Malam ini, aku berjalan melewati lorong sepi yang hanya dibantu oleh pencahayaan lampu jalan, seperti biasa, sepulang kerja aku akan melewati lorong ini. Namun entah karena akan turun hujan hingga suasana terasa dingin, angin malam menyapu tubuh ringkihku hingga tengkukku sedikit merinding, aku berjalan sambil menunduk memeluk tubuhku dan tidak berani melirik sekitarku, takut jika mataku menangkap sesuatu yang aneh atau semacam hantu, bisa saja kan?
Ku-pelankan langkahku ketika pendengaran ini menangkap sesuatu, suara seperti duk Duk terdengar nyata. tubuhku merinding. Meski begitu aku memberanikan diri mengikuti asal suara, pelan pelan aku mengintip disudut lorong.
Di-sana terlihat seseorang dari postur tubuhnya aku tebak itu adalah pria, dia sangat tinggi.
Dia mengenakan topi hitam serta masker yang menutupi mulut dan hidungnya, pakaian yang serba hitam segelap tempat itu.
Aku menajamkan penglihatan-ku dengan adanya bantuan dari cahaya bulan. Kulihat lagi lebih teliti hingga wajahku condong ke-depan.
Apa yang dia kerjakan disana?
Tangannya bergerak lincah seperti memotong diatas talenan seperti koki profesional.
Sedetik.
Dua detik.
Mataku nyaris saja keluar. Tahu apa yang kulihat? I-itu terlihat seperti daging yang dipotong potong. Darah merembes ketanah dan tercecer dimana mana, rasanya mataku perih melihatnya. Setelah ku-amati baik baik, aku membeku ditempat. Terlihat jelas itu adalah tangan yang memiliki jari jari.
Aku membekap mulutku agar tidak bersuara karena terkejut.
Ulu hatiku sakit sekali menyaksikan pembunuhan didepan mataku langsung, terasa ingin kencing dicelana. Tubuhku menggigil seperti tersiram air es kemudian membeku. Aku bersandar ditembok lorong itu tanganku bertumpu menopang tubuhku, tangan yang membekap mulut ini bergetar dan air mata pun luruh.
Samar samar terdengar.
“Sudah aku bilang kan? Jangan membantahku, mati kan kamu!!”
“apakah enak? Dicincang dan dipotong dadu? sangat enak dipadukan dengan wortel, hmm.. Betapa lezatnya sayur sup”
Ucap pria itu disertai tawa sumbang yang terdengar menyeramkan. Dia mengatakannya dengan tenang dan tanpa dosa.
Aku menahan mual, membekap mulutku kuat kuat agar tidak muntah.
Bagaimana bisa? Dan apa katanya? Sayur sup? Apakah dia bercanda? dengan daging itu dibuat sup?
Pria gila...!!
Aku sulit mempercayai ini. Aku tersadar dan kuangkat kaki pelan dan melangkah mengendap endap, meski jantungku berdetak tak karuan, aku tetap memaksakan diri. alam bawah sadar-ku memintaku untuk segera berlari, ada bahaya yang sedang mengintaiku.
Tapi... Belum seberapa jauh aku melangkah, telpon-ku tergeletak ditanah hingga bunyi itu terdengar ditelinga pria tersebut, dan karena suara itu juga mengalihkan fokus pria itu.
Aku kembali membeku.
“eh. Ada orang? Siapa disana?”
Suaranya serak dan terdengar menyeramkan ditelinga-ku..
Degg
Jangan tanya seperti apa jantungku saat ini, sudah berlalu talu dan ingin keluar. Kurasakan langkah kaki mendekat. Dengan cepat kuraih telpon-ku yang tergeletak dibawah dengan gesit dan berlari meninggalkan tempat itu.
Kumohon, aku mohon, semoga saja ini mimpi..!! Pintaku dalam hati. Begitu sampai dikost, aku langsung menutup pintu dengan kasar dan menguncinya dengan cepat. Tubuhku luruh dilantai bersandar dipintu lalu memeluk kedua lututku dengan tangan gemetar.
Ini mimpi ini mimpi bisikku memohon. Betapa kacau dan takutnya aku.
