Stella mendapati dirinya terjebak di dalam gudang olahraga. Ia bukannya tidak bisa keluar, tetapi karena saat ia sudah selesai menyusun peralatan olahraga yang baru saja ia gunakan ke dalam rak, ia mendapati segerombolan murid laki-laki masuk ke dalam ruangan sembari mendorong salah satu siswa sampa jatuh tersungkur ke lantai hingga menyenggol tumpukan kardus yang ada di belakangnya. Stella menutup mulut dengan kedua tangan, terkejut. Kemudian dengan cepat segera bersembunyi di balik rak yang tinggi untuk mengintip melewati celah yang ada di sana.
Bugh!
Satu bogem mentah mendarat di pipi sang korban, membuatnya terkulai tak berdaya. Hanya satu kali pukulan, tetapi agaknya efeknya begitu sangat mengerikan. Murid yang malang itu kemudian terus dipukuli tanpa tahu apa kesalahan yang telah dia perbuat. Ia merintih kesakitan, ingin sekali berteriak tetapi itu hanya akan membuat harga dirinya sebagai pria jatuh begitu saja. Ia tidak akan meminta belas kasihan walaupun itu mungkin bisa membahayakan dirinya.
"Dasar bajingan!" umpat salah satu bawahannya.
Terakhir, pemimpin kelompok siswa penindas itu menendang kaki korban dengan sangat kuat. Stella yang sedari tadi melihatnya hanya diam kaku di tempat. Jangan sampai murid itu tahu bahwa ada orang lain yang berada di sini. Tetapi sialnya, Stella tidak bisa melihat wajah si perudung karena sedari tadi, siswa dengan tubuh tegap di atas rata-rata siswa kebanyakan itu terus memunggunginya. Tak banyak yang dapat ia lakukan, ia juga tidak membawa ponsel.
Siswa itu berjongkok, masih dengan seragamnya yang melekat di tubuhnya tetapi tidak bisa dikatakan rapi. Ia menarik kerah seragam korbannya yang sudah babak belur dengan erat dan berkata, "Jauhi Stella!"
"Andrew?!"
Stella keluar dari balik rak yang panjang dan tinggi.
"Apa yang kau lakukan?" Stella benar-benar kecewa. Tak memedulikan Andrew dan teman-temannya, ia segera berlari ke arah siswa yang saat ini sudah tersungkur di atas lantai. Stella melihat wajahnya sudah babak belur, kacamatanya retak.
"Sean!" Stella mengguncang tubuh Sean yang tak berdaya dengan nada khawatir.
"STELLA!" Andrew benar-benar marah, ia mengepalkan kedua tangannya saat melihat Stella begitu khawatir dengan laki-laki lain selain dirinya. Namun, ia tidak bisa melakukan apa-apa karena Stella tidak mau mendengarkannya.
...- PROLOGUE END -...
...🎵 Playlist 🎵...
...Video Games - Lana Del Rey...
...Million Dollar Man - Lana Del Rey...
...Ultraviolence - Lana Del Rey...
...Black Beauty - Lana Del Rey...
...I Was Never There - The Weeknd...
...Cherry - Lana Del Rey...
...Sad Girl - Lana Del Rey...
...Starboy - The Weeknd...
...Old Money - Lana Del Rey...
...Cinnamon Girl - Lana Del Rey...
...Moth to A Flame - The Weeknd...
...Dealer - Lana Del Rey...
...West Coast - Lana Del Rey...
...Earned it - The Weeknd...
...One of The Girls - The Weeknd, JENNIE, Lily...
...Driver License - Olivia Rodrigo...
...Favorite Crime - Olivia Rodrigo...
...I Don't Wanna Live Forever - Zayn, Taylor Swift...
...Hey Daddy - USHER...
...No Blueberries - DPR IAN, DPR LIVE, CL...
...Middle of the Night - Elley ...
...Pink + White - Frank Ocean...
...ROLLING STONE - Brent Faiyaz...
A/N
Halo semuanya~
Saya AYZY, penulis novel Midnight Rain. Sebelumnya saya ingin mengucapkan selamat datang kepada kalian semua. Terima kasih sudah berkenan membaca pada bab prolog ini, semoga kalian suka. Mungkin ini adalah karya pertama saya di Noveltoon, jadi saya berkeinginan untuk memperkenalkan diri. Kedepannya, silakan panggil saya Ayzy, agar kita lebih akrab saat berinteraksi di kolom komentar nanti. Saya mengharapkan dukungan yang tulus dari Anda sekalian, oleh karena itu saya akan berusaha untuk membuat cerita yang bagus dan sesuai dengan selera Anda. Sekian pesan singkat dari saya, selamat membaca Bab berikutnya sembari mendengarkan playlist lagu yang sudah saya buat di atas (optional).
