NovelToon NovelToon

IDIOT BUT LUCKY

1. Tegang

Malam begitu hening, suara jangkrik yang biasa nyaring serentak bisu. Pendengaran meningkat tajam, mata rabun mendadak melihat dengan jelas. Tiga pria dewasa menantang keberanian diri berkedok uji nyali. Berjalan piawai dalam gulita, menginjak gundukan makam satu ke makam lainnya. Menatap lurus ke depan tanpa gentar. Takut hanya lelucon bagi mereka. Sakti mandraguna tujuan bersama menanti gelar jawara kampung.

Empat puluh hari menahan diri, puasa neton dan puasa kliwon meluruskan niat untuk ilmu yang dianut. Melatih kekuatan batin di kuburan dari petang sampai menjelang subuh pada malam Jumat. Puncaknya malam ini, Jumat kliwon. Segala aji pengasihan dan kekebalan di sempurnakan malam ini. Keistimewaan yang sulit dijumpai, bertepatan dengan purnama utuh. Bersiul dengan nyanyian gembira, hati bungah berkata aku sakti setelah malam ini. Penuh suka cita, tak takut akan mara bahaya menanti.

"Cok, merinding aku." Dayat mencolek bahu Ujang yang berjalan di depannya.

Dengan cepat Ujang berbalik badan, penuh penekanan berkata. "Syuutt, icing ulah gandeng beleguk, nanti kuncen denger yaelah."

Dayat menarik sarung yang dikenakan Ujang. "Bocah gemblung, kuncen Supri udah kita bungkam dia masih molor anteng cok."

"Yaelah berisik amat lu pada, diem napa nggk fokus ini." Yanto berjarak jauh dari mereka harus kembali ketitik Ujang dan Dayat berdiri, tujuannya ke penghujung makan jadi urung sebab temannya beradu mulut.

"Kamu teh kenapa balik lagi ogeb, katanya mau mimpin jalan?" Ujang terkejut dengan kehadiran Yanto.

Yanto menjitak kepala Ujang, bertanya mengapa padahal jelas penyebabnya dia dan Dayat. "Gas ke depan, inget jangan ribut."

Ujang mendengus tak sempat membalas karena Yanto jalan kembali, jadilah ia menjitak Dayat. "Aw, eh kupret ngopo jitak aku Weh?"

"Udah hayuk nyusul si Yanto!" Ajak Ujang, masa bodo dengan protes Dayat yang penting melampiaskan kesal lebih utama.

"Yowes, kamu yang belakang tapi ya, aku tengah aja." Entah mengapa malam ini tak seperti malam biasanya, Dayat jadi sedikit takut. Mungkin kedua temannya belum merasa, atau mungkin sedari tadi hanya dia seorang yang di ganggu namun memilih bungkam.

"Dih, penakut. Yaudah tuker posisi, dasar cemen!" Ujang mengolok, dalam hati ciut. Perihal ketakutan di antara ketiganya, dia paling takut tapi gengsi paling besar.

Dayat berada di tengah, langkah begitu cepat dia ingin berada di belakang Yanto. Tak ada pemimpin dalam pertemanan mereka, tapi Yanto jago strategi dan mengatur semuanya. Oleh sebabnya, Yanto lebih sering diandalkan, selain itu memang Yanto yang amat pemberani selama ini. Demi menyelesaikan misi terkahir, Dayat menahan rasa gelisah sedari pukul satu dini hari tadi. Pasalnya saat melihat jam di tangan, tepat pukul satu tadi ada darah menetes di jarum jamnya. Di hapus namun ada kembali, berulang kali di hapus tetap ada. Jadilah Dayat ketakutan, di tambah ada yang berbisik minta tolong.

Dayat bergidik negeri mengingat kejadian itu, menghindari kemungkinan buruk terjadi kembali Dayat memegang ujung sarung Yanto yang di kalungkan di leher. Tentu saja tanpa sepengetahuan Yanto, kalau tahu pasti kena omel. Dayat menyamakan langkah dengan Yanto, makam yang semula temaram hanya di terangi cahaya rembulan kini kian terang dimatanya. Dayat malas bertanya pada Yanto, pasti kena jitak jika dianggap bawel.