Ini adalah pertama kalinya aku menyaksikan hal semacam ini. Siapa tidak ketakutan setengah mati? ingin lapor polisi, tapi apa aku punya bukti? Lalu apa? Hidupku tidak akan aman lagi setelah ini.
Kupegang kedua kepalaku yang terasa sakit, jantungku memacu tidak sabar begitupun pikiranku yang tidak bekerja sama, pikiran negatif melintas di kepalaku.
Bagaimana jika pria itu datang dan mencariku?
Bagaimana jika dia dengan cepat menemukanku? Apa yang harus kulakukan? Rasanya aku ingin pulang cepat cepat kedesa. Disana adalah Tempat tentram dan aman tanpa adanya bahaya yang mengancam.
Aku tidak berani beranjak dari tempatku duduk, melirik kamar kost-ku, yang sedikit kusam dan cat dinding yang mulai pudar, aku mendongak melihat plafon kamar terlihat berlubang itu. Sebelumnya aku tidak mempermasalahkan ini namun sekarang aku jadi paranoid.
Bagaimana jika penjahat itu merangkak diatas sana lalu mencekik-ku?
Bagaimana jika dia menendang dinding yang retak ini dan merobohkannya lalu menarikku keluar?
Bagaimana dan bagaimana?
Hidupku kacau dalam semalam, mentalku tidak lagi aman, aku tidak bisa lagi tenang entah apa yang akan terjadi besok.
Malam semakin larut dan terasa dingin, aku tidak berani memejamkan mata, terpejam sedikit saja. maka terlintas lagi bagaimana daging itu dipotong potong didepan mataku.
Apa yang harus kulakukan?.
Ku-lirik sekitar kamar kost-ku lalu tatapanku terpaku disebuah jam dimeja kecil tetap disamping tempat tidurku.
Pukul dua pagi. Berarti sudah dua jam aku duduk disini.
Pandanganku mulai gelap, kegelapan memelukku.
Samar samar kurasakan ada yang menarikku lalu menindihku dan mencekik leherku, aku seperti ikan yang mangap mangap karena kurangnya udara yang masuk keparu paruku. Jiwaku meronta, berteriak, meraung, histeris. Dan tubuhku terasa sakit.
Ada apa dengan diriku?
Aku tidak bisa menggerakkan tubuhku. Tenggorokanku sakit sekali, dan telingaku pun terasa sakit seperti ada yang menusuknya. aku sudah putus asa. Sudah waktunya kah aku mati? Tolong.. tolong.. !! Siapapun itu.. bantu aku lepas dari jeratan ini..!!
Aku tersiksa.
Aku menderita.
Dan pelan pelan kupasrahkan diriku. Pasrah. Lelah.
Aku menangis dalam diam.
Namun setelah aku pasrah. Aku merasakan kekuatan entah darimana hingga berhasil lepas dari cengkraman.
Aku berdiri dan bergegas dan naik ketempat tidurku, kulirik lagi sekitarku dengan tatapan ngeri, tidak ada siapa siapa disini selain diriku.
Apa itu tadi?
Terasa sangat nyata.
Kenapa menyeramkan sekali.
Bisikku lirih.
Aku baru saja bermimpi dan kalian tahu apa yang kualami?
Aku baru saja ke-tindisan.
Perasaan semacam tidur namun seperti sadar, dan merasakan perasaan seperti terbelenggu.
Jiwamu tersiksa. Meski kamu berusaha keras malawan, berteriak, menangis, tidak akan ada yang mendengar-mu. Dan tubuhmu tidak bisa digerakkan sekalipun kamu berjuang. Semakin kamu melawan maka kamu akan semakin sakit seakan jiwamu ditertarik.
Samar samar terdengar langkah kaki dari luar. Semakin dekat sangat dekat hingga berhenti tetap didepan pintu kamarku, aku menjeda napasku untuk memastikan kekeliruanku.
Benarkah itu langkah kaki seseorang? Apakah aku telah ketahuan?
Aku menarik selimut dan menutupi seluruh tubuhku, aku menggigil. Sungguh.!! aku kedinginan meski sudah ditutupi selimut tebal.
Ku-remas selimut sambil menahan tangis.
Aku tidak ingin bernasib sama dengan orang itu. Tidak ingin...!!
