NovelToon NovelToon

Become The Duke'S Adopted Daughter

1 | Penghianat

Los Angeles, 20 Agustus 2036

Lokasi.

Elfin Florest-California

Drap.. drap.. drap

Derap langkah kaki terdengar nyaring menambah suara dikesepian malam di salah satu hutan di California. Suara tersebut berubah semakin mencekam di hutan yang terkenal akan kemistisannya.

Seorang perempuan berlari cepat menghindari semua kejaran dibelakangnya.

Guk..Guk..Guk

Suara anjing saling bersahutan membuat wajahnya semakin pias. Ranting-ranting yang ia tabrak membuat goresan luka di sekujur tubuhnya. Rasa sakit dari luka tembak di bahunya berusaha ia abaikan. Sesekali dia meringis berusaha tetap sadar dan fokus pada jalan didepannya. Meski ia menyadari bahwa pandangannya mulai mengabur.

SREEK.. SREK

KRAAK..

Samar-samar terdengar semak yang saling bergesekan dari belakang tubuhnya menjadi alaram bahaya bagi Gadis itu.

Gadis itu mempercepat larinya tidak peduli akan apa yang ada didepannya. Semuanya ia lewati tanpa peduli pada tubuhnya yang semakin terluka.

"CEPAT BERHENTII!!"

Gadis itu-- Maulidya Alissa Agraham atau yang kerap disapa Lidya tidak bergeming, justru semakin mempercepat langkahnya. Lidya tetap berlari tanpa tujuan dan malah membawanya ke tepi jurang curam disana.

HOSHH.. HOSHH..

Dia berhenti lalu menghirup oksigen sebanyak-banyaknya dengan tangan bertumpu pada kedua kakinya.

"Akhirnya kau berhenti juga. Hah.. dasar menyusahkan! Apa susahnya menyerahkan diri? Kau jadi tak perlu merepotkan dirimu sendiri."

'Sial! Aku terkepung.' Umpat Lidya dalam hati.

Diam-diam Lidya melirik jurang dibelakangnya 'Jurang ini terlihat dalam, dengan kata lain aku tak bisa kabur lewat sini.'

Pemikiran itu disadari oleh pemuda yang mengejarnya, dia tersenyum miring.

"Kenapa? Sadar sudah kalah ya? Hahaha.." ejek pemuda itu.

Lidya menatap sinis pemuda tersebut lalu berdecih "Kau terlalu sombong. Aku tidak akan kalah disini."

"Hey ayolah, semua orang juga tau kalau kau sudah kalah. Memangnya mau lari kemana? Semua arah sudah diisi oleh orang-orangku, dan didepan sana terdapat jurang. Jika kau ingin melompat silahkan saja. Justru itu akan semakin mempermudahku untuk membunuhmu." Tawa pemuda itu pecah.

Daniel atau yang orang lain kenal dengan Daniel Ronthem Rox memang terkenal bermusuhan dengan keluarga Agraham sejak dulu. Dan yang mengejutkan adalah, kematian Agraham sebelumnya masih ada kaitannya dengan keluarga Rox. Informasi inilah yang baru saja Lidya dapatkan sebelum akhirnya ketahuan dan berakhir disini.

"Hey Daniel, berhentilah membuat kesal calon mayat. Apa kau mau dosamu bertambah semakin banyak lantaran membuatnya kesal?" Suara lain menginterupsi. Kali ini suara tersebut berasal dari lelaki tua di belakang Daniel, Roberto Niesten.

Sebenarnya Robert bukanlah musuh dari Agraham. Hanya saja, anak perempuan Roberto lah yang membenci Lidya. Alasannya? Karena iri. Ya, anak perempuan Robert iri kepada kecantikan dan semua yang dimiliki Lidya. Karena itu, dia bersikeras meminta ayahnya untuk menyingkirkan Lidya.

Ya.. bisa dibilang devinisi beban keluarga yang sesungguhnya.

Sering ngerasa beban keluarga? Tenang kita sama.

Lidya menatap tajam Roberto. Sungguh, ia membenci mereka semua. Setelah dia mengetahui kebenarannya, Lidya benar-benar terkejut tentang semuanya. Ternyata, mereka adalah dua dari beberapa orang dalang dari kematian orang tuanya. Ini menyakitkan, sebelum akhirnya ia berada diposisi ini, semuanya baik-baik saja. Bahkan terlalu baik..

.

.

.

Beberapa hari sebelumnya

"Halah bacot lu!!"

"Lo mending diem deh, gak usah berlagak seolah-olah lo peduli sama gue. Gue tau, kalo lo selama ini sudah tau masalah gue apa. Lo tau alasan gue ngelakuin ini ngelakuin itu apa. Tapi kenapa justru lo diem aja ha!? Bahkan meskipun lo tau pun lo masih tetap pergi, jauh pergi ninggalin gue sendiri. Jadi karna itu, gak usah lo sok peduli apalagi sok khawatir ke gue." 

"Karna gue benci hal itu." 

"Tapi gue beneran khawatir sama lo Ray! Lo itu adek gue, jadi gue-" 

"Udah gue bilang berhenti pura-pura khawatir sama gue!! Gue muak denger kata-kata manis lo yang bagi gue udah basi. Lo! selalu bicara soal gue adek lo dan lo kakak gue. Tapi gue selama ini ngerasa, kalo gue itu sendiri."

Deg

"Gue udah besar, jadi lo juga harus berhenti memperlakukan gue seolah gue anak kecil yang sangat rapuh. Akibat dari lo yang selalu pergi menuntaskan misi yang bagi lo sangat penting itu, buat gue sadar. Kalo tanpa lo pun gue bisa hidup."

"Lo itu bukan siapa-siapa bagi gue, bukan ayah gue, bukan ibu gue, lo itu cuma kakak bagi gue yang selalu tak ada disaat gue butuh. Bisa di bilang, lo berasa pajangan."

Deg

"Dan Gue... gue juga udah tau soal lo yang bakal ke A.S besok. Gue tau semuanya, gue tau. Lo liat bukan, belum apa-apa aja lo udah mau ninggalin gue lagi."

"Ray, maafin kakak ya... Apa yang kira-kira bisa buat lo maafin gue?" 

 "Kalo lo emang mau gue maafin. Datang ke acara kelulusan gue 5 hari lagi." 

"WOYYY!!"

Lidya terkejut tentunya, saat ia menoleh terlihat seorang pemuda yang sedang duduk enteng disofa menatap kearahnya dengan senyum menyebalkan.

Lidya mendengus seraya menatap malas pemuda itu "Ngapain lo disini?!" ketus Lidya.