Dayat menubruk tubuh bagian belakang Yanto. "To, ngapa berenti tiba-tiba?"

"Merinding." Nada bicara Yanto galak sembari melotot.

"Noh kan, emang merinding kok malem ini, kamu juga ngerasa kan? Sedikit horor kan malam ini." Akhirnya ada yang merasa seperti apa yang ia rasa, batin Dayat.

"Horor gundul mu ambles, gimana nggak merinding, nafas mu di leher ku Jamal." Kesal Yanto, menoyor dahi Dayat.

Mendengus sembari memegangi dahi. "Hish, lebay sekali memangnya nafas ku tornado apa sampai membuat mu merinding. Minggir aku saja yang jalan di depan, ngomong-ngomong aku bukan Jamal."

Dubrakk

"Aish, si guoblokkkk ngapain sih!" Yanto semakin murka.

"Minggir Dayat, sampe kapan mau nindih hah?" Yanto kesal sampai ke ubun-ubun.

Hal gila memang sering terjadi dalam keseharian mereka. Tapi tidak segila kali ini, akibat ulah Ujang yang lari tunggang-langgang Ujang menabrak Dayat. Tak sampai disitu, sebab Dayat sedang berselisih dan saling berhadapan dengan Yanto dia tak fokus. Di tabrak sesantar itu, tubuhnya limbung menimpa tubuh Yanto. Sangat biasa, yang tak biasa adalah mereka saling menindih di atas makan seseorang. Makam tersebut masih baru dilihat dari tinggi gundukan dan jenis tanahnya.

Makam yang baru sudah sewajarnya memiliki gundukan tanah cukup tinggi. Tanah tersebut kokoh dan padat berkat diinjak-injak warga yang turun menguburkan. Jadi mana mungkin makan tersebut amblas beberapa sentimeter hanya karena tertimpa dua lelaki yang tak genap dua ratus kilogram. Belum lagi tubuh Yanto seperti terjerat sesuatu hingga sulit bangkit. Hanya bisa bersuara, mengusir Dayat dan memarahi tingkah Ujang saja.

"Anjir tegang woy ini." Celetuk Yanto yang masih berbaring di atas kuburan.

"Masih kepikiran tegang si gebleg mah, ini genting woylah." Ujang tak habis pikir.

Yanto menyerngit, jelas tegang yang di tangkap Ujang bukan tegang yang ia maksud. "Eh bebegig kerempeng, tegang gak bisa gerak badan ini woy tolongin bukannya malah nonton."

"Oh, kirain tegang yang itu." Ujang garuk-garuk kepala yang tak gatal.

"Si Ujang benar-benar dah ya, ngapain sih garuk-garuk kepala ku, sinting kamu ya?" Sarkas Dayat, lagian Ujang tak mandiri bukannya garuk kepala sendiri malah pinjam kepala Dayat.

"Apasih, udah hayuk bantu Yanto berdiri. Kasihan dia sampe tegang begitu hahahahha." Ujang cekikikan.

Hihi....hi... hii....hi

"Anjir siapa yang ketawa Yat, merinding sampe ke buriit ini." Ujang tak berani tengok sana sini, terpaku menatap lurus Yanto yang masih rebahan di atas makam.

"Melengking lagi suaranya, spek Kunti ini mah Jang." Dayat bringsut, kini mendekap erat Ujang.

"Cabut aja yok Jang, dengkul sampe keringet basah itu." Dayat semakin erat memeluk Ujang.

Seolah sepakat tanpa kata, keduanya bersiap lari. Penakut bukan julukan mereka, perihal tawa kuntilanak sudah biasa mereka dengar. Yang menciutkan nyali, sekelebat kuntilanak mengelilingi mereka. Mengelilingi dalam artian dekat, terkadang nampak wajah menyeramkan itu tepat di depan wajah mereka. Padahal saling berpelukan menyembunyikan wajah, tapi masih kentara. Entah nyata atau hanya perasaan saja, kuntilanak tersebut ada yang menjilat pipi mereka. Bagaimana tak habis nyali di buatnya, jika bisa menyentuh besar kemungkinan membunuh pun bisa dilakukan si kuntilanak.