Jeritku dalam hati.
Apakah aku berhalusinasi?
Kudengar lagi langkah kaki yang perlahan menjauh meninggalkan kamar kost-ku.
Apakah dia adalah pria itu?
Jika benar, aku pasti tamat.
Entah kesalahan apa yang aku perbuat dimasa lalu sampai mengalami hal ini.
Aku tidak tahu!! yang jelas aku ketakutan setengah mati..
Aku hanya seperti ini hingga pagi tidak bergerak sama sekali bernapas sulit dan mataku hanya berkedip sekali kali.
Bersambung.
Saat Fajar menyingsing, cahaya kemerah-merahan di langit sebelah timur terlihat menjelang matahari terbit, aku mengintip dari jendela kamarku kulihat, proses menjelang matahari terbit, ketika cahaya aram mulai muncul hingga sesaat sebelum matahari mulai naik dari cakrawala.
Selamat pagi dunia
Aku kembali menutup gorden abu abu yang terpasang di jendela kamarku, aku bangun dan kepalaku sedikit pusing akibat kurangnya tidur semalam. aku meraba raba ponselku diatas meja.
Sudah pukul enam ternyata.
Aku melangkahkan tungkai ini ke-kamar mandi, melepas pakaian dan meletakkannya di-dalam keranjang.
Mengguyur tubuhku, air yang terasa dingin dari kran yang mengalir ke- dalam bak, meresap kedalam kulit tubuhku.
Setelah membersihkan diri aku mengambil handuk dan keluar dari sana.
Selama dua tahun ini sudah menjadi rutinitas-ku dipagi hari, bangun pagi pagi mandi lalu berangkat kerja.
Perkenalkan namaku adalah Ayana lestari, usiaku 24 tahun. Aku adalah gadis sederhana dan dibesarkan di panti asuhan. Aku tidak tahu siapa dan dimana orang tuaku, tapi aku disini bukan untuk mencari tahu, melainkan hanya untuk menyambung hidup.
Bagiku, asal bisa makan aku sudah sangat bersyukur. Aku bekerja disebuah toko yang lumayan besar dan bertugas sebagai kasir. Aku sudah bekerja sejak usiaku dua puluh tahun. Jika dihitung sudah empat tahun aku bekerja disana. Bosku sangat ramah dan teman temanku juga baik. Aku sangat betah bekerja disana selain gajinya besar, dan, ya! menurutku gaji segitu sudah cukup untuk kelangsungan hidupku.
Kembali lagi pada diriku.
Saat ini aku menutup pintu kamar kost dan tidak lupa menguncinya.
Kost yang aku tempati ini adalah yang paling murah, dan ada lima petak disini. tapi sepertinya hanya aku yang menyewa. Entahlah!!
Ibu kost ku sendiri tinggal tidak jauh dari sini. Aku berjalan kaki ketempat dimana aku bekerja yang kebetulan tidak jauh dari tempat ku tinggal, kembali melewati lorong yang semalam. Aku hanya ingin memastikan penglihatan-ku apa benar atau aku hanya mimpi.
Setelah ku pastikan tidak ada apapun disini, setidaknya paling tidak. ada jejak ataupun misalnya darah yang mengering atau bau anyir. Tapi nihil, bersih total. Aku tidak menemukan adanya tanda tanda bahwa semalam ada yang terjadi disini.
Aku bernapas lega.
Semoga saja semalam aku hanya berhalusinasi.
Aku kembali melangkah menuju tempat kerja. Sesampainya aku disana, ku pandangi toko yang bertuliskan Market, Aneh ya? tapi aku tidak ambil pusing, apapun itu dan kalaupun ada kepanjangannya itu juga bukan urusanku.
“Pagi Ayana”
Sapa temanku Sira.
“Pagi juga Sira yang cantik”
Balasku dan diapun tersipu.
Oh, ya! Kami ada tiga orang disini. aku Sira dan Mey. dan sepertinya Mey belum datang pagi ini.
Ku-letakkan tasku diruang istirahat dan ku-kantongi ponsel yang sedikit retak layarnya, aku tidak mempermasalahkan itu asal masih bisa hidup dan menjawab panggilan aku sudah sangat bersyukur.
