NovelToon NovelToon

RAMALAN I’M Falling

BAB 1

Matanya tampak kosong dari luar, tapi sebenarnya tidak sama sekali. Untuk pertama kalinya dia merasa khawatir setelah sekian lama, jadi mana mungkin dia tidak berpikir sama sekali.

“SORAYA! kamu mendengar Gamma atau tidak?”

Terkejut dengan namanya diteriakkan, Soraya menyapu dadanya kasar. Dia menatap wanita tua yang berteriak padanya tadi, dengan tatapan memelas bercampur malas. Dia memelas karena tertekan, dan malas karena tahu, tidak bisa menghentikan sang Nenek dari memarahinya tentang hal ini.

Jadi Soraya hanya bisa menelan ludah pahit. “Gamma, aku dengar. Tapi pelan-pelan aja dong, gak usah teriak. Kan malu, kalau didengar orang lain.”

Mendengar jawaban Soraya, wajah sang Nenek memerah karena gejolak emosi.“Biarkan saja. Biar siapapun diluar sana, atau di dalam rumah ini bisa dengar, bahwa kamu itu tidak berguna. Nilai kamu selalu rendah di sekolah dari dulu sampai sekarang! Tidak ada bakat atau keahlian khusus. Mau belajar pun tidak bisa masuk ke otak karena bodoh. Bisa kamu hanya gegayaan dan berdandan, persis Bibimu!”

Mendengar sesuatu yang sama diulang-ulang selama hampir dua jam, Soraya akhirnya mulai gelisah.

Memang tidak ada yang salah dengan perkataan sang Nenek, bahwa dia adalah yang terburuk dalam hal ini. Bahkan kalau bukan nama besar keluarga-nya, dia mungkin sudah lama akan menjadi bahan olok banyak orang. Karena memang, template 'beautiful but brainless’ telah melekat padanya sejak kecil.

Saking bodohnya dia di sekolah, dia selalu mendapat tiga besar dari urutan belakang. Hingga kecantikannya yang legendaris, tidak mampu lagi menutupi kelemahannya terhadap hal itu. Membuat Soraya menjadi bintang sekolah yang paling tidak bersinar.

Tapi hanya karena itu benar, bukan berarti dia terbiasa saat seseorang mengungkit hal ini secara langsung, apalagi berulang. Khususnya disaat seperti ini. Saat dimana dia baru pulang setelah menerima nilai sekolah yang buruk.

“Mau kemana kamu? Gamma sedang bicara.” Tanya sang Nenek, saat melihat Soraya berdiri.

Mendengar ini, Soraya berdecak kecil dan menatap mata sang Nenek. “Aku mau ke kamar saja. Aku lelah diomeli terus.” Jawabnya sederhana, tapi berhasil membuat sang nenek menganga.

“Ka-kamu, ... Gamma bicara ini untuk---”

“Shut!” Soraya menaruh jarinya di depan bibir, mendiamkan sang Nenek yang sedang bicara. Dia memfokuskan diri sebentar, sebelum mengangguk,

“... Ah, itu dia! andalan Gamma. Gamma bicara saja dengannya, aku lelah.” Tunjuk Soraya ke arah pintu masuk, ketika di dengarnya suara yang akrab.

“Tidak, jangan kamu coba-coba masuk ke kamar, Gamma belum selesai---” Ucapnya terhenti, ketika seorang pemuda memasuki ruang tamu.

Menggunakan setelan jas setengah formal dengan warna coklat muda, laki-laki dengan paras tampan itu langsung membuka lebar kedua tangannya. “Gamma ku tersayang.”

Melihat kedatangan pria muda yang menjadi cucunya, sang Nenek yang dari tadi begitu marah langsung melembut. “Ohoho, cucuku yang baik.” Kedua orang berbeda generasi itu saling berpelukan, membuat Soraya mengangkat ujung bibirnya mencibir.