"Hm? Gue? Gak papa sih cuma mau aja. Lagian nih, yang seharusnya nanya itu gue. Lo mikirin apa sampe gue dateng aja lo gak sadar."

"Gapapa, cuma kepikiran Ray yang bakal lulus."

"Oooh lo khawatir gak bisa dateng di acara penting dia lagi?" Tanya pemuda itu yang merupakan sahabat Lidya.

"Ya, begitulah."

Pemuda yang mendengar jawaban acuh dari sahabatnya membuang nafasnya lelah, dia terlihat berfikir "Gimana ya, setiap ada acara atau apapun itu yang menyangkut Ray, bukan elo yang gak mau dateng, tapi yang jadi masalah situasinya selalu gak tepat. Seharusnya Ray disini yang bisa ngertiin posisi lo, bukan malah lo yang kerja yang juga malah harus ngerti posisi dia. Dia udah besar, udah seharusnya berpikir dari sudut pandang orang lain dan gak mentingin keegoisannya."

Mendengar itu membuat Lidya menghela nafas berat.

"Udah deh, dari pada lo mikirin itu mending sekarang lo siap-siap. Kan kalo ini misi kelar, lo bisa dateng."

Benar juga kata Kenan, tidak ada gunanya Lidya memikirkan hal itu, Justru waktunya akan semakin terbuang sia-sia. Lidya mengangguk menyetujui, kemudian dia bangkit tak lupa mengajak kenan untuk ikut bersiap.

...-oOo-...

Disinilah mereka sekarang, menjadi salah satu penjaga disebuah ruangan rahasia. Yah, butuh banyak usaha yang harus mereka lakukan agar sampai di situasi saat ini.

Diam-diam Lidya melirik orang-orang disana. Lidya menghitung, Kira-kira ada 4 orang yang berbicara diruangan itu dengan 2 orang yang sepertinya sedang virtual. Disini ada 4 pengawal yang berjaga didalam dan 2 yang berjaga diluar.

4 orang sedang berbicara dan dua diantaranya adalah Robert dan Daniel. Mereka terlihat sedang membicarakan sesuatu yang penting sampai-sampai pengawal yang berjaga pun harus dipilih dengan pengawasan yang ketat sebelumnya. Ya.. usaha mereka tidak sia-sia, karena sejujurnya kelompok Lidya sendiri kesusahan untuk mencari celah yang tepat untuk masuk kesana.

Dan inilah tugas Lidya, menjadi orang terdepan yang mendengar dan mengawasi seluruh hal disini. Dia diam-diam menyimak pembicaraan orang-orang penting tersebut.

"Hahaha... benar, benar. Agraham sampai sekarang bahkan tidak tahu apa-apa tentang kita."

"Benar, aku bahkan meragukan kemampuan mereka saat ini. Kupikir kekuatan mereka sekarang menurun karena pemimpin mereka yang dibawah umur, alias tak becus. Hahaha.."

"Ya kupikir juga begitu, mereka begitu bodoh ketika mengikuti perintah Pemimpin mereka yang sebelumnya. Wasiat? Hey ayolah, bahkan anak SMP pun akan berfikir itu hal gila bila menjadikan anak SD sebagai pemimpin mereka"

Lidya mendelik tak suka mendengarnya, hey ayolah, mereka meremehkan kekuatannya? Yang benar saja.

"Ya.. kalian tak sepenuhnya salah. Tapi tetap saja jangan remehkan kemampuan wanita itu sekarang. Kulihat dia telah ahli disemua bidang. Jadi, dia tetap saja berbahaya meskipun masih sangat muda."

"Ya mau seahli-ahlinya dia bila dibandingkan dengan kita yang sudah menjadi makanan sehari-hari tetap tidak ada apa-apanya bukan? Hahaha"

Mendengar ada dukungan dari salah satu dari mereka, membuat dahi Lidya mengerut. Bagaimana orang itu bisa tau pikir Lidya heran.

Ya kalian benar, mereka sedang membicarakan dirinya. Lidya atau Maulidya adalah seorang pemimpin dari sebuah organisasi Mafia terbesar di dunia bernama Graventas. Dan dia dilantik menjadi ketua pada umur 6 tahun dan kini umurnya adalah 19 tahun.

Terkejut?

Kalian jangan meremehkannya seperti mereka ya.. Kalian akan tau seperti apa kehebatannya nanti.

"Hmm kau benar, kupikir juga begitu. Tapi tak ada salahnya untuk tetap waspada bukan. Bagaimana menurutmu Mark?"

"...... Ya, kupikir begitu."

"Bahkan Mark pun setuju denganku."

"Cih baiklah-baiklah, kami akan waspada. Lagian apa yang kau pikirkan belum tentu terjadi."

"Sudahlah. Dari pada kalian meributkan hal tidak penting ini, lebih baik sekarang fokus ke inti pembahasan kita."

Baiklah kali ini Lidya mengenal suaranya, ini adalah Daniel. Dan yang sejak tadi meributkan masalahnya adalah Robert. Sisanya Lidya masih belum tau siapa. Ditambah lagi suara misterius yang berbicara dengan cara virtual membuat Lidya pusing, yang pasti salah satunya adalah Mark yang Lidya yakini bukanlah nama aslinya.

Saat sedang mengintai mereka, Lidya dikejutkan dengan pembicaraan mereka yang mengarah ke suatu hal.

"Hei El, aku ingin tahu. Bagaimana cara keluargamu membunuh anggota Agraham sebelumnya?"

Deg

Apa?

Lidya kembali memusatkan pandangannya pada Daniel. Meskipun posisi Daniel membelakanginya, tapi ia tau perawakannya.

Daniel? Jadi dia--

"Hm bagaimana ya, ya bermacam-macam sih. Ada yang gw sabotase mobilnya, ada yang gw rusakin enzim pesawatnya, dan-- oh ya jangan lupa, tinggal suruh orang, kelar. Gw cukup ngasih rencana dan mereka yang menjalankan."

Lidya menatap tak percaya kearah laki-laki itu, jadi dia, dia, dia yang membunuh keluarganya, sulit dipercaya. Tanpa sadar Lidya mengepalkan kedua tangannya.

Grrttt

"Oh ya? Dulu aku sering melakukan hal itu, tapi tetap saja tak berhasil. Kira-kira rahasiannya apa"

Itu adalah suara orang ketiga diruangan itu, Lidya percaya itu perempuan.

"Hahaha kalo boleh jujur, gua gak ada rahasia. Cukup pakai orang dalam dan semua selesai."

Orang dalam?

Maksudnya ada yang berhianat di Graventas?

Tapi siapa?

"Bukankah itu benar Mr. R?"

Mr. R? Siapa dia?

"........ ya itu benar."

