Aku tidak mencintaimu, dan aku tidak akan berpura-pura mencintaimu di luar keluarga kita. Semua ini hanya untuk menghormati permintaan kakek."
Ellena menatap Luis dengan mata tajam, "Kau pikir aku peduli? Aku tidak pernah menginginkan pernikahan ini. Jadi, simpan drama itu untuk dirimu sendiri. Kita hanya perlu berpura-pura di depan keluarga, selebihnya aku tidak peduli."
Luis mengangguk, "Baiklah. Aku akan pastikan kita tidak bertemu lebih dari yang diperlukan. Kau bisa tinggal di rumahku, tapi kita akan punya kamar terpisah."
Ellena mendengus, "Kau sungguh tahu caranya membuat suasana semakin menyenangkan, ya? Jangan khawatir, aku akan menjaga jarak sejauh mungkin darimu."
Mereka lalu membahas detail lainnya dalam surat perjanjian. Mereka sepakat untuk tidak mencampuri urusan pribadi masing-masing dan tetap profesional dalam setiap situasi. Luis menekankan pentingnya menjaga penampilan di depan keluarga, terutama di hadapan kakek mereka.
"Jangan pernah berpikir untuk membawa masalahmu ke dalam keluargaku," tegas Luis memecah keheningan yang sempat menyelimuti. "Aku tidak mau ada drama."
Ellena mengangguk malas, "Santai saja. Kau juga jangan berpikir untuk ikut campur dalam hidupku. Aku akan tetap bekerja sebagai model dan kau tidak perlu tahu apa pun soal itu."
"Deal...."
------
Keheningan menyelimuti kebersamaan Ellena dan Luis saat mereka tiba di kediaman mewah milik Luis. Rumah besar itu tampak megah, dengan dua lantai, enam kamar, ruang tamu yang luas, ruang keluarga yang hangat, ruang makan besar, mini bar, dapur yang mewah, kolam renang besar di halaman belakang, serta taman bunga dengan gazebo di sudutnya.
Luis membuka pintu rumah dan mempersilakan Ellena masuk. Tanpa banyak bicara, dia langsung mengantarkan Ellena ke kamarnya yang terletak di lantai dua. Kamar mereka bersebelahan, sebuah kesepakatan yang telah mereka sepakati sejak awal.
"Ini kamarmu," ujar Luis dengan nada datar, menunjuk ke pintu di sebelah kiri.
Ellena mengangguk pelan. "Hm, kamarnya terlihat nyaman."
"Kamarku di sebelah. Aku akan pergi ke rumah sakit sekarang, ada operasi besar yang harus aku tangani."
"Baik, hati-hati," jawab Ellena singkat.
Tanpa banyak basa-basi, Luis segera berbalik dan berjalan turun tangga, meninggalkan Ellena sendirian di lantai dua. Langkah kakinya bergema di sepanjang lorong, menghilang seiring pintu depan tertutup rapat.
Ellena menarik napas panjang, berusaha menenangkan diri. Dia masuk ke kamarnya, melihat sekeliling sejenak, lalu berjalan menuju balkon. Malam itu, langit dipenuhi bintang, dan bulan tampak bersinar terang di singgasananya.
Gadis itu menghela nafas panjang. Dalam beberapa jam, statusnya telah berubah menjadi istri orang. Rasanya seperti mimpi, kini ia menjadi istri seorang dokter yang memiliki sifat dingin seperti kutub utara.
"Bintang-bintang itu," gumam Ellena pada dirinya sendiri, "mereka tampak begitu jauh, tapi tetap saja bersinar terang di langit. Mungkin seperti itu juga perasaanku sekarang, jauh dari hangat tapi tetap harus bersinar di depan orang lain."
Ellena menatap bintang-bintang, mencoba mencari sedikit kedamaian dalam kegelapan malam. Langit yang luas dan tak terbatas mengingatkannya bahwa hidup terus berjalan, meski pernikahannya dengan Luis terasa seperti sandiwara yang penuh kebekuan.
