Tok tok
"Non Soya!" panggil bik Hilda ART(asisten rumah tangga) sekaligus pengasuh gadis yang masih bergelung di dalam kamarnya.
Pintu yang tak pernah dikunci selama gadis itu tinggal di kamar ini, selalu memudahkan sang bibi untuk membangunkannya untuk bersekolah, kamar yang lebih di dominasi warna abu dan putih menjadi ciri khas kamarnya, tak seperti kebanyakan anak gadis remaja lainnya yang lebih suka warna cerah, tapi Soya, ia lebih suka warna gelap.
Tepukan lembut wanita paruh baya itu sarangkan di lengan gadis itu agar ia terbangun. "Non! sudah jam enam! ini hari senin lo!" tuturnya.
"Ini hari Minggu, Bi ! " jawabnya parau dengan mata masih terpejam, bahkan selimut yang kini bertengger di kakinya ia tarik kembali untuk menutupi seluruh tubuh nya.
"Hari Minggu itu kemarin, Non! itu motornya juga sudah siap sama mang Tekyung! sarapan juga sudah siap!" tutur sang bibi sambil menahan tawanya.
"Ck! Bibi, ganggu deh! masih ngantuk ini! Hoam!" ujar Soya sambil menguap dan mengedip-ngedipkan matanya yang lelah. Semalam setelah berkencan dengan dua sahabatnya, Soya yang memiliki banyak pekerjaan langsung mengambil macbooknya dan mengerjakan pekerjaannya yang sudah tertunda beberapa hari. Karena terlalu fokus dia tak lagi melihat jam yang bertengger cantik di tembok kamarnya hingga tanpa sengaja Soya tertidur di meja belajarnya.
"Memang tadi malam sampai jam berapa begadangnya, Non?" tanya bibi Hilda.
"Nggak tahu. Pokoknya jam tiga dini hari tadi bangun masih di meja sana," tunjuk Soya dengan dagunya.
"Bangun ya, Non! sudah jam enam lebih, nanti terlambat lagi ke sekolahnya!"
Si gadis bernama lengkap Soya Pinkblack Wijaya itu hanya mengangguk tanpa menjawab, ia sibakkan selimut dan berjalan menuju kamar mandi dengan langkah gontainya. Sedangkan sang pengasuh kembali ke lantai bawah untuk meneruskan pekerjaannya.
...***...
Tak membutuhkan waktu cukup lama, cukup hanya dengan 15 menit gadis dengan rambut panjang berkilau bak iklan shampo itu sudah menggunakan pakaian lengkap beserta sepatu hitamnya.
Sepiring nasi goreng ayam kampung kesukaannya sudah tersaji di atas meja makan. By, nama panggilannya, anak pertama dan satu-satunya Tuan Besar Wijaya ini sekarang sedang menyelesaikan studinya di salah satu SMA unggulan di kota Jakarta, SMA KONOHA.
...Brum.....
Suara geberan motor sport Ducati panigale seharga enam ratus juta itu menggema di halaman rumahnya. Motor besar hadiah dari Daddynya yang merupakan kakak dari sang ibu menjadi tunggangannya setiap hari kesekolah.
Kecintaannya terhadap motor besar sejak ia mulai bisa mengendarai kuda besi itu menjadi hobinya hingga sekarang. Tak banyak yang menyangka, wajah cantik, kulit mulus seperti susu dengan mata teduhnya merupakan salah satu murid yang cukup disegani di sekolahnya. Bukan karena siapa ayahnya, namun karena perangai Soya yang selalu membuat temannya takut terhadapnya. Bahkan para guru pun enggan masalah dengan gadis bernama Soya ini, bukan juga karena kekayaan ayahnya namun karena kenakalannya yang sudah cukup membuat para guru angkat tangan.
"Wah, telat!" gumamnya setelah pintu gerbangnya tertutup bahkan sudah di gembok.