Pantas saja Lidya seperti mengenal suaranya, hanya saja sepertinya orang tersebut menyamarkan suaranya agar tidak dikenal. Sepertinya melalui penyamaran ini, Lidya mendapat informasi yang banyak dan berguna. Salah satunya adalah nama-nama samaran yang mereka gunakan saat sedang berkomunikasi.

...Seperti...

...El : Daniel...

...Omet : Robert...

...Snackie : Ivanka...

...Virto : Roy...

...Mark : ?...

...Mr. R : ?...

Disaat mereka lengah, Lidya menyempatkan diri untuk mencari informasi tentang mereka, dan hasilnya Foylaa.. dapat. Hanya 2 orang itu saja yang masih misteri, yang pasti salah satu dari 2 orang tadi adalah Mr. R yang Lidya percaya sebagai orang terdekatnya. Dan Lidya tentu harus waspada dengan 2 Orang tersebut, terutama Mark. Lidya yakin bahwa orang ini berbahaya, terbukti dari mereka yang terlihat sangat segan terhadap orang ini.

Namun siapa sangka, penyamarannya kali ini diketahui oleh mereka secepat ini, benar-benar mencurigakan. Oh iya, diantara mereka ada yang berhianat di Graventas.

Dor..  dor.. dor

"BERHENTI DI SANA!!"

DORR

'Sial hampir saja'

Lidya mencoba menghubungi Kenan dari sumber komunikasi ditelinga nya.

"Ken gw ketahuan"

"Apa? Gimana bisa"

"Gw dapet info kalo ternyata salah satu dari anggota kita berkhianat"

"Ck sial, jadi kita---...Tit.tit..tit...."

"HEY DIA DISANA!! TANGKAP DIA."

Apa? Ketahuan lagi? Penghianat Sialan.

DRAP.. DRAP.. DRAP.. DRAP

"Gua harus lari. Ken, Kenan, lo disana? "

"Tit-tit..tit"

"Ck jaringannya terputus, kok bisa sih!"

"Kalo gini cuma mata gue yang bisa diandelin. Mana udah malam lagi. Sial banget!"

Lidya terus saja berlari hingga dia sampai ke jurang saat ini.

.

.

.

Balik ke masa sekarang.

"Hahaha.. Bagaimana? Kau pasti sudah mengetahui kalau salah satu anggotamu ada yang berhianat. Jadi apa yang akan kau lakukan sekarang?" Ejek Daniel dengan tatapan menyebalkan.

"Kau ingin tau siapa manusia terhormat itu?" Ledek Daniel masih dengan wajah menyebalkannya.

Lidya berdecih jijik "Kau bilang terhormat? Bahkan ayam jauh lebih terhormat darinya."

Daniel menyeringai, dia menoleh pada Robert yang berada disebelahnya. Terlihat Robert yang melakukan Video panggilan langsung dengan anak perempuannya. Daniel menatapnya datar 'Dasar orang tua! Calon mayat malah di VC in ke anaknya.'

Robert yang sadar dirinya diperhatikan pun menoleh, lalu mengangguk dengan senyum miring andalannya. Daniel yang melihatnya pun senang "Biarkan dia bersenang-senang dengan anaknya. Aku sendiri akan bersenang senang dengan mainanku. Karena akan ada tontonan menarik nantinya." Seringainya semakin lebar.

Daniel lalu menoleh ke belakang dan memanggil seseorang yang benar-benar tidak terduga.

"Ren, buka penyamaran lo!"

"Ren? Gak mungkin kan paman Ren---"

.

.

.

To be Continued_

2 | Mati

Ren, buka penyamaran lo!"

"Ren? Gak mungkin kan paman Ren---"

Seorang pria yang sangat ia kenal keluar dengan  dengan wajah yang masih tertutup masker. Meski begitu, postur tubuhnya sangatlah ia kenal, karena selain pamannya, pria ini adalah orang yang merawatnya sejak kecil.

"Dia.. B-bagaimana mungkin." Batin Lidya terkejut.

Ya, yang berkhianat adalah Rendy, Rendy Dicky Saputra, asisten kepercayaan ayahnya dulu yang sudah ia anggap sebagai kakaknya.

"Malam nona, apa kabar? Anda terlihat baik hari ini." Ucap seseorang sambil melangkah mendekat seraya membuka masker diwajahnya.

"K--kenapa harus paman?" Lidya terdiam kaku tidak percaya.

"Hm? Kenapa? Ya.. kenapa ya, ada alasannya yang pasti. Kaget ngga kalau tau paman juga menyamar sebagai seorang penjaga dan berada tepat disebelahmu Tadi?"

Lidya menggeleng pelan benar-benar tidak menyangka orang yang sama sekali tidak pernah terfikirkan olehnya yang justru menghianati nya.

"Dan harus saya akui nona, bahwa yang membocorkan penyamaran anda, itu adalah saya. Anda tidak marah kan?" Ujar Rendy dengan menampilkan senyuman ramah andalannya dengan wajah tidak bersalah.

"T-tidak mungkin, paman, kenapa paman tega!"

"Ya, ada alasannya. Tapi anda tidak perlu tau, karena saya tidak ingin menambah beban pikiran calon mayat. Jadi lebih baik nona diam disitu, biarkan tuan El yang menyelesaikannya secara cepat dan tepat. Saya jamin anda tidak akan merasakan sakit bila menurut, oke."

Jedar!!

Bagai tersambar petir di siang bolong. Lidya tidak menyangka, bahwa orang yang ia anggap sebagai kakaknya mengatakan kata-kata pedas itu padanya. Kenapa? Kenapa harus Rendy!!

Lidya menggigit kuat bibirnya menahan tangis yang ingin keluar. Ingin sekali ia menangis saat ini, tapi berusaha ia tahan. Namun isakan kecil berhasil keluar dari mulutnya. Dan Rendy menyadari hal itu.

"Cup cup cup, nona jangan nangis ya. Saya kan jadi tidak tega, bukankah sudah saya bilang agar diam saja supaya cepat selesai. Nona tinggal menurut, dan selesai." Ujar Rendy menenangkan masih dengan senyum ramahnya tapi terlihat menyakitkan dihati Lidya.

Senyum ramah yang bagai penenang untuknya selama ini, justru hanya sekedar senyum formal belaka? Sejak kapan???

Lidya tidak menyangka semua ini terjadi. Setelah kabar duka bahwa keluarganya dibunuh oleh mereka, penyamaran dan rencana mereka yang gagal, kini orang yang sangat Lidya sayang lah yang menghianatinya. Seolah dunia menertawakan nasib yang dimilikinya, Lidya tertawa miris.