-------
Suasana di rumah sakit malam itu begitu sibuk. Lampu-lampu neon yang terang menerangi setiap sudut koridor, menciptakan suasana yang steril namun penuh tekanan. Suara langkah kaki tergesa-gesa, dering telepon, dan instruksi dokter serta perawat mengisi udara.
Luis Zhang berjalan cepat di sepanjang koridor rumah sakit. Dengan wajah tanpa ekspresi, ia menuju ruang operasi. Sebagai seorang dokter ahli bedah yang terkenal dengan ketepatan dan ketegasannya, Luis dikenal tidak pernah membuang waktu untuk hal-hal yang tidak perlu.
Tiba-tiba, seorang perawat muda menghampirinya dengan wajah cemas. "Dokter Zhang," panggilnya dengan nada mendesak.
Luis berhenti sejenak, menatap perawat itu dengan tatapan dinginnya. "Ada apa?" tanyanya tanpa basa-basi.
"Pasien di ruang 305 harus segera dioperasi. Keadaannya sangat mendesak. Jika kita tidak bertindak sekarang, nyawanya bisa terancam," jelas perawat itu cepat, tanpa membuang waktu.
Luis mengangguk singkat, "Kondisi pasien?"
"Trauma perut parah, kemungkinan besar ada pendarahan internal. Pasien mengalami kecelakaan mobil dan sudah kehilangan banyak darah," jawab perawat itu, berusaha menahan getaran di suaranya.
"Siapkan ruang operasi segera. Pastikan semua alat dan tim sudah siap dalam sepuluh menit," perintah Luis dengan nada yang tegas. "Aku akan cek kondisinya langsung."
Perawat itu mengangguk dan segera berlari untuk melaksanakan perintah Luis. Luis melanjutkan langkahnya dengan cepat menuju ruang 305. Sesampainya di sana, dia langsung melihat monitor yang menunjukkan tanda vital pasien. Matanya yang tajam dan terlatih cepat menangkap setiap detail penting.
"Berapa lama sejak kecelakaan?" tanya Luis kepada seorang dokter junior yang sedang memantau pasien.
"Kurang dari satu jam, Dokter. Pasien tiba di sini sekitar dua puluh menit yang lalu," jawab dokter itu dengan nada hormat.
Luis mengangguk, melihat luka di perut pasien yang terbuka parah. "Kita tidak punya banyak waktu. Kita harus segera melakukan laparoskopi untuk mengetahui sumber pendarahannya."
Dokter junior mengangguk. "Ya, Dokter. Ruang operasi sudah disiapkan."
Luis memandang pasien dengan dingin, tanpa menunjukkan emosi sedikit pun. "Ayo kita bawa dia ke ruang operasi sekarang. Kita tidak boleh kehilangan waktu lagi."
Dalam beberapa menit, pasien sudah dipindahkan ke ruang operasi. Luis mengenakan baju steril dan masker, mempersiapkan diri dengan cepat namun teliti. Begitu masuk ke ruang operasi, suasana di dalam berubah menjadi sangat serius. Semua tim medis sudah siap, menunggu instruksi dari Luis.
"Scalpel," perintah Luis sambil mengulurkan tangannya.
Seorang perawat menyerahkan pisau bedah dengan cepat. Luis mulai melakukan sayatan dengan gerakan yang sangat presisi. "Aku butuh pengisap," ujarnya, dan alat tersebut segera diserahkan kepadanya.
Semua tim medis bekerja dalam diam, mengikuti setiap instruksi dari Luis dengan penuh perhatian. Ketepatan dan efisiensi Luis dalam bekerja membuat suasana tegang sedikit mereda, meskipun situasi masih sangat kritis.
"Waktunya sangat terbatas," kata Luis kepada timnya tanpa menatap mereka. "Kita harus menemukan sumber pendarahan ini sekarang."