"Telat lagi, Kak?" tanya seorang siswa laki-laki yang merupakan adik kelasnya.
"Hum! biasa lah!" jawabnya santai tanpa beban sambil menyenderkan pant*tnya di sisi jok motornya. Adik kelas hanya bisa menggelengkan kepala. Jika siswa lain sudah takut setengah hidup karena terlambat, namun itu tak berlaku untuk Soya.
"Ck! telat mulu!" toyoran keras dari sang ketua osis hanya disambut dengan kekehan khasnya.
"Biasalah, Mel!" ia mendorong motornya masuk ke area parkir sisa bersama dengan para murid yang terlambat.
"Kalian semua! bersihin taman yang ada di depan Ruang Guru! ujar sang ketua osis memberi hukuman bagi mereka yang terlambat.
Para siswa dan siswi itu hanya pasrah mendapat hukuman. Bagaimana tidak pasrah jika guru BK yang killer nya naudzubillah memandang mereka dengan tajam, setajam omongan tetangga dirumah.
"Kamu mau kemana, Soya !" guru BK yang bernama Miranti itu menarik seragam Soya sedikit kasar. Dan sebenarnya Soya tak menyukai itu.
Mau bersih-bersih lah, Bu! ya kali saya mau ke kantin!" ujarnya sembari terkekeh.
"Khusus kamu! berdiri di hall dan hormat ke arah tiang bendera sampe pelajaran pertama selesai dan itu baju kamu pakai yang bener!" sarkasnya, sambil memasukkan seragam atasan Soya kedalam rok yang ia pakai.
"Cih! gak cukup apa tuh bendera dihormati sepanjang upacara, seragam bagus begini di bilang nggak bener!" gumamnya melirik penampilannya sendiri. Rok pendek diatas lutut, kemeja diatas pinggang dengan kancing yang terbuka semua.
"Mau melawan, Soya?" dua bola mata guru BK itu membelalak lebar seakan ingin menelan Soya hidup-hidup.
"Nggak lah, Bu! lain kali saja!" gadis itu langsung berlari setelah mengucapkan kalimat yang tentu saja akan membuat hidupnya suram. Soya segera menuju hall tempat dimana upacara bendera tadi pagi dilangsungkan. Setiap mata memandang heran Soya, ketua osis serta beberapa guru yang melihat hanya bisa menggelengkan kepalanya bukan sekali dua kali namun hampir setiap hari Soya melakukan itu.
Panas yang cukup terik, serta cahaya yang menyilaukan mata membuat Soya menelan salivanya sendiri.
"Hari ini panasnya nggak kira-kira banget sih! " omel Soya sambil sesekali mengibaskan tangannya di depan wajah mulusnya yang sudah memerah.
"Nyes." Dingin, sejuk menerpa pipi Soya.
Dari arah samping kirinya, pria yang memiliki tinggi diatas Soya tersenyum mengejek ke arahnya. Soya langsung menyambar air dingin kemasan itu dan menenggaknya dalam sekali teguk.
"Ck! tinggal saja di rumah Om Aswan kalau begini terus kelakuanmu, Ya! telat sekali dua kali itu keteledoran. Tapi kalau senin sampai sabtu telat, itu namanya gak waras!" sarkasnya
"Nggak usah cerewet!"
"Ini nih! ntar kalo Mami tahu, aku yang kena omel! yang katanya nggak mau perhatiin adik lah, ini lah itu lah. Huh, nyusahin!" mengangkat tangan dan merangkul leher Soya hingga gadis setinggi 165 cm itu mengaduh.
"Hana? panggil Kevin si pria tampan ketua tim basket ini pada teman Soya yang sedang celingukan mencari Soya tentu saja, siapa lagi.
Hana adalah teman Soya dari mereka masih di bangku sekolah dasar. Namun karena usaha ayahnya yang bangkrut dan tak lama sang ibu juga mengalami PHK dari tempat kerjanya membuat Hana tak bisa mengikuti Soya ke sekolah yang sama. Namun, karena usaha yang tak pernah mengkhianati hasil membuat Hana akhirnya bisa bersekolah di tempat yang sama dengan sahabat karibnya itu dengan bantuan beasiswa.