Naas saat hendak berlari keduanya jatuh terjerembab, hingga Yanto menjerit. "Si guoblokkkk, bisa nggak sih tolollll nya pending dulu. Ngapain nimpa badan ku lagi hah?"

"Yeuh ya mana bisa jatuh milih tempat, kecuali jatuh di kasur ya kan Yat." Ujang meminta pertolongan Dayat.

"Heem, lagian iseng amat orang mau kabur segala di pegangin kakinya, jatuh juga nimpa kamu lagi, ngomel lagi." Dayat mendengus.

"Ya kabur ajak-ajak, seenaknya mau ninggalin aku sendirian disini." Yanto mendelik, tak kalah seram dengan kuntilanak.

"Oh iya, kok lupa tadi ya. Haha, maaf salah si Kunti itu Yan." Ujang tepuk dahi, lagi-lagi menepuk dahi Dayat.

Dayat sudah paham tabiat Ujang, pasrah dengan keadaan. "Ngomong-ngomong si Kunti kemana ya?"

"Noh, mau lahiran, awas dulu coba ayok kita tolong." Ucap Yanto bergurau.

"Ari si Yanto ya, ah jurig juga di pake bahan becandaan dia mah, hayuk balik aja." Ujang berdiri lebih dulu lantas membantu rekannya bangkit.

"Dongo amat dah, noh pasang mata kalau perlu melotot sekalian asal jangan biji mata keluar, liat noh lagi mau lahiran kan?" Jari Yanto mengarah ke salah satu titik tak jauh dari mereka berdiri sekarang.

"Bjirr, tegang yang paling tegang seumur hidup, ini mah." Komentar Dayat.

"Jabang bayi, sagala jampe di sebut, hush hush arghhhhhhhhhhhh cepet cari dukun, buat lahiran Kunti." Histeris Ujang.

"TOLONG......TOLONGG....TOLONGG..."

Bersambung

2. Kuntilanak Lahiran

Beranak dalam kubur, fenomena langka namun sekali atau dua kali pernah terlintas dalam ingatan manusia. Peristiwa yang di picu sebab seorang wanita meninggal dalam keadaan hamil. Siapa yang percaya jika tak melihat dengan mata kepala sendiri. Kisah yang di perdengarkan pada zaman dahulu, sebagai dongeng misteri penokohan kala itu. Logika berkata mana mungkin jasad yang bersemayam dalam kubur bisa melahirkan. Lantas jika terjadi, bagaimana bayi itu bisa keluar dari liang lahat yang dipadatkan dengan tanah. Semua misteri tak masuk akal dan sulit diterima tapi benar adanya.

Berdiskusi singkat di persemayaman para mayat, Yanto dan lainnya yakin mereka mendarat di atas makam kuntilanak. Makan yang mendadak amblas beberapa sentimeter lantas muncul sosok kuntilanak mengganggu mereka. Yakin akan hal yang sulit diterima, Yanto dan lainnya menyingkir dari atas makam secara perlahan. Kejadian selanjutnya di luar nalar, ingin hati ingkar dari peristiwa siapa sangka sisi manusiawi tak bisa padam.

"Atuh Yanto itu kasihan si Kunti mau lahiran, kumaha ini ya ah lahiran kok di kuburan sih." Ujang panik mendengar suara tangis kuntilanak.

"Si Ujang benar-benar dah ya, namanya juga setan ya mau lahiran di mana lagi, udah nggk punya duit apalagi BPJS." Timpal Yanto.

"Yat, ngapain bengong aja ntar kesurupan." Fokus Yanto teralihkan dengan Dayat yang tiba-tiba jadi pendiam.

Sadar bahunya di tepuk Yanto untuk memutus lamunannya. "Eh, mana mungkin kesurupan setannya lagi lahiran."

"Iya juga sih." Yanto garuk-garuk kepala, dia merasa ada yang salah tapi entah itu apa.

"Hahhh, berat ya jadi kita pengen kabur tapi kasihan liat Kunti kesakitan, mau bantu masih perjaka masa udah liat orang lahiran aja, merasa berdosa nggk sih?" Keluh Dayat.

"Hahhhh, iya nih Yat. Bingung banget mau bantu juga nggak bisa megang, dia tembus di sentuh kita." Yanto ikut menghela nafas.

