Dilara mengusap pelan tengkuknya yang terasa dingin. Perasaan gelisah semakin menguasai batinnya. Wanita cantik berumur dua puluh enam tahun itu menatap nanar cake cantik yang terletak di atas meja bundar di depannya.
Hembusan napas berat terdengar keluar dari mulut sang wanita " Kenapa bang Fikri belum datang juga ? seharusnya dia sudah tiba dari sejam yang lalu. Atau pesawatnya delay ya ? Tapi kenapa ponselnya tidak bisa dihubungi ?" Gumam Lara gusar seraya melirik penanda waktu yang melingkar di pergelangan tangannya, setelahnya dia melempar tatapan teduhnya ke arah kolam renang.
Harusnya malam ini menjadi malam istimewa untuk Dilara dan Fikri, sang suami. Hari ini adalah anniversary pernikahan mereka. Pernikahan mereka sudah menginjak usia lima tahun. Meskipun mereka belum dikaruniai momongan, rumah tangga mereka sangatlah bahagia dan selalu mesra. Setiap ulang tahun pernikahan, mereka akan merayakan berdua, hanya mereka berdua tanpa orang lain. Saat moment seperti ini, mereka tidak ingin diganggu oleh siapapun.
Wanita anggun berwajah teduh itu bangkit dari duduknya, berjalan menuju tepi kolam renang yang ada di rumah mewahnya itu. Hiasan dekorasi yang dirancangnya dari subuh tadi di sekitar kolam renang terlihat indah, ditatapnya dengan tatapan sendu.
Beberapa saat kemudian, perlahan wanita itu membalikkan badannya lalu berjalan masuk ke dalam rumah. Malam semakin larut. Jarum jam sudah menunjukan pukul dua belas lewat dua puluh menit. Udara dingin semakin menusuk membuat kuduknya meremang. Dia tidak ingin lagi menunggu kedatangan sang suami. Entah apa yang menghalangi laki laki kesayangannya itu, sehingga sampai saat ini belum menampakan batang hidung. Berulang kali dia coba menghungi suaminya, tapi ponsel lelaki itu tetap berada di luar jangkauan.
" Mbak Ina, tolong bawa masuk cake-nya dan simpan ke dalam kulkas. " Titah Dilara lembut pada asisten rumah tangga berumur tiga puluh tahun, yang sedari tadi setia berdiri tidak jauh dari tempat duduknya tadi.
" Biarkan Pak Wahyu yang akan melepas dekorasinya besok pagi. " Imbuh Dilara lagi
" Iya bu. " Sahut Ina lalu bergegas mengambil cake yang berada di atas meja tadi. Art itu menatap sendu punggung majikannya yang perlahan menjauh masuk ke dalam rumah.
" Kasihan Bu Dilara. Beliau pasti sedih. Entah kenapa Pak Fikri akhir-akhir ini lebih banyak di luar. " Gumam Ina sambil berjalan masuk ke dalam rumah.
♡♡♡
Langkah kaki Dilara menapaki satu persatu undakan tangga menuju lantai dua rumahnya. Tubuh lunglainya masuk ke dalam kamar yang terasa dingin. Sudah dua minggu ini sang suami berada di kota Makassar. Dan itu memang hal yang lumrah. Sebagai pengusaha perhotelan, suaminya memang tidak menetap di kota tempat tinggalnya. Hotel usaha milik Fikri sudah tersebar di seluruh sudut pulau sulawesi. Suaminya itu dari dulu memang sangat sibuk, tapi tidak pernah meninggalkan Dilara lebih dari tiga hari, apalagi harus melewatkan moment berharga seperti sekarang ini.
Sepanjang pernikahan mereka, Fikri dan Dilara tidak pernah absen merayakan hari jadi mereka ini. Sesibuk apapun itu, Fikri akan menyempatkan waktu akan merayakannya bersama Dilara.
" Sshhh..." Dilara meringis pelan sambil meremas perutnya yang tiba-tiba nyeri. Keringat dingin seketika mengucur dari pori-porinya.
