"Sudah untung aku mau nikah sama kamu. Apa susahnya menyiapkan sarapan?! Dasar tidak tau terimakasih, Hah! " Ardika mengumpat di depan perempuan yang baru dijadikan istrinya.
"Aku bukan pembantumu yang bisa diperlakukan kasar seperti itu. Lagipula kamu punya kaki dan tangan untuk apa menyuruhku," bela Annisa tidak ingin dipermainkan dengan seenaknya setelah dinikahkan oleh lelaki dingin itu.
"Sudah mulai berani ya sekarang. Kamu nggak takut akibat dari menolak perintahku, Hah!" Ardika menaikan nada bicaranya untuk membuatnya takut dan tertekan.
"Kamu ...."
"Kamu apa? Menyesal dinikahkan denganku?" Ardika langsung menyela dengan kata-kata yang sangat menyakitkan hatinya.
"Kamu laki-laki nggak punya hati. Aku benar-benar menyesal dipercayakan bersama kamu. Hidup denganmu berasa seperti di neraka," bentak Annisa mengeluarkan isi hatinya yang sudah lama simpan.
"Kalau aku nggak punya terus kamu apa? Bukannya sama aja," sindir Ardika terus-menerus memojokkan sampai batinnya terluka.
"Kamu benar-benar ...."
Perempuan dengan paras ayu memakai celana hitam panjang dan kemeja cream itu berdiri mematung di hadapan suaminya. Jelas dia merasa terkejut dengan bentakan sang suami. Bukan salahnya kan dia yang meminta tidak ingin memakan masakan buatannya di rumah. Dia sendiri yang meminta untuk tidak bersikap sebagai istri sungguhan. Sekarang dia juga yang marah karena dirinya tidak membuatkan sarapan.
Ardika yang melihat istri barunya melamun itu langsung berjalan cepat ke garasi mobil miliknya. Wajahnya terlihat merah dengan alis mengkerut --- Menahan amarah yang meluap. Jelas dia sangat kesal dengan pertengkaran ini. Di mana seharusnya istri menyiapkan sarapan sebelum ia berangkat kerja, namun tidak ada rasa hormat pada suaminya sendiri.
Pernikahannya dengan Annisa, wanita ayu yang dibentaknya tadi bukan atas dasar cinta. Namun, sebuah permintaan dari seorang karyawan bernama Bima sebelum dia meninggal dunia. Sebagai atasan yang baik hati dia menerima permintaan terakhir itu. Dan saat ini Annisa telah resmi menjadi istrinya.
"Belum menyelesaikan masalah di rumah sudah berangkat kerja aja," tegas Annisa tidak tahan dengan sikap suaminya.
"Maumu apa? Kita nggak ada perasaan satu sama lain jadi, nggak ada gunanya pertengkaran tadi."
Kali ini, Annisa sudah dibuat kehabisan kata-kata dengan ucapan suaminya yang sangat tajam. Namun, ketika lagi memikirkan sesuatu suaminya menegurnya.
"Kenapa kamu melamun di situ?! Cepat masuk saya ada rapat penting pagi ini. Jika harus menunggu mu melamun saya bisa telat! " teriak Ardika ketika melihat Annisa masih diam di tempatnya berdiri. Sungguh dia lelah menghadapi Annisa yang tidak dengan cepat masuk mobil padahal dia sedang ada rapat penting di PT. ARD
"Kenapa harus kasar sih! Nggak bisa mintanya dengan lembut," balas Annisa tidak menerima ketika diperlakukan tidak baik walaupun hanya sekedar menyuruhnya masuk ke dalam mobil.
"Sudah jangan banyak drama! Kamu mau naik atau nggak," teriak Ardika tidak menggubris pembelaan istrinya yang terlihat kesal dengan sikapnya itu.
"Drama kamu bilang." Annisa tidak percaya dengan perkataan suaminya bahwa pembelaan dirinya hanya dianggap sebagai drama dalam hidupnya.
"Naik mobil sekarang atau kamu berangkat kerja sendiri!" perintah Ardika memberikan sebuah pilihan yang sangat dibenci ketika Melihat dan mendengarnya saja membuat hati istrinya sakit.