"Hahh...hahh... hahhhh, ngeluh weh terus sampe si Kunti beneran lahiran. Hayuk, cari cara kek, buat bantuin dia, kan kita nyaris sakti nih malem ini, kita jadi bahan praktek aja si Kunti." Ajak Ujang.

Pletak, kepala Ujang kena jitak, hingga si empunya kepala mencak-mencak. "Ari si Yanto, benar-benar ya, ih kekerasan dalam pertemanan ini. Ngapa jitak-jitak segala sih?"

"Biar encer dikit otaknya." Ujar Yanto, mendengus kesal dengan celotehan Ujang.

"Otak encer mah ya malah repot, ntar ambyar nyebar di dalem kepala terus keluar lewat kuping sama lubang lainnya kan aneh." Protes Ujang, tak terima otaknya di getak aga encer, lagi pula setahu dia otak itu menggumpal dalam selaput.

"Itu mah keenceran Jang, kamu aneh jadi orang. Jelas-jelas kita belajar ilmu kekebalan tubuh dan silat, ngapain bantu Kunti lahiran." Cerocos Dayat, merasa tak ada kesinambungan antara sakti dengan kebidanan.

"Nah Dayat tumben pinter. Kita bukan bidan Jang, kalau semisal kita bantu terus yang kedudut bukan bayi tapi lambung gimana?" Celetuk Yanto.

"Ah, pusing ngomong sama kalian mah." Ujang kesal, menghentakkan kaki lantas melihat ke arah kuntilanak lagi.

Arghhhhhhhhh

"Oekkk.....Oekkkkk.....oekkkk....."

Bungkam, ketiganya mematung melihat bayi itu lahir. Bayi berlumuran darah yang di dekap kuntilanak. Dekapan ibu yang sulit di deskripsi. Anak itu tak henti menangis, dia menangis seolah tak ingin dilahirkan. Sebagai seorang ibu, naluriah kuntilanak itu bersenandung menenangkan si bayi. Pilu, hatinya tersayat menyaksikan itu. Menyaksikan seorang ibu yang berhasil melahirkan bayinya di dimensi berbeda.

Di atas makam yang amblas seolah jadi ranjang bersalin sang kuntilanak. Ranjang berdarah yang mencengkam dan seram di pandang dunia manusia. Yanto terhitung tegar, menangis hanya dua kali yang ia ingat, yakni saat ayahnya meninggal dan kali ini saat melihat hantu lahiran. Bagai seorang ayah yang menanti kehadiran sang buah hati, Yanto berucap hamdalah. Tak ada batasan lagi, Yanto, Dayat, dan Ujang mendekati ibu dan anak itu.

Yanto menatap manik kuntilanak itu, gila rasanya. Bagaimana bisa, kuntilanak yang menyeramkan terlihat begitu cantik. "Jangan bersedih nona, biar kita rawat bayi mu."

"Heem nona, gak apa kita jadi bapak muda tanpa wanita." Ujar Dayat.

"Iya, tapi bisa nggak jangan jadi bapak, jadi om aja, ya kali belum nikah udah jadi bapak aja, rugi dong kita." Tawar Ujang.

Yanto dan Dayat mendelik, melotot ke arah Ujang, hingga Ujang setuju. "Eh iya-iya, jadi bapak.. Em iya jadi bapak, udah atuh melototnya."

Ini kuntilanak diem aja nggk ada inisiatif apa ngasih bayinya, batin Yanto. "Ekhmm, anu bayinya?"

Seolah tak rela melepas dekapan pada sang bayi, tatapan kuntilanak itu penuh sorot kehilangan. "Sudah, yakin saja kami akan mengurus bayimu."

"Gini aja deh, nanti kita bakalan sering jenguk kamu, tapi nggk setiap hari juga kasihan bayinya takut sawan." Dayat mengimbuhi ucapan Yanto.

"Lah kan dia lahiran di kuburan, demit sini udah tahu lah dia siapa, berani nempelin si bayi auto di ajak gelut si Kunti iya kan kun?" Ujang nimbrung.

"Ujang kalau ngomong bikin dongkol ya, mingkem kau!" Gertak Yanto dengan suara berbisik namun gigi saling menekan.