Yoyowahana nama panjangnya, gadis dengan warna kulit kuning langsat khas Indonesia ini berlari kecil menghampiri Kevin yang sedang berhadapan dengan sahabat sekaligus adik sepupu pria tampan yang digandrungi satu sekolahan itu.
"Telat, again?" ujar Hana terkekeh hingga memperlihatkan gigi gingsulnya.
"Kalian berdua kalau cuma mau menghakimi aku, mending pergi sana! sebelum tuh nenek lampir datang!" usir Soya pada dua orang didepan nya ini.
Kevin hanya bisa menggelengkan kepalanya tanda tak tahu harus bagaimana lagi menyikapi sikap sepupu satu-satunya ini. Sedangkan Hana justru menoyor kepala Soya hingga gadis cantik itu mendongak.
"Jangan lupa PR matematika!" lirih Hana di samping telinga kiri Soya. Soya yang melupakan jika hari ini ada pelajaran salah satu guru galak yang terkenal dengan penggaris kematian itu menelan ludahnya.
"Yuk, kita balik ke kelas. Tinggalkan gadis bengal ini panas-panasan disini!" tutur Kevin sambil menggenggam tangan Hana membuat gadis setinggi 150 sentimeter itu mendongak menatap kakak kelas fenomenal itu.
"Woi! temanku mau bawa kemana!" teriak Soya membuat guru yang melintas menghentikan langkah nya.
Sedangkan Kevin dan Hanya tetap melenggang menuju ke kelas.
"Dah sampai, aku masuk ke kelas ya!" Kevin mengacak rambut Hana membuat gadis itu mengerjap bingung.
"Kak Kevin, kesambet apa dah!" Hana masih bengong di depan kelas sampai Jino sahabatnya harus menepuk pundaknya sedikit keras agar gadis itu tersadar dari khayalannya.
"Ish, Jino! bikin kaget aja!" serunya.
"Lagian, ngapain bengong disini, habis ini pelajaran bu Mirnah, loh!"
"Kak Kevin tadi tiba-tiba gandeng tangan aku Jin! nganter aku sampai sini!" ujar Hana masih dengan nyawanya yang terbang entah kemana.
"Mimpi jangan ketinggian! siang hari bolong udah kesambet jin aja!" seru Jino.
"Nggak percaya banget sih, Jino!" seru Hana sambil mengejar pria manis satu gengnya.
...***...
Soya yang telah menyelesaikan hukumannya, memilih langsung menuju kantin terlebih dahulu sebelum masuk ke dalam kelas. Ia sandarkan punggungnya di kursi kantin dan berteriak memesan es jeruk kesukaannya.
"Kena hukum lagi, Non? tanya Ibu kantin.
" Biasa lah Bu!" Soya!" ujarnya sambil menepuk dadanya, bangga atas kelakuan yang tak patut dicontoh itu.
Sedangkan di dalam kelas XII IPA 1, terjadi ketegangan di antara siswa dan siswi.
"Kumpulkan! PR kalian!" Bu Mirnah si pemilik garisan panjang sepanjang tongkat nabi musa sudah stanby di mejanya. Jika tongkat nabi musa bisa membelah lautan namun tidak dengan penggaris bu Mirnah, ia bisa membelah hati hingga tak bersisa.
"Yang tidak mengumpulkan maju kedepan!" teriaknya.
Jino sahabat sekaligus teman sebangku Soya. Berdiri hingga membuat kakinya gemetar, "Mampus! kiamat datang!" lirihnya.
"Jino, Jino! kebiasaan!" ucap Hana yang duduk di depannya dengan tawa renyahnya.
"Kamu kenapa nggak ngingetin sih!" menyenggol lengan Hana pelan.