“Mey belum datang ya?”
Tanyaku pada Sira, dan dibalas acuh oleh-nya.
“Sepertinya dia tidak masuk lagi,”Jawab Sira.
Kami mengganti baju lalu mengenakan baju yang sama.
Lalu Sira membantu membuka pintu besi hingga dinding kaca toko terlihat.
Begitu pintu terbuka, aku membalikkan papan kecil yang bertuliskan open.
“Aya, kamu sudah sarapan?”
Ucap Sira.
“belum nih”
Jawabku, aku jarang sarapan di kost. Berbeda dengan Sira yang rajin membawakan bekal. padahal disini enak makanan ditanggung bos.
Sira adalah teman baik dan pengertian. dia beda satu tahun denganku.
Sira mengajakku makan dan kami duduk di kursi, mumpung belum ada pengunjung kami memanfaatkan waktu untuk sekedar sarapan.
Alarm pintu berbunyi begitu ada pengunjung yang datang. Dan aku mengatakan pada Sira untuk melanjutkan makan.
“Biar aku saja”
Aku meneguk air minum dan menyeka bibirku dengan tissue lalu bergegas duduk dimeja kasir.
Seorang pria yang berperawakan tinggi melangkah kearah rak dan mencari cari sesuatu. Berhubung Sira masih sarapan aku meninggalkan tempatku lalu menghampiri pria itu.
“Mas sedang mencari apa?”
Ucap-ku sopan. Ku-perhatikan dengan seksama wajah pria itu. Tapi aku hanya melihat separuh wajahnya karena ditutupi poni. Aku terpesona oleh mata berwana biru laut itu. tatapan kami-pun terkunci.
Aku memalingkan wajahku lebih dulu setelah beberapa saat dan kembali menatapnya saat keranjang belanjaan ditangannya terjatuh. Dia tersenyum menatapku setelah aku membantunya.
“Maaf merepotkan-mu nona”
Ucapnya, dia tersenyum manis dan memperlihatkan lesung pipinya. Bulu mata yang lentik dan hidung yang mancung. Dan betapa sempurnanya terlihat jika seluruh wajahnya terekspos tanpa gangguan poni.
Tapi tunggu dulu!! Mengapa suaranya seperti tidak asing. dimana aku pernah mendengarnya? Dan juga, aku memanggilnya mas, tapi dia memanggilku nona, bukankah seharusnya dia memanggilku mbak?.
Aku tersentak ketika tangan pria melambai didepan wajahku.
“Nona, kamu melamun”
Ucapnya disertai tawa kecil.
“Oh, apa tadi?”
Ucapku kaku.
“Tidak ada..”
Ucapnya lagi. Ngomong ngomong senyumnya tak pernah luntur.
Kami melangkah kearah meja kasir.
Dia meletakkan barang belanjaannya di-atas meja tempat untuk bertransaksi. Disana ada computer, printer, mesin scan barcode dan barang-barang yang fast moving.
Aku memasukkan didalam kantong keresek. Dan tersenyum ramah padanya.
Ada lakban, minuman kaleng, perlengkapan kamar mandi. Dan bahan bahan dapur.
“mas, jumlahnya 505ribu”
Ucapku. pria yang tidak kutahu namanya itu merogoh sakunya dan mengeluarkan dompet dari sana.
Lalu memberiku uang berjumlah enam ratus ribu.
“Ambil saja kembaliannya”
Ucap pria itu, tersenyum manis sekali dan mengambil kantong belanjaannya, melangkah namun berhenti dan kembali melangkah kearah meja kasir.
Eh, mungkinkah dia berubah pikiran dan meminta uang kembaliannya?
“Nona, boleh minta nomor WA-nya?”
Ucapnya berbinar dan penuh harap. Tersenyum memperlihatkan gigi yang berjejer rapi dan beraturan.
Aku sedikit ragu. Bagaimana mungkin aku memberi orang asing nomorku? Alisku berkerut bimbang. Antara kasih dan tidak.
Aku melihat ekspresi kecewa pria itu dan senyumnya pun perlahan luntur.
Aku menolak dengan halus, bagaimana pun aku tidak mengenalnya.