Dih, cucuku yang baik katanya, ueek!

Setelah keduanya mengurai pelukan, pria itu berjalan ke arah Soraya, dan mencoba melakukan hal yang sama.

“Adikku Sora, yang paling cantik ….”

Tapi sayang, belum juga tangannya menggapai, Soraya sudah memberi punggung. Menolak untuk menerima pelukan kasih sayang itu.

“Sudahlah Rafael, biarkan dia. Gamma sedang mengajari adikmu ini, cara untuk menjadi manusia yang berguna. Atau kalau tidak, entah akan jadi padanya. Hah, ... Kalian itu benar-benar berbeda,” Keluh sang Nenek lagi.

Mendengar ini, pria yang dipanggil Rafael itu, menarik sudut bibirnya kecil. Dia menggaruk dahinya, sebelum merangkul sang Nenek untuk membujuk.

“Gamma, jangan katakan hal seperti itu. Adikku yang paling cantik itu, sebenarnya hanya membutuhkan sedikit motivasi. Benar Sora?” Ujarnya, sambil mengedipkan sebelah mata pada Soraya.

Soraya yang melihat ini, memutar bola matanya jengah. Walaupun dia tahu bahwa sang Kakak mencoba membuat situasi mereda baginya, tapi dia tetap saja jengkel. Karena dalam hidup, Rafael selalu menjadi kebanggaan sang Nenek, dan standar yang harus Soraya ikuti.

Tidak cukup hanya pada Rafael, sang Nenek bahkan menambahkan beban pada Soraya, dengan membandingkannya jauh sampai pada teman Rafael. Seseorang yang notabennya sudah hampir lulus kuliah, saat dia sendiri masih seorang siswa sekolah. Sesuatu yang benar-benar tidak masuk akal, pikir Soraya.

“Selamat siang,”

Ah, itu dia si miskin! Pikir Soraya, saat seorang pria sebaya Kakaknya ikut masuk ke dalam rumah.

Berbeda dengannya yang memasang wajah masam penuh celaan, sang Nenek langsung sumringah, melihat kedatangan pria, yang merupakan teman cucunya itu.

“Eh, ada Nak Sean ternyata.”

“Gamma Ros,” Sapa pria yang dipanggil Sean itu, sambil menunduk.

Soraya yang melihat betapa lebar senyum sang Nenek, semakin tidak senang dibuat.

Oh ya ampun, lihatlah gigi emasnya membuat silau. Ejek Soraya dalam hati.

Tidak cukup mengejek Neneknya, dia juga menatap sinis sahabat sang Kakak. Orang luar bernama Sean, yang ikut dibandingkan sang nenek dengan dirinya. Seseorang yang membuat Soraya jengkel hanya dengan melihat.

Dih, lihat pakaiannya. Katanya praktek di kantor Hukum, tapi penampilan kayak gembel. Ejek Soraya lagi, karena penampilan Sean yang hanya menggunakan kemeja polos dan jeans biasa.

Terlalu asyik mengejek dalam hati, Soraya sampai lupa mengontrol ekspresinya dan itu ditangkap Rafael. Tuk. Sebuah jentikan jari pelan menyapa dahinya. Tapi seperti biasa, reaksi Soraya begitu dramatis.

“ADUH, KAKAK! KENAPA KAU MEMUKULKU?”

Rafael yang sudah tahu dan terbiasa, langsung merangkul leher Soraya. Membawa adik satu-satunya itu dalam pelukan, dan menenggelamkan kepalanya di dada bidang Rafael. “Dasar adikku drama queen, ....”

“Dih, lepaskan aku!” Soraya meronta, dan memukul Kakaknya itu sembarangan agar bisa terlepas. Tapi begitu, kekuatannya bukanlah apa-apa untuk Rafael.

Namun Ros yang masih kesal dengan cucu bungsunya itu, mengambil hal ini sebagai bahan untuk memarahi Soraya lagi.