"Bodo amat! maju gih!" Hana tertawa tertahan. Sedangkan siswa yang tidak mengerjakan PR sudah berdiri berbaris menghadap tembok.
"Plak!"
"Aduh!" Jino beserta lima siswa lainnya meringis menahan sakit akibat pukulan di betis mereka. Sedangkan Soya yang tak ingin mendapat hukuman memilih bersembunyi di etalase ibu kantin untuk menyelamatkan nyawanya.
Jam menunjukkan pukul 12 yang artinya tak lama lagi siswa dan siswi sekolah bergengsi itu akan menyelesaikan perjuangan mereka menuntut ilmu hari ini.
"Ya! ngemall yuk!" ujar Jino
"Ngapain ke mall?" sahut Hana
"Rebahan!" ucap Jino kesal.
"Hana dan Soya cekikikan mendengar kesal sahabat mereka.
"Aku nggak bisa kemana-mana hari ini, Mommy Winda nyuruh kerumah.
" Tante Winda?" ujar Jino dan Hana bersamaan.
Jika wanita bernama Winda itu meminta Soya datang ke kediamannya pasti ada masalah serius yang harus segera dibicarakan.
"Minta Ucup, bawa motor aku pulang!" ujar Soya yang mendapat anggukan dari Jino.
"Bareng, kan Kevin?" Tanya Hana.
"Jelas, nggak usah ditanya lagi!" ujar Soya malas.
Dan kini , gantian ia tang mendapatkan kekehan dari dua sahabat laknatnya itu.
Dari kejauhan dua orang gadis yang merupakan anak kelas IPS memandang Soya and gengs sambil berdecak.
"Soya cuma beruntung saja karena jadi anak konglomerat sekaligus sepupu Kevin, coba saja dia tidak memiliki itu semua. Masih baik dan cantik aku kemana-mana 'kan?" ujarnya sambil menelisik penampilannya sendiri. Teman yang bermuka dua setiap hari mendukung semua kejahatannya itu hanya bisa tersenyum mengiyakan. Padahal di hatinya ia juga mengagumi Kevin.
Di dalam mobil Kevin, Soya yang lelah karena jalanan yang cukup macet sesekali berdecak dan beberapa kali terlihat merubah posisi duduknya sehingga membuat kakak sepupu yang berbeda hanya beberapa bulan itu menghela nafas.
"Tau gitu, pakai motor saja tadi!" cicitnya kesal.
Jika Soya yang susah terbiasa ngebut di jalanan agar segera sampai di tujuan, lain halnya dengan Kevin yang lebih suka memakai kendaraan beroda empat itu kesekolah. Pria pecinta keberhasilan dan sangat menjunjung kerapian dimanapun dia berada. Tak pernah dan tak akan pernah mau mengendarai kuda besi walau ia memilikinya. Hanya satu alasannya, tubuhnya tak lagi higienis. Sungguh berbanding terbalik dengan saudara sepupunya yang cantik layaknya barbie namun bagai devil.
"Ada apa, Mommy memintamu kerumah? ada masalah yang aku tak tahu? tanya Kevin di sela-sela kemacetan.
" Mana aku tahu! jika aku tahu lebih dulu aku tak akan datang dan memilih kabur ke Antartika!" kelakar Soya.
Kevin tertawa, Mami, Papi serta sang om yaitu ayah Soya selalu memiliki kejutan yang tak tak pernah menguntungkan bagi mereka namun sangat mengasyikkan bagi mereka para orang tua.
"Lalu, bagaimana dengan perjodohan itu?" tanya Soya.
"Selamanya aku tak akan mengakui Sheila sebagai calon pasanganku!" amit-amit!" ujar
"Jangan katakan itu, seolah aju akan benar-benar tertarik dengan wanita ular itu!" Kevin bergidik ngeri membayangkan jika ia tergila-gila dengan wanita yang dijodohkan nya itu. Jika perempuan yang dijodohkan nya itu adalah seorang yang ada dipikirannya sekarang tentu saja dia akan setuju.
