Pernahkah kalian merasa bosan, tidak berarti, lelah, dan tidak berharap apa-apa? Ya, itulah yang kurasakan saat ini. Perasaan lelah dan penyesalan yang tumbuh setiap hari. Jika ada pepatah yang mengatakan bahwa “Cemburu itu tanda cinta”, itu semua bohong. Sebab kisah yang kualami sangat berbeda, cemburu justru membawa petaka.
“Baru pulang? Jam berapa ini!” Suara Riko mengagetkanku. Aku terdiam, menatapnya sebentar lalu meletakkan tas di meja makan.
“Tadi sudah bilang, aku telat. Soalnya Intan masih enggak mau ditinggal, Mas!”
“Yang meninggal siapanya Intan? Suaminya?”
“Bukan. Aku sudah bilang dari kemarin. Ayahnya yang meninggal!”
Kulangkahkan kaki menuju dapur. Sambil mengambil segelas air, aku melihat tumpukan piring dan gelas berserakan. Abu rokok yang bertebaran, membuat kepalaku pusing seketika. Seteguk air sudah mengalir melewati tenggorokanku. Kuayunkan tangan ini menuju bak cuci piring. Meskipun mata dan tubuh begitu lelah, aku harus membersihkan dapur sebelum tidur.
“Raina!” Riko berteriak.
Aku pura-pura tidak mendengar dan melanjutkan pekerjaanku. Ia datang mendekat sambil menyalakan sebatang rokok tepat di samping wajahku.
“Ketemu siapa di sana? Mantan?”
“Apa sih Mas, kan cuma ngelayat Intan. Dibilangin kok enggak percaya!”
“Di rumah Intan ketemu siapa lagi? Ada suaminya?”
“Ya adalah. Ada ibunya, keluarganya, teman-temannya juga ada.”
“Teman-temannya Intan, kamu kenal, kan? Bukannya kalian pernah satu kampus waktu di Bandung?”
Astagfirullah, kenapa manusia ini selalu buruk sangka. Seolah-olah aku pergi untuk berselingkuh.
“Ya, ada yang kenal Mas. Beberapa teman kampus juga datang.”
“Pantesan lama. Pergi dari subuh, pulang hampir subuh. Ngapain saja sama teman-teman kampus? Riko kembali bertanya. Kutarik napas dalam-dalam. Mungkin aku salah, mungkin memang benar aku berdosa. Bertemu dengan teman tanpa didampingi suami, bukankah itu tidak baik?
“Maaf deh Mas. Kan sekali-kali telatnya. Lagi pula sudah lama aku enggak ketemu mereka, ya itung-itung reunian.” Aku mencoba meredam kemarahan Riko.
“Jadi, kamu lebih bahagia sama teman-teman kamu dibandingkan sama aku ya?” Aku diam. Tak ada yang perlu dijawab lagi, pertanyaan yang tidak relevan. Kemudian Riko pergi ke atas, mungkin lelah menunggu dan matanya ingin beristirahat.
Aku merebahkan diri ke atas matras berwarna biru. Kamar ini sudah kusiapkan untuk Aksa. Sebentar lagi, ia akan tinggal dengan kami. Sementara ini Aksa masih bersama ibu di Bogor. Masih menunggu kelulusan Taman Kanak-kanak kelas B.
Kutatap langit-langit kamar itu. Ada setetes air yang jatuh ke pipi ini. Sebuah rasa kecewa karena Riko selalu curiga. Setumpuk rasa lelah karena rumah yang tidak menjadi tempat pulang dan istirah. Sesekali aku berkhayal, pulang disambut dengan senyuman Riko sambil bertanya Capek ya, sudah makan? Tetapi khayalan itu terbang, bersama mata yang terpejam.
Pernikahanku dengan Riko Subagyo adalah pernikahan yang kedua. Ia berusia 34 tahun saat kami bertemu. Sedangkan aku berusia 30 tahun. Setelah bertahun-tahun berjuang sebagai orangtua tunggal, Aku menyerah dan jatuh cinta pada Riko. Keringat dan airmata yang telah terukir, tak mampu juga membawa pada kehidupan yang kuimpikan. Setidaknya saat ini. Saat ini, keraguan selalu membayangi hari-hariku. Seolah-olah semuanya terlambat. Ah, kenapa setelah satu tahun aku menyadari, begitu banyak yang hilang dari diriku.