Dilara tertatih menuju ranjang mewah di dalam kamar. Dia membaringkan tubuhnya perlahan seraya menahan rasa sakit di perutnya bagian bawah.
" Ya Allah..kenapa semakin hari sakitnya semakin intens. " Keluhnya lirih sambil meringkuk di tempat tidur. Wanita cantik itu tak sempat lagi membersihkan diri atau sekedar mengganti gaun yang dipakainya dengan piyama tidur. Rasa sakit yang mendera membuatnya seketika melemah dan sekujur tubuh semampai itu begetar menahan rasa sakit.
Dilara berdzikir di dalam hati untuk menepis rasa sakit. Hatinya kembali teriris pilu ketika harus menahan rasa sakit ini tanpa sang suami.
" Andai bang Fikri ada saat ini, pasti rasanya tidak sesakit ini. Biasanya dia akan mengusap perutku kalau tiba tiba sakit seperti ini. " Gumam Dilara lirih kembali mengingat sang suami. Entah di mana sang suami sekarang, kegelisahan hatinya semakin menjadi-jadi.
" Yaa Allah..jagalah suamiku, di manapun dia berada. " Lirihnya seiring mata cantiknya tertutup perlahan. Entah dia tidur atau pingsan.
♡♡♡
" Sayang, maafkan aku. Aku tidak bermaksud mengabaikanmu. " Suara lirih terdengar dari seorang laki-laki. Laki-laki tampan itu menatap intens wajah pucat sang istri yang terlelap seraya meringkuk bagaikan bayi di dalam kandungan.
" Apa kau menungguku sampai tertidur ? Lihatlah, kau tidak mengganti gaunmu dengan baju tidur. " Imbuhnya lagi semakin merasa bersalah.
Laki-laki itu merangkak naik ke tempat tidur tanpa mengganti bajunya lagi. Perlahan dia membaringkan tubuh kekarnya di samping sang istri dan membawa tubuh ramping itu ke dalam dekapannya lalu mengecup pelan kening Dilara.
" Emmm.." Dilara melenguh lemah. Tidurnya terusik dengan pergerakan sang suami. " Bang Fikri ! Abang sudah datang ? " Ujarnya dengan suara serak seraya mendongak menatap wajah tampan sang suami.
" Sstt...tidurlah lagi ! Inj masih subuh. Kau kelihatan sangat capek. " Bisik Fikri lembut sambil mengecup pelan bibir pucat istrinya.
Dilara hanya mengerucutkan bibirnya, tapi tak urung menyusupkan kepalanya ke atas dada sang suami. " Lara rindu. " Rengeknya dengan nada manja.
Fikri terkekeh pelan. " Abang lebih rindu lagi. " Bisiknya mesra membuat wajah Dilara seketika tersipu malu.
♡♡♡
" Happy anniversary, sayang ! " Fikri mengabsen seluruh wajah Dilara dengan kecupan lembut. Kecupannya itu berhasil membuat tidur nyenyak Dilara menjadi terusik.
" Morning, Bang ! " Seru Dilara lirih menahan rasa geli karena ulah sang suami.
" Sudah, bang. Lara mau siapkan sarapan dulu. " Tepis Dilara lembut saat suaminya kembali ingin menyerangnya dengan kecupan.
" Telat sayang. Ini bukan jamnya sarapan lagi. Ini sudah jam sebelas siang. Makanya, ayo bangun dulu. Kau sudah melewatkan sarapanmu tadi, jangan sampe telat lagi makan siang. " Ujar Fikri terkekeh geli.
Dilara tersentak. Sontak dia bangun sambil membelalakan matanya. " J-jam sebelas ? " Pekiknya sambil melihat jam kecil yang terletak di atas nakas.
" Astaghfirullah...kenapa bisa aku tidur sampai siang ? " Gerutunya kesal dengan dirinya sendiri.
Tidak biasanya dia akan bangun kesiangan seperti ini. Atau dia terlalu nyaman tidur di pelukan sang suami, sehingga dia bisa tidur begitu lelap. Entahlah, tapi kalau mau jujur setiap Fikri pergi dia tidak bisa tidur dengan nyenyak.