Terima kasih dan sampai jumpa! 🙂💛
Sincerely,
AYZY
Kami hanya berdiam diri saat duduk berdua di salah satu tempat makan khas Italian. Sebuah pasta untukku dan segelas red wine milik Andrew tersaji di atas meja berbalut kain bewarna putih gading. Andrew memesan steak daging sapi dengan tingkat kematangan medium rare sebagai teman minumnya. Sedangkan aku memasan strawberry juice. Pria itu mengenakan setelan jas formal bewarna hitam lengkap dengan sepotong sapu tangan di balik saku, rambut hitam bergaya comma hairnya itu tertata rapi, dan ada sebuah jam tangan mahal yang melingkar di pergelangan tangannya yang ramping, disempurnakan dengan visual hampir mendekati kata sempurna yang akan membuat orang-orang di sekitarnya tidak bisa untuk tidak melihatnya lebih dari satu kali. Andrew Brandyn Davis — kuakui, dia memang pria yang sangat mengesankan walaupun dia menyimpan terlalu banyak misteri.
Aku cukup terhanyut oleh nuansa romantis ala Italia dengan pemandangan laut biru di balik dinding kaca tepat di sebelah meja ini. Langit di luar sana sudah berubah menjadi gelap semenjak kedatangan kami saat matahari tenggelam. Di antara kami, tidak ada yang memulai pembicaraan. Dia sangat pendiam, jadi aku juga tidak berbicara apapun, aku hanya merasa tidak nyaman dengannya saat ini. Aku dan dia duduk di satu tempat yang sama, hanya berdua. Entah apa kata orang-orang yang melihat kami, penampilanku saja tidak bisa dikatakan setara dengannya. Aku hanya memakai dress jadul bewarna putih dengan motif bunga-bunga, sedangkan dia ...? Bukankah kami terlihat sangat tidak cocok? Aku tahu, tapi aku tidak punya pakaian lain yang lebih cocok selain yang kukenakan hari ini.
Kulihat dia cukup menikmati hidangannya. Meskipun dia hanya diam dan makan dengan tenang, namun ia tidak bisa menyembunyikan raut wajahnya yang terlihat seperti memiliki banyak beban pikiran. Hari ini ia tampak lebih tertekan dari pada biasanya. Lihat saja sudah berapa kali ia menuangkan wine kedalam gelas? Berkali-kali, dan itu kurasa bukan penyebab ia mengerutkan keningnya sekarang, aku tahu ia memiliki batas toleransi yang tinggi terhadap minuman beralkohol.
Sejujurnya, semenjak kejadian yang sudah berlalu 5 tahun yang lalu, baik sikapku maupun sikap Andrew berubah. Ia lebih pendiam, sementara aku jauh lebih pendiam lagi karena pada kenyataannya aku sudah mulai merasa takut padanya.
"Kau tidak ingin memesan yang lain?" tanyanya secara tiba-tiba, seketika itu jantungku terasa akan lompat keluar.
Setelah menarik napas, aku menggelengkan kepala, mencoba untuk bereaksi setenang mungkin—fokus memutar garpu dan makan dengan benar. Meskipun sesekali ia bertanya, tetapi nada suaranya begitu dingin.
"Ada apa, apa kau tidak suka dengan hidangannya?"
Aku menggelengkan kepala sekali lagi.
Kudengar ia menghela napas. Setelah itu, tidak ada lagi pertanyaan darinya.
Andrew kembali mengangkat pisau dan juga garpu, mencoba memotong daging di atas piring yang masih utuh itu dengan gerakan terampil. Sedangkan aku mulai mengisap sedotan untuk meminum jus strawberry di dalam gelas kaca.
Malam ini begitu dingin, sedangkan aku hanya memakai selembar pakaian yang tipis. Ya Tuhan, seharusnya aku tadi membawa mantel atau jaket berbulu untuk berjaga-jaga. Tapi, tadi kupikir cuaca tidak akan sedingin itu.