Soya tersenyum, menarik sudut bibirnya. "Jangan pernah libatkan sahabatku dalam urusanmu! awas kau!" ancamnya, bak paranormal Soya menebak perasaan Kevin dengan tepat.
"Apa maksud mu?" tanya Kevin pura-pura tidak mengerti.
"Kau menyukainya! terlihat jelas!" ucap Soya dengan mata memandang lurus kedepan.
Kevin berdehem, menetralkan semburat merah di wajahnya. Dia tak menyangka jika selama ini apa yang ia lakukan terbaca dengan cukup jelas oleh adiknya ini. " A aku tak melakukan apapun, kau tahu itu." Elaknya.
"Ya, kamu memang tak melakukan apapun! tapi tatapan mata dan gestur tubuhmu sangat mudah terbaca olehku!" ujar Soya menatap Kevin dengan seksama.
"Sekarang saja, tanpa menyebut namanya. Pipimu seketika memerah! cih !"
"Stop! Soya!" seru Kevin.
Soya, gadis itu terdiam dan menatap ke arah depan dengan tatapan mengintimidasinya. "Ini peringatan! jangan libatkan dia jika hatimu tak tulus! kau tahu dengan pasti, bagaimana keluarga kita!" kata yang penuh penekanan itu membuat Kevin menghela nafasnya.
Gerbang dengan aksen bunga melati serta bubuhan cat berwarna emas itu membuat kesan mewah dan elegan lada rumah yang sudah ditempati dari Kevin lahir hingga saat ini. Walaupun terdapat banyak perubahan di berbagai sudut rumah. Namun, kesan mewah tak pernah luntur dari kediaman besar ini.
"Selamat siang Tuan Muda dan Nona Muda!" pria paruh baya dengan baju khas kepala pelayan datang menyambut kedua remaja itu.
"Nyonya serta yang lain sudah menunggu anda berdua, untuk makan siang bersama." tutur kepala pelayan kediaman besar Wijaya.
"Yang lain? beo Soya.
"Iya. Nona muda. Ada Tuan besar Wijaya bersama sang istri juga sedang menunggu kedatangan kalian."
Kevin dan Soya saling pandang. Mereka tahu jika seluruh keluarga besar berkumpul berarti memang ada hal yang serius yang akan para orang tua itu bicarakan.
"Kali ini riwayat siapa yang akan tamat!" ujar mereka secara bersamaan.
Kevin dan Soya saling melirik dan menghela nafas mereka. Dengan penuh degup jantung yang kian cepat, Soya serta Kevin akhirnya melangkahkan kakinya secara bersamaan menuju ke ruang makan.
Terdegup sayup-sayup tawa dari para orang tua yang membuat kedua remaja itu mengerutkan dahinya. "Selucu itu sampai kedengaran dari depan," cicit Soya.
"Selamat siang semua!" tegas Soya dengan mata elang memandang seluruh penghuni ruang makan itu.
Tawa yang cukup riang tadi seketika terhenti, setelah mendengar ucapan selamat siang yang sama sekali tak terdengar seperti sebuah sapaan.
"Siang sayang!" sahut sang ayah, Tuan besar Wijaya dengan senyum kerinduannya.
"Ayo, kalian bersih-bersih, setelah itu ikut kami makan siang bersama. Jangan terlalu lama, kita sedang ada tamu." ucapan yang diiringi senyum itu sama sekali tak menandakan gurauan, tali lebih suruhan yang mutlak.
Kevin dan Soya mengangguk secara bersamaan. Mereka memutar badan dan segera berlalu ke kamar mereka masing-masing untuk membersihkan diri. Tanpa Soya sadari, pria muda yang ada di kerumunan para orang tua itu, memandang Soya dengan sorot mata yang tak bisa diartikan dengan jelas.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!