Dilara merasa bersalah dengan sang suami. Seharusnya saat suaminya pulang ke rumah, dia harus sigap melayani suaminya itu.
Meskipun mereka mempunyai asisten rumah tangga, tapi Dilara tidak pernah menyerahkan segala yang berkaitan dengan sang suami kepada orang lain. Dia yang harus menyiapkan sarapan ataupun pakaian sang suami.
" Maaf, bang. Lara kebablasan tidurnya. " Ucap Dilara lemah sarat dengan penyesalan.
" Sstt...tidak ada yang perlu dimaafkan, sayang. Kau tidak salah. Sekali-kali kita bisa merubah kebiasaan kita, untuk demi menyamankan diri. Abang tidak masalah kau tidur kesiangan. Sepertinya kau kecapekan yaa ? Lihatlah, wajahmu terlihat pucat. " Sahut Fikri seraya menangkup wajah sang istri.
Dilara tertunduk lalu menggeleng pelan. " Aku tidak capek, bang. Rutinitasku tidak sesibuk itu sampai membuatku capek. Aku mengunjungi cafe hanya sekali-kali. Lebih banyak aku menyusun tesisku yang sebentar lagi kelar. " Ujar Dilara pelan menghindari kontak mata dengan sang suami. Dia tidak ingin memberitahu Fikri bahwa dia sering sakit perut akhir-akhir ini.
Fikri memicingkan matanya menatap intens wajah cantik Dilara. " Kau tidak sedang berbohong kan ? Soalnya wajahmu sangat pucat " Cecarnya membuat Dilara gelagapan.
" Tidak, bang. Mungkin pengaruh siklus haidku yang tinggal beberapa hari lagi " Tukas Dilara akhirnya menemukan jawaban tepat.
Fikri melirik kalender duduk yang berada di nakas. Dia menatap intens tanggal yang dilingkari spidol merah. " Besok jadwal datang bulannya ? " Gumamnya, entah itu pertanyaan atau sebuah keluhan.
Dilara menunduk. Dia tahu, Fikri tidak ingin dia datang bulan.
" Maaf ! " Lirih Dilara sendu.
Angin sore menerbangkan anak rambut yang bergerak liar sampai menutupi wajah sang pemilik. Jari lentik Dilara menata kembali rambut hitam bergelombangnya itu lalu menyusupkannya kebelakang telinga.
Wajah cantik Dilara terlihat sangat sendu. Tatapan mata bulatnya menatap kosong ke arah langit sore. Deburan ombak yang pecah di tepi pantai, tidak berhasil mengusik lamunan Dilara.
" Kukira aku hamil ! " Desahnya dengan nada sendu.
Siang tadi, Dilara mengunjungi dokter obgyn ketika menyadari jadwal datang bulannya telah lambat seminggu. Dia sudah berharap cemas tadi pagi. Ada harapan besar dalam hatinya, berharap dia tengah mengandung buah cintanya dengan sang suami. Wanita itu sangat antusias saat mendatangi dokter kandungan itu. Tapi, harapannya harus dipatahkan dengan kenyataan yang sangat menyakitkan.
" Kenapa Tuhan tidak adil padaku ?! " Keluhnya seraya mengusap buliran bening yang menetes di pipinya.
" Bukannya hamil, ternyata aku hanyalah wanita berpenyakit. " pekiknya keras mengeluarkan beban yang sedang menghimpit dadanya.
" Nyonya Dilara tidak sedang hamil. Tapi saya menemukan Ovarium Nyonya terdapat kista yang sudah cukup besar, dan sepertinya ini sudah lama bersarang di tubuh nyonya. Kista ini yang mengganggu siklus haid nyonya, sehingga tidak teratur. " Ucap dokter obgyn saat dia memeriksa kandungannya tadi pagi dan hal itu berhasil membuat dunia Dilara seolah runtuh ingin menimpa tubuhnya.
" Jadi bagaimana caranya supaya saya bisa hamil, dok ? Apa penyakit itu bisa disembuhkan ? " tanya Dilara setelah menguasai keterkejutannya.