Annisa yang mendengar teriakan suaminya itu berjalan cepat menuju mobil, lalu dia berkata dengan keras, "Lebih baik aku pergi sendiri saja dibandingkan harus satu mobil dengan laki-laki tak punya hati, seperti kamu. "
"Ya sudah jika itu mau kamu." Ardika lalu menyalakan mobil sport berwarna merah itu. Kaki kanannya menginjak pedal. Mobil pun berjalan mundur yang tidak disangka menabrak seorang perempuan cantik sedang berjalan di belakang.
Ardika dengan cepat turun dari mobil melihat perempuan itu yang sekarang memegangi kakinya. Terlihat ada memar di pergelangan kaki perempuan itu dan goresan kecil di telapak tangannya.
Dengan perlahan Ardika meraih tangan kirinya dan membantunya berdiri.
"Apakah kamu perlu aku antar ke rumah sakit? " tanya Ardika merasa bersalah karena telah menabraknya sambil memperhatikan bentuk tubuhnya yang sangat menggoda. Imajinasi liarnya sudah menguasai pikirannya, apalagi dibandingkan dengan istrinya sangat berbeda jauh.
Perempuan itu menggeleng cepat dan berkata, "Tidak perlu saya baik-baik saja. "
"Baiklah jika seperti itu aku obati saja di rumahku, " kata Ardika merasa tidak enak karena dia telah melukai seorang wanita. Perempuan itu pun akhirnya menganguk setuju.
Annisa yang melihat suaminya perhatian pada perempuan itu merasa sakit hati. Pasalnya Ardika tidak pernah memberikan perhatian seperti itu padanya. Yang ada hanya bentakan atau teriakan dari Ardika dan itu menyakiti hatinya. Tanpa sadar sebulir kristal bening menetes dari pelupuk matanya. Lalu dia berjalan pergi menuju kantornya hendak bekerja.
"Kenapa dengan perempuan lain bisa selembut itu, tapi saat bersamaku selalu bersikap kasar bahkan tidak pernah peduli denganku. Kalau sejak awal pernikahan ini tidak diinginkan, kenapa tidak menolak permintaan terakhir mendiang suamiku? Kenapa harus selalu aku yang jadi pelampiasan amarahnya itu?"
Di sisi lain. Saat ini Ardika tengah mengobati perempuan yang tadi dia tabrak. Tangannya yang kekar membalut luka di tangan si perempuan dengan lembut.
Perempuan yang memakai dress selutut berwana biru itu tersenyum, menatap lekat pada manik hitam milik Ardika. Tangan kirinya yang tidak terluka itu perlahan meraba paha Ardika. Senyumnya menggoda sangat cantik di mata Ardika.
Ardika yang mulai tergoda dengan perempuan itu menyentuh lengan perempuan itu. Perlahan dia mulai mendekatkan bibirnya dengan bibir perempuan itu. Perempuan itu menyambutnya dengan senang. Lumatan demi lumatan terus diberikan kedua pihak tidak ada yang mau mengalah.
Ardika mulai melepaskan jasnya dengan kasar melemparnya asal lalu memberikan ciuman lagi pada perempuan itu. Tangan kanannya dengan perlahan merapa perut rata perempuan itu hingga naik di atas gumpalan daging kembar milik perempuan itu.
Lenguhan kecil terdengar di telinga Ardika ketika dia meremas gundukan kembar itu. Ciuman Ardika semakin panas dan mulai turun ke leher jenjang perempuan itu. Menyesapnya lalu menghisap kuat membuat perempuan di bawahnya itu merasa melayang.
Tiga puluh menit berlalu dengan cumbuan yang panas Ardika memakai kembali kemeja dan jasnya. Lalu dia tersenyum pada perempuan yang masih berbaring di bawah selimut miliknya.
"Aku harus berangkat kerja, " kata Ardika dengan senyuman di wajahnya.
Perempuan itu dengan perlahan mendudukkan dirinya. Menarik selimut untuk menutupi tubuh polosnya. "Mas tadi enak banget. Aku masih ingin dipeluk sama Mas lagi. " ucap manja perempuan itu.
Ardika yang melihat tingkah manis perempuan itu mencium keningnya lalu dia mengambil ponselnya dan memberikan nomor telepon nya. Mereka pun bertukar nomor telepon.
"Kamu bisa hubungi aku kapan saja, " kata Ardika dengan senyum lebarnya dan mengecup bibir perempuan itu.
***
“Sarapan nasi goreng dulu, ah!” sindir Annisa menyantap makanan yang baru saja dimasak dengan sangat lahap membuat suami yang melewatinya terpaksa menelan ludah.