Dulu. Di masa-masa sendiri itu, ada masa bahagia yang aku dapatkan. Karir yang gemilang dan materi berkecukupan. Kehidupanku cukup baik dan mapan. Tetapi, aku menyerah karena keserakahan. Keinginan mendapatkan semuanya dalam hiduplah yang membuatku memutuskan untuk menikah lagi. Aku ingin dicintai dengan utuh. Ingin memiliki sepenuhnya. Aku memberikan kebahagiaan sempurna pada anakku. Memberinya seorang ayah. Dan tentu saja, itu semua karena aku sudah lelah.
Aku sudah memiliki seorang putra. Pernikahanku yang pertama hanya bertahan dalam hitungan bulan. Suamiku pergi dengan perempuan lain yang lebih mapan. Di sore hari yang tenang. Tanpa angin dan hujan, suami pertamaku menceraikanku dengan alasan sudah tidak ada cinta. Masih segar di ingatanku kalimat yang ia lontarkan “Aku sudah tidak mencintaimu dan tidak ingin menumbuhkan rasa cinta itu lagi buatmu!”. Begitu mudah kata-katanya, dan begitu lemah aku menerimanya.
Sejak saat itu, aku memutuskan untuk meniti karir seorang diri. Aksa, anakku yang belum mengerti kata ayah, yang baru saja diberikan makanan pendamping asi, harus berpisah dengan ibu dan ayahnya. Aksa kutitipkan pada ibuku di Bogor. Aku bekerja di Jakarta seperti perempuan gila. Tak mengenal waktu, tak mengenal lelah. Yang kupikirkan hanya cara bertahan hidup dan dapat memberikan yang terbaik untuk Aksa dan ibu.
Aksa. Seorang anak dengan binar di matanya. Binar yang merindukan sosok ayah yang tak pernah ia dapatkan. Di usia lima tahun, Aksa bertemu Riko. Sejak pertemuan pertama itulah, Aksa sudah lengket pada Riko. Ia tak pernah mengenal sosok ayah. Ayahnya tak pernah datang, tak pernah bertanya, tak juga memberi kabar.
Bukan karena Riko seorang lelaki yang mapan dan pandai bicara. Ada hal penting yang membuatku menyerah dan akhirnya menikah. Riko begitu menyayangi Aksa, putra semata wayangku. Tetapi semuanya berubah. Tidak, bukan berubah. Tak ada yang berubah dengan Riko. Hanya saja, aku baru menyadarinya.
Jalan Siaga 1. Di sinilah kami tinggal. Pemukiman lama daerah Jakarta Selatan, di belakang Mall Pejaten Village. Rumah ini terbilang besar untuk pasangan pengantin dengan satu orang anak. Rumah dengan gaya klasik terdiri dari dua lantai itu, dikelilingi pagar tinggi dan pohon jambu. Kami kurang bersosialisasi dengan tetangga. Tetapi hampir semua tetangga, kenal dengan keluarga kami. Dan aku baru mengetahui, kalau rumah ini adalah hadiah dari ayahnya Riko.
Aku tidak pernah menyangka, kalau pernikahan ini sudah terasa gagal sejak hari pertama. Laki-laki yang bergelar suami itu tidak pernah memberiku nafkah lahir. Sejak menikah, bahkan sebelum menikah, semua kebutuhan dipenuhi oleh orangtuanya.
“Ini uangnya!” Suara Eyang Putri terdengar dari kamar. Aku yang baru saja keluar dari kamar mandi, sedikit melihat gerakan Eyang membuka lemari jati berwarna coklat tua dan memberikan uang cash pada Riko. Tidak lama kemudian, Riko mengajakku berbelanja kebutuhan untuk acara pernikahan. Mulai dari mas kawin, pakaian, tas, make up, dan uang untuk acara akad dan syukuran pernikahan. Ya, aku memang tidak mengeluarkan banyak uang untuk pernikahanku dengan Riko. Karena tabunganku sudah menipis dan beberapa bulan sebelum menikah, aku sudah tidak bekerja. Anehnya, aku tidak keberatan saat itu dengan pemandangan yang kusaksikan. Pemandangan seorang anak laki-laki yang berusia sangat dewasa, sedang meminta uang pada ibunya yang sudah tua dan tidak bekerja. Aku hanya berpikir positif. Mungkin saja, Riko menyimpan uang hasil usahanya pada ibunya.