"Mau minum wine?" Ia mengangkat gelasnya padaku.
"Aku tidak bisa—"
"Oh, that's right. Then wear this!"
Andrew meraih coat yang tersampir di belakang kursinya kemudian berjalan ke arahku.
"Ap-apa yang kau lakukan?"
"Kau kedinginan!" ucapnya sembari memakaikan coat panjang miliknya untuk membungkus tubuhku.
Aku sedikit terharu dengan sikapnya yang sangat perhatian. Dan yang terpenting, bagaimana dia bisa tahu aku sedang kedinginan?
Aku menolehkan kepala ke arahnya, dia masih berdiri di sampingku sembari merapikan coat yang aku kenakan, memastikan itu sudah terpasang dengan rapi.
"Stop, Andrew. Thanks!" Aku tersenyum padanya dengan tulus, ia membalasku dengan senyuman tipis sebelum kembali ke tempat duduknya.
"Apa kau tidak melihat ramalan cuaca akhir-akhir ini?"
Aku mendongakkan kepala melihatnya masih menatapku intens.
Aku segera mengalihkan pandangan. "Aku hanya tidak tahu."
"Lain kali pakai pakaian yang seperti biasa kau pakai. Tidak perlu memaksakan diri."
"Itu karena kau mengajakku makan malam di restoran, bagaimana aku bisa memakai pakaian santai?"
Andrew mengangkat sebelah alisnya, "Kau kan bisa menyuruhku untuk memberimu beberapa pakaian yang layak, why do you feel so embarrassed about me? Remember, I'm still your boyfriend!"
"Kau sudah mentraktirku makan malam!"
Andrew menghela napas. "Then what does this have to do with what I said earlier?"
"..."
Aku menelan pasta dengan cepat kemudian meminum jus strawberry nya kembali.
"Stella, jawab pertanyaanku!"
Nada suaranya dinaikkan. Aku sedikit terkejut dengan auranya yang semakin dingin dan menakutkan. Aku menatapnya takut-takut sebelum menjawab, "Andrew, aku memang merasa tidak enak padamu. Jujur saja ...," Aku menundukkan kepala dalam-dalam sebelum melanjutkan ucapanku, aku tidak mau terlihat lemah seperti ini di hadapannya, akan tetapi aku tidak bisa menyembunyikan semua rasa ketidakpercayaan diriku dengan mudah, "j-jujur s-saja, aku merasa aku tidak pantas bagimu, Andrew! A-aku—"
"Stella, sudah jangan diteruskan, aku tahu ... tapi cobalah untuk terus bergantung padaku, aku tidak masalah...."
Mataku mulai berkaca-kaca, aku meremas kedua lututku sendiri. Aku masih tidak mau melihatnya dengan keadaan seperti ini. "Tidak! Aku akan merasa terbebani jika seperti itu!"
"Apa ada masalah dengan pekerjaanmu? Atau kuliahmu?"
Alih-alih menjawab pertanyaanku, dia justru bertanya hal lain mengenai sesuatu yang memang sedang aku khawatirkan saat ini. Memang, diusiaku yang ke-22 tahun ini, aku baru melanjutkan pendidikanku ke perguruan tinggi. Lima tahun terakhir ini aku sibuk bekerja serabutan untuk mencari uang, dan aku tidak pernah meminta bantuan Andrew mengenai masalah apapun, termasuk masalah finansial.
Hal itulah yang membuatku merasa sangat tidak percaya diri jika sedang bersamanya.
Berbeda denganku, Andrew adalah seorang pria yang sukses diumurnya yang baru memasuki umur 24 tahun. Dia melanjutkan perusahaan ayahnya di bidang properti dengan sangat baik. Karir dan kehidupannya sangat sempurna, sehingga membuat napasku tercekat setiap kali aku melihatnya. Setiap saat, saat aku mendengar kabarnya di surat kabar atau televisi, atau saat aku tidak sengaja bertemu dengannya di suatu tempat bersama dengan rekan-rekan bisnisnya. Di saat seperti itu, aku tidak bisa menyapanya, walaupun aku adalah kekasihnya, aku tidak merasa demikian.
Aku bertanya-tanya kepada diriku sendiri? Bagaimana aku bisa memiliki pacar seperti dia?
"I'm your lover, Stella! So, ask me for help, I won't know if you just keep quiet!"
"An-drew...."
"Yes, darling?"