Kuntilanak mencium bayinya dengan khidmat, cukup lama tak dilepaskannya. Hingga waktunya telah habis, dia menatap penuh mohon pada ketiga perjaka kampung itu. Mengulurkan tangannya, hingga bayi itu di dekap oleh Yanto. Ajaibnya, bayi itu langsung menempelkan kepalanya ke dada Yanto, seolah tahu dia akan di rawat olehnya. Bayi itu terlelap, suasana yang semula hening kini mulai riuh. Kuntilanak menjadi kasat mata, hilang di telan kehampaan. Terbitlah fajar, dan suara adzan subuh di kumandangkan.

Baik Dayat, Yanto, ataupun Ujang linglung. Begitu banyak waktu berlalu untuk lahiran seroang bayi hantu. Bayi yang sedang mereka pandangi. Bukan mimpi semata, semua nyata. Bayi dalam dekapan itu, benar-benar bayi manusia pada umumnya. Bayi normal berjenis kelamin laki-laki. Bayi merah berhidung mancung dengan bibir semerah darah. Rambutnya lebat, jemarinya indah. Jelmaan bayi terindah yang memikat mata.

"Kayaknya kita harus pergi dari sini sebelum matahari terbit." Yanto bergumam.

"Hem, kau benar. Tak baik membuatnya berlama-lama di kuburan. Udara luar tak bagus untuknya." Ujang membelai wajah bayi yang tertidur pulas itu.

"Jangan di pegang, tangan mu kotor. Mana tanah kuburan pula yang ada di tangan mu itu." Larang Dayat.

"Ah iya aku lupa, sebaiknya kau gunakan sarung ku untuk membungkus tubuh si bayi, kasihan kalau dia kedinginan." Saran Dayat.

"Dari tadi kek, lama aja berpikirnya." Sewot Yanto.

"Yehh, orang saran baik malah nyolot, orang deso kamu ya?" Ledek Dayat.

"Dasar orang kampung." Balas meledek Yanto tersenyum pada Dayat.

"Cih, aku tak butuh senyuman mafia mu." Dayat pundung.

Yanto berjalan lebih dulu dengan membawa sang bayi. Ujang menenteng sendal jepit dan senter miliknya dan milik Yanto. Dayat tak membawa apapun, dia yang paling terakhir beranjak. Sebelum kembali, Dayat sempat menilik makam wanita itu. Makan yang baik-baik saja tak amblas seperti yang mereka lihat semalam. Peristirahatan terbaik untuk seorang wanita berumur dua puluh tahun bernama Zalina Rumi.

Dayat menatap sendu gundukan tanah itu, menghela nafas panjang sebelum akhirnya berbalik. Tepat selangkah kakinya meninggalkan makam, terdengar suara wanita berucap terimakasih. "Iya, sama-sama."

Deg, Dayat langsung menghentikan langkah, kepalanya celingukan, matanya berkeliaran kesana kemari. Hingga diri tersadar, barusan yang ia sahuti bukan manusia.

"Aishh, setan alas emang." Dayat lari kebirit.

Bersambung

3. Semerah Darah

Perdebatan tak terelakan, saling todong untuk penempatan si jabang bayi. Mereka semua perjaka, apa kata warga jika tahu-tahu punya putra. Jangankan warga, pulang ke rumah masing-masing pun belum tentu selamat. Warga desa sangat kolot, apalagi perihal bayi tak jelas asal usulnya. Adopsi bukan alasan yang tepat, karena bujang mana ada keinginan seperti itu. Heboh juga kalau bicara anak itu anak kuntilanak. Lahiran di atas kuburan, dan mereka tak tega untuk meninggalkan.

"Udahlah ke rumah mu aja Yanto, kau paling buaya diantara kita. Anggap saja ada salah satu selir mu kebobolan." Celetuk Ujang, kepalanya nyaris pecah memikirkan akan di taruh mana bayi ini.

Plakk, sendal jepit yang talinya putus di kuburan semalam mendarat di dahi Ujang. "Aku tak bengal macam kau Ujang. Aku bukan buaya, salahkan ketampanan ini, gadis jadi terkintil-kintil dengan ku."

