NovelToon NovelToon

I Love You OM

Mentari

Hari ini adalah hari keberangkatan Mentari kekota M, kota tempat tinggal adik dari ibunya yang bernama Andre Tian.

Mentari kesana untuk malanjutkan pendidikannya kejenjang perkuliahan, ya Mentari adalah seorang gadis yang baru lulus SMA, dan dia bercita-cita ingin menjadi seorang Guru.

Alasan dia ingin menjadi Guru, karna dia ingin menjadikan anak-anak dinegrinya, menjadi orang-orang yang pintar, dan satu lagi, agar dia bisa berinteraksi dengan banyak orang.

Alasan kenapa dia ingin berinteraksi dengan banyak orang, karena sungguh ditempat dia tinggal, orang yang dia temui hanya itu-itu saja, dan dengan menjadi Guru, Mentari berpikir akan bisa bertemu banyak orang yang berbeda setiap tahunnya, dan tentunya dengan sifat mereka yang pasti berbeda-beda pula.

Oh iya hampir lupa, alasan kenapa Mentari memilih kota M, untuk berkuliah, karena disana ada sebuah yayasan milik keluarga ibunya, yang sekarang dipegang Om Tian, setelah kakek dan nenek Mentari meninggal, yang berarti jika kelak Mentari mempunyai waktu luang dia bisa langsung berbagi ilmu disana tanpa halangan.

"Bu, Tari pamit" ucapnya sambil mencium tangan sang ibu yang bernama Anyelir.

"Iya, disana harus bisa jaga diri, jaga sikap, ingat dimana langit di jung jung disitu bumi dipijak" ucap Sang ibu memberi nasehat.

"Iya Bu, Tari ingat dan untuk jaga diri, ibu tenang saja, toh disana, Tari tinggal bersama dengan om Tian, jadi ibu tidak perlu khawatir" ucapnya sambil tersenyum ceria, berbanding terbalik dengan orang-orang yang akan dia tinggalkan terutama sang ayah.

"Ayah, kita itu masih tinggal di negri yang sama, dan jika ayah rindu ayah tinggal naik mobil duduk santai beberapa jam dan kita bisa bertemu," ucap Tari mencoba menenangkan sang Ayah dan ya lumayan, Ayahnya bisa lebih tenang, walau sebenarnya bukan ucapan sang anak yang membuatnya lebih tenang, melainkan tatapan sang istri Anyelir, yang seperti mata elang yang siap menerkam hidup-hidup.

"Ya sudah sayang, ingat pesan ibumu tadi, jaga diri, jaga sikap, dan satu lagi kamu harus selektif dalam berteman, kamu mengerti maksud Ayah bukan??" ucap Juna sambil mengusap rambut Mentari yang sedang mencium tangannya.

"Siap Ayah, nanti aku akan sangat-sangat selektif dalam memilih teman" ucap Mentari penuh dengan senyum.

"Yasudah ayo bang, kita berangkat" ajak Mentari pada sang kakak yang akan mengantarnya sampai kerumah sang paman.

Entahlah padahal Tari merasa jika dia sudah besar dan berani pergi sendiri kerumah pamannya, tapi ya begitulah yang namanya orangtua pasti tetap saja merasa hawatir jika anak gadisnya bepergian sendiri apalagi untuk pertama kalinya.

Sang kakak yang bernama Bayu mengangguk dan dia pun langsung berpamitan pada kedua orang tuanya.

Sepanjang jalan Mentari terus memperlihatkan senyumannya, mewakili perasaannya yang sangat bahagia.

"Oh iya Tari nanti saat disana jangan menangis, jangan menyesali pilihanmu yang memilih jauh dari ayah dan ibu." ucap Bayu yang sepertinya tahu rasanya berjauhan dengan kedua orangtuanya, dengan alasan berkuliah, yang memang berbeda rasa dengan rasa saat berjauhan karena alasan berlibur.

"Abang ini ada-ada saja, mana mungkin aku akan menangis, tunggu apa Abang dulu saat berkuliah diluar negri menangis karena rindu." ucap Tari yang seolah mengejek jika sang kakak terlalu cengeng seperti ayahnya.

"Jangan mengejek,"

"Aku tidak mengejek."

"Tapi terdengar mengejek ditelinga Abang,"

"Ya, berarti Abang baperan."

"Wah, apa benar Abang baperan?, mirip Ayah kalau gitu?" dan Tari mengangguk setuju dengan ucapan sang Abang.

"Ya sudah, tapi jika sampai apa yang Abang katakan tadi terjadi, langsung hubungi Abang!! ponsel Abang akan aktif dua puluh empat jam untuk kamu."

"Sip!!!"

"Ingat pesan ibu dan ayah" dan Tari langsung mengulang ucapan kedua orangtuanya tanpa ada yang terlewat.

"Bagus!!! praktekkan jangan cuman dihapal." Itu pesan sang kakak.