Sejujurnya, hatiku berbunga-bunga saat dia memanggilku sayang. Aku merasakan pipiku sedikit menghangat saat dia menatapku dengan penuh rasa kasih sayang seperti saat ini.
Aku memalingkan wajah untuk kesekian kalinya. Oh Tuhan ... mengapa dia sangat tampan? Manik mata hitamnya sangat indah, kulitnya putih dan bersih seperti porselen, hidungnya mancung, alisnya tidak terlalu tipis dan tidak terlalu tebal, rahangnya tegas, dan bibirnya ... bibirnya bewarna kemerahan tetapi tampak pucat.
Aku menarik napas dalam, sebelum mengembuskannya kembali. Setelah mengumpulkan keberanian, aku pun menatapnya dengan tegas.
"Aku ingin mengakhiri hubungan ini."
Sepersekian detik, pisau kecil yang ada di tangannya mendarat di atas pot bunga yang berada di sudut ruangan-tak jauh dari meja kami, pria yang ada di depanku itu yang melemparnya. Aku terdiam kaku di tempat, mendapati Andrew dengan wajah marah dan tanpa dosa hampir membuatku celaka. Dia melempar pisau itu dengan kecepatan tinggi, jika saja aku bergerak sedikit saja ke kanan, maka pisau itu sudah pasti akan mengenai tubuhku.
Karena tidak tahan melihat wajahnya yang menegang, aku menundukkan kepala, bersiap-siap untuk menerima apapun reaksinya, atau apapun yang akan dia lakukan padaku, aku sudah pasrah.
"Don't you dare say that again!" ucapnya penuh dengan penekanan.
Aku mendengar suara kursi yang berderit.
Saat, mendongakkan kepala, aku melihatnya berjalan dengan langkah lebar menuju pintu keluar. Aku tetap duduk terdiam di tempat saat orang-orang mulai berbisik-bisik sambil melihat ke arahku.
"Nona, Anda baik-baik saja?"
Tak lama kemudian, dua pelayan dengan seragam hitam putih datang sembari membawa troli mirip rak piring yang kosong. Salah satu di antara mereka datang untuk mengambil pisau yang tertancap di atas pot, dan yang lainnya membereskan piring dan gelas-gelas kosong yang berada di atas meja.
"Saya baik-baik saja," ucapku lirih. Sejujurnya aku tidak bisa mengendalikan perasaanku sekarang ini, aku merasa sangat bersalah padanya. Tapi kukira, itu adalah satu-satunya jalan keluar bagiku maupun dia mengenai hubungan ini yang sudah seperti di ujung tanduk.
"Apa ada yang perlu saya bantu, Nona?"
Aku segera menggelengkan kepala. "Tidak perlu, saya akan segera pergi!"
Pelayan wanita itu segera memundurkan tubuhnya ke belakang, memberiku sedikit akses untuk keluar.
"Kalau begitu, hati-hati di jalan, Nona!"
Aku menganggukkan kepala dan segera melangkahkan kaki secepat yang aku bisa.
Saat melewati beberapa meja, aku dapat mendengar suara mereka. Mereka bukanlah orang yang aku kenali, tapi dapat dipastikan bahwa mereka adalah orang-orang kaya di lihat dari cara berpakaian dan barang-barang yang mereka bawa.
"Dia kasihan sekali!"
"Apakah pria yang baru saja keluar tadi adalah kekasihnya, atau suaminya?"
"Kurasa gadis itu hanya kekasih rahasianya."
"Apa tadi kau tidak melihat pria itu melempar pisau?"
Aku sudah terbiasa mendengar hal-hal seperti itu sebelumnya saat aku pergi keluar bersama Andrew. Namun, pria itu tidak pernah mengetahuinya sama sekali, karena orang-orang cenderung tidak berani berbicara tentangku di depan Andrew.
Saat aku berhasil melewati pintu kaca, aku segera disambut oleh embusan angin yang sangat kencang. Itu adalah efek dari angin laut yang ada di depan sana. Di depan restoran berbintang lima ini, ada sebuah jalan beraspal mulus yang di seberangnya terdapat lautan lepas yang sangat luas. Beberapa pohon palm-palman tumbuh di sekitar area jalan tersebut.
Aku kembali berjalan saat angin kembali berembus, sontak aku mengeratkan mantel untuk menghalau cuaca dingin, yang seketika itu membuatku teringat padanya. Coat milik Andrew ini, bagaimana caraku supaya bisa mengembalikannya?