Kebodohanku yang kedua adalah mengikuti keinginan Riko sebelum menikah. Karir yang bertahun-tahun aku bangun, aku tinggalkan begitu saja. Gaji bulanan dan fasilitas kantor yang tidak sedikit, tak juga membuat perndirianku berubah saat itu. Aku hanya mencoba memahami ketakutan Riko atas kehilangan. Lagi pula, waktu itu, Riko terlihat sangat mampu menghidupi aku dan anakku.
“Mas, aku mau kerja lagi ya? Pagi itu aku bertanya pada Riko yang baru saja bangun. Buatku, pertanyaan ini adalah hal ringan. Tidak mungkin merusak suasana hatinya, apalagi sudah tiga minggu kami melewati surga suami istri.
“Buat apa? Di mana?” suara Riko meninggi. Aku sedikit kaget dengan intonasinya itu. Apa ada yang salah dengan pertanyaanku.
“Aku itu gak biasa kalau gak kerja Mas. Lagian kata kamu sebelum nikah, aku boleh kerja lagi asal di Jakarta. Kerjaan aku yang terakhir di Bogor kan kejauhan dari rumah ini.”
“Iya, kerja di mana?”
“Di lembaga penelitian Mas. Besok aku diminta datang buat wawancara. Mas ikut aja!”
“Kapan ngelamarnya? Kok gak bilang?”
“Kemaren gak sengaja aku chat Ibu Susi. Dulu aku pernah satu kantor sama dia, ternyata dia sudah pindah ke lembaga itu. Jadi ngobrol-ngobrol deh. Eh malah diajak gabung. Katanya, datang aja dulu ke sini.” Aku bercerita panjang lebar soal pekerjaan itu. Jarak dari rumah menuju lembaga tersebut tidak terlalu jauh. Sekitar 45 menit sampai jika lancar. Riko diam, tidak merespon. Ia malah sibuk dengan ponselnya.
Keesokan harinya, kami pergi ke kantor Bu Susi. Riko menunggu di bawah. Aku dan Bu Susi sudah mencapai kesepakatan. Ternyata, beliau yang memimpin Divisi Riset. Tugasku hanya menelepon objek sampel untuk menanyakan tingkat kepuasan dan beberapa pertanyaan lainnya. Tentu saja sesekali, aku harus datang ke perusahaan untuk membagikan angket. Tetapi itu hanya sesekali saja. Akhirnya, Bu Susi memintaku untuk mulai bekerja besok pagi.
”Mas, Alhamdulillah. Aku diterima. Besok pagi mulai kerja.” Sambil tersenyum sumringah, aku menatap Riko yang sedang mengemudikan mobil.
“Gaji berapa?” tanyanya ketus.
Agak aneh Riko bertanya soal gaji. Bukankah hal pertama yang harus ia ucapkan adalah kata ‘selamat’. Memangnya kenapa kalau gajiku kecil atau besar. Dia tau persis alasan aku bekerja. Anak sulungku sebentar lagi masuk SD, ia cukup mandiri sehingga tidak membutuhkan pengasuh. Apalagi, aku sudah berencana untuk menyekolahkannya ke sekolah swasta dengan metode belajar fullday system. Aku bekerja agar kemampuan yang kumiliki tidak mati. Dulu, ketika aku bekerja di perusahaan besar, posisiku cukup lumayan sebagai manajer. Gaji, tunjangan, asuransi, uang makan, dan bonus, aku dapatkan dengan jumlah lumayan besar. Belum lagi fasilitas hotel bintang lima jika aku melakukan perjalanan dinas. Perusahaan terakhir tempatku bekerja ketika bertemu dengan Riko pun sebenarnya lumayan bagus. Tetapi Riko menyuruhku berhenti dengan alasan terlalu jauh. Aku hanya bertahan beberapa bulan di sana.