Berbeda

Tidak terasa kini mentari juga Bayu sampai didepan kediaman Andre Tian, mereka langsung mengetuk pintu sambil mengucap salam,dan tidak lama terdengar jawaban dari dalam, dan tidak lama pula pintu terbuka, menampilkan Tian yang masih menggunakan sarung dan baju koko, pertanda dia baru saja selesai melaksanakan kewajibannya.

Bayu menyalami Tian begitu pun Mentari, dan setelah Mentari menyalami Tian, Tian mempertanyakan siapa wanita yang dibawa Bayu dan kemana Mentari.

Bayu dan Mentari langsung saling pandang dan setelahnya Mentari berkata "Om ini becandanya gak lucu"

"Heh, maksud kamu??"

"Om ini Tari" Bayu langsung menyahut karena dia baru sadar jika omnya tidak sedang bercanda, tentang Mentari yang tidak dikenalinya.

"Kamu Tari? kenapa beda?" Sungguh Tian tidak menyangka jika sang keponakan kecilnya, kini sudah dewasa dan sungguh dia tidak mengenali Tari yang sekarang, maklum sudah tiga tahun Tian tidak bertatap muka dengan Mentari dengan berbagai alasan.

Seperti saat menghadiri sebuah acara, Tari datang, tian sudah pulang karena ada kepentingan, dan kadang kebaikannya, Tian baru datang, eh Tarinya sudah pulang karena sudah bosan, dan banyak lagi cara, kenapa mereka sampai tidak pernah bisa bertatap wajah.

"Beda? apanya yang beda om?" Jujur Tari bingung kenapa omnya berkata seperti itu.

"Iya beda, dulu kamu itu masih kecil, kenapa sekarang tiba-tiba udah besar, dan tadi om pikir kamu itu calonnya Bayu."

"Heh.. Om ini ada-ada saja, eh iya apa kami gak bakalan diajak masuk? atau gimana?" ucap Mentari yang mulai merasa pegal, ingin segera mendudukan bokongnya.

"Iya maaf, saking panglingnya lihat kamu, om jadi lupa ngajak kalian masuk" ucap Tian dan langsung memberi akses untuk Bayu juga Mentari masuk kedalam rumah, peninggalan orangtua Angkatnya.

"Om" ucap Mentari setelah Tian membawa minum juga cemilan untuk kedua keponakannya.

"Ya ada apa?"

"Om belum pengen punya istri?" sebuah pertanyaan yang membuat Bayu juga Tian langsung menoleh kearah Mentari.

"Apa sih? kenapa kalian ngeliat aku kaya gitu? memang kenapa dengan pertanyaanku, bukankah wajar jika aku bertanya seperti itu, dan kamu bang, kamu juga kenapa belum mau punya istri? padahal yang ngantri udah kaya mau ngambil sembako gratis." Sungguh Mentari bingung dengan tatapan kedua laki-laki yang sudah berkepala tiga yang ada dihadapannya.

"Eh tunggu kalian gak sakit kan???" sungguh Mentari merasa curiga, akan reaksi om juga kalaknya barusan, saat menanggapi pertanyaan yang menurut dirinya wajar dipertanyakan bukan?

"Kamu ini ada-ada saja" ucap om Tian yang menanggapi ucapan Mentari tentang mereka yang dikira sakit karena tak kunjung mempunyai istri, dan hal yang di ucapkan Tian diangguki Bayu

"Ya terus kenapa tanggapan kalian seperti tadi, saat aku bertanya? sungguh mencurigakan."

"oh itu, entahlah om suka kesal saja, saat ada seseorang yang mempertanyakan hal semacam itu pada om, kesannya seolah om di tuntut untuk segera menikah, karena usia om yang sudah melewati kepala tiga, padahal diluar sana masih banyak yang melajang di usia mereka yang bahkan sudah melintasi kepala empat."

"Oh, baperan juga ternyata, sama kaya abang, em, ya sudah aku ingin istirahat jadi kamarku yang mana?" tanya Mentari yang merasa tidak ingin berada diantara om juga abangnya lebih lama lagi.

"Yang paling depan!!!" jawab Tian.

"Baiklah, terimakasih" ucap Tari dan dia langsung membawa barang bawaannya masuk kedalam kamar yang paling depan, diantara dua kamar lain yang berjejer.

Ya kamar Tari berada dibarisan paling depan, karena bentuk rumah tersebut memanjang, tiga kamar berjejer dengan pintu menghadap ruang tamu, juga ruang keluarga yang hanya disekat oleh lemari kaca, sengaja tidak disekat dengan tembok agar saat ada acara pengajian atau syukuran lemari bisa di geser, dan ruangan tersebut menjadi sangat luas, cukup untuk menampung banyak orang.

Sarapan

Hari telah berganti dan Mentari yang sudah terbiasa bangun pagi, kini sedang berada diarea dapur, setelah tadi selesai dengan kewajiban dipagi harinya.

Tujuan mentari berada didapur tentu saja untuk membuat sarapan, untuk dirinya juga sang Om saja, karena Bayu sudah pulang kemarin sore.

Sementara itu, Tian yang baru bangun, langsung keluar kamar, untuk kekamar mandi yang kebetulan ada diarea dapur.