“Rafael sudah cukup! jangan bercanda begitu. Kamu juga Soraya, jangan memukuli Kakakmu seperti itu. Kalau pukulan itu terkena kepalanya bagaimana? apa kepalamu yang tidak ada isinya itu, bisa menggantinya? ”

“Gamma.”

“Biar Rafael. Adikmu yang tidak tahu apa-apa ini harus diberitahu, bahkan untuk hal kecil. Atau kalau tidak, entah masalah apa yang bisa dia sebabkan.”

“Gammaaaa ….” Ada tekanan panjang dari nada rendah Rafael. Walaupun dia menyayangi sang Nenek, tapi dia tidak bisa mentoleransi siapapun yang menghina adiknya.

Soraya yang mendengar ini, semakin gelisah dibuat. Dalam benaknya, terasa seolah sang nenek ingin memperdengarkan masalah mereka pada Sean, sebagai orang luar disini.

Dia meremas kaos oversize-nya sebagai pelampiasan. Tapi begitu, bukan Soraya kalau pergi tanpa membalas. “Ya, tapi setidaknya Gamma tidak perlu memberitahuku cara menggunakan ponsel. Sebab dengan ponsel, cucumu ini bisa mencari pusat perawatan terbaik untuk lansia yang mulai tidak masuk akal, … sepertimu.” Ujar Soraya, yang membuat Ros memegang dadanya karena terkejut.

Dia mengangkat tangannya bergetar menunjuk sang cucu, “Ka-kamu, berani bicara begitu pada Gamma?”

Soraya mengangkat kedua bahunya acuh. Dia sedang tidak ingin menurunkan ketegangan, karena ini adalah pertama kalinya sang Nenek juga tidak mau berhenti memojokkannya.

Melihat sikap Soraya, wajah Ros bertambah merah karena amarah. Tampaknya setelah bertahun-tahun bertengkar untuk masalah yang sama, kini mereka memasuki momen paling sengit. Dimana Rafael bahkan kesulitan untuk menghentikan.

“Rafael, lihat adikmu! lihat betapa lancang dia pada Gamma.”

Mendengar aduan ini, Rafael menggangguk dengan sorot penuh permohonan maaf. Namun begitu, hatinya masih berat sebelah. Alih-alih menegur Soraya, dia malah mencoba membujuk Ros untuk tenang.

“Gamma, sudahlah. Jangan di bawah hati ucapan—”

“Rafael!”

Tidak peduli usia berapa pun, wanita selalu sama. Ros yang tidak mendapatkan pembelaan Rafael dalam ketegangan ini, malah semakin menjadi omelannya.

Dia kembali mengkritik kekurangan Soraya, dan semakin kesal karena Soraya selalu memiliki sesuatu untuk dijawab. Jadi kritikan dan kemarahan itu semakin dalam, hingga membawa mereka pada pembicaraan yang tidak seharusnya.

“Kamu anak kurang ajar. Masih bagus kamu Gamma pedulikan, dan bawa kemari. Tapi apa? ternyata kamu cuman bikin malu saja! harusnya kamu tetap sama adik mama kamu yang tidak tahu diri itu. Jangan disini. Jangan di keluarga ini. Kembali sana kamu!”

Deg. Ucapan ini seperti batu yang menghantam hati Soraya, sampai lidahnya kelu sesaat. Bukan hanya Soraya, Rafael bahkan tertegun dibuat mendengar hal ini.

Tapi Soraya menegakkan lehernya, memaksa menjawab.“Oh really? memang siapa yang suruh bawa aku kemari! aku juga tidak mau disini. Aku lebih suka dengan bibiku!”

Bohong, bohong Soraya. Dia tidak bersungguh-sungguh sama sekali saat ucapan itu keluar dari mulutnya. Itulah alasan kenapa dia langsung berlari ke kamar setelah mengatakan hal itu. Dia mungkin suka berada disekitar Bibinya, tapi tidak, ditempat dimana Bibinya berada.