“Maaf ya mas! telpon genggam-ku rusak”
Ucapku memelas, dan rasa bersalah. Kulihat dia tidak lagi tersenyum dan berbisik namun aku masih bisa mendengarnya.
“Pembohong”
Dia melangkah dan membuka pintu.
Aku menghela napas berat, menatapnya lewat dinding kaca. punggungnya yang perlahan menjauh meninggalkan parkiran dan masuk kedalam mobil.
“Siut..!”
Sira bersiul dan menghampiriku. menatap keluar tepat dimana pria itu pergi.
“pria yang aneh”
Ucap Sira, aku menatapnya bingung.
“Kenapa?”
Rasa ingin tahu bersarang dibenak-ku.
“Kamu tidak melihatnya tadi. tapi aku memperhatikannya. Dia tersenyum aneh dan terus menatapmu, dan saat kamu sibuk dimeja kasir tadi. Dia mengambil gambar-mu diam diam Ayana”
Ucap Sira menatapku serius.
Dari ucapan Sira aku menyimpulkan.
Mungkinkah pria itu tertarik padaku? Tidak mungkin! Aku tidak cantik dan biasa saja, lalu?
“Aya, kamu tidak menaruh curiga? Bisa saja pria itu mengambil gambar mu lalu menjadikannya fantasi liar. Banyak sekali cara orang orang melakukan kejatahan. Apakah kamu tidak mendengar kabar akhir akhir ini? Begitu banyak penculikan dan pembunuhan terjadi”
Kerena ucapan Sira, aku jadi teringat kejadian semalam benarkah itu nyata terjadi?
Seketika aku tercengang dan tidak bisa berkata lagi. Telapak tanganku berkeringat.
Sira mengguncang kedua bahuku untuk menyadarkan-ku.
“Aya, kenapa wajahmu pucat? Kamu sakit?”
Aku menggeleng keras. mataku bergerak gerak gelisah menghindari tatapan Sira.
“Sir, kamu membuatku takut, jangan ungkit masalah itu lagi boleh?”
Ya! Berbicara tentang pembunuhan. Aku tidak bisa menyembunyikan rasa takutku. Seharian ini aku duduk dimeja kasir dan tidak fokus dan mood-ku hancur. Sira melayani begitu banyak pengunjung. Seperti jika seseorang mencari barang dan tidak menemukannya Sira ada untuk membantunya.
Bersambung.
Malam menjelang dan telpon diatas meja kasir berdering. Aku tersadar dari lamunan, mengulurkan tangan dan mendekatkan ditelinga.
“Halo, Ayana tokonya buka sampai jam sembilan malam ya mulai sekarang, jangan tutup terlalu larut”
Ucap ibu bos dibalik telpon.
“Siap Bu”
Jawabku tersenyum semangat.
“Oh iya, kamu boleh ambil jatah apa saja seperti biasa apa yang kamu butuhkan, beritahu juga Sira”
Ucap Bos mawar.
“Baik Bu”
Jawabku. Bu mawar menutup panggilan. Aku menghampiri Sira yang sedang menyusun barang di rak penyimpanan.
“sir, kabar baik!! Kita tutup toko batas jam sembilan!”
Aku melihat Sira meloncat kegirangan seperti anak kecil.
“yes, yes, aku bisa kencan”
Ucapnya sambil menari nari. Aku menertawakannya. Sebegitu bahagianya kah dia? Aku tersenyum menggeleng dan berlalu meninggalkannya yang lanjut menyusun produk perlengkapan.
Begitu langit mulai gelap, aku keluar dari tokoh dan ingin memesan makanan, tapi begitu sampai diwarung,, mataku menatap spanduk jualan tempat biasa aku memesan makanan.
Aku merinding setelah teringat sayur sup. Ucapan pria itu mengganggu pendengaran-ku hingga terngiang ngiang di-telinga ini.
Aku tidak jadi masuk warung. Berbalik dan melangkah masuk kedalam toko.
“dimana pesannya?”
Ucap Sira. Begitu aku menutup pintu kaca dia menatapku bingung.
“Sir, aku ingin makan mie instan saja deh, kamu saja yang pesan?”
Ucapku menyodorkan uang di telapak tangan Sira dan berlalu mengambil mie instan di-rak khusus.