Jadi, kalau hari ini Riko bertanya jumlah gajiku, rasanya aku tersinggung. Tapi, ah mungkin dia hanya ingin tau saja.
“Hemm gaji pokoknya sih sekitar lima juta mas. Tapi nanti ada insentif kok.” Gaji yang kecil sebenarnya kalau dibandingkan dengan keahlianku di masa lalu. Tetapi aku memang butuh kegiatan.
“Ya ampun Na. Ngapain capek-capek kerja di situ kalau gajinya kecil. Jauh pula dari rumah. Gak usah, mending kamu buka usaha sendiri aja!”
Aku terdiam. Selalu ada alasan yang sama. Lagi-lagi jarak. Memangnya kenapa dengan jarak? Masih di Jakarta. Perjalanan rumah menuju kantor sekitar satu sampai dua jam itu wajar untuk di kota besar. apa karena gajinya yang kecil? Atau karena dia merasa mampu memberi lebih daripada itu. Tempat terakhirku bekerja memberiku gaji sepuluh juta. Cukup untuk memenuhi kebutuhan anak dan ibukku. Tetapi aku rela berhenti demi menjaga kekhawatiran Riko.
Riko memang terbilang mampu untuk memenuhi kebutuhan kami. Dia memiliki usaha showroom mobil dan motor. Karyawannya tidak banyak, hanya dua orang ditambah satu sopir. Tempat usaha showroom berupa ruko tiga lantai itu, ditinggali Riko sebelum menikah denganku. Setelah menikah, Riko tinggal di rumah kami dan pergi ke ruko yang terletak di daerah BSD.
“Sayang, Eyang Putri nyuruh mampir!” tiba-tiba Riko membuyarkan lamunanku.
“Kapan?” Sambil membetulkan kerudung, aku menoleh suamiku sesaat. Sepertinya, aku harus merayu sekali lagi agar diizinkan bekerja di lembaga penelitian tersebut.
“Sekarang! Oh ya, soal kerjaan dengan Bu Susi tadi, jangan dibahas lagi ya. Aku gak setuju!” Riko menyampaikan hal tersebut dengan ketus. Mirip adegan sinetron seorang bos galak yang berbicara pada bawahannya. Dan aku, hanya bisa menahan amarah, menahan pendapat, menahan segala yang kupikirkan dan kurasakan. Demi sebuah pernikahan.
“Ya sudah mampir dulu ke toko kue. Aku mau bawa cake kesukaannya!”
“Enggak usah! Eyang gak minta kok!”
Enggak minta? Memangnya harus nunggu diminta orangtua. Aku sedikit bingung. Ah, bukan sedikit tetapi banyak. Berarti selama ini, kalau aku bawa oleh-oleh atau makanan untuk keluargaku dan dia yang bayar, dia keberatan?
“Aku mau bawa, ga sopan ke rumah orang tua tapi gak bawa apa-apa!
“Sayang, keluarga aku itu enggak begitu. Ibuku gak akan marah kok kalau gak bawa makanan, paling juga nanti kamu dibawain makanan.”
“Justru itu Mas, Eyang itu sudah sering ngasih makanan dan lain-lain buat kita. Masa kita gak bawa apa-apa. Lagi pula kamu aneh deh, waktu kita belum nikah, kamu gak komplen. “
Riko diam. Akhirnya ia menepikan mobilnya di toko kue. Sepanjang perjalanan, perdebatan kami soal cake kesukaan Eyang, kuhentikan. Aku tidak ingin berdebat lagi. Dua hal yang membuatku tidak setuju dan bertanya-tanya. Soal pekerjaan dan masalah oleh-oleh.
“Assalaamualaikum!” Aku masuk ke rumah di jalan Siaga itu. Rumah bercat putih dengan model klasik. Kursi ruang tamu dan perabot lain yang terbuat dari kayu jati. Khusus didatangkan dari Jepara. Di sudut-sudut ruangan, terlihat beberapa guci yang di bawa langsung dari China oleh Eyang Kakung. Sedangkan dinding-dinding rumah, Nampak penuh oleh lukisan-lukisan kuda dan gajah. Itu juga sama, di bawa Eyang kakung dari Thailand. Eyang Kakung memang bekerja keliling Asia, di bidang ekspor dan impor.