Ros yang mendengar itu, memegang dadanya yang semakin sesak. Beruntung Sean yang sigap, langsung menahan dari belakang saat wanita tua itu goyah lututnya.

“A-anak itu, be-beraninya dia padaku … Rafael, ka-kau lihat sendiri kan.” Ujar Ros terbata yang masih menatap kepergian Soraya.

Mendengar ini, Rafael menatap Neneknya dengan tatapan yang sulit diartikan. Tapi begitu, dia masih tidak mengatakan apapun. Dia menolak membicarakan hal rentan keluarga mereka, meskipun di depan Sean sebagai sahabatnya. Jadi alih-alih bicara dengan sang Nenek, dia segera mengambil langkah untuk menyusul Soraya ke kamarnya.

BAB 2

Ros yang melihat kepergian sang cucu begitu saja, mencoba untuk memanggil Rafael kembali, namun nihil.

“Gamma Ros duduklah dulu,” Ujar Sean mencoba menenangkan.

Diperlakukan begitu sopan oleh Sean, Ros dengan cepat merasa lebih baik. Dia mengikuti instruksi pria muda itu dengan ucapan terimakasih. “Untung saja ada kamu nak Sean. Kamu lihat sendiri kan, bagaimana mereka berdua meninggalkan Gamma begitu saja.” Keluhnya.

Sean sebagai orang luar, hanya menarik senyum simpul. Dia tidak ingin menambah kalimat apapun, hanya dengan peduli mengambilkan air untuk diminum Ros. Selain tidak ingin ikut campur, dia malas mendengar apapun tentang Soraya, meski gadis itu merupakan adik sahabatnya.

Sean yang melewati ruang tengah saat hendak ke dapur, bisa melihat bagaimana sang sahabat tidak berhenti mengetuk pintu kamar adiknya di lantai atas. Ada sedikit celaan dalam hatinya, namun begitu dia tetap diam di mulut. Sean merasa miris untuk Rafael yang begitu menyayangi Soraya. Baginya, seseorang seperti Soraya sulit untuk disayangi, bahkan sebagai seorang adik sekalipun. Begitu keras hati, sombong, bodoh dan suka membuat masalah.

Tapi begitu, dia tidak memikirkan itu terlalu dalam. Hanya terus melangkah ke dapur, dan kembali membawakan minuman untuk Ros.

Namun melihat wajah gelisah wanita tua itu saat kembali, Sean merasa dia akan segera berada di situasi yang sama menggelisahkan-nya.

“Sean, bisa kamu tolong Gamma?” Tanya Ros langsung, setelah menerima minuman.

Mendengar ini, Sean menarik nafas panjang, sebelum mengangguk pelan. “Tentu Gamma Ros.”

“Kamu kesana dan suruh Rafael berhenti memaksa masuk. Toh adiknya tidak akan mati, kalau di kamar. Benar bukan?” — “... Seander?” Panggil Ros pada Sean yang terdiam.

“Ah, baik Gamma.” Jawab Sean seadanya. Dia dengan berat hati memaksa melangkahkan kaki menaiki tangga. Berharap akan mudah membujuk Rafael, yang merupakan tipe kakak yang bersedia melakukan apapun untuk adiknya.

Semakin dekat dia disana, semakin jelas kedengaran Rafael yang mencoba membujuk Soraya.

“Sora adikku yang cantik, buka pintunya sebentar saja. Jangan mengurung seperti ini, mari—” Kata-kata Rafael terhenti dengan tepukan di bahunya.

“Sean kau ...?”

Belum juga dia melanjutkan ucapannya, bunyi deritan pintu di depannya telah mengambil alih perhatian Rafael.

Situasi yang buruk, pikir Sean.