Dunia benar-benar jahat, buat apa ia hidup bila hanya untuk dipermainkan? Oh iya, adiknya. Lidya tersenyum getir mengingatnya, adik yang ia rawat sepenuh hati, apakah membencinya? Dan Rendy, orang yang ia anggap kakaknya justru mengkhianatinya? Dan seandainya benar pamannya, Ronald juga tidak menyukainya, maka saat ini pun Lidya rela bila harus mati. Benar, sepertinya Lidya benar-benar yakin kali ini, bahwa ia gagal menjalani hidup.

Janjinya dengan ayahnya pun seakan hangus. Terbayang kata-kata terakhir ayahnya sebelum beliau tiada. Kejadian belasan tahun lalu masih membekas di ingatannya. Tidak bisa ia lupakan saat-saat terakhir kedua orang tuanya saat itu. Tepat ketika ia berusia 6 tahun pasca kecelakaan mobil yang membuat ia dan adiknya menjadi yatim piatu.

"L-lid..ya."

"D-daddy.."

Antonio terlihat memaksakan diri untuk berbicara, sebelah tangannya berusaha menangkup wajah kecil Lidya.

"J-jaga adik ka--mu.. D-daddy mungkin gak akan l-lama lagi." Ucap Antonio dengan susah payah.

Lidya yang pada saat itu setengah sadar pun menggeleng pelan, ia sempat melihat sekitarnya.

Hancur.. semuanya hancur.

Terlihat kondisi Ray yang berada dipelukan ibunya sedang terbaring di jalanan. Ia menduga bahwa ibu dan adiknya terlepar karena tabrakan beruntun barusan dan ibunya yang mencoba melindungi adiknya dengan memeluknya demi meminimalisir benturan yang akan didapatkan oleh Ray. Lidya sendiri berada didalam mobil yang sudah tak berbentuk dengan ayahnya mencoba melindunginya. Lidya menangis, dia sedih melihat betapa ayahnya sangat menyayangi dirinya. Bahkan rela menjadi penahan bobot berat puing-puing mobil di atasnya.

"Hikss.. d-dad.."

"Suuttt kamu j-jangan ngomong du--lu. L-lidya..... daddy tau k--kamu k-kuat.... da-ddy percaya sama ka-mu.... Maaf karena da-ddy membebankan k--kamu nanti sa-sayang....." ujar Antonio terbata-bata sambil mengelus lembut pucuk kepala Lidya.

"D-daddy.. sa-sayang.. Ilya."

Antonio menepuk sekali pucuk kepala Lidya sebagai salam perpisahan lalu terjatuh masih dengan bobot yang ia tahan dipundaknya agar tidak jatuh menimpa putrinya.

"Daddyy..."

Lidya tertegun. Dia ingin berteriak, ingin meminta bantuan. Tetapi kenapa, suaranya seolah tertahan diujung tenggorokannya. Ingin berteriak memanggil ayahnya dan seakan takdir mempermainkannya, matanya memburam lalu pingsan tidak tau apa yang terjadi setelahnya. Selanjutnya, ia tidak pernah lagi melihat wajah ayahnya. Karena ketika dia sadar, ayah dan ibunya sudah terkubur dibawah tanah meninggalkan nya sendirian bersama tanggungjawab yang berat untuknya.

.

Tanpa sadar, setetes air mata jatuh dari wajahnya. Dadanya berdenyut nyeri setiap mengingatnya. Pengorbanan ayahnya dan ibunya sangat berbekas di ingatannya. ibunya yang memilih melindungi sang adik dibanding menjaga tubuhnya sendiri membuat dadanya semakin sesak.

Sakitt

Itulah yang dia rasakannya saat ini. Bahkan orang kepercayaan ayahnya akhinya mengkhianatinya. Sebegitu tidak becuskah dirinya. Lidya lagi-lagi tersenyum miris.

Lidya membuang wajahnya menutupi air matanya yang keluar

"Mom.. Dad.. Lidya ikut kalian ya kali ini." cicit Lidya pelan.

Namun hal itu disadari oleh Daniel, dia mengernyit. Daniel menoleh kearah Rendy sebentar. Ia sempat melihat pancaran aneh dari mata Rendy tapi hanya sebentar. Daniel pun tak bisa mengartikannya.

"Bagaimana, Kau tidak akan menghalangi ku membunuh adik asuhmu itu kan?"

Rendy menatap Lidya sebentar, lalu mengangguk. "Tentu saja, kita telah menyiapkan rencana ini sangat lama. Tidak mungkin kita batalkan hanya karna beberapa tetes air mata saja." Ujar Rendy yakin.

"Dan saya minta....

....Selesaikan dengan cepat. " Jangan berikan dia rasa sakit lagi  lanjut Rendy dalam hati lalu pergi meninggalkan tempat itu.

Daniel memandang Rendy dengan tatapan aneh. Tapi dia bodoamat, asalkan dendam keluarganya dulu cepat terselesaikan. Maka itu sudah cukup.

Lalu tepat ketika ia mengarahkan pistol yang dipegangnya kearah Lidya, dia dikejutkan dengan suara berisik dari belakang dan teriakan seseorang.

"ILYAA!!"

Sama seperti Daniel yang terkejut, sang empu yang namanya dipanggil akhirnya tersadar. Dia melihat kekebelakang sana, terlihat pamannya, beserta teman-teman seperjuangannya berada disana, termasuk Kenan.

"LO MAU NINGGALIN KITA LID?! JAHAT LO!" Itu Kenan yang berbicara.

"LIDYA! RAY MASIH BUTUH LO, PENYAKITNYA BAKAL KUMAT KALO LO NINGGALIN DIA!!"

"MANA KETUA YANG KITA KENAL, LO BUKAN LIDYA. LIDYA GAK MUNGKIN NYERAH SAMA HIDUP!"

"SAYA TIDAK PERNAH MEMBENCIMU ILYA!!"

Mendengar teriakan dari teman dan anggota Graventas disana membuat Lidya tersentuh. Apalagi ketika ia mendengar langsung dari pamannya bahwa dia tidak membenci dirinya. Seakan tersadar, Lidya baru teringat penyakit Ray yang mengharuskannya selalu berada disisi adiknya. Lidya lalu menghapus sisa air di matanya lalu kembali tegak sempurna seperti sebelumnya.

"Yahh.. Sudah selesai nih sesi meweknya, padahal kau sangat mudah disingkirkan tadi." Eluh Daniel dengan wajah dibuat sedih.

"Ck berisik lu! Sori-sori nih ye, bu ketu kite gak mungkin nyerah semudah itu. Kenape kagak lu aje yang nyerah, menang karna orang dalem aja bangga." Ujar Kenan yang dibalas gelak tawa oleh semuanya. Lidya mendengus menanggapinya lalu tertawa setelahnya. Bisa-bisa nya dia masih bisa bercanda disaat seperti ini.