Dokter menghela napas dengan berat. " Sangat kecil kemungkinan nyonya bisa hamil. Karena kista ini sudah menjalar di ovarium kiri dan kanan. Dan satu-satunya cara untuk menghilangkannya hanya dengan mengangkat kandungan nyonya. "
Dunia Dilara semakin sesak. Wanita cantik itu belum bisa mencerna dengan baik apa yang baru didengarnya.
" Angkat kandungan, dok ? " beonya dengan nada getir.
Dokter paruh baya itu mengangguk pelan dengan wajah prihatin. " Yang sabar ya, nyonya. Tapi saya akan memberikan rujukan pengobatan yang lebih baik lagi ke rumah sakit besar. Mungkin saja di sana ada solusi lain selain pengangkatan kandungan. Di sana sudah ada dokter spesialis tumor.Atau nyonya mau minta rujukan ke rumah sakit di Singapura ? " ucapan dokter itu sedikit memberi angin segar bagi Dilara.
Dilara mengangguk pasrah. Tenaganya seakan terkuras habis mendengar pernyataan dokter. Andai dia tidak malu, inginnya dia berteriak sekencang kencangnya menghilangkan beban yang menghimpit seluruh pernapasannya.
Memang suaminya tidak mendesaknya untuk segera hamil. Tapi dia mengerti tatapan suaminya ketika melihat anak kecil. Binar matanya sangat menjelaskan bahwa dia menginginkan seorang anak.
Dilara sadar dan mempunyai ketakutan sendiri, andai dia tidak bisa memberikan keturunan, dia takut suaminya akan mencari wanita yang lebih sempurna. Dia takut, suaminya akan meninggalkannya. Lalu dia akan kemana?
Dia hanyalah seorang wanita yang beruntung dinikahi seorang Fikri Al Farizi. Seorang pengusaha tampan, yang berani mempersunting karyawannya sendiri. Seorang wanita yang hidup sebatang kara tanpa sanak saudara.
" Andai bang Fikri tahu keadaanku, apakah abang masih tetap menerimaku sebagai istrinya ? " Desahnya lagi lemah semakin menambah debit air mata yang mengucur deras dari netranya.
Fikri memang tidak menemaninya ke dokter. Sudah tiga hari ini karanya sang suami sedang memantau hotelnya yang berada di kota Menado.
♡♡♡
Setelah sedikit tenang, Dilara bangkit dari tempat duduknya. Dia duduk di atas batu yang dipasang di tepi pantai, untuk mencegah abrasi pantai. Nampak olehnya lampu cafe miliknya yang tidak jauh dari tempatnya duduk, sudah mulai dinyalakan oleh karyawannya.
Langkah gontai itu membawa Dilara memasuki cafe miliknya. " Maaf bu, sore ini kita tidak bisa live musik. Siska sedang berhalangan hadir. " Ujar salah seorang karyawannya melapor saat dia sudah duduk di dalam ruangannya.
Dilara mengernyitkan keningnya. " Memangnya ada berapa orang penyanyi cafe ini sekarang ? " tanyanya seraya menatap ke arah laki-laki di depannya.
" Tiga orang bu. Dua laki laki dan satu perempuan. Dan yang perempuan itu yang berhalangan hadir. Seharusnya dia yang mengisi live musik sore ini. " papar karyawannya sambil menunduk sungkan.
Dilara meradang. Emosi yang sedari tadi bergolak dalam batinnya seketika seperti dinyalakan sumbunya.
" Astaga...panggil Desi ke sini ! Kenapa cafe sebesar ini hanya mempekerjakan penyanyi tiga orang. " Geram Dilara sambil memijat pelipisnya yang tiba-tiba berdenyut nyeri.
Ada kekesalan dan penyesalan dalam hatinya, kenapa dia terlalu berharap pada karyawannya untuk mengelola manajemen cafe. Dia hanya fokus dengan pendidikannya yang sebentar lagi selsai.
Laki-laki itu beranjak mengundurkan diri untuk memanggil Desi sang menejer cafe, sesuai perintah Dilara.