“Waalaikumsalam!” Eyang putri menghampiri kami. Ia langsung mencium dan memelukku. Ada Ria sedang duduk di ruang TV. Ria, adik Riko memang tinggal bersama Eyang di rumah itu. Suaminya terlalu sibuk bekerja dan mengurus ibunya yang sering sakit. Ria pun sepertinya lebih betah tinggal bersama orangtuanya.
“Waduh bawa apa ini?” tanya eyang karena melihatku meletakkan cake di atas meja makan.
“Ini loh cake kesukaan Eyang, rasa pandan!” jawabku sambil tersenyum lantas mengambil pisau dan beberapa piring kecil.
“Wah makasih ya, berapa kamu beli? Nanti Eyang ganti! Oh ya, Ria … Ria.. ambilkan sendok kecil dan piring kue! Kalau kue ini bukan yang ini piringnya Na, sendoknya juga harusnya sekalian dibawa!”
Sebentar. Apa aku tidak salah dengar. Diganti? Apa maksud Eyang dengan ‘diganti’. Kenapa dia harus mengganti kue yang aku bawa. Dan kenapa seolah-olah kata-kata itu sudah biasa dilontarkan Eyang. Aku bergegas ke dapur menghampiri Ria. Ingin kutanyakan hal kecil yang sedikit mengganggu ini.
“Ria, itu maksudnya apa ya? Maksud Eyang dengan ‘diganti’ tadi?” tanyaku setengah berbisik.
“Oh itu, iya diganti buat beli kuenya.”
“Kenapa? Aku kan ngasih buat Eyang, bukan untuk minta diganti.”
“Loh, memang harus diganti. Nanti juga Mas Riko minta ganti. Biasanya begitu kok Mbak!”
“Biasanya? Maksudnya?” Aku bertanya lagi sambil keheranan.
“Dari dulu juga memang seperti itu. Kalau Mas Riko diminta belikan sesuatu atau bawa sesuatu, pasti Mas Riko minta ganti sama Eyang.”
Ria kembali ke meja makan sambil memotong kue. Aku yang masih berdiri di dapur seketika mematung dan bingung. Kemudian, aku mencuci beberapa gelas kotor yang ada di sana. Hari sudah siang, pembantu rumah itu biasanya sudah pulang. Samar-samar kudengar pembicaraan Eyang putri dengan Riko. Sepertinya, Riko tidak sadar dengan keberadaanku di dapur. Terlebih lagi, pintu dapur sedikit tertutup.
“Tinggal berapa bulan lagi habis sewa rukonya Mas?”
“Bulan depan Yangti. Saya dari mana kalau bukan dari Yangti.”
“Tapi kamu setiap hari ke Ruko?”
“Tergantung situasi. Kalau Raina ada acara ke luar atau ketemu temannya, saya harus antar, gak bisalah saya ke Ruko.”
“Ya antar saja tapi enggak usah ditunggu, Mas!”
“Enggak bisalah, nanti kalau Raina kenapa-napa?”
“Ih, kamu ini, Mas. Yo wes, ini uangya seratus tigapuluh juta ya. Nanti Eyang bilang sama Yangkung. Tahun berikutnya, kamu cari pinjaman saja. Kayaknya setahun lagi Yangkung pensiun.”
Sewa ruko? Apalagi ini. Bukannya ruko itu milik Riko. Kenapa jadi sewa? Berarti selama ini Riko berbohong soal ruko. Kuperhatikan Eyang dan Riko dari balik pintu dapur. Aku mengambil lap, pura-pura membersihkan meja dapur dan kompor, sambil mendengarkan pembicaraan mereka.
“Oh iya Eyang, gaji karyawan belum Eyang transfer ya. Besok mereka gajian.” Kata Riko sedikit berbisik.
“Ya nanti ditransfer.”