Soraya yang sempat merajuk, kini membuka pintunya untuk sang Kakak. Namun manakala dilihatnya ada Sean, suasana hatinya kembali berulah. Dia dengan cepat kembali jengkel dan hendak menutup pintu lagi.

Tapi entah beruntung atau sial, Rafael berhasil menahan pintu dengan kakinya, meski harus merasakan sakit luar biasa.

“Akh, Sora ….” Teriaknya tertahan.

Soraya yang melihat ini, sedikit terkejut dibuat. Dia sempat menggigit bibir bawahnya, mengalir segelintir kekhawatiran tentang rasa sakit pada kaki Kakaknya. Namun sayang, itu hanya sepersekian detik saja. Karena di detik berikutnya, dia memilih mengeraskan hati.

“Rasain, siapa suruh nggak pake mata!” Marahnya pada Rafael.

Meski kini pintu kamarnya telah terbuka dan membuat Rafael bisa masuk leluasa, tapi Soraya yang semakin buruk suasana hatinya karena rasa bersalah, memilih menyambar tas dan ponsel, bersiap untuk keluar rumah.

“Tunggu, berhenti Sora. Jangan seperti ini.” Ujar Rafael yang mencoba menahan Soraya di dekat pintu.

Tapi Soraya begitu keras kepala. “Apa sih! jangan halangi aku!” Dorongnya pada Rafael.

“Tidak, Kakak tidak mengizinkanmu pergi.”

“Dih, nggak jelas. Awas, ... aku bilang awas ya awas.”

Pertengkaran lagi dan lagi terjadi, membuat Sean yang berdiri di depan pintu melempar pandangan ke arah lain karena muak. Ya, dia muak, karena ini bukan pertama kalinya, dia menyaksikan pertengkaran dua kakak adik itu.

Jadi dengan tetap diam, dan juga menolak untuk melihat, Sean akhirnya tenggelam dalam pikirannya sendiri. Benar-benar tenggelam, sampai dia sudah tidak sadar lagi, siapa yang sudah di sampingnya.

~~

“Hei miskin! minggir dari jalanku.”

BYUR. — “AKHH, ….”

Semua terjadi dengan sangat cepat, hingga Sean tidak bisa mengelola lagi, apa yang telah dilewatkannya.

Satu-satunya yang tersisa, hanya Soraya yang telah basah, disiram oleh neneknya sendiri.

“Lancang! sangat kurang ajar. Beraninya kamu bicara begitu pada teman kakakmu. Kamu pikir kamu siapa? apa kamu lupa, dimana kamu sebelum datang disini Soraya!” Marah Ros yang sampai gemetar. Dia yang menjunjung tinggi nilai-nilai, merasa malu terhadap sikap Soraya sebagai cucunya.

Soraya yang melihat dirinya yang telah basah dari wajah sampai ke baju, seketika membisu. Memang benar dia selalu dimarahi Neneknya selama ini, tapi tadi adalah kali pertama sang Nenek sampai melakukan aksi seperti ini

Dia mengangkat kepalanya, menatap sang Nenek dengan nanar. Tidak ada satu katapun yang terucap, hanya langkahnya yang pergi begitu saja.

“Rafael berhenti! Sudah cukup! Jangan mengejarnya. Adikmu sudah bodoh, bebal dan angkuh. Jika kamu terus memanjakannya, maka selamanya dia akan seperti itu. Benar-benar beban yang sempurna!”

Rafael adalah seorang yang cerdas dan terkendali, jadi dia mengerti benar apa yang dikatakan sang Nenek. Hanya saja, beberapa hal tidak semudah itu, dan beberapa penyesalan membutuhkan usaha besar untuk dibayar.

Mengabaikan keterdiaman Rafael, Ros beralih pada sahabat cucunya. “Nak Sean, Gamma sangat menyesal, dan meminta maaf padamu. Tapi Gamma berjanji, itu terakhir kalinya Soraya bicara begitu. Jadi tolong maafkan dia.”