♡♡♡
" Kenapa bisa kekurangan penyanyi di cafe sebesar ini ? Lihatlah sore ini tidak ada yang mengisi live musik ! " Sembur Dilara saat Desi sudah berdiri di depannya.
Desi terperanjat kaget. Selama tiga tahun dia bekerja di Cafe milik Dilara, baru kali ini dia melihat sisi lain sang majikan. Dilara yang biasanya lemah lembut dalam menegur kesalahan karyawannya entah kenapa sore ini seperti bukan seorang Dilara.
" Kenapa kau hanya menatapku seperti itu ? Apa alasanmu dengan masalah ini, Desi ! " Pekik Dilara dengan nada frustasi.
Desi semakin gugup melihat wajah merah padam Dilara yang sedang menahan emosi.
" M- maaf bu. Harusnya ada lima penyanyi, tapi yang dua resign karena menikah dan hamil. " jawab Desi terbata menahan debaran jantungnya karena kaget.
Dilara mendengus kesal. " Kenapa tidak merekrut penyanyi baru ? Lihat, siapa nanti yg menyanyi sore ini ? " Seru Dilara lagi dengan nada sangat geram.
Desi semakin tertunduk takut. Dia tidak menyangka, majikannya bisa semurka itu.
" Ada apa dengan ibu Dilara, kenapa aku tidak percaya bahwa ini seorang Ibu Dilara. " Batin Desi bertanya-tanya.
" Keluar dari ruanganku ! Aku tidak mau tahu, ini kejadian pertama dan terakhir. Aku mau minggu depan, kau sudah mendapat penyanyi baru. " Sentak Dilara setelah sesaat hening.
" Ba-baik bu. " Tukas Desi gugup lalu bergegas keluar dari ruangan Dilara.
♡♡♡
Cahaya matahati sore menyinari seluruh ruangan cafe yang terbuka. Cafe ini memiliki spot pantai., sehingga matahari sore sepenuhnya dapat dinikmati oleh pengunjung cafe. Warna keemasan yang orang biasanya menyebutnya golden hours, sebelum jam biru berlaku, cahaya itu lebih kuat menguasai semesta. Semilir angin menambah syahdu suasana sore.
Alunan musik diiringi suara lembut menyapa pendengaran pengunjung cafe. Lagu itu terdengar sendu memainkan emosi pendengarnya. Lagu itu semacam kidung mengiringi senja yang akan berakhir.
Dilara memejamkan matanya, meresapi lagu yang sedang dibawakannya. Lirik lirik lagu seolah sedang mewakili kegundahan hati sang pemilik suara. Seperti de javu, dia merasa kembali pada enam tahun silam. Saat dirinya menjadi seorang penyanyi panggilan di cafe ini. Siapa sangka, sekarang dialah yang menjadi pemilik tempatnya mengais rejeki dulu.
" plak "
" plak "
Gemuruh tepuk tangan terdengar saat Dilara mengakhiri lagunya. Dilara tersenyum lalu membungkuk hormat ke arah pengunjung.
" Wah...hebat. Anda luar biasa nona. Owner mana yang bisa merangkap penyanyi di cafe-nya sendiri. " seru seseorang memuji Dilara.
Dilarang tersenyum ramah. " Anda bisa saja. Saya hanya mengisi kekosongan. Soalnya penyanyiku sedang berhalangan hadir. " tukas Dilara pada orang itu.
Laki-laki yang memuji Dilara, adalah pengunjung tetap cafe Dilara. Setiap akhir pekan dia pasti akan datang berkunjung, tak ada yang tahu dia datang hanya ingin menuntaskan rindunya.
Setelah berbasa basi, Dilara kembali masuk ke dalam ruangannya. Kepergian Dilara diringi tatapan memuja dari laki-laki yang memujinya tadi.
" Kau tak pernah berubah. Selalu lembut dan ramah. Apa tak sedikitpun kau mengingatku ? " Gumam laki-laki itu menatap sendu siluet Dilara yang menghilang di balik dinding Cafe.