Aku semakin terdiam. Gaji karyawan dan ruko. Baiklah, jadi selama ini ruko itu hanya sewa, dan karyawan Riko digaji dari uang Eyang. Ditambah lagi alasan Riko jarang ke ruko belakangan ini karena sering mengantar aku dan takut kenapa-napa? Aku menarik napas dalam-dalam sambil menahan amarah. Rasanya ingin kulangkahkan kaki ini untuk segera pulang.
“Raina!” Eyang putri memanggilku.
“Ya Eyang,” aku bergegas ke meja makan. Menghampiri Yangti yang sedang duduk bersama Riko dan Ria. Kutatap mata Riko. Dia sedikit terkejut karena melihatku keluar dari dapur.
“Loh aku pikir kamu di kamar. Engga salat?” Tanya Riko.
“Iya, mau Mas sebentar lagi.”
“Raina, kamu enggak mau belajar masak dari Ria. Ria itu kan pintar masak. Coba kamu belajar masak makanan Jawa. Siapa tau nanti bisa buka rumah makan atau jualan apa gitu di rukonya Riko. Kan bisa bagi dua ruangannya dengan showroom. Lagi pula ruko itu banyak ruangan yang tidak terpakai.”
“Oh iya Eyang. Nanti saya coba. Tadinya sih mau kerja lagi, tapi Mas Riko keberatan.”
Sekalian saja kubuka masalah pekerjaan tadi pagi. Supaya orang tuanya tahu kalau anaknya banyak melarang. Apalagi sekarang, aku baru tahu kalau Riko berbohong soal tempat usahanya. Dari situ saja cukup terlihat kalau dia ternyata belum mampu untuk hidup mandiri.
“Ya kalau suami keberatan, istri memang harus patuh.” Eyang melirikku dan tersenyum. Kepatuhan seorang istri segalanya bagi mereka. Hal itu terlihat dari posisi Eyang Putri sebagai ibu rumah tangga. Begitu juga dengan Ria, ia tidak bekerja di luar rumah meskipun pendidikannya cukup tinggi.
Tak ada pembelaan dari Eyang putri. Eyang justru membahas kalau aku buka usaha nanti, ia sudah menyiapkan perlengkapan memasak untukku. Ria juga sepertinya mendukung usulan Eyang.
Sepanjang perjalanan pulang, aku dan Riko bertengkar. Riko mengakui kebohongannya dan meminta maaf. Dia bilang, dia sangat takut kehilanganku kalau dia jujur soal ruko dan gaji karyawan. Usahanya sedang menurun, jadi beberapa bulan ini, Eyang yang menutupi gaji karyawan. Lalu Riko bercerita tentang kesuksesannya di masa lalu. Ketika dia mampu membeli rumah dari hasil kerja kerasnya.
Ada rasa iba yang hadir di dadaku. Barangkali benar, roda kehidupan selalu berputar. Tak ada salahnya juga aku membantu suami. Jika memang harus bekerja lagi, buka usaha makanan mungkin jawabannya karena hanya itu yang diizinkan suamiku. Sekalian memanfaatkan ruko yang ada, aku juga tidak perlu jauh-jauh dengan Riko.
Seminggu kemudian, aku membuka warung makan di ruko yang sama. Tempat showroom mobil dan motor berada. Ini peluang yang cukup menjanjikan. Bukankah, setiap konsumen yang datang akan menunggu cukup lama. Sambil menunggu, mereka bisa makan di warungku.
Hari pertama aku buka warung nasi. Etalase sepanjang dua meter berdiri di depan ruko. Aku pasang partisi di sampingnya, sebagai pembatas antara ruko dengan showroom riko. Beberapa bangku kusediakan di sana untuk pembeli yang ingin makan di tempat. Belum layak rasanya jika warung ini disebut restaurant. Semoga ke depannya, aku bisa membuka restaurant sungguhan.