Di ruang makan, Annisa duduk di depan mini bar dengan sepiring nasi goreng hangat sembari memainkan ponsel, tidak memperhatikan suaminya. Ardika yang sudah siap dengan setelan kemeja putih serta jas berwarna biru dongker melihat ke atas meja hanya ada satu piring saja dan itu milik Annisa.
Annisa pun tersenyum kecil lalu menatap laki-laki di depan dengan sangat puas sekali. Bagi Annisa ini belum seberapa dibandingkan dengan ucapan suaminya setiap kali mengungkit pernikahan tanpa rasa cinta. Jelas hati Annisa sangat sakit bahwa pernikahannya kali ini tidak seindah yang diharapkan. Penghinaan dari sang suami itu membuatnya sakit hati.
"Kenapa sarapan untukku nggak ada?" tanya Ardika melihat di sekitar tidak ada sama sekali makanan yang disiapkan untuknya. Padahal sudah hampir terlambat masuk jam kerja. Akan tetapi, perutnya yang terasa lapar sebelum berangkat kerja sudah tak bisa ditahan lagi.
"Kan kamu sendiri yang minta untuk aku tidak mengurus masalah mu,” jawab Annisa merasa tidak bersalah karena semua murni pemintaan suaminya kemarin ketika melihat barang perempuan lain di atas ranjang.
Sebagai seorang istri yang baik, Annisa akan mematuhi perkataan suaminya. Bila suaminya berkata tidak maka dia tidak akan melakukannya, seperti saat ini untuk tidak mengatur segala keperluan suaminya.
Sudah cukup hatinya sakit sekali, kulitnya seperti ditusuk ribuan jarum tumpul yang akan meninggalkan bekas luka dan sakit jika disentuh.
Annisa yang melihat wajah suaminya muram merasa tidak enak. Namun, dia perlu sekali untuk menguji kesabaran suaminya yang selalu bersikap dingin dan mengacuhkan nya. Apakah Ardika bisa bersikap biasa saja ketika seseorang tidak menganggapnya sama sekali— seperti perlakuan Ardika terhadap Annisa.
"Kamu itu pura-pura nggak paham atau nggak tahu diri sih!” hardik Ardika melihat sikap istrinya yang semakin tidak tahu diri dengan perkataan tersebut. Jelas-jelas apa yang terjadi kemarin bisa dijadikan suatu pelajaran untuk bisa memperbaiki tingkah lakunya. Namun, malah sebaliknya membuatnya semakin kecewa.
"Aku hanya mengikuti permintaan kamu kemarin,” bela Annisa jika tidak ada larangan dari suaminya mengurusi atau mempertanyakan yang terjadi lalu melanjutkan pembicaraannya. “Jadi siapa yang salah sekarang aku atau kamu?"
"Oh jadi, kamu mau menyalahi aku!" hardik Ardika tidak bisa terima ketika semua permasalahan kemarin dilimpahkan kepadanya. Ia memang salah sikapnya kasar terhadap istrinya. Namun, murni dari perasaan tidak nyaman dengan pernikahan ini.
"Bukan menyalahkan, tapi hanya mengikuti perkataan kamu bahwa pernikahan kita hanya status saja dan aku tidak seharusnya bersikap sebagai istrimu." Annisa mempertegas dengan kalimat yang pernah dilontarkan dari suaminya ketika ketahuan bawa perempuan lain ke dalam kamar mereka, meskipun mengingatnya saja sudah membuat sakit hati.
"Tapi nggak kayak gitu Annisa, aku ...."
"Kalau kamu mau sarapan. kenapa nggak minta dibuatkan sama perempuan itu saja!" Mungkin kebersamaan suami dengan perempuan itu, tidak bisa diberhentikan olehnya. Jadi, Annisa hanya bisa menyudutkannya saja untuk saat ini walaupun sangat tidak nyaman membicarakan perselingkuhan mereka.
"Kamu kenapa jadi mengatur aku!” Baru kali ini ada yang berani berbicara lalu mengatur seorang Ardika. Maka dari itu, ia tidak suka ketika ada yang menjatuhkan harga dirinya hanya karena masalah kecil.