Dia pasti masih marah padaku. Kira-kira apa yang akan terjadi nantinya? Apakah dia tetap tidak akan mau melepaskanku?
Omong-omong, jarak restoran ini dengan rumahku cukup jauh, hampir delapan kilometer. Jika aku menggunakan Taxi, biayanya akan sangat mahal, sedangkan aku tidak membawa cukup uang. Oleh karena itu, sembari terus berjalan kaki, aku mulai membuka aplikasi peta di dalam ponsel untuk mencari halte terdekat.
Aku terus menggeser layar ponsel ke atas dan ke bawah untuk menelusuri jalur, untuk menemukan sebuah halte bus di tepi laut itu sebenarnya terdengar sangat mustahil. Kalaupun ada, itu pasti akan sangat jauh.
Seperti perkiraanku sebelumnya, di sini memang tidak ada halte. Aku menghela napas, kemudian mengedarkan pandang ke sepenjuru tempat. Sangat sepi, tidak ada satu orangpun yang terlihat berlalu lalang di depan restoran yang halamannya sangat luas ini, kecuali beberapa mobil yang berlalu lalang menuju basement dan sebaliknya.
Saat berjalan cukup lama, aku menemukan sebuah kursi lengkap dengan meja kecil yang kosong. Untuk sementara, aku memutuskan untuk beristirahat di sana sembari memikirkan langkah apa yang sebaiknya aku ambil.
Setelah mendapatkan posisi duduk yang nyaman, aku segera meletakkan tas selempang serta ponselku di atas meja kecil bercat putih. Karena tidak ada seorangpun yang berada di beranda restoran ini, aku segera mengangkat sebelah kakiku sedikit ke atas untuk melepas high heels yang aku kenakan. Ini adalah sepatu yang aku beli satu tahun yang lalu. Aku jarang memakainya, jadi sepatu ini masih sangat terlihat baru, meskipun ada beberapa bagian yang sudah lecet. Saat aku berhasil melepas kedua sepatu berhak tinggi itu, aku merasa sangat lega. Kedua sepatu itu membuat kakiku terasa sangat sakit, bahkan tumitku sampai mengalami pendarahan kecil di ujungnya. Hah ... aku tidak peduli, aku tidak punya waktu untuk mengobatinya karena terlalu bingung sekaligus khawatir. Aku sangat takut berada di sini seorang diri.
"Apa aku harus memesan Taxi?" gumamku pada diriku sendiri.
Sejujurnya, aku terlihat sangat mengenaskan malam ini. Duduk seorang diri dengan coat milik seorang pria yang melingkari tubuhku, sepasang sepatu berhak tinggi yang sudah terlepas, jika orang lain yang melihatnya, pasti mereka mengira aku sudah gila.
Setelah mempertimbangkan berbagai hal, aku memutuskan untuk pergi ke halte terdekat yang jaraknya hampir 2 km dari sini. Sebelum itu, aku menyempatkan diri untuk melihat pemandangan laut yang ada di depan sana. Laut itu tampak sedikit terang berkat cahaya lampu perkotaan dan cahaya bulan yang memantul di atasnya.
Di saat angan-anganku sedang terbang melayang bersamaan dengan bintang dan bulan yang ada di atas sana, aku merasakan ada sebuah tangan hangat yang menyentuh tumit kakiku. Aku terkejut setengah mati saat membuka mata dan melihat siapa yang saat ini tengah bersimpuh di depanku.
"Andrew?"
Dia sama sekali tidak mengangkat kepalanya dan fokus melakukan apa yang akan dia lakukan saat ini. Di sebelahnya, aku melihat sebuah kotak berisi obat-obatan yang entah datangnya dari mana. Apa dia baru saja membelikannya untukku?"
"Apa yang akan kau lakukan, sudah biar aku saja!"
Andrew menyentak tanganku saat aku hendak meraih botol air mineral yang hendak ia buka, sepertinya dia masih marah, jadi lebih baik aku diam dan membiarkan melakukan apapun yang dia mau.
Aku merasakan ada sesuatu yang dingin menyentuh tumit kakiku, Andrew baru saja menumpahkan isi botol air mineral tersebut di atas kakiku, menyebabkan luka lecet yang aku dapatkan terasa perih. Refleks aku memegang kedua bahunya yang bidang saat ia mulai menyentuh tumitku dengan jemari tangannya sendiri.