Mendengar ini, Sean menunduk dengan sebelah sudut bibir yang terangkat. Tidak mungkin. Dia tidak mungkin percaya, bahwa itu adalah yang terahkir kali Soraya menghinanya. Sean bahkan tidak bisa menghitung lagi, berapa banyak penghinaan yang telah diterimanya dari Soraya, baik dirinya pribadi, atau bahkan atas keluarganya.

Jika bukan karena Rafael dan kebaikannya, Sean tidak yakin, dia akan bisa mentoleransi Soraya sampai sejauh ini.

•••

Sementara ditempat lain, Soraya mengendarakan motor vespa ungu-nya membelah jalanan. Tidak ada arah atau tujuan, persis yang selalu dikatakan sang Nenek padanya

Jika dia bisa jujur, ini adalah saat dimana dia merasa paling rendah diri dalam hidup. Hal yang tidak pernah terjadi dalam hidupnya.

BIP. BIP. BIP. Citttttttt.

Soraya meremas rem ditangannya dengan segenap tenaga.

“HEI! KALAU MAU MATI, MATI SENDIRI! JANGAN AJAK-AJAK!” Teriak seorang pengendara yang melewati Soraya.

Dia yang tidak pernah mendengar hal seperti ini dalam hidup, langsung terdiam di tempat. Dipinggir jalan, di sebuah jembatan yang panjang.

Soraya mencoba menguasai dirinya sebisa mungkin, tapi sayang matanya sudah mulai kabur dengan air. Seluruh tubuhnya gemetar perlahan, dia sudah siap menangis, dan “Huaaa—-”

Puk. Puk.

“Ihhh nenek tua, kenapa kau menepuk pundakku! aku kan mau menangis ” Protes Soraya.

Tapi Nenek tua yang menepuk pundaknya itu, hanya tersenyum menunjukkan deretan giginya yang hitam.

“Eh buset, itu gigi atau apa? jelek sekali.” Kaget Soraya dengan lancarnya.

Si nenek yang sudah tersenyum, semakin menambah lebar senyumannya mendengar ucapan Soraya. “Nona muda, sejelek-jeleknya gigiku, masih lebih jelek nasibmu.”

BAB 3

“Kembalikan uangku.” Kata Soraya datar.

Dia tidak menerima dan tidak akan bisa menerima apa yang baru saja di dengarnya. Soraya merasa ditipu, tidak peduli seberapa banyak fakta pendukung telah dipaparkan pada wajahnya.

“Eiiii gadis muda, kamu tidak bisa mengambil uangnya. Aku sudah mengerahkan tenaga untuk bisa membaca nasibmu.” Tolak sang Nenek gigi hitam, yang belum lama Soraya temui.

Tapi Soraya menggeleng kepalanya tidak peduli. Nenek itu memperkenalkan diri sebagai seorang peramal, Soraya yang frustasi jelas ingin mengintip kehidupannya setelah mendengar hal tidak biasa itu.

Namun ketika yang dikatakan sang nenek peramal tidak sesuai keinginannya, Soraya menjadi sangat marah.

Enak saja! Pikirnya. Dia tidak percaya bahwa keluarganya akan bangkrut suatu hari nanti. Dan kebangkrutan itu menghancurkan orang-orang terdekatnya. Bahkan dia lebih tidak percaya lagi, bahwa kakaknya akan dihancurkan sahabatnya hanya karena seorang wanita. Itu bahkan belum termasuk dirinya, yang dikatakan berakhir paling tragis karena tidak memiliki kemampuan atau keahlian, untuk bertahan hidup sendirian.

Membayangkan hal ini, Soraya menggeleng kepalanya. Dia tidak bisa menerima, bahkan jika dia telah mendengar beberapa fakta pendukung, mengenai kehidupan pribadi dan bahkan rahasianya dari sang nenek peramal. Sesuatu yang jelas tidak bisa diketahui wanita tua itu, kecuali dia benar-benar memiliki kemampuan untuk membaca nasib.