Selama ini, orang-orang serta karyawannya selalu menghormati setiap kali ada perintah darinya. Jangankan perintah, menyinggungnya atau melawannya saja tidak ada yang berani ketika berhadapan langsung dengan seorang Ardika. Namun, bertemu dengan Annisa sudah membuatnya kesal karena sikap atau cara berbicaranya saja tidak pernah ditemui selama ini. Akan tetapi, kalau sudah berkaitan mengatur kehidupannya. Ia pasti tersinggung dan mengambil tindakan cepat atau lambat untuk memberi peringatan keras kepada siapapun itu.
"Kamu maunya apa sih? aku, seperti itu salah. aku mengikuti apa yang kamu mau salah. aku sama sekali nggak ada harga dirinya sebagai perempuan di sini." Annisa tidak mengerti apa yang sebenarnya diinginkan dari suami, seperti Ardika ketika permintaan kemarin diikuti. Namun, tetap saja salah di matanya dan tidak merasa di hargai sama sekali.
"Aku hanya ...."
"Sudahlah Mas Ardika, aku cape hidup, seperti ini. apa pun yang aku lakukan selalu salah di mata kamu tapi perbuatan kamu main di belakangku sudah melukai perasaan aku," Annisa memotong pembicaraan karena tidak mau mendengar penjelasan yang sangat menyakitkan hatinya lagi. Sudah cukup dihina, dimaki dan dibentak oleh laki-laki itu.
"Ya sudah, jangan menangis. aku minta maaf hanya belum terbiasa, seperti ini.” Meskipun penampilan Ardika terlihat dingin terhadap istrinya. Namun, hatinya tidak tega melihat seorang perempuan menangis di hadapannya hingga nada suaranya melembut lalu berkata, "Selesaikan sarapan kamu, aku antar kamu kerja."
Setelah sarapan pagi mereka berangkat kerja bersama. Selama perjalanan, Annisa selalu menyempatkan untuk melihat lebih dekat sosok suaminya. Jujur saja perkataan lemah lembutnya itu yang menghentikan tangisannya tadi sudah membuat hatinya luluh perlahan. Ia tidak pernah menyangka sebelumnya sikap seorang Ardika bisa lembut kepada perempuan yang menangis. Andai saja pernikahan ini bukan karena permintaan dari mendiang suaminya, mungkin semua terlihat baik-baik saja dan timbul perasaan pelan-pelan. Namun, tidak selamanya juga sikap seorang laki-laki dingin terus-menerus menyakiti perempuan itulah yang diyakini dari seorang istri.
"Mas Ardika kenapa tersenyum?" Annisa menanyakan ketika ada pesan masuk dari ponsel milik suaminya berbunyi ekspresinya terlihat senang dan bahagia.
"Kenapa nggak boleh kalau aku senyum." Ardika menjawab dengan datar mencoba untuk berpura-pura tidak ada apa-apa karena salah menyebut saja sudah bisa dicurigai istrinya yang memperhatikan sejak tadi.
Ardika menghentikan mobil di dekat supermarket, membaca lalu membalas pesan dengan senyum kecilnya itu. Ia tidak pernah menduga bahwa perempuan itu, akan mengirim pesan padanya. Sehingga terbayanglah ketika mereka menghabiskan waktu bersama, membuat Ardika merindukan perempuan itu. Sejenak melupakan masalahnya dengan istri barunya tadi.
"Bukan begitu, Mas Ardika. aku hanya ...." Baru saja menikmati momen untuk merasakan kehangatan dari sikap seorang suami terhadapnya. Annisa sudah dibuat kecewa lagi karena Ardika kembali bersikap dingin hingga tidak membiarkan dia untuk berbicara.
"Jangan permasalahkan apa pun yang membuatku senang, nanti kamu turun di halte bus ya. aku ada urusan." Ardika meminta untuk istrinya turun di depan berangkat kerja karena sudah ada seseorang yang menunggunya datang ke rumah perempuan yang kemarin membuatnya senang.
"Tapi Mas ...." Lagi dan lagi Ardika tidak memberikan waktu untuknya menolak apa yang dia inginkan. Annisa hanya bisa pasrah dengan keadaan yang memaksanya melewati hari-hari berat, seperti ini.
"Aku nggak mau berdebat sama kamu lagi." Ardika turun dari mobil lalu membuka pintu untuk mempersilakan istrinya jalan kaki hingga halte bus. Kalau dibiarkan lama hanya akan memakan waktu saja lalu masuk ke mobil kembali memutarkan kendaraannya menuju rumah selingkuhannya.