Lalu ia mengedarkan matanya melihat situasi saat ini. Jujur, dia saat ini benar-benar terkepung dan tidak bisa melakukan apapun. Ia sudah dikepung dimana-mana. Sudah dipastikan, gerak sedikit saja semua peluru yang ada di setiap pistol ditangan musuhnya akan menembus tubuhnya.

Daniel menggertakkan giginya geram "DIAM!!!"

Robert mendekat "Jangan terpancing. Mereka hanya ingin membuang waktumu untuk membiarkan perempuan itu pergi."

Daniel yang mendengarnya segera tersadar "benar juga, apa yang kulakukan dasar bodoh!!" Rutuknya.

Menyadari Daniel telah mengetahui niat mereka membuat Kenan waspada. Lidya pun semakin tajam melihat Daniel yang kini menyeringai menatapnya.

Daniel dengan segera mengode bawahannya untuk bersiap. Mengerti akan perintah tuannya mereka mengangguk. Kemudian tanpa aba-aba Daniel mengarahkan pistolnya ketempat Lidya berada. Lidya yang menyadari hal itu dengan cepat menghindar kebelakang.

Kini perang peluru akan dimulai

DORR

Satu tembakan meleset.

DORRR

Sekali lagi Lidya menghindar. Ia akui tembakan Daniel benar-benar akurat. Tetapi lawannya adalah Lidya, wanita gila yang menganggap peluru sebagai makanannya tiap hari.

Kenan dan yang lain mencoba membantu Lidya dengan menembak para musuh yang berjaga demi menghalangi mereka membantu Lidya. Kenan yang sadar akan sesuatu pun berteriak.

"LIDYA DI BELAKANGMU!"

Namun terlambat, Lidya yang terlalu fokus pada peluru yang mengarah padanya tidak sadar bahwa rencana Daniel sebenarnya adalah membuat nya terjatuh ke jurang dibelakangnya. Karena berada di tepi jurang dengan tanah yang rapuh, akhirnya tanah yang ia pijak tidak berhasil menahan bobot badannya. Belum sempat Lidya menghindar tanah yang ia pijak retak lalu hancur hingga menyebabkan ia jatuh di jurang yang terlihat sangat dalam tesebut.

'Sial, aku lengah!'

KRRKKK

PLASSK

"MAULIDYA/LIDYA!!"

"KETUA!!"

"BU KETUM!!"

"ILYAA!!"

Tanpa memedulikan apapun, Kenan dan Ronald mencoba menerobos beberapa musuh yang tersisa. Namun sudah terlambat, usaha mereka berakhir sia-sia karena Lidya telah jatuh di jurang  meninggalkan mereka dengan sejuta penyesalan yang bersarang di hati masing-masing.

Daniel dan Robert yang melihat hal itu tersenyum kemudian tertawa keras.

"AHAHAHAHAHA!!!"

Daniel menggerakkan tangannya menutupi separuh wajahnya menutupi senyuman mengerikan yang nampak jelas disana "Akhirnya, tinggal 2 nyawa lagi maka dendam ini selesai. Tidak akan ada lagi penyesalan, yang tersisa hanyalah rasa puas dan bangga karena keberhasilan ini."

Suara helikopter mengalihkan perhatian mereka. Sebuah helikopter muncul dari arah barat menuju ke arah mereka. Aksa---- salah seorang teman LIdya di Graventas sadar akan rencana melarikan diri mereka.

Dengan lantang dia berteriak memerintahkan semuanya untuk menahan dan menangkap mereka sebelum kabur. Dengan penuh dendam, Kenan mengarahkan pistolnya pada kaki Daniel.

DOORRRR

Namun berhasil dihindari.

"Ck sial!!!" Umpat Kenan kesal.

Namun tidak menyerah, Kenan kembali menghujani Daniel dengan peluru. Tidak tinggal diam Daniel pun melakukan hal yang sama.

Aksi tembak tembakan tak bisa dihindari. Selain mereka berdua, ada Ronald dan Robert yang juga saling menembak saling mengalahkan, yang lain pun begitu. Mereka saling menembak mencoba membunuh dan membunuh tanpa memedulikan suara helikopter yang semakin kuat menandakan bahwa benda berbaling-baling tersebut sudah dekat.

Tangga gantung diturunkan lalu muncul lah seseorang sambil berteriak mengalihkan perhatian mereka.

"TANGGA SUDAH SIAP!! CEPATLAH!!!"

Robert dan Daniel yang mendengarnya berusaha ke tempat tangga itu diturunkan dengan jalan mundur sambil menembak. Mereka berhasil memanjat tangga gantung tersebut tetapi hal itu tidak dibiarkan oleh Ronald dan anggota lain dengan mudah.

Terlalu fokus untuk melarikan diri membuat Daniel lengah lalu...

DORR

Dia tertembak

"Ck Sial!!" Umpatnya menahan sakit di bahu kiri.

Karena hilang keseimbangan, hampir saja dia terjatuh sebelum akhinya Robert menahan tubuhnya.

"CEPATLAH BODOH!! JANGAN HANYA KARENA SATU PELURU KAU KALAH DISINI. MANA HASIL LATIHAN GILAMU SELAMA INI!!? BILA HANYA KARENA SATU PELURU SAJA KAU GAGAL, MAKA KAU ADALAH PECUNDANG TERBODOH YANG PERNAH KUTEMUI! JIKA TERTANGKAP, MEREKA TIDAK AKAN MEMBIARKANMU MATI DENGAN MUDAH, DASAR BODOH!!"

"CK AKU TAU!!"

"BAGUS BILA KAU TAU, CEPATLAH! KAU MEMBUANG WAKTUKU!!"

Butuh banyak tenaga bagi mereka untuk kabur, namun usaha mereka tak sia-sia. Mereka kali ini berhasil kabur menggunakan sebuah helikopter.

"SELAMAT TINGGAL PECUNDANGG KAMI MEENAAANGGG HAHAHA" Gelak tawa keluar dari mulut Robert membuat mereka semua marah dan geram.

Terlihat wajah Kenan yang memerah menahan amarah "AWAS KALIAN! JANGAN KIRA KAMI AKAN DIAM ATAS KEKALAHAN INI! KAMI, GRAVENTAS BERSUMPAH AKAN KEMBALI UNTUK MEMBALASKAN DENDAM PADA KALIAN DAN KELUARGA KALIAN NANTINYA!!" Sumpahnya serius dengan suara yang terdengar putus asa.

Daniel dan Roberto mendengarnya, meskipun samar karena suara baling-baling helikopter, mereka tetap mendengarnya.