" Angkat, bang ! Aku butuh kamu saat ini. " lirih Dilara sambil menatap ponselnya yang terus menghubungi suaminya. Sudah puluhan kali dia menekan nomor sang suami, tapi tak ada respon sedikitpun.
Dilara melemparkan benda pipih itu ke atas kasur yang sedang didudukinya. Dia butuh suaminya malam ini untuk membuatnya tenang, meskipun hanya mendengar suara lembut dari sang suami.
Tubuh semampai itu perlahan bangkit dari tempatnya dan berjalan menuju balkon kamar. Udara hangat kota Palu langsung menyapanya ketika dia keluar dari kamarnya.
" Huh..gerah... ! " keluhnya sambil menatap langit malam. Inilah Palu, salah satu kota yang beriklim panas. Meskipun malam hari, udaranya akan terasa panas kecuali di musim penghujan.
" Kemana bang Fikri ? Kenapa dari tadi sore tidak bisa dihubungi " monolognya seraya menghempaskan tubuhnya di kursi balkon. Sekilas ada rasa gelisah di hatinya. Dadanya berdebar-debar, entah itu karena penyakitnya atau perasaan yang lain. Dia tidak mengerti.
" Yaa Allah... Lindungilah suamiku di mana pun berada. Jagalah dia dalam penjagaan terbaik-Mu. " Gumam Dilara mendoakan suaminya untuk menekan rasa gelisahnya.
" Tok "
" Tok "
" Bunda ! "
Ketukan pintu diiringi pekikan suara cempreng khas anak kecil, membuyarkan lamunan Dilara. " Cilla ! " Gumamnya lalu bangkit menuju pintu kamar. Dia sangat mengenal suara itu. Itu suara ponakan suaminya.
" Hallo sayangnya bunda ! Ada apa malam malam datang ke bunda, hmm ? " pekik Dilara senang lalu mengangkat tubuh bocah tiga tahun itu dan menggendongnya.
" Cilla mau cama bunda. Cilla lindu bunda. Tapi kata mama bunda ibuk. " Gerutu gadis kecil itu dengan mimik yang membuat Dilara harus menciumi pipi gembul itu dengan berutal.
" Geli, bunda ! " Pekik Cilla sambil terkekeh geli. Bocah kecil itu tidak marah meskipun merasa kegelian.
" Sama siapa ke sini, nak ? Sama mama atau sama suster ? " Tanya Dilara lagi tanpa berhenti mencium seluruh wajah menggemaskan itu.
" Cama mama. Kaki jalan-jalan. " Jawab Cilla dengan bahasa anak-anak yang kurang jelas. Tapi Dilara sangat mengerti itu.
" Oo..sama mama, jalan kaki ? " Beo Dilara memperjelas. Rumah adik Fikri itu memang masih satu kompleks dengan rumah Dilara, batas tiga rumah dari rumahnya sehingga bisa ditempuh dengan jalan kaki saja.
Cila tidak menjawab, bocah itu hanya mengangguk sambil memeluk erat leher Dilara, pertanda bocah itu sangat merindukan bundanya.
" Ehemm...sudah ketemu bunda kan ? Sudah tidak merajuk lagi ? " celetuk seseorang menginterupsi Dilara dan Cilla.
" Ehh..Fanya ! Cuma berdua sama Cila saja, dek ? " sapa Dilara pada wanita berumur dua puluh empat tahun, yang sudah berdiri di depannya. Wanita itu adalah adik satu-satunya sang suami.
" Iya, kak. Cuma berdua sama nih bocil. Susternya lagi ada urusan. Bapaknya Cila lagi ke rumah mertuaku.Dari kemarin Cilla merengek terus minta ketemu sama kak Lara. Aku bilang kakak lagi sibuk, tapi seharian dia ngambek tidak mau makan, maunya makan sama bunda katanya. " Omel Fanya mencubit gemas pipi gembul putrinya.
" Astaga.. Kenapa tidak makan, sayang ? Kalau Cila sakit gimana ? Ayok sini bunda kasi makan. " seru Dilara terkejut dengan laporan adik iparnya.