Setelah beberapa menit yang terasa seperti selamanya, Luis akhirnya menemukan sumber pendarahan internal dan mulai memperbaikinya dengan tangan yang mantap dan cekatan. Tim medis di sekitarnya bekerja dengan sinkronisasi sempurna, menunjukkan profesionalisme tinggi dalam situasi genting ini.
"Aku butuh lebih banyak tamponade di sini," kata Luis sambil menunjuk ke area yang masih berdarah.
"Segera, Dokter," jawab perawat sambil menyerahkan alat yang diminta.
Luis bekerja tanpa henti, tak membiarkan emosi atau kepanikan mengganggu konsentrasinya. Setelah beberapa saat, pendarahan berhasil dihentikan dan kondisi pasien mulai stabil.
"Selesai," ujar Luis dengan suara tegas namun tenang. "Bawa pasien ke ruang pemulihan dan pastikan dia mendapat perawatan intensif. Pantau tanda vitalnya setiap lima belas menit."
Tim medis segera melakukan instruksi Luis, membawa pasien keluar dari ruang operasi. Luis melepas sarung tangannya, menghela napas panjang, kemudian berjalan keluar dari ruang operasi dengan langkah mantap. Meski operasi telah selesai, dia tahu bahwa tanggung jawabnya belum berakhir. Sebagai pewaris tunggal rumah sakit ini, Luis tahu bahwa setiap tindakan dan keputusannya sangat penting bagi masa depan rumah sakit dan keselamatan pasien-pasiennya.
***
Bersambung
Usai operasi, Luis kembali ke ruangannya. Ruangan itu tertata rapi dan luas, mencerminkan kepribadiannya yang dingin dan praktis. Ia duduk di kursi, menghadap meja yang penuh dengan berkas-berkas medis. Luis meraih secangkir kopi yang telah disiapkan sebelumnya dan mulai menyesapnya perlahan, menikmati sedikit momen ketenangan setelah operasi yang penuh tekanan.
Tiba-tiba, pintu ruangannya terbuka dan seorang wanita masuk. Adelia, kekasih Luis, dengan wajah lelah namun tetap memancarkan pesona. Dia adalah salah satu dokter di rumah sakit ini, dan telah bersama Luis selama setahun terakhir. Meskipun begitu, hubungan mereka selalu terasa dingin dan hambar.
"Luis," panggil Adelia, suaranya lembut.
Luis mengangkat kepalanya, menatap Adelia dengan ekspresi tanpa emosi. "Ada apa, Adelia?"
"Apa kau akan lembur lagi malam ini," tanya Adelia, langsung pada intinya.
Luis mengangguk singkat, "Ya, ada beberapa berkas yang harus aku selesaikan dan pasien yang harus aku pantau."
Adelia mendesah pelan, lalu duduk di kursi di depan meja Luis. "Kau tahu, kadang aku merasa kita jarang punya waktu bersama."
Luis menatapnya sejenak sebelum menjawab, "Aku tahu. Tapi pekerjaan ini membutuhkan banyak waktu dan dedikasi."
"Aku mengerti," kata Adelia, mencoba menahan rasa kecewa. "Tapi apakah kau pernah berpikir untuk memberi kita sedikit waktu? Mungkin hanya untuk makan malam atau sekadar berjalan-jalan?"
"Aku tidak punya waktu untuk hal-hal seperti itu," balas Luis dingin. "Tanggung jawabku di rumah sakit ini terlalu besar. Kesejahteraan pasien lebih penting."
Adelia menundukkan kepala, merasa frustasi. "Aku mencintaimu, Luis. Tapi terkadang aku merasa seperti tidak ada ruang untukku dalam hidupmu."