Daniel menanggapinya dengan datar lalu tersenyum sinis "Silahkan, tapi bagiku sumpah mu itu tidak akan ada apa-apanya untukku yang tidak memiliki keluarga."

Dia lalu terkekeh "Jadi pembalasan apa yang akan kudapatkan nanti?"

Disisi lain tanpa mereka sadari ada seseorang yang melihat aksi mereka sejak awal. Sosok misterius itu menyeringai.

"Ini jadi semakin menarik~"

...--oOo--...

Kembali pada waktu Lidya terjatuh.

KREKKK

PLASSS

WUSHHH

Sudah berakhir?

"Hahaha.. sumpah gak lucu."

"Jadi benar-benar berakhir disiini."

Lidya yang memang belum jatuh ketanah pun menatap langit, ia mengangkat tangannya keatas seolah-olah dapat menggenggam langit tersebut. Lidya tersenyum manis "Tungguin Ilya di akhirat ya? Ilya seneng karena kita akan segera bertemu."

Tidak beberapa lama dari itu, sebelum tubuhya menghantam tanah, samar-samar sebuah suara terdengar.

"Ini belum waktunya kita bertemu Ilya... Tugasmu disini sudah selesai. Namun, sebelum jiwamu kembali kamu harus menyelesaikan satu tanggung jawab lagi."

"Baru setelah itu kita bisa bersama."

BRUKK

To be Continued_

3 | Dimana ini?

Dilain tempat------ lebih tepatnya dilain dunia dimana pemandangan yang tersaji terlihat berbeda dari biasanya. Bunyi tetesan air hujan terdengar berirama diiringi para manusia yang mulai keluar melakukan rutinitas pagi mereka. Tidak ketinggalan beberapa hewan mulai bersuara seperti para burung yang juga keluar dari sangkar mereka untuk mencari makan, juga para ayam yang mulai berkokok menjadi patokan waktu bagi manusia.

Bisa ditebak bahwa daerah mereka baru saja diguyur hujan semalaman. Tanah berlumpur dengan jalanan yang becek, daun-daun yang mengkilap akibat air hujan dengan bau tanah basah menjadi sarapan mereka pagi ini. Walau begitu pun, hal tersebut tidak menghalangi para warga untuk berjualan ataupun sekedar memberi makan hewan ternak mereka tiap pagi.

Namun ada yang aneh dari mereka--- tidak! Lebih tepatnya penampilan mereka tidak seperti manusia yang biasa dijumpai selama ini. Karena warna rambut dan mata mereka terlihat berbeda! Beberapa terlihat rambut yang berwarna coklat kemerahan, coklat muda, pink tua, ungu, atau bahkan hijau. Namun ada juga yang terlihat berwarna hitam legam. Kebanyakan dari mereka memiliki rambut coklat, tetapi tidak sedikit yang berwarna hitam.

Lalu disebuah kamar bernuans Eropa lama, terlihat seorang gadis yang tengah tertidur mulai membuka matanya. Iris safir tersebut mengerjab pelan menyesuaikan cahaya yang masuk pada retinanya. Matanya mulai meneliti sekitar menyadari tempat asing didepannya.

Gadis itu mengernyit 'Dimana ini?' Pikirnya bertanya-tanya.

Mencoba bangkit, gadis itu meringis "Awsshh.. ini sakit." ucapnya sambil memegang kepala.

Gadis berdecak, kembali meneliti sekitar dan semakin mengerutkan keningnya

"Sial! Sebenarnya ini dimana sih, apa mungkin rumah sakit?"

Namun langsung ditepisnya 'Tidak mungkin rumah sakit semewah ini.'

Bagaimana tidak, tempat yang ia tempati saat ini terlihat sangat megah dengan atap khas ala eropa lama, dengan banyaknya ukiran unik yang menambah kesan klasik dari ruangan ini. Terdapat beberapa pilar-pilar tinggi, sofa, meja, kursi dan masih banyak lagi. Ditambah tempat ini terlalu lebar dan luas, bahkan atapnya pun terlalu tinggi untuk dikatakan sebagai rumah bagi orang sakit.

Jika ini kamarnya pun tidak mungkin, Lidya tidak pernah merasa pernah membeli sebuah bangunan mewah dengan interior-interior yang penuh dengan lapisan emas. Oh tidak, Lidya tidak sebodoh itu untuk membeli hal-hal tidak berguna seperti ini.

Lalu dimanakah dia, apakah dia tertangkap?

Tapi rasanya tidak mungkin mengingat ia terjatuh dari tebing sebelumnya

Dari pada hanya diam ditempat, gadis itu memilih bangkit dengan perlahan karena rasa sakit di sekitar kepalanya. Karena hal itulah ia baru menyadari bahwa TUBUHNYA SANGAT KECIL!!

Masih dengan dengan tubuhnya yang lemas Lidya lalu berjalan ke arah cermin diruangan itu.

"Eh ini aku?" Gumamnya seraya menyentuh pipinya.

Lalu dengan bodohnya dia malah menampar pipinya dengan sekuat tenaga meninggalkan bekas kemerahan di pipi pucatnya.

"Sakit.."

"Jadi yang dicermin benar-benar tubuhku.. Namun bagaimana bisa?" Tatapannya menyiratkan ketidak-percayaan pada pantulan cermin didepannya.

"Bagaimana.... Bagaimana bisa?!"

'Tubuhku... '

Tubuh kecil dengan surai pirang keemasan dipadukan dengan netra biru Saphire indah bercahaya. Definisi sempurna pada penampilan jatuh kepada tubuh ini. Hanya saja semakin diperhatikan, semakin Lidya menyadari bahwa tubuh ini terlihat kurus dan tidak terawat. Wajahnya memang cantik, namun kulit tubuhnya terasa kering dengan tubuh kecil sedikit kurus di matanya.

Lidya membatin heran 'Sebenarnya siapa anak ini?'

Lalu tanpa sengaja tatapannya jatuh pada jendela besar tinggi di ujung sana. Lidya bergerak mendekat, dia mencoba membuka jendela kaca tersebut yang ternyata sebuah pintu yang menghubungkan balkon dengan kamar ini.

Lidya berdecak kagum melihat pemandangan didepannya "Gila.. ini terlihat luar biasa."

Pemandangan didepannya adalah sebuah taman luas yang terkesan simple namun elegant. Halaman yang diduga sebagai halaman milik tubuh asli ini benar-benar luas. Banyak pepohonan, rumput-rumput yang terpotong rapi, bunga-bunga yang meski tidak banyak namun cukup untuk menambah kecantikan taman tersebut. Sebuah air mancur yang tepat berada ditengah-tengah taman tersebut dengan jalanan yang mengelilingi pancuran tersebut. Benar-benar Indah!