"Cuihhhh, hoekk bawa asoy nggk Yat pengen muntah." Ujang gumoh mendengar ucapan Yanto, tampan gak ada seperkian persen dari nabi Muhammad saja sombong.

"Jangan tengkar terus, gak ada hasil. Ayo udah balik rumah Yanto aja, dia juga yang inisiatif pelihara nih bayi, tanggung jawab, kita dukung dari belakang." Putus Dayat sepihak, setelah dipikir memang rumah Yanto yang paling bisa menerima.

"Pelihara? Kambing kali di pelihara." Dengus Yanto, sedikit tak terima kata pelihara disematkan untuk si bayi.

"Tau ah si Dayat, dialog trio warkop segala di bawa. Eh, tapi bener juga tuh ayo bawa ke rumah Yanto." Sepakat dengan pendapat rekannya, Ujang menganggukkan kepala, manggut-manggut santar dengan dua jempol di acungkan ke udara.

"Eh..eh...mana bisa begitu, haishhh tunggu dulu jangan maen jalan nyelonong begitu, gak sopan." Misuh Yanto karena Ujang dan Dayat mendahului langkah menuju rumahnya, sedang dia belum siap dengan konsekuensi di hadapkan kedua orangtuanya.

"Syutttt, diem atuh Yanto. Tinggal ikut jalan aja bawel." Ganti Ujang yang misuh, lagipula ditemani kenapa harus takut kena amarah seorang diri.

"Tau tuh, nggak khawatir tuh bayi keburu mati apa." Gerutu Dayat, kali ini lidahnya begitu pedas berujar.

Mempercepat langkah, perkataan Dayat menjadi beban pikir Yanto. Memang asal ucap, tapi bukan tak mungkin hal itu terjadi. Bayi makhluk rentan, tak mengenakan pakaian hanya berselimut sarung, tidak masuk angin saja sudah syukur. Kebelakangkan perihal kena omel dan semacamnya, terpenting menyelamatkan bayi ini dulu. Yanto anak semata wayang, mungkin orangtuanya tak akan marah besar. Toh manusia mana yang bisa meninggalkan bayi di atas kuburan begitu saja. Jika melakukannya, bukan hanya manusia mungkin iblis pun mengutuk perbuatan mereka.

Di pelataran ibunya sedang menyapu halaman begitu syahdu. Daster setengah tiang, rambut diikat dan mengenakan seperangkat sendal jepit, wanita itu menghampiri anaknya yang masuk halaman rumah tergesa. "Ada apa, abis bikin ulah apa lagi kau, berangkat petang, pulang pagi hari, mau jadi apa rupanya kau hah?"

"Syutt, diem dulu Bu, nanti aja kalau mau ngomel, ini urus dulu bayinya." Yanto memperlihatkan bayi yang ia gendong dalam buntalan kain sarung.

Sapu lidi di tangan jatuh begitu saja, Bu Rini lekas mengambil alih bayi yang di gendong secara brutal oleh Yanto. "Astaghfirullah To, ya ngapa gendong bayi udah kaya nyopet beras di sumpetin dalam perut, masih idup nggak nih bayi."

"Astaghfirullah, astaghfirullah, punya anak begooonya nggk abis-abis." Rini berlari masuk rumah meninggalkan tiga perjaka yang bingung.

"Ekhmm, emmm.... emang ada salah ?" Yanto bertanya pada dua sahabat karibnya, menurutnya metode gendong ala kangguru lebih efektif dan mudah di lakukan.

"Udah paling bener, kalau nggk bener kan si bayi protes ya. Udah gak usah dipikirin ayo masuk, kita liat anak kita." Ajak Ujang, menghibur Yanto, toh dia juga tak ada pengalaman menggendong bayi meski punya banyak adik.

"Bener juga, takutnya saking banyak darah sama tanah langsung dimasukin mesin cuci terus di bilas sama emak mu Yanto, tau sendiri udah lama nggk ngurus bayi, ayo cepet masuk." Dayat si lawak bicara.

"Mulut Dayat emang dahsyat, tapi ya kali ibu ku begitu, dia nggk psikopat." Protes Yanto.

"Saking lamanya nggak mandiin bayi, cuma nyuci baju mulu, jadi lupa caranya. Terus nggak mau ribet ya udah masukin mesin cuci aja." Ujang mengarang, otaknya membenarkan celoteh Dayat.