Luis menatapnya dengan mata tajam, "Aku tidak punya waktu untuk percakapan ini sekarang, Adelia. Jika kau punya sesuatu yang penting untuk dibicarakan tentang pekerjaan, kita bisa membahasnya. Jika tidak, aku masih banyak pekerjaan yang harus diselesaikan."
Adelia menelan ludah, mencoba mengendalikan emosinya. "Tidak, tidak ada yang lain. Aku hanya ingin tahu apakah kau akan pulang malam ini."
Luis menggeleng. "Tidak. Aku akan menghabiskan malam di rumah sakit."
Adelia mengangguk perlahan, merasa kekosongan semakin menghampirinya. "Baiklah, aku akan kembali ke pekerjaanku."
"Hn," jawab Luis singkat, kembali fokus pada berkas-berkas di mejanya. Itulah konsekuensi yang harus Adelia tanggung jika memiliki kekasih yang memiliki sifat seperti kutub Utara.
Adelia berdiri dan berjalan keluar dari ruangan, merasa semakin jauh dari pria yang dia cintai. Meski mereka bekerja di tempat yang sama, jarak di antara mereka terasa begitu lebar. Adelia hanya bisa berharap suatu hari nanti Luis akan memahami perasaannya, meski harapan itu semakin lama semakin pudar di bawah bayang-bayang kesibukan dan sikap dingin Luis.
Luis kembali fokus pada pekerjaannya, tanpa sedikit pun menunjukkan tanda-tanda penyesalan atau keinginan untuk berubah, karena memang begitulah dirinya dan seharusnya Adelia sudah tau sejak mereka memutuskan untuk bersama. Baginya, pekerjaan adalah segalanya, dan emosi serta hubungan pribadi hanya penghalang dalam jalannya.
***
Di rumah Luis yang megah, Ellena merasa bosan. Dia duduk di ruang tamu, merasa terkurung di dalam keheningan. Tak ada yang bisa dia lakukan di rumah besar itu selain merenung tentang pernikahan yang dingin dan tidak diinginkannya.
"Sepertinya aku perlu mencari kesenangan di luar," gumam Ellena pada dirinya sendiri. Dengan cepat, dia meraih ponselnya dan menghubungi teman-temannya, Choa dan Selly.
"Choa, Selly, ayo kita keluar malam ini," kata Ellena, langsung ke intinya.
"Kemana?" tanya Choa di ujung telepon.
"Klub malam, aku butuh bersenang-senang," jawab Ellena tanpa ragu.
"Baiklah, kami siap," sahut Selly.
Beberapa saat kemudian, mereka bertiga tiba di sebuah klub malam yang ramai. Musik menghentak, lampu berkedip-kedip, menciptakan suasana yang penuh energi. Mereka masuk dan berjalan melewati kerumunan yang menari dengan liar di lantai dansa. Ellena memimpin teman-temannya menuju lantai atas, mencari suasana yang lebih tenang.
"Aku sedang tidak ingin menari malam ini," ujar Ellena ketika mereka mencapai lantai atas.
Choa mengangguk. "Kita bisa duduk di bar dan menikmati minuman."
Mereka bertiga menuju bar, di mana Charlie, sang bartender, menyapa Ellena dengan senyuman akrab. "Ellena! Lama tak melihatmu di sini. Kenapa kau jarang datang?"
Ellena tersenyum tipis. "Jadwalku sebagai model sangat padat, Charlie. Tapi malam ini, aku butuh sedikit pelarian."
"Minuman favoritmu?" tanya Charlie.
"Tentu saja," jawab Ellena.
Charlie segera meracik minuman dan menyerahkannya kepada Ellena. Choa dan Selly juga memesan minuman mereka, lalu duduk di kursi bar, menikmati suasana yang lebih tenang dibandingkan lantai bawah.
"Apa yang terjadi, Ellena? Kau terlihat berbeda malam ini," tanya Selly, memperhatikan sahabatnya.
Ellena menghela napas panjang. "Banyak hal yang berubah dalam hidupku. Pernikahan ini... benar-benar menguras energiku. Aku hanya butuh sedikit waktu untuk diriku sendiri."