_Mas Ardika terlihat aneh, seperti ada yang disembunyikan. Aku harus mencari tahu._ batin Annisa merasakan sesuatu yang tidak boleh dibiarkan apalagi kejadian kemarin sudah membuatnya sadar bahwa ada yang disembunyikan oleh suaminya. Siap, nggak siap semua harus dilakukan detik ini juga untuk sebuah jawaban pasti walaupun menyakitkan setelah mengetahui semuanya.
"Halo Fahri bisa antar aku ke suatu tempat nggak?" Annisa menelepon seorang teman yang selalu siap untuk membantunya. Ia percaya bahwa laki-laki yang diteleponnya kini bersedia mengikuti ke mana suaminya pergi.
"Bisa kok. Kamu tunggu sebentar, lima menit aku sampai di sana," Fahri memang sedang dalam perjalanan ke kantor. Namun, begitu mendengar seseorang membutuhkannya. Pekerjaan di nomor dua kan yang terpenting menolong seorang perempuan terlebih dahulu.
"Oke, jangan lama-lama ya!" Annisa tidak ingin membuang waktu lebih lama karena takutnya suaminya sudah tidak ada di tempat selingkuhannya.
"Memangnya mau ke mana sih?" Fahri sudah merasa ada sesuatu yang sangat mendadak saat ini. Namun, perempuan itu tidak mau menyebutkan tempat yang akan dituju.
"Aku mau pergi ke tempat neraka." Annisa sedang gelisah hanya menjawabnya dengan yang ada dalam pikirannya saat ini. Ia belum tahu tempatnya di mana. Namun, jika sudah ada teman yang ditunggu untuk pergi ke arah sana sudah tahu jalannya dari gps tersebut.
"Maksudmu?" Fahri masih penasaran dari perkataan perempuan di seberang telpon. Mencoba untuk menerka maksud dari ucapannya.
"Aku mau memergoki suamiku." jawab Annisa jujur terhadap temannya itu. Untuk saat ini masalahnya tidak bisa lagi dia sembunyikan. Meskipun ia ingin memendamnya sendiri, namun sepertinya dia harus berbagi sakit kepada temannya. Agar dia bisa merasa sedikit lebih baik.
Akhirnya, setelah Fahri sampai di halte bus. Annisa meminta untuk diantarkan ke tempat perempuan itu, di mana rumahnya tidak terlalu jauh dari persimpangan arah rumah suaminya. apalagi sebelum turun dari mobil Ardika, Annisa memasang gps untuk melacak kemana suaminya pergi. ia sangat yakin bahwa pesan di ponsel suaminya dari selingkuhannya.
Sesampainya di sana, Annisa melihat mobil suaminya yang terparkir di depan rumah sederhana bercat putih. Lalu Annisa turun dari mobilnya Fahri sambil berkata, "Kamu tunggu di sini saja. "
Annisa turun untuk melihat apa yang dilakukan oleh Ardika di dalam rumah itu. Baru saja mendekat sudah terdengar suara desahan perempuan itu yang membuatnya semakin panas sehingga air matanya jatuh tanpa disadari.
Terlihat tangannya yang gemetar mencoba untuk membuka pintu dan Annisa melihat sang suami sedang bercumbu dengan perempuan lain.
"Astagfirullah Mas Ardika," ucap Annisa melihat dengan matanya sendiri sang suami yang melakukan hal kotor terhadap perempuan lain. Hatinya sakit perasaan nya hancur. Sungguh tega sekali suaminya melakukan hal itu terhadap dirinya.
"Annisa, kamu ngapain di sini?" tanya Ardika terlihat panik lalu dengan cepat merapikan kembali kancing kemejanya.
Tidak pernah di duga perselingkuhan ini akan tercium cepat oleh istrinya di saat hubungan mereka baru saja dimulai. Ardika melihat wajah Anna menangis membuatnya sadar bahwa seharusnya tidak melakukan hal ini sejak awal...
"Aku nggak perlu menjawab apa pun di sini. sekarang cukup tahu bahwa aku salah untuk memperbaiki hubungan ini." Annisa sudah pasrah dengan hubungan yang sedang dijalani ketika perasaannya bertolak belakang setelah melihat kenyataan menyakitkan ini.