Selesai mengagumi keindahan taman itu, perhatiannya berpindah pada manusia yang terlihat berlalu-lalang dibawah sana. Ya.. dibawah. Lidya berada pada salah satu kamar yang ia duga berada di lantai tiga. Karena hal itu lah membuatnya dapat melihat dengan jelas aktivitas yang dilakukan para pelayan dibawah sana.

Namun ada yang aneh, pakaian pelayan mereka tak seperti pakaian pelayan yang biasa ia lihat. Dan.. APA-APAAN RAMBUT MEREKA! KENAPA WARNA-WARNI!? Dimana sebenarnya ia sekarang, Dunia apa yang sebenarnya ia singgahi saat ini?!

Lidya tertawa canggung "Apa-apaan ini? Apa aku mengalami reingkarnasi? Namun dimana ini, apa ada yang bisa menjelaskannya padaku?"

H e n i n g ~

Beberapa detik berlalu, Lidya membuang nafasnya kesal. Sial sekali dirinya.

Apakah menurut kalian dirinya terlalu tenang diposisi ini?

Entahlah.. Rasanya percuma! Walau mengejutkan dan tidak masuk akal, kehebohan tidak akan menyelesaikan masalah.

Entah apa maksud Tuhan melakukan hal ini

Lidya menghela nafasnya panjang, dia lalu berniat kembali ke ranjangnya. Namun belum sempat dia melangkah, sebuah ingatan masuk menyebabkan kepalanya seakan dipukul dengan palu sangking sakitnya.

"Ukhh.. Apa ini..." Geramnya mencoba menahan sakit yang tak kunjung reda. Tak kuat berdiri membuatnya memegang dinding demi menahan bobot tubuhnya agar tidak jatuh.

Rasa sakit ini semakin lama bukannya menghilang malah makin sakit membuat kepalanya serasa ingin pecah.

"Ughhhh..."

PRANGG

KLONTANG..

KLONTANG..

"AAKHH!!!!"

Lidya berteriak keras meraung kesakitan, dia memukul kepalanya berharap nyeri dikepalanya menghilang. Namun bukannya membaik malah kesadarannya yang terenggut habis akibat rasa sakit pada kepalanya yang semakin betambah. Sebelum kesadarannya terenggut sempurna, samar-samar Lidya mendengar bunyi dobrakan pintu disusul sebuah teriakan yang seakan memanggil nya.

BRAKK

"NONAA!!.."

...-oOo-...

Beberapa menit berlalu, tak terasa Lidya telah pingsan selama beberapa jam. Kelopak matanya terbuka perlahan menampilkan iris mata safir nya. Matanya mengedar sebentar,

'Jadi emang bener ya..' pikirnya pasrah.

Lidya mencoba bangkit dan melihat keluar jendela yang menampilkan matahari yang hampir tepat diatas langit menandakan sudah hampir semasuki waktu makan siang.

Lidya mendesah "Gricella ya..." Gumamnya.

Gricella Laverna de Velvord merupakan putri angkat dari Duke Alverd Alexio de Velvord, salah satu bangsawan yang namanya sangat berpengaruh di kerajaan ini, bahkan marga Velvord tidaklah asing bagi rakyat di luar kekaisaran Carvil.

Duke Alverd merupakan duke termuda saat ini yang menjabat di umur 20 tahun karena jasanya dimedan perang beberapa tahun silam. Ketika umurnya memasuki usia 28 tahun, entah karena alasan apa duke tiba-tiba memilih untuk mengadopsi seorang anak perempuan ketika sedang bertugas di salah satu Duchy miliknya. Para bangsawan pun heran atas pemikirannya yang memilih mengangkat seorang anak dibanding menikah dengan salah satu putri bangsawan terkenal di sini.

Dan entah kenapa, tubuh ini tidak memberinya sebuah ingatan yang berhubungan dengan hal itu. Entahah.. Mungkin untuk sekarang bukan itu prioritasnya. Ada hal lain yang lebih penting menurutnya karena ini menyangkut soal harga diri.

Dari ingatan Gricella, Gricella selalu direndahkan oleh pelayan dikediaman Velvord karena statusnya yang hanya anak angkat dengan asal-usul tidak jelas. Tentu saja para pelayan merasa ogah-ogahan melayaninya. Gricella dikediaman juga tidak terlalu mempermasalahkannya, selama ini Gricella hanya melakukan tugasnya sebagai putri duke, seperti belajar etika, sopan santun, bermain musik, belajar sejarah kekaisaran dan sebagainya. Nilai-nilai yang didapatkan juga memuaskan, karena tujuan dari latihan keras Gricella selama ini adalah membuat sang Duke mengakuinya. Entah kenapa di ingatan ini terlihat duke yang seakan tidak peduli padanya. Jika dipikir, buat apa duke itu mengadopsi anak jika akan diacuhkan begini.

Setidaknya diingatannya,  Gricella tidak melakukan hal-hal yang membuat nama Velvord tercemar, dia tidak pernah memberontak. Gricella hanya selalu menundukkan kepalanya ketika bertemu atau berpapasan dengan seseorang, entah itu pelayan, pengawal, penjaga, para bangsawan dan sebagainya. Itulah mengapa para pelayan selalu mengolok-oloknya. Mereka selalu semena-mena dengan Grisella yang selalu diam ketika ditindas, bahkan dengan teganya, para pelayan tidak memberinya makan seharian.

Dan sialnya, alasan tubuh ini sangat lemah dan kecil adalah karena kurangnya asupan nutrusi juga gizi untuk pertumbuhannya. Lidya berani bersumpah tubuh ini lebih kecil dari anak seusianya disini.

"Hah.." Lidya berbaring sambil menatap langit-langit kamarnya "Karena sekarang aku yang menempati tubuhmu, maka tubuh ini kini milikku. Akan ku ubah semua pandangan sekitar terhadap tubuh ini. Akan ku balas perilaku kejam mereka selama ini dengan rasa sakit yang berkali-kali lipat, Gricella."

"Aku paling tidak suka yang namanya penindasan, apalagi kalau aku sendiri yang ditindas. Karena itu Gricella, sebagai pemilik baru tubuh ini aku ingin meminta maaf karena mulai sekarang tubuh ini akan kugunakan sesuai keinginanku. Tentunya akan kujaga tubuh ini seperti aku menjaga tubuh asliku sendiri."

Lalu ingatannya tiba-tiba kembali saat ia terjun ke jurang, Lidya meringis mengingatnya.

"Tentunya dengan nasib yang berbeda."