Choa dan Selly saling bertukar pandang, terkejut dengan pernyataan yang baru saja dikatakan oleh Ellena. "MENIKAH?! KAU SUDAH MENIKAH?" pekik mereka berdua dengan nada meninggi.
"Tapi dengan siapa dan bagaimana? Kenapa kami tidak tahu?" Choa menatap Ellena dengan penuh rasa ingin tahu.
Ellena menghela nafas lagi. "Panjang ceritanya. Nanti saja aku ceritakan, untuk saat ini aku ingin menenangkan pikiran."
Mereka bertiga menikmati minuman sambil berbincang-bincang, mencoba melupakan sejenak semua masalah yang ada. Klub malam yang biasanya penuh keramaian dan kegilaan menjadi tempat pelarian bagi Ellena, memberikan sedikit kedamaian di tengah kekacauan hidupnya.
"Apakah kau bahagia, Ellena?" tanya Selly tiba-tiba, wajahnya serius. Dia melihat kesetiaan di wajah sahabatnya itu, Choa berani bersumpah jika Ellena tidak bahagia dengan pernikahannya.
Ellena mengangkat bahu dengan acuh. "Aku tidak tahu, Choa. Hidup ini... terasa rumit. Tapi setidaknya malam ini aku bisa merasa sedikit lebih baik," ucapnya sambil menikmati minumannya.
Selly menyentuh lengan Ellena. "Kita di sini untuk bersenang-senang, ingat? Untuk itu jangan memikirkan tentang kesedihan apalagi perasaan-perasaan yang rumit, kita nikmati malam ini."
Mereka tertawa, meskipun dalam hati Ellena masih ada kekosongan yang mendalam. Dia masih belum bisa menerima kenyataan jika sekarang dia berstatus sebagai istri orang. Suasana di sekitar mereka begitu hidup, musik menghentak, dan lampu berkilau memberi sedikit semangat baru. Ellena merasakan beban sejenak terangkat, berlari dari kenyataan yang mengekangnya.
"Bagaimana kalau malam ini kita berpesta?" ajak Selly, mengangkat gelasnya.
"Setuju," jawab Choa, tersenyum. "Kita harus merayakan kebersamaan ini."
Ellena mengangguk, meski pikirannya masih melayang. Malam itu, meskipun hanya sebentar, memberikan ruang bagi Ellena untuk bernapas dan melupakan sejenak kehidupan yang penuh tekanan yang harus dia jalani setiap hari.
---
Bersambung
Luis sedang sibuk meneliti berkas-berkas medis di ruangannya ketika ponselnya berdering. Dia melihat layar, dan nama Ellena tertera di sana. Mengangkat alisnya, dia mengangkat telepon, namun yang dia dengar di ujung sana adalah suara yang tidak biasa.
"Luis... suamiku yang tampan...," suara Ellena terdengar aneh dan ngelantur.
"Ellena? Ada apa denganmu?" tanya Luis kebingungan, merasa ada yang tidak beres.
"Di club malam... aku di sini...," jawab Ellena terputus-putus, suaranya semakin tidak jelas.
Luis merasakan kekhawatiran yang jarang muncul dalam dirinya. Tanpa banyak bicara lagi, dia segera meninggalkan rumah sakit dan menuju ke club malam yang disebutkan Ellena. Hatinya berdegup kencang, meskipun ekspresinya tetap datar dan dingin.
"Luis, kau mau kemana? Kenapa buru-buru sekali?" tanya Adelia melihat Luis yang pergi dengan terburu-buru. Namun tak ada jawaban, dia mengabaikan pertanyaan wanita itu dan keberadaannya.