Aneka masakan sudah siap tersaji. Dari mulai ayam goreng, gepuk, orek tempe, dan tumisan lainnya. Semua kukerjakan sendiri. Aku tidak mau meminta bantuan Ria atau Eyang putri. Sebab aku juga ingin menunjukkan kemampuanku. Selama ini, mereka mengira aku tidak bisa memasak. Padahal usia pernikahan kami baru sebulan. Kenapa dengan mudahnya menyimpulkan sesuatu yang belum bisa dibuktikan. Riko menyarankan untuk mencari karyawan yang bisa membantuku. Lucu, karyawannya saja masih digaji oleh orangtuanya, kok bisa menyarankan hal seperti itu. Lagipula, aku belum yakin apakah usahaku ini akan menguntungkan atau tidak. Baru juga hari pertama, belum tentu ada yang beli.
“Wah, enak banget ini. Aku baru tau kalau kamu pintar memasak.” Begitu celoteh Riko sambil menyantap makananku. Tak lama kemudian, dia sibuk menelepon teman-temannya. Mempromosikan warung makan istrinya.
Menjelang makan siang, beberapa tetangga ruko membeli masakanku. Sebagian besar adalah karyawan salon yang sejajar dengan ruko ini. Lalu munculah serombongan teman-teman Riko. lebih tepatnya, anak-anak muda yang baru lulus SMA dan sebagian mahasiswa.
“Om, Tante, … apa kabar?” begitu serentak mereka menyapa. Aku tersenyum dan mempersilakan mereka duduk.
“Mana yang lain? Ayo makan-makan semuanya. Enak banget loh. Mumpung masih promosi. Seminggu ini gratis kalau makan di sini.” Ujar riko
What? Gratis? Apa tidak salah dengar? Ada apa dengan Riko? Dia memberikan makan gratis untuk teman-temannya tanpa berdiskusi denganku. Aku menahan diri. Berusaha tidak terpancing emosi dengan situasi. Kutarik tangan Riko ke belakang.
“Mas, kok bisa sih gratis seminggu? Aku rugi dong. Sudah capek masak tapi gak dibayar.”
“Tenang sayang, biar laku warungmu. Yang penting orang-orang tahu kalau masakanmu enak. Nanti aku ganti semuanya. Catat aja, berapa yang mereka makan. Oke?”
Riko berlalu, ia kembali mengobrol dan tertawa dengan teman-temannya. Aku sedikit lega dengan ucapannya tadi. Biarlah, yang penting dibayar. Kalau dikasih diskon sih oke. Tapi kalau gratis, rasanya tidak masuk akal.
Sampai pukul empat sore, tidak ada pengunjung lagi. Tak ada satu pun keluarga Riko yang datang. Mereka hanya antusias menyuruhku berdagang, tetapi tidak antusias melihat daganganku. Kubungkus sisa-sisa makanan yang tidak habis lalu kukirimkan ke rumah mertuaku.
Piring-piring berserakan. Gelas-gelas kopi, asbak rokok, dan abu yang mengotori meja. Aku bersihkan semuanya. Setelah itu, ku pel lantai di area tempat makan. Lantas di mana Riko? Dia tetap ngobrol dengan teman-temannya. Riko sempat memanggil salah satu karyawannya yang bernama Doni untuk membantuku. Tapi aku menolak. Aku tidak mau menambah beban pekerjaan karyawan yang bukan karyawanku.
Sepanjang hari di Ruko, kuperhatikan hanya satu orang konsumen yang datang menemui Riko. Showroom ini selain menjual mobil dan motor bekas, juga menerima service atau perbaikan mobil dan motor. Lebih tepatnya merangkap bengkel. Unit mobil yang ada di sini juga hanya satu. Kalau sudah laku, akan datang mobil yang baru. Selebihnya, motor dipajang sekitar 10 unit. Kadang aku melihat Doni hanya duduk-duduk sambil bermain ponsel. Lalu karyawan yang lain menonton TV. Doni tinggal di ruko itu. Di lantai dua, tersedia dua kamar tidur. Sedangkan lantai tiga dibiarkan kosong.
Setelah membereskan semuanya. Kami pulang sekitar pukul delapan malam. Bahan-bahan untuk dagangan besok, sudah kusiapkan dan kumasukan ke dalam kulkas. Daging dan ayam sudah dimarinasi. Bumbu-bumbu masakan sudah kublender dan kuiris. Besok pagi, aku tinggal goreng-goreng dan tumis.