"Annisa beri aku kesempatan untuk menembus semuanya." Ardika terlihat sangat menyesal sudah berkhianat dengan perempuan lain walaupun semua masalah ini timbul dari ketidaksengajaan bertemu Siska dan Ardika yang menyukai wanita itu.
Menyesal. Ardika saat ini merasakan penyesalan karena telah mengkhianati sang istri. Dan perselingkuhannya harus dilihat sang istri. Ardika yang melihat Annisa menangis itu membuat hatinya sedikit sakit seperti terkena pecahan kaca. Ketika tangan Ardika terulur hendak menengkan istrinya, Annisa dengan cepat pergi dari rumah itu.
"Nggak perlu, nikmati saja permainan kalian berdua." Annisa tidak ingin mendengar sebuah penjelasan kalau nanti tak ada gunanya untuk bisa merubah kebiasaan selingkuhan walaupun kejadian, seperti ini pertama kali terjadi.
"Aku khilaf melakukan ini." Ardika mencoba mengejar sang istri dan memberikan penjelasannya. Namun Annisa masih tidak mau mendengarkan.
"Kamu pikir ini Khilaf semata? Mas kamu itu sudah menikah. Kamu anggap aku ini apa? Aku istri kamu Mas! " Annisa sudah sangat kecewa kepada suaminya. Seorang CEO perusahaan terbesar namun tidak memiliki hati dan perasaan terhadap istrinya. Yang menganggap pernikahan ini hanya status di atas kertas.
"Annisa tolong jangan kasih tahu orang lain." Ardika teringat sesuatu kalau sampai karyawannya mengetahui masalah perselingkuhan bisa-bisa banyak yang tidak percaya atau bekerja lagi dengannya. Bukan hanya itu saja, nilai saham pun kan turun drastis atau para investor di perusahannya akan menarik kembali dana yang telah ada.
"Mas, kamu masih memikirkan citra sendiri dibanding perasaan aku." Annisa tidak habis pikir di tengah permasalahan keluarga masih saja sang suami khawatir dengan perusahaannya. Apa karena pernikahan tidak didasari oleh cinta? Maka keberadaan atau posisinya tidak penting dalam hidup seorang Arya Purnomo.
"Bukan begitu Annisa. masalah kita lebih baik diselesaikan berdua." Belum selesai masalah mereka berdua selesai. Kini ditambah lagi dengan salah paham karena perkataan yang menurutnya sangat wajar kalau seorang direktur khawatir akan nasib perusahaan dan karyawannya.
Banyak kepala keluarga yang tergantung dari gaji bekerja di perusahaan milik Ardika. Kesejahteraan tercukupi, banyak bonus yang di dapat kalau mendapat projek bernilai fantastis. Tidak hanya itu saja, perusahaan dibangun dengan hasil jerih payah selama bertahun-tahun. Banyak pengorbanan yang dilakukan untuk mempertahankan dan bersaing dalam posisi cukup aman.
"Selesaikan kata kamu? Apa nggak cukup kemarin malam Jadi, peringatan untuk kamu tidak berbuat hal hina ini?" Annisa menekan setiap perkataannya karena tidak terima seolah perbuatan suaminya dianggap tidak terjadi. Padahal sebelum ini, ia sudah meminta dengan kerendahan hati untuk membuatnya sadar.
“Annisa aku bisa jelasin semua ini. Dia yang menggoda aku duluan karena nggak mungkin orang seperti aku langsung suka sama pesonanya. kamu percaya aku kan?” Ardika berusaha mencari sebuah alasan yang bisa diterima oleh istrinya di hadapannya tersebut.
"Kamu mau mengelak apa lagi? Semua sudah terbukti." Annisa benar-benar tidak bisa mempercayai setiap perkataan yang keluar dari mulut suaminya karena semakin beralasan, semakin pula kelihatan kebohongan itu.
“Bukan mengelak Annisa! Kemarin itu Cuma mau menolong dia saja.” Ardika sudah bingung harus memikirkan cara apa lagi untuk meyakinkan seorang Annisa yang tidak mudah percaya dengan penjelasan darinya. Bahkan mencari alasan, seperti tadi saja tidak mudah baginya.
“Berarti tanpa tidak sadar kamu mengakui hal itu bahwa perempuan itu dia!” Annisa menghampiri perempuan itu yang berdiri di ambang pintu, lalu mendorongnya di hadapan suaminya sendiri sambil menunjukkan bekas di leher perempuan itu.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!