“Eiii, gadis muda. Aku bersungguh-sungguh, kamu harus memeriksa siapa pun di sekitarmu!”

Tapi Soraya dalam kedegilan hati dan kebodohannya, tetap menolak untuk apapun yang dikatakan wanita tua itu. Dia tidak percaya, hal seperti itu akan terjadi dalam kehidupan damainya.

“Tidak! tidak! aku tidak percaya. Cepat kembalikan uangku nenek tua. Aku tidak peduli pada Taira, Taira, atau tai siapapun itu.”

“Eiii, gadis itu perkara lain lagi. Selama kamu menghindarinya, seharusnya—”

“Hell no!” Soraya memotong ucapan sang nenek peramal, sebelum tanpa hati merampas uangnya dari tangan wanita tua itu. “... dengar nenek! Kakakku memang memiliki teman laki-laki, tapi tidak ada perempuan bernama tai disekitar mereka. Lagi pula, teman kakakku itu sangat miskin, jadi di bagian mana dia bisa mengalahkan Kakakku hah?”

“Pria itu mungkin miskin sekarang, tapi tidak—”

“Oh gosh, sudah cukup. Cukup.” Ujar Soraya sambil mengangkat tangannya tanda berhenti.

Dia menolak membicarakan apapun lagi. Hanya  memasang wajah mencemooh, sebelum berdiri dan melangkah pergi dengan kaki menyentak.

“Oh gosh, benar-benar bisa si nenek itu! aku pasti disihir, sampe mau masuk kemari.” Pikirnya setengah ketakutan, melihat kembali gubuk tua tempat sang nenek.

Dengan ini, dia terburu-buru ke tempat parkir motornya. Namun ketika motor sudah dinyalakan, Soraya kebingungan. Bingung, harus kemana dia sekarang? “Ah, aku telepon si Melati saja kali ya.”

Mengambil ponselnya, dia segera menghubungi nomor telepon sang sahabat.

“Hei Mels, dimana?”

--“Sora kau dimana bodoh? lombanya sudah mau mulai.”-- Ujar suara dari seberang telepon.

Mendengar ini, Soraya mengernyit sebentar. Butuh berapa waktu, sebelum dia menepuk dahinya kuat. “Awwwww shit!” Dia baru saja teringat bahwa ada lomba basket antar sekolah, yang akan dilaksanakan di lapangan kota. Sebagai gadis manja, basket jelas bukan kesukaannya. Tapi sebagai gadis pada umumnya, para pemain basket yang tampan, adalah kesukaan Soraya.

“Oh my gosh! Oke wait, aku kesana!”

Soraya yang sempat histeris di pinggir jalan, benar-benar lupa, bahwa ini pertandingan dari orang yang dia sukai. Jadi tanpa mau menunggu lagi, dia melajukan motornya untuk pergi ke lapangan kota. Bersiap memberikan sorakan untuk sang gebetan.

Tapi baru juga menempuh sekitar sepuluh menit perjalanan, tiba-tiba ada panggilan masuk dari Rafael di layar ponselnya. Melihat ini, Soraya sebenarnya ingin menepi dan mengangkat telepon sang Kakak, namun mengingat bangku depan yang bisa penuh, dia memilih mengabaikan. “Maaf Kak, ayang Rex lebih penting!” Gumamnya, sebelum menambah laju kecepatan.

Soraya yang berakhir membela jalanan dengan kecepatan diatas rata-rata, akhirnya sampai juga di lapangan kota. Dia merapikan penampilannya sebisa mungkin, meski hanya menggunakan kaos oversize red berry, dengan jeans santai di atas lutut.

“Ck, ini semua gara-gara Gamma, lihat jadinya, aku hanya bisa pakai seperti ini.” Gerutu Soraya saat melihat gadis-gadis lain, mengenakan pakaian yang lebih baik darinya.