Cukup lelah hari itu. Pendapatan yang kuterima hanya lima puluh ribu rupiah. Sebab hanya dua orang yang memebeli masakanku. Sisanya teman-teman riko yang makan gratis dan akan diganti oleh suamiku yang dermawan itu. Ingin kutanyakan soal itu, tapi rasanya tak pantas. Toh, Riko juga memberikan ATM-nya padaku.
Sudah enam bulan kami menikah, Riko tidak pernah bertanya berapa kebutuhan rumah tangga kami untuk sebulan. Ia pun tidak pernah menanyakan bagaimana biaya sekolah Aksa serta keperluan ibuku. Mungkin ia berpikir, ATM-nya yang kupegang cukup untuk memenuhi kebutuhan kami semua.
Sebenarnya cukup. Bahkan lebih dari cukup. Bagaimana tidak, setelah kami menikah, Eyang putri mengirimkan sembako untuk satu bulan. Mulai dari beras, telur, tepung, gula, kopi, sabun, dan sebagainya. Tidak lupa, Eyang juga memberikan deodorant dan parfum yang biasa digunakan riko. Belum lagi, setiap kali kami berkunjung ke rumah Eyang, Eyang seringkali menyuruhku membawa makanan atau hal-hal lain untuk keperluanku dengan Riko. Penghasilan usaha Riko, tentu saja cukup jika sekadar membeli makan kami berdua. Aku juga baru tahu, kalau bensin mobil dan sopir, semuanya dari Eyang.
Ada harga diri yang sulit kuterima. Aku, Raina Daffa Salsabila, perempuan yang biasa hidup mandiri bahkan membiayai anak, ibu, dan adik-adik. Kini memiliki suami pencemburu yang belum mandiri. Apa ketidakmandiriannya itu baru terjadi sekarang? Karena kondisi usahanya yang sedang turun? Jangankan setelah lulus kuliah, sejak pertama kali kuliah pun, aku sudah bisa mencari uang sendiri. Tapi kini, kenapa suamiku seperti ini? Ada suara sumbang yang kadang terdengar dari adiknya Riko, setiap kali kami ke rumah Eyang. Ima, adik riko yang bungsu itu memang agak ketus. Mungkin karena dia memiliki pekerjaan yang bagus. Ketika aku sedang memasukan telur, gula, dan lainnya ke dalam kantong karena disuruh Eyang, Ima pernah berkomentar, “Lagi borong ya, di supermarket?”
Sambil tersenyum sinis, Ima menegurku. Aku sebenarnya tidak mau membawa makanan dari rumah Eyang. Tetapi Eyang suka memaksa. “Sombong, dikasih kok malah nggak mau!” begitu kata Eyang putri.
Sudah satu minggu aku berjualan. Aku semakin mengenal karakter Riko sesungguhnya. Selama seminggu itu pula, Riko mengundang teman-temannya dan makan gratis di warung nasi kami. Pengunjung lain mulai berdatangan, tetapi belum terlalu ramai. Tetap saja, Riko tidak pernah mengganti uang daganganku.
Kondisi usaha Riko pun tidak pernah ramai. Sibuk dengan teman-temannya yang ikut nongkrong atau makan. Tetapi Riko terlihat santai. Ia tidak terlalu memikirkan penghasilan. Apa karena orangtuanya yang masih mampu membantu kehidupan Riko.
Hari itu aku tidak enak badan. Rasanya seluruh tubuhku lemas dan sakit. Sepertinya aku terlalu lelah memasak sendirian dan menyiapkan semuanya. Padahal Riko juga pintar memasak dan senang jika teman-temannya memuji masakannya. Ah ya, aku lupa. Riko lebih suka masakan Jawa. Malam harinya aku minta Riko untuk mengantarku ke dokter kandungan, sebab aku curiga dengan jadwal menstruasi yang sudah terlambat beberapa hari.
“Selamat ya Pak, istrinya hamil. Janinnya sudah berusia dua minggu.” Dokter kandungan itu menyalami Riko dengan senyuman. Ada segurat bahagia di wajah Riko. Ada setitik keraguan di dalam hatiku. Mampukah aku menjadi seorang ibu lagi?
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!