" Cilla makan loti tadi, bunda ! Mama malah, Cila halus makan nasi mama kata. " ucap Cila membela diri. Sepertinya anak kecil itu memang lagi tidak ingin makan nasi.
" Hmm...kita itu orang Indonesia. Belum makan namanya kalau belum makan nasi. Mana tahan kalau cuma roti, nak. Jadi, Cila harus makan nasi nanti bunda yang suapin " Ujar Dilara sambil berjalan turun menuju dapur diikuti oleh sang ipar.
" Cila duduk sini. Bunda ambil nasinya dulu sama lauk. " Ucap Dilara seraya mendudukkan Cilla di kursi makan.
" Fanya mau minum apa, dek ? " tanya Dilara sambil menoleh sekilas ke arah iparnya yang sudah duduk di samping putrinya.
" Nanti aku ambil sendiri, kak ! " tukasnya lalu berdiri mengambil gelas dan mengambil air di dispenser.
Dilara membawa makanan Cila ke hadapan Cila dan menyuapi bocah kecil itu.
" Kak Fikri belum pulang ya, kak ? " Celetuk Fanya tiba-tiba setelah sesaat hening.
" Belum dek ! Mungkin sebentar lagi balik " Sahut Dilara seraya menyuapi ponakannya itu dengan sabar.
" Sudah seminggu masa belum balik-balik. Biasanya paling lama tiga hari perginya. " Gerutu Fanya dengan wajah cemberut. Jujur, dia juga sangat merindukan kakaknya itu. Mereka hanya dua bersaudara dan mereka sangat dekat. Fanya sangat manja pada kakanya itu. Meskipun dia sudah berkeluarga, tidak mengurangi kemanjaannya pada sang kakak.
" Ayah kemarin pilo kol cama Cila. Ayah bilang lagi mol, belicik. " Celetuk Cila ternyata sedang menyimak pembicaraan orang dewasa di depannya.
" Vidio call, Cila ! Apa pilo kol ! " Ralat Fanya sambil meledek anaknya.
" Itu mau Cila, baya. Tapi mulut Cila lain bilang. Gala-gala mama bilang Cila bocil " Gerutu Cila tidak terima diledek sang mama.
Fanya terbahak. " Cila memang bocil. Makanya bicaranya kebalik-balik.. Trus apalagi itu bilang baya ? Dengar siapa ngomong begitu...ha..haaa " Fanya semakin terbahak mendengar kosa kata yang keluar dari mulut anaknya.
Dilara ikut terkekeh geli mendengar ucapan Cila.
" Bunda ! Liat mama ! Cila bilang bocil. Cila cuma kecil tapi sudah besal. " Rengek gadis kecil itu mengadu pada Dilara karena tidak terima diledek mamanya.
" Iya..Cilla bukan bocil. Cilla sudah besar. Tapi Cilla dengar darimana kata baya itu, nak ? " Tanya Dilara sambil mengusap dengan tissu pipi Cilla yang berlepotan makanan.
Cilla menatap wajah Dilara. " teman Cilla bicalana begitu. " Jawab Cilla sambil tersenyum menggemaskan.
" Ooh teman Cilla di sekolah, yaa ? "
" Hhmm.. " Cilla hanya mengangguk karena mulutnya penuh dengan makanan. Gadis kecil itu memang sudah sekolah sejak umur dua tahun.
" Kemarin memang kak Fikri ditelpon sama Cilla. Cilla vidio call, kata Cilla Kak Fikri lagi di mall panakukang. " Celetuk Fanya kemudian.
Dilara mengerutkan keningnya. " Mall Panakukang ? " Beonya kemudian.
" Bang Fikri lagi di Menado, kenapa jadi di mall Panakukang ? " Ujar Dilara memastikan.
Fanya ikut mengerutkan keningnya sambil menatap kakak iparnya dengan raut lebih bingung lagi.
" Iya, kak. Aku sempat bicara sama Kak Fikri sekilas. Sepertinya memang kak Fikri lagi di mall Panakukang. " sahut Fanya mempertegas.