Sira menatap punggung Ayana dengan aneh lalu berpaling ke telapak tangannya. Menghela napas berat dan ikut menyusul Ayana dan mengambil Mie yang berbeda dengan milik temannya itu.
“Aya, Tolong yah? Buatkan juga untukku!”
Sira nyengir dan menatap Ayana.
“Iya”
Jawab Ayana berlalu masuk ke dapur dan berkutat disana.
Sira berdiri didekat pintu dan menyambut pelanggan yang datang.
“Selamat datang di toko kami.. silahkan lihat lihat!!”
Ucapnya tersenyum ramah.
Sira mengekori pelanggan tersebut sambil melirik lirik sekitar barang mencari kesibukan sekalian memantau pembeli.
Pintu toko kembali terbuka dan seorang pria berperawakan tinggi masuk. Begitu Sira melihatnya dia melangkah dan menyambutnya sopan. Tidak lupa menampilkan senyum ramah.
“Selamat datang ditoko kami! Ada yang bisa di bantu, mas?”
Pria itu tidak menjawab melainkan melirik kearah meja kasir. Dan dia melangkah pada rak produk wajah khusus pria.
Eh bukankah itu pria yang datang pagi tadi? Pria aneh itu
Sira yang diabaikan-pun hanya mengangkat bahu acuh dan berjalan ke-meja kasir, berhubung Ayana tidak ada dia akan menggantikannya untuk sementara.
Pembeli pertama datang bersama kekasihnya dan meletakkan peralatan tempur antar pasangan.
Sudut bibir Sira tersungging menatap pasangan itu bergantian.
Astaga satu pac? Yang benar saja.
apakah itu akan habis?
“mas, totalnya 100rb”
Ucap Sira tersipu.
Begitu pria itu selesai membayar dia mengambil belanjaannya sambil bergandengan tangan dengan kekasihnya.
Sira menatapnya menghilang dibalik pintu mobil dan menghela napas besar sambil berdecak.
Sekarang sudah pukul delapan malam, dan Sira bosan menunggu pria yang sedari tadi mencari cari sesuatu yang entah apa itu, mana perutnya sudah keroncong lagi.
Ayana kembali dari dapur, sepertinya dia baru saja menyelesaikan makannya.
Menghampiri Sira.
“Makan gih! Gantian aku yang jaga”
Ucap Ayana, dan beranjak dari duduknya mendekat dan berbisik tepat ditelinga Ayana.
“Pria yang tadi pagi datang lagi, Ayana hati hati”
Ucap Sira. Meninggalkan Ayana yang terlihat bingung.
Begitu Sira tidak lagi terlihat, pria tersebut datang dan meletakkan keranjang belanjaannya untuk melakukan proses pembayaran. Dan aku menghitung transaksi dengan cash register atau mesin kasir.
Tangan Ayana terulur dan menatap pria itu.
“Mas, yang ini juga?”
Ucapku mengangkat pembalut itu sambil tersenyum. pria itu bersidekap dada dan menatapku juga. Entahlah, aku merasakan dia sedari tadi terus menatapku. Feeling ku berkata begitu.
“Memangnya itu apa?”
Ucap pria itu, terlihat bingung. Aku-pun sama bingungnya. Aneh saja masa beli tapi tidak tahu fungsinya untuk apa. Tapi kalau aku perhatikan dari ekspresinya dia terlihat bersungguh sungguh.
“Mas, ini tu kebutuhan wanita”
Ucapku, kulihat matanya sedikit terkejut, kemudian tersenyum.
“Sorry, aku mengambilnya acak tadi”
Ucapnya melangkah mengembalikan benda tersebut di-rak khusus perlengkapan wanita.
Aku menghembuskan nafasku lewat mulut sambil bersidekap dada. Kenapa aku merasa pria itu mengulur ngulur waktu yang sebentar lagi tokoh akan tutup.
Dia kembali dan meletakkan sikat gigi couple dimeja kasir. Lalu kembali lagi pada rak yang sama dan mengambil sabun mandi dan meletakkannya diatas meja kasir.
Astaga kenapa bolak balik gini? Kenapa tidak sekalian saja, ditempat yang sama juga.