Adelia menoleh, menatap punggung Luis yang semakin menjauh dengan tatapan yang sulit dijelaskan. Dia merasa jika kekasihnya itu semakin dingin. Adelia menghela nafas panjang, kemudian dia berbalik dan melanjutkan pekerjaannya yang sempat tertunda. Sementara Luis bergegas ke club' malam tempat Ellena berada.
.
.
Sesampainya di club malam, Luis dengan cepat menemukan Ellena yang sedang berbaring di sofa dengan mata tertutup. Dia tidak tidur, dan segera membuka matanya saat merasakan kehadiran seseorang.
"Oh, kau sudah datang, suamiku yang tampan dan dingin," ucap Ellena dengan suara khas orang mabuk, sambil tertawa-tawa.
Luis menghela napas dalam-dalam, menahan rasa frustasi. "Ellena, apa yang kau lakukan di sini?"
Ellena dengan langkah tertatih-tatih menghampiri Luis, lalu berhambur ke dalam pelukannya. "Aku sangat tidak beruntung karena harus menikahi pria dingin sepertimu. Kenapa kakek memaksaku menikah denganmu? Kenapa, Luis?"
Luis tetap diam, hanya memegang bahu Ellena untuk menyeimbangkannya. Dia tidak suka melihatnya dalam keadaan seperti ini, meskipun dia sendiri tidak paham apa yang harus dia lakukan.
"Ellena, kita pulang sekarang," ujarnya. Nada bicaranya dingin dan datar.
Ellena tertawa lagi, suaranya menggema di ruangan yang sedikit sepi. "Pulang? Kenapa harus pulang? Di sini menyenangkan, Luis. Tidak seperti rumah kita yang sepi dan dingin."
Luis menatapnya dengan tatapan tajam. "Kau mabuk, Ellena. Kita pulang sekarang."
Dia menarik Ellena meninggalkan ruangan VIP, membawanya keluar dari club malam. Namun, di tengah perjalanan, sesuatu yang tidak diharapkan terjadi. Ellena tiba-tiba muntah, dan muntahannya mengenai pakaian Luis. Luis menahan rasa jijiknya, menghela napas panjang sebelum melanjutkan langkahnya menuju mobil.
"Sial," gumam Luis, membuka lalu membuang kemejanya yang terkena muntahan ke tempat sampah terdekat. Dan sekarang dia hanya mengenakan singlet putih sekarang.
Ellena masih tertawa, meskipun suaranya mulai lemah. "Dimana-mana wanita sangat merepotkan," kata Luis sinis, lebih kepada dirinya sendiri.
Dalam perjalanan pulang, Luis tetap diam. Ellena terbaring di kursi penumpang, tertidur lelap akibat pengaruh alkohol. Luis mengendalikan emosi yang campur aduk di dalam dirinya. Dia tahu ada banyak hal yang harus dibicarakan, banyak hal yang harus dia pahami tentang istrinya. Tapi malam ini, yang paling penting adalah membawa Ellena pulang ke rumah.
Di rumah, Luis dengan hati-hati membaringkan Ellena di tempat tidur. Dia membersihkan wajahnya dengan lembut, menghapus sisa-sisa muntahan yang ada. Luis melihat wajah Ellena yang tenang saat tidur, dan sejenak dia merasa ada sesuatu yang hilang dalam dirinya. Tapi segera, dia mengesampingkan perasaan itu dan kembali menjadi dirinya yang dingin.
***
Keesokan paginya, Ellena terbangun dengan rasa sakit kepala yang hebat. Dia melihat sekeliling dan menyadari bahwa dia sudah berada di rumah. Kepalanya berdenyut-denyut, dan dia mencoba mengingat apa yang terjadi semalam. Namun, ingatannya kabur. Dia hanya ingat ketika ia menghubungi Luis, kemudian pria itu datang, dan dia mengungkapkan isi hatinya. Setelah itu, semuanya gelap.