Tian yang belum sepenuhnya menguasai kesadarannya, beberapa kali mengerjapkan matanya, memastikan apa yang dia lihat sekarang nyata, bukan halusinasinya saja.

Dia merasa berhalusinasi, karena melihat Mentari yang dia pikir manja, kini sedang memasak didapur, mungkin saking tidak percayanya, dia sampai berpikir seperti itu.

"Om, ngapain diam disitu, ntar subuhnya keburu abis" ucap Mentari yang tahu jika Omnya terdiam cukup lama setelah masuk area dapur.

Bukannya langsung menuju kamar mandi, Tian justru menghampiri Mentari "Tari, kamu masak?" sebuah pertanyaan yang membuat dahi Mentari mengkerut, karena bingung kenapa omnya bertanya seperti itu, padahal sudah jelas bukan, jika dia sedang memasak.

"Maksud om, kamu bisa masak?" ucap Tian memperjelas pertanyaannya tadi.

"Oh, tentu saja bisa om, gini-gini aku sudah belajar cara bertahan hidup mandiri dari ibu, jadi selama aku tinggal disini, sarapan aku yang buat, namun untuk makan siang dan malam, Tari tidak bisa janji,"

Jujur Tian kaget dengan apa yang diucapkan Tari, pasalnya dia masih saja pikir jika gadis yang ada dihadapannya itu, adalah gadis manja yang ini, itu, pasti selalu dilayani pembantu, secara Mentari adalah anak perempuan satu-satunya dari Juna dan Anyelir, yang kebetulan orang berada.

"Om, malah bengong, cepetan itu subuhnya sudah mau habis" ucap Mentari sambil melihat jam yang kebetulan ada disudut dapur.

Tian yang sudah melihat jam langsung bergegas, tanpa berkata apa-apa lagi, karena waktu subuh memang sudah hampir habis, dan sungguh rasanya aneh saat ada yang mengingatkannya tentang waktu salat, karena biasanya dia tidak perlu diingatkan dan tanpa disadari Bibir tian menipis.

Selesai menunaikan ibadah pagi, Tian langsung menuju dapur, entahlah penasaran sekali dengan sarapan yang dibuat Mentari, apakah enak atau tidak.

"Tari!!" ucap Tian saat akan duduk dikursi yang menghadap Mentari.

"Ya om" ucap Mentari sambil menatap Tian.

"Itu ponsel kamu disimpan dulu, jangan sarapan sambil main ponsel."

"Iya maaf om, habis om lama jadi aku sarapan sambil main Hp, niatnya agar bisa sarapan sama om, maklum, kalau aku gak main Hp, mungkin kita gak bakalan bisa sarapan bareng." jawab Mentari sambil tersenyum.

"Kenapa seperti itu?"

Mentari sebenarnya enggan menjawab pertanyaan omnya itu, tapi setelah dipikir toh besok atau lusa pun omnya pasti tahu, jika dia adalah tipe orang yang makan dengan cepat, "Aku tipe orang yang makan dengan cepat"

Tian hanya mangut-mangut, pertanda mengerti maksud ucapan Mentari, dan Mentari yang penasaran akan komentar Tian, atas masakannya kini menatap sang Om yang akan menyuapkan makanan yang dia buat.

Tian yang sadar akan tatapan Mentari tidak jadi memakan makanannya dan dia malah kembali menaruhnya dipiring, sambil berkata "Kamu kenapa?"

"Is kenapa ga jadi dimakan sih Om, padahal dari tadi aku tuh pingin denger komentar Om, tentang masakan aku" kesal Mentari karena harus lebih lama menunggu komentar dari sang Om.

"Oh" kini Tian sudah paham arti tatapan Mentari, dan tanpa menunggu lama dia langsung menyuapkan makanan yang tadi sempat dia simpan lagi.

"Bagai mana Om??" ucap Mentari setelah sang Om menelan makanannya.

"Em," ucap Tian berpura-pura berpikir, lalu dia menyuapkan makanannya lagi, seolah ada yang membuatnya tak yakin akan rasa masakan Mentari dan hal itu membuat Mentari kesal.

"Om!!!!"

"Sabar!! ini Om lagi rasain, apa yang kurang dan apa yang berlebih," padahal sebenarnya saat suapan pertama Tian sudah tahu apa yang berlebih dari masakan Mentari, namun karena ingin membuat Mentari penasaran jadilah Tian bersikap seperti itu.

Dan hal itu membuat Mentari sampai berdecak beberapa kali, saking kesalnya menunggu.

"Ini tuh keasinan." Akhirnya komentar itu keluar juga dari mulut Tian.

"Oh..., berarti lidah om tidak terbiasa dengan rasa asin yah, em padahal dirumah semua orang suka dengan masakanku, Ya walau teman-teman selalu berkomentar keasinan."

"Ya terasa asin, tapi tidak asin banget, jadi masakan kamu masih bisa om makan, namun alangkah lebih baik besok-besok, garamnya sedikit dikurangi."

"Siap, Om." ucap Mentari dan setelah tahu lidah omnya seperti apa, Mentari langsung melanjutkan sarapannya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!