Dilara hanya tersenyum kecil menutupi tanda tanya dalam hatinya. " Ooh...mungkin abang dari Menado langsung terbang ke Makassar. " Ujar Dilara pura-pura santai. " Tapi kenapa abang tidak memberi kabar ? " Lanjutnya dalam hati.
" Bisa jadi sih " Tukas Fanya mengambil buah apel di atas meja.
♡♡♡
Di tempat yang jauh.
Fikri menatap orang di depannya tanpa emosi. " Saya sudah melaksanakan janjiku. Saya mau kembali dulu ke hotel. Ini kunci rumah dan kartu debet, ada uang di dalam untuk kebutuhanmu. " Ucapnya lembut seraya beranjak dari tempat duduknya lalu melangkah keluar setelah sebelumnya melirik ke dalam kamar yang terbuka. Dia melirik sekilas pada sesosok yang sudah terlelap di atas tempat tidur.
" Dia tertidur pulas, sepertinya dia kecapekan. " Gumamnya tersenyum tipis lalu pamit pada orang yang sudah berdiri di belakangnya.
♡♡♡
" Hallo, Sayang ! Maaf, abang seharian sibuk jadi tidak sempat mengangkat panggilanmu. Soalnya ponsel abang ketinggalan di hotel. " Ucap Fikri pada saat panggilannya tersambung dengan sang istri.
Setelah tiba di hotel tadi, dia melihat puluhan panggilan tak terjawab dari sang istri. Ponselnya memang ketinggalan di hotel, sehingga tidak bisa mengangkat panggilan Dilara.
" Iya, bang. Tidak apa-apa. Lara cuman khawatir sama abang, takutnya abang kenapa-napa soalnya dari pagi tidak ada kabar. Alhamdulillah abang baik-baik saja. " Sahut Dilara dengan nada lega.
Fikri mengusap wajahnya dengan kasar. Wajahnya seketika menjadi sendu. " Maaf... ! " Gumamnya dalam hati.
" Abang lagi di mana, bang ? " Pertanyaan Dilara berhasil membuyarkan lamunan Fikri.
" Di-di hotel, sayang. " Jawab Fikri tergagap.
Dilara terkekeh. " Maksud Lara, abang ada di kota Menado atau di mana ? " Ujar Dilara lagi dengan nada tetap lembut. Dia ingin memastikan ucapan Fanya tadi.
" Eeh... Di Me-menado. " Jawaban Fikri semakin membuat debaran jantung Dilara bertambah cepat. Kening wanita cantik itu seketika mengerut penuh tanda tanya. Jujur, hatinya berdenyut nyeri mendengar suaminya membohonginya.
" Menado ? Bukannya abang lagi di Makassar ya ? Kata Fanya, abang kemarin lagi di mall Panakukang. " Cecar Dilara to the point. Nada bicaranya sudah tidak seramah tadi.
" Eemm.. I-iya. Kemarin memang abang ke Makassar, tapi cuman setengah hari. Sorenya langsung balik Menado lagi. Maaf, abang tidak memberi kabar. " Tukas Fikri dengan suara bergetar menahan rasa gugup.
Dilara tersenyum miris. " Abang bohong. Kata Fanya, abang vidio call-an sama Cilla itu kemarin sore. " Jerit Dilara, tapi hanya dalam hati. Dia tidak ingin mencecar suaminya lewat telpon, dia akan memastikan kebenarannya ketika Fikri kembali.
" Yaa sudah, sayang. Abang tutup dulu. Abang gerah mau mandi. Insyaa Allah besok pagi abang balik. Dahh..sayang ! See you ! " Fikri buru-buru menutup panggilannya tanpa menunggu tanggapan dari sang istri. Rasa gugupnya semakin tidak bisa dia tutupi.
Dilara menatap sendu layar ponselnya yang telah menggelap. Setetes cairan bening meluncur bebas dari sudut netranya.
" Apa yang kau sembunyikan, bang. Biasanya abang tidak ingin mengakhiri panggilan dariku. Abang akan terus menggangguku sampai abang tertidur tanpa menutup panggilan. " Desah Dilara.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!