Saat Ellena masih bertarung dengan ingatannya, tiba-tiba Luis muncul dari pintu, mengenakan kemeja abu-abu yang lengannya digulung sampai siku. "Kau sudah bangun. Minum ini," katanya sambil memberikan segelas air dan obat penghilang rasa sakit. Suaranya dingin dan datar, seperti biasa.
Ellena mengambil gelas itu dengan tangan gemetar. "Terima kasih, Luis," katanya pelan, lalu menelan obat itu. "Apa yang terjadi semalam?"
Luis duduk di ujung tempat tidur, menatapnya dengan tatapan datar. "Kau mabuk dan muntah di pakaianku," jawabnya tenang.
Ellena menutup wajahnya dengan tangan, merasa malu setengah mati. "Astaga, aku... aku benar-benar tidak ingat," katanya, suaranya bergetar karena malu.
Luis hanya mengangguk, tanpa menunjukkan banyak reaksi. "Istirahatlah. Aku keluar dulu," ucapnya dan berlalu.
Setelah beberapa saat, Ellena merasa sedikit lebih baik dan memutuskan untuk bangun. Dia ingin melakukan sesuatu sebagai permintaan maaf, jadi dia berpikir untuk menyiapkan sarapan. Tapi masalahnya, Ellena tidak pernah masuk dapur, apalagi memasak. Tetapi dia tetap memutuskan untuk mencobanya.
Dia memasuki dapur dan mulai mencari bahan-bahan. Setelah menemukan beberapa telur dan roti, dia menyalakan kompor dan meletakkan penggorengan di atasnya. Ellena mencoba menggoreng telur, tapi tidak butuh waktu lama sesuatu yang tidak diinginkan terjadi. Api tiba-tiba menyala lebih besar, membakar minyak di penggorengan.
Ellena panik, tidak tahu harus berbuat apa selain berteriak. "Luis! Tolong!" teriaknya dengan panik.
Luis segera berlari ke dapur dan melihat api di penggorengan. Dengan cepat, dia memadamkan api itu menggunakan handuk basah. Setelah api padam, dia menatap Ellena yang tampak ketakutan.
"Kau ceroboh, Ellena," katanya dingin, melihat tangan Ellena yang memerah dan sedikit melepuh. Sebagai seorang dokter, dia tahu apa yang harus dilakukan. "Ayo, kita obati tanganmu."
Dia membimbing Ellena ke wastafel dan membilas tangannya dengan air dingin. Kemudian dia mengambil kotak P3K dan mengoleskan salep pada luka bakar di tangan Ellena.
Ellena memanyunkan bibirnya, menahan air mata. "Aku hanya ingin menjadi istri yang berguna," katanya pelan.
Luis menghela napas, tatapannya tetap datang ketika menatap Ellena. "Ellena, tidak perlu memaksakan diri. Kau tidak perlu membuktikan apapun."
Ellena menunduk, merasa bingung. "Aku hanya ingin melakukan sesuatu untukmu, aku ingin meminta maaf karena sudah muntah di pakaianmu semalam."
Luis tetap diam, hanya fokus pada tangan Ellena. Setelah selesai, dia menutup kotak P3K dan menatapnya. "Jangan memaksakan diri lagi, kita bisa memesan sarapan dari luar. Jangan lakukan hal-hal yang bisa membahayakan dirimu sendiri. Aku terjadi padamu"
Ellena mengangguk. Dia tahu hubungan mereka masih jauh dari sempurna, tapi dia berharap ada cara untuk membuatnya lebih baik. Sementara itu, Luis kembali ke ruang kerjanya, tenggelam dalam pikirannya sendiri. Dia tahu ada banyak yang perlu diperbaiki, tapi untuk saat ini, dia hanya bisa fokus pada hal-hal yang ada di depannya.
Dalam keheningan rumah yang megah itu, dua anak manusia yang terikat oleh pernikahan tetap berusaha mencari cara untuk saling mengerti, meski jarak di antara mereka masih terasa begitu lebar.
***
Bersambung
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!