"Kalian berdua sama aja, sama-sama gilanya." Yanto lari meninggalkan Dayat dan Ujang.

"Yeuehhhhh, seenaknya aja. Dia kan paling gila diantara kita ya." Ujang meminta persetujuan Dayat.

"Dih, padahal kamu yang gila, wkwkwkw." Dayat mendorong Ujang sampai jatuh dari posisi berdirinya, lantas lari menyusul Yanto.

"Si Dayat kutu KUPRET, aihh remuk badan jatuh terus mah, ah elah." Keluh Ujang lantas membuntuti teman-temannya.

Rini tergopoh menemui suaminya yang sedang memandikan ayam jantan petarung. Suaminya dengan kaos dalam putih kebanggaan dan sarung sedang jongkok bersiul membelai ayamnya. Terperanjat, karena teriakan sang istri yang bilang punya bayi. Segera menelantarkan ayam sumber kegembiraannya, menghampiri sang istri. Memastikan jika kali ini dia tak di tipu kembali. Pasalnya istrinya itu kerap bilang dapet bayi, waktu di hampiri kalau bukan bayi kucing, bayi marmut, anak ayam, pernah juga anak kelinci. Jarwo trauma dengan prangkap Rini.

Melihat bayi dengan lumuran darah yang mengering di badan. Ari-ari dan tali pusar masih tersambung. Jelas sekali ini bayi ditemukan dalam keadaan terbuang. Tanpa pikir panjang, Jarwo mengajak istrinya untuk memandikan bayi tersebut. Bayi laki-laki yang begitu tampan, dimandikan oleh Jarwo dengan telaten dan cekatan. Jarwo berkumis sangar, tapi dia terlatih memandikan bayi. Dia kakak tertua dari sebelas bersaudara, dia di tuntut untuk bisa segalanya. Dulu dia lebih mahir ketimbang istrinya untuk memandikan Yanto.

"Ganteng banget Bu, nemu dimana?" Jarwo membawa si bayi dengan balutan handuk, lantas meletakkan bayi di atas ranjang Yanto. Memandikan bayi tersebut, dan memerintahkan tugas untuk masing-masing perjaka.

"Bahasa mu nem..." Ucapan Rini terpotong karena trio rusuh masuk berebut.

"Mana anakku?" Yanto bersuara paling pertama, setelah berhasil menerobos pintu kamarnya sendiri.

"Ini perlengkapan bayi, minjem punya Adila bayinya teh Hasna, maaf ya nak pake baju perempuan dulu, gak apa yang penting kamu tetap tampan." Dayat menyerahkan minyak telon, baju dan bedong yang ia pinjam dari tetangganya atas saran Rini. Tugasnya telah usai, meski harus dapat pertanyaan segunung dari tetangganya.

"Hah.....hahh....hoshhhhj......ini bidannya siap sunat. Eh, maksud ku anu.....hasihh..nanti dulu masih ngos-ngosan." Ujang yang ditugaskan memanggil bidan desa, harus menunggu bidan usai mandi, untung dia tak ada niat mengintip tadi.

"Euhh, bocah semprul emang ya. Minggir biar Bu bidan tangani dulu. Sana keluar mandi dulu, badan kaya abis main perosotan di kebon haji Icah." Rini mengomeli trio perjaka yang datang nyaris bersamaan, padahal di tugaskan pada titik koordinat berbeda.

"Apasih Bu, aku mau liat semua tentang anakku." Yanto menyela ucapan ibunya, meski lelah karena berbelanja Yanto tetap harus tahu perihal anak bujang nya.

"Tau tuh si ibi mah nggak pengertian, kita sebagai bapaknya nggk terima kalau di gituin ah." Ujang turut protes.

"Ckk, emang gak ada yang bener selain aku kok Bu. Udah kalau mau liat diem jangan ribut, sini ngumpul sebelah sini jangan disitu kasian bayinya butuh oksigen, bau keringat kalian." Dayat sedikit dewasa kali ini hingga semua orang yang kenal hanya bengong tanpa perlawanan langsung pindah sisi ranjang lainnya.