“Ayana”
Ucapnya lembut. Aku terkejut bagaimana ia tau namaku?
Aku menatap senyuman manis pria itu. ingin sekali rasanya menyingkirkan rambut yang menutupi kening hingga separuh matanya. Agar dapat melihat lebih jelas wajahnya yang tampan, tapi dengan dia yang seperti ini terkesan misterius sebenarnya.
“Mas, tau namaku?”
Dan aku mengikuti arah pandang pria itu ternyata tertuju pada tag nama yang tercantum pada kaosku.
Sekarang aku mengerti.
Aku kembali fokus memasukkan barang belanjaannya didalam kantong lalu memberinya struk belanja. Lagi. dia memberiku uang lebih dan lebih banyak dari yang tadi. Aku berusaha mengembalikannya namun dia tersenyum dan menolak.
“Begini.. Hm, Ayana.. bisakah kamu menemaniku mencari tempat tinggal sementara? Aku baru dikota ini dan belum terlalu paham di-daerah sini”
Ucapnya. dia menatap dalam mataku dan aku-pun terpaku, semakin dalam aku menatap matanya yang sebiru lautan itu. Semakin aku tenggelam didalam sana. dan aku mengangguk tanpa sadar mengiyakannya seperti terhipnotis oleh mata birunya.
Bibir pria itu berkedut lalu tersenyum lebar memperlihatkan deretan gigi putihnya.
“kapan itu?”
Tanyaku, setelah sadar kembali.
“Sepulang kamu kerja juga boleh”
Jawab pria itu.
Aku mengangguk dan menatap jam pada ponselku. Sudah waktunya aku menutup toko. Pria itu duduk di-bangku sambil berkutat pada telpon genggamnya.
Begitu Sira kembali dari arah dapur aku langsung menghampirinya.
“Sir, tutup yuk! Udah jam sembilan ini”
“ok, aku mengambil tas sekalian ganti baju”
Ucap Sira. Berjalan keruang ganti. aku-pun melakukan hal yang sama.
Tanpa kedua wanita itu sadari. Pria itu menyeringai menatap kearah wanita itu pergi lebih tepatnya satu titik yang menarik mintanya. Setelah berhasil mengutak-atik ponsel milik sang gadis yang membuatnya tertarik.
Seulas senyum aneh tersungging dibibir tipisnya.
Ayana
Ucapnya tanpa suara dan tersenyum lagi setelahnya.
kembali menggumamkan sesuatu entah apa itu, kemudian matanya memicing menatap langit langit Lebih tepatnya dimana cctv terpasang yang merekam semua aksinya. jari tangannya mempermainkan telpon genggamnya dengan gerakan berputar putar seperti jarum jam, hanya hitungan detik dan lampu didalam toko itu seketika padam menjadi gelap gulita. Bersamaan dengan suara histeris kedua gadis didalam ruang ganti.
”Aaaaaah!”
“Sira, mengapa lampu tiba tiba padam?”
Ucapku ketakutan. punggungku menempel didinding tanganku sudah berkeringat.
“aku juga tidak tau!”
Panik Sira, dia meraba-raba tasnya lalu menggeledah isinya, setelah dia menemukan telponnya, seketika ruangan menjadi terang oleh bantuan senter hape.
Aku dan Sira melangkah meninggalkan ruang ganti. karena Sira yang memegang senter jadi dia yang menuntun jalan, tapi langkahnya tertahan, membeku.
“Aaaaah.. hantu..!!”
Jerit Sira bersembunyi dibelakang punggungku. Aku melihat kedepan dengan gemetar dan merebut telponnya lalu mengarahkannya kedepan.
“Ayana, kamu disana?”
Ucap pria itu sedikit cemas. Aku menghembuskan napas lega dan menarik tanganku di pelukan Sira.
“Dia manusia, bukan hantu!”
Ucapku kesal pada Sira, bagaimana tidak, sudah mengejutkanku hingga jantungku rasanya ingin copot. ternyata bukan hanya aku yang penakut tapi Sira juga.
“Aya, dia seperti hantu muncul tiba tiba dengan wajah menyeramkan”
Bisik Sira di telingaku.
Mana mungkin ada hantu setampan itu?
Bersambung.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!