Tapi begitu, kesombongan segera melepaskan dia dari rasa rendah diri, “... But it's okay Sora, baju bisa diganti tapi tidak dengan wajah. Mereka tidak memiliki wajah cantikmu.” Pujinya pada diri sendiri.

Dia yang menatap diri di spion motor, mulai memajukan bibirnya dan mengedipkan sebelah matanya genit. Jangan tanyakan kenapa! itu karena dia sedang berlatih refleks, agar ketika sang pujaan menatapnya, Soraya bisa menggoda secepatnya.

“Ummuaach.”

PAK. – “Aww!”

Soraya memekik tertahan ketika punggungnya dipukul dari belakang.

“Muah, muah, muah, yang benar saja kau ini.”

“Duh biasa aja dong Mels. Kayak nggak tahu aja, semisal ayang Rex tu—”

“Ayang Rex apa? masuk dan lihat, ayang Rex-mu datang dengan ayang-nya di dalam. Mana cantik lagi.”

Mendengar ini Soraya sedikit terkejut, tapi dia malah tertawa sebagai tanggapan. Bahkan jika sang pujaan hati memiliki kekasih, dia masih percaya diri, gadis itu tidak lebih cantik darinya.

Melati sebagai sahabat Soraya, jelas sudah tahu dengan kepercayaan diri berlebihan sang sahabat. Namun dia tidak main-main, saat mengatakan bahwa gadis yang bersama pujaan Soraya itu, juga tidak kalah cantiknya.

Ibarat jika membandingkan, Soraya memiliki perpaduan kecantikan yang sedikit menggoda karena keturunan timur tengah di darahnya. Namun gadis itu memiliki kecantikan yang polos dan lembut. Benar-benar kecantikan surgawi.

Mendengar sudut pandang Melati, bibir atas Soraya bergetar karena jengkel. “Oh, jadi jika kecantikannya kecantikan surga, maka kecantikanku kecantikan neraka begitu?”

“Ayolah Sora, aku hanya—”

Tak, tak, tak. Soraya mendiamkan Melati dengan tepuk tangan, dan menggeleng seolah dia kecewa. Tapi sebenarnya tidak sama sekali. Dia masih percaya diri akan kecantikannya yang legendaris.

“Ayo ke dalam, kalau tidak percaya!” Ujar melati, yang langsung menggandeng masuk tangan Soraya, membawa mereka ke posisi depan bangku penonton. Setelah sampai disana, dia mulai mencari-cari gadis itu, hendak menunjukkannya pada Soraya.

“Ayang Rex,” Refleks Soraya, ketika melihat pria yang sebaya dengannya itu lewat di depan.

Sementara laki-laki yang dipanggil Rex itu, adalah kapten basket sekolah mereka. Rambut gaya slicked-back, dan satu bagian kecil yang bercat hijau, benar-benar menampilkan kesan bad boy di usia remaja, membuat Soraya tergila-gila.

“Awwww.” Soraya menjerit lagi, manakala Rex melakukan tiupan ciuman jauh, dengan senyum yang menunjukkan lesung pipinya.

Inilah yang sebenarnya Soraya paling sukai dari Rex. Gaya flamboyan pria itu tidak memilih-milih orang. Meskipun Soraya cantik, tapi memasuki tahun pertengahan sekolahnya dia mulai diejek karena kebodohan. Tapi Rex adalah terkecuali. Dia tidak pernah menjadi bagian yang mengejek, hanya sibuk tebar pesona. Dia tidak pernah kasar atau malu, dalam membalas kekaguman yang suka ditunjukkan Soraya padanya.

“Eh, eh, eh itu dia, itu dia Sora!”

“Apa sih!”

“Lihat kesana, lihat ….” Tunjuk Melati pada sosok cantik yang tidak pernah Soraya lihat sebelumnya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!