Bidan melakukan pekerjaan dengan profesional, mengecek kondisi bayi dan memisahkan tali pusar yang masih menempel dengan plasenta. Bayi itu begitu anteng dan tak rewel sama sekali, matanya berbinar teduh dan penuh kegembiraan. Raut wajahnya begitu bahagia, dan dia bermain dengan jemari mungilnya. Tak ada drama tangis di tengah penanganan yang di lakukan bidan. Berakhir mulus, barulah bidan memberi arahan pada Rini.

"Bu, ini di ganti kasa steril sehabis mandi di bagian pusarnya. Jangan di kasih bedak ya Bu, terus jangan di kasih obat merah juga, biar cepat lepas pusarnya." Saran Bidan.

"Oh gitu, bukannya pakai obat merah cepet kering ya Bu?" Rini memastikan.

"Ibu ih, orang bidannya sekolah jangan di bantah dengerin aja. Ya gak neng Tasya." Yanto berkedip genit, lagian ibunya sakit apa saja obatnya cuma Paracetamol dan obat merah selalu.

"Oh ya Bu Rini, satu lagi kalau bisa tak perlu di pakaikan gurita. Kasihan bayi masih nafas pakai pernafasan perut kalau diikat dengan gurita dia tak nyaman." Jelas Tasya.

"Pantes, dulu Yanto nangis mulu ternyata begitu." Beo Rini, ingat dosa terlalu kencang memakaikan gurita pada Yanto.

"Eh..ehh....dia haus tuh, ih mana Yanto susunya, tadi kamu kebagian jatah beli susu bayi kan?" Rini baru ingat setelah bayinya haus, dan terus berusaha menghisap jemarinya.

Langkah secepat jaringan di bawah tower sinyal, Yanto keluar kamar mengambil diaper dan susu bayi pesanan ibunya. Dia mengambil tugas berbelanja karena hanya dia yang punya uang. Tak mungkin Dayat dan Ujang, mereka tak bawa dompet dan repot kalau kembali ke rumah lebih dulu, pasti kena ceramah. Jadilah dia mengalah mengambil tugas paling sulit. Bagaimana tak sulit, karena dia harus mencari ke supermarket terdekat. Sedangkan yang paling dekat saja berjarak lima kilometer dari rumahnya.

"Ini Bu pake yang mana dulu?" Ada empat palstik besar di tenteng oleh Yanto ke dalam kamar.

Rini hanya bisa mlongo, tak ada suara yang bisa ia keluarkan selain mata nyaris keluar dari tempatnya. Nafas tercekat, tak percaya putranya sebodoh itu. Benar diminta membeli susu, tapi tidak dengan semua merk di borong. Belum lagi diaper, siapa yang mau pakai segala ukuran di beli.

"Kau beli segitu?" Tanya Rini penuh penekanan.

"Ehh, jangan marah begitu dong Bu, tenang aja di depan masih ada sepuluh plastik lagi untuk popoknya, terus kalau susu cuma ada 5 plastik lagi, pinterkan aku Bu, siapa dulu Yanto." Bangga Yanto membusungkan dada.

"Asdffjfllfllll, YANTOOOOO!!! KEMBALIKAN ITU SEMUA!"

"Hushh ngawur, ini aja di bantu mobil swalayan loh Bu, karena borong dan cuma bawa motor. Balikin kesana ya mana bisa." Tolak Yanto.

"Ini terlalu banyak siapa yang mau pake?" Celetuk Tasya.

"Eh, masa sih. Aduh masa kebanyakan, gak apa bisa di pake sampe gede." Yanto ngenyir kuda.

"Arghhhh, KAU SAJA YANG PAKE POPOK YANTO, HARUS KAU PAKAI." Murka Rini.

"Ya males loh Bu, apasih teriakan ibu bikin takut bayiku." Padahal bayinya anteng saja.

"Gila aku lama-lama, bangkrut ini namanya." Rini frustasi.

"Ih orang beli pake uang Yanto." Dumal Yanto.

"DIAM KAU SUMBER MASALAH!"

"SETIAP PAGI KAU PAKAI POPOK ITU, IBU NGGK MAU TAHU, KALAU TIDAK CORET DARI KK!!!!!"

Bersambung

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!