"Akh!"
"Shh, shut up!"
Aku mengatupkan mulutku dengan terpaksa. Apa dia tidak tahu betapa perihnya saat air dingin itu mengenai luka yang ada di kakiku?
Saat sudah selesai membersihkannya, dia mulai membuka botol antiseptik. Aku melihatnya merawat lukaku dengan telaten. Ini aneh, aku merasakan sesuatu yang aneh di dalam hatiku saat dia menyentuh kakiku seperti ini.
"Andrew, apa kau pergi untuk membawa obat untukku?"
Andrew tak menjawab. Dia justru mulai meraup kakiku dengan kencang dan meneteskan obat antiseptik di bagian yang lecet.
"Ah, Andrew pelan-pelan!" Aku meremas bahunya dengan sangat kencang, aku tidak terbiasa dengan pengobatan semacam ini meskipun itu adalah pertolongan pertama.
Aku memejamkan mata, mencoba untuk menahan rasa sakit yang melanda di sekitar kedua tumit kakiku saat ini.
"Ini hanya luka kecil," katanya dengan tenang.
Atau mungkin reaksiku saja yang terlalu berlebihan. Saat ia sudah selesai mengobati kakiku, ia membereskan obat tersebut kembali ke dalam kotak P3K. Kemudian, ia berdiri untuk meletakkan kotak tersebut di atas meja.
Aku segera memakai tas selempangku kembali dan meraih sepatuku yang tergeletak begitu saja di atas ubin keramik bewarna kelabu.
"Terimakasih, Andrew-"
Dia menolehkan kepalanya dan menatapku dengan raut wajah tak terbaca. Ia melihatku dari atas sampai bawah, membuatku merasa tidak nyaman.
"Aku akan pergi ke halte, dan terimakasih untuk makan malamnya hari ini!"
Entah kenapa, setelah mengatakannya aku merasa dia semakin kesal padaku. Rahangnya mengeras, ia sedikit mengerutkan keningnya menandakan bahwa dia memang benar-benar sedang tidak dalam kondisi yang baik.
Tiba-tiba saja Andrew menyerahkan kotak obat tersebut padaku dan berkata, "I'll take you!"
"Tidak perlu An-"
"To the bus stop, right? Where do you think I'll take you, huh?"
"Oh..." Aku mengangguk-anggukkan kepala, "jadi, soal yang tadi ...." Aku membelalakkan mata kemudian setelah sadar dengan apa yang telah aku katakan. Aku tidak sadar telah mengatakannya dan perkataan itu keluar begitu saja dari dalam mulutku.
Sontak, jantungku berdetak dengan sangat kencang. Aku takut, aku takut dia akan marah dan menyakitiku seperti yang dia lakukan padaku dulu. Aku terlalu takut saat ini bahkan untuk bergerak.
Saat menundukkan kepala, aku mendengar suara langkah sepatu yang berjalan mendekatiku. Tidak butuh waktu lama, Andrew sudah ada di hadapanku. Pria itu mencengkeram wajahku dengan jari-jemarinya yang panjang dan juga dingin. Aku dipaksa untuk mendongak untuk melihat wajahnya yang jauh lebih tinggi dariku. Cengkeramannya begitu kuat, hingga membuatku merasakan sakit dan pedih yang teramat sangat.
"Jika kau membenciku, katakan saja. Jangan mencari-cari alasan lain untuk mencoba pergi dariku!"
Mataku berkaca-kaca, aku tidak tahu mengapa aku begitu sangat rapuh mengenai perasaan.
"Kau tidak tahu apa yang aku rasakan, An ... Andrew, hiks!"
Sial, aku menangis. Aku tidak ingin begini, akan tetapi air mata bukanlah sesuatu yang mudah dikendalikan. Karena sudah terlanjur, aku meluapkan seluruh perasaanku begitu saja. Aku tidak mempedulikan lagi telapak kakiku yang kedinginan karena menyentuh ubin tanpa alas kaki, aku juga tidak mempedulikan orang-orang yang mulai melihat kondisiku saat ini.
"Why?" Andrew melepas tangannya, ia berkata setelah beberapa saat. Segera setelah itu, aku mengusap wajahku untuk menghapus air mata yang mengalir.
"Be-cause ..."
"What?"
"Cause I love you so much!!"
...CHAPTER END...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!