"Baiklah, jika kemarin aku survive demi bertahan ditengah badai peluru, maka kali ini musuhku adalah mulut berbisa para bangsawan. Kita lihat, mana yang paling sulit. Hidup sebagai ketua mafia dengan musuh seluruh dunia, atau hidup sebagai bangsawan yang mewah namun menghancurkan mental seseorang karena tuntutannya."

"Yang mana pun itu, akan kutakhlukan semuanya, dimulai dari para pelayan."

.......

.......

.......

...-oOo-...

.......

.......

.......

Sedangkan dilain dimensi..

Disuatu hotel megah dikota itu sedang diadakannya acara perpisahan dari sebuah sekolah elit. Murid perempuan yang biasanya dituntut untuk memakai seragam sekolah yang menyesakkan kini bebas menggunakan gaun pilihan mereka. Sedangkan para lelaki diwajibkan menggunakan tuxedo atau setelan jas dengan warna yang bebas.

Murid-murid yang hadir tampak bahagia saat ini karena merasa bebas akan tugas-tugas yang selalu sekolah berikan pada mereka. Tidak perlu bangun pagi dan tidak perlu merasakan dinginnya air di pagi hari. Padahal mereka tidak tau seberapa inginnya para orang dewasa kembali pada masa-masa mereka sekolah dulu yang tidak perlu memikirkan caranya menghadapi kerasnya dunia.

Dilain tempat dimana jauh dari keramaian murid lainnya, terlihat seorang pemuda berusia sekitar 17 tahun sedang berdiri memperhatikan orang yang keluar masuk ruangan. Disaat murid lainnya terlihat bahagia, lain halnya yang terjadi dengan pemuda tampan satu ini.

Wajahnya tampak kusut seakan menahan kekesalan yang mendalam.

"Masih belum keliatan?" Tanya pemuda lainnya yang merupakan sahabatnya.

Raydan menggeleng sebagai balasan.

Sahabatnya terdiam sejenak "Mungkin yang kali ini bener-bener gak bisa ditinggal, Ray."

Raydan mendengus kesal "Emang dasarnya gak pernah ada waktu.." sinisnya "Bahkan cuma nampakin hidungnya sedetik pun dia gak bisa! Gak guna emang. Gue aja yang terlalu berharap.." Raydan lalu menghempaskan tubuhnya pada sofa disana. Dia menutup matanya menggunakan lengan kanannya

"Berasa bego banget gue karena masih berharap..." Gumamnya pelan.

Theo yang melihat sahabatnya kembali dalam kondisi tidak baik pun ikut duduk disampingnya.

"Gue bukannya apa ya.. Tapi lo kan udah biasa begini, bahkan sebelum-sebelumnya lo juga gak begitu peduli mau kakak lo dateng apa enggak. Ngapa tiba-tiba kali ini beda?"

Raydan diam tidak menjawab. Beberapa detik berlalu hingga Theo pun akhirnya kesal merasa terabaikan "Hoy! Gue nanya elah."

Raydan masih diam tidak berniat menjawab. Theo yang kesal lantas mendengus "Serah lo dah mau gimana, Malah gue yang pusing gegara lo." Sungutnya dan memilih menyender memejamkan mata.

Beberapa menit pun berlalu hingga Raydan akhirnya membuka suara.

"Gue.. Habis ribut sama kakak gue."

...-oOo-...

Klek

Tak..tak..tak

Hahh..

Raydan menghempaskan tubuhnya ke kasur, menarik nafas dalam dalam kemudian mengeluarkannya. Meskipun tidak banyak berguna, setidaknya itu cukup menghilangkan perasaan sesak karena rasa besalah pada kakaknya.

Pikirannya melayang pada beberapa jam yang lalu saat acara tersebut masih diselenggarakan.

.

.

"Gue.. Habis ribut sama kakak gue."

Theo menoleh cepat "Terus?"

"Ya gitu."

"Gitu gimana anjing!"

"Yang kayak biasanya orang ribut!"

"Yang begimana Raydan..."

Raydan berdecak "Intinya gue gak sengaja ngomong kasar ke dia!"

"Ngomong kasar gimana maksud lo?"

"Ck pointnya adalah gue ngomong kasar ke dia dan sekarang gue ngerasa bersalah karena itu."

"Oalahh.. ngerasa bersalah rupanya.." Theo justru mengambil kue manis didepannya dan dengan santai memakannya "Yaudah tinggal minta maaf, susah bener!"

Decakan kembali terdengar dari mulut Ray "Seandainya semudah itu.."

Theo mendelik sinis "Kenapa, bagi lo susah?!" Tuding Theo dengan nada tinggi "Lagian lo keras banget. Kakak lo begitu juga demi kebaikan lo! Lo nya aja yang gak tau diri."

Raydan meraup wajahnya kasar "Bukan gitu masalahnya---"

"Halah.. jelas begitu! Lo selalu gak besyukur Ray!! Gue sebagai sahabat lo disini iri sama lo yang masih punya keluarga yang peduli sama lo!"

Tak lama kemudian Theo bangkit "Gue udah ingetin lo Ray. Jangan sampe nyesel!"

.

.

Raydan mendesah gusar mengingatnya "Gue harus minta maaf sama kakak." Raydan mencoba memejamkan matanya sejenak menghilangkan perasaan sesak yang melingkupi dadanya.

'Kak.. lo kapan balik? Gue.. kangen sama lo...'

Hingga tanpa sadar.. Raydan tidur karena kerinduannya pada Lidya.

***

TOK TOK TOK TOK TOK

"Den? Den bangun den!"

TOK TOK TOK TOK

"Den!! Den Ray!? DEN ADA KABAR DARI NON LIDYA!!"

TOK TOK

"DENN!"

Mendengar suara bising tersebut membuat Raydan terbangun. Dia melihat jam di nangkas nya.

'23.45?! Kenapa bibi berisik jam segini?'

"DEN DEN BANGUN DEN!!"

Ray lantas bangkit menuju pintu "IYA BI SEBENTARR!!"

Klek

"Ada apa bi malem-malem begini? Gak biasanya." Tanya Raydan sebelum mengetahui situasi gawat didepannya

Raydan kemudian tersentak saat melihat wajah bibi yang selama ini mengurusnya terlihat kusut, sembab seolah habis menangis.

"Lhoo bibi kenapa? Bibi nangis?!"

Wanita tersebut merupakan pengurus rumah ini yang sudah bekerja di rumah ini bahkan dari sebelum orang tuanya menikah, beliau menggeleng sambil terisak "Ini gak penting Den, yang penting sekarang adalah no-nona! Nona Den.." Dia kembali menangis.

Raydan sontak khawatir "Kakak? Kakak kenapa bi?!"

"Jawab bi!!"

Wanita tersebut menggeleng kuat "Nona...."

"......Nona meninggal."

.

.

.